Anda di halaman 1dari 9

An nisa ayat 25

‫ت فيتمنن يماَ يملييكنت أينييماَنممكنم تمنن فيتييياَتتمكمم‬


‫ت انلممنؤتميناَ ت‬ ‫طنولل أينن ييننتكيح انلممنح ي‬
‫صيناَ ت‬ ‫ستيتطنع تمننمكنم ي‬ ‫يويمنن لينم يي ن‬
‫ض ٍ يفاَننتكمحومهنن بتإ تنذتن أينهلتتهنن يوآَمتومهنن أممجويرمهنن‬ ‫ضمكنم تمنن بينع ض‬ ‫ام أينعليمم بتتإييماَنتمكنم ٍ بينع م‬ ‫انلممنؤتميناَ ت‬
‫ت ٍ يو ن‬
‫شضة فييعلينيتهنن‬ ‫ت أينخيداضن ٍ فيإ تيذا أمنح ت‬
‫صنن فيإ تنن أيتينيين بتيفاَتح ي‬ ‫ت يويل ممتنتخيذا ت‬ ‫ت يغنيير مم ي‬
‫ساَفتيحاَ ض‬ ‫صيناَ ض‬ ‫تباَنليمنعمرو ت‬
‫ف ممنح ي‬
‫ف ماَ يعيلىَ انلمحصيناَت مين انلعيذا ذ‬
‫ام‬‫صبتمروا يخنيرر ليمكنم ْ يو ن‬ ‫ت تمننمكنم ٍ يوأينن تي ن‬
‫شيي انليعني ي‬ ‫ب ٍ يذلتيك لتيمنن يخ ت‬
‫ي ت‬ ‫م ن ي ت ت‬ ‫ص م ي‬ ‫نت ن‬
‫يغمفورر يرتحيرم‬
25. Dan barangsiapa diantara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaannya
untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman, ia boleh mengawini wanita yang beriman,
dari budak-budak yang kamu miliki. Allah mengetahui keimananmu; sebahagian kamu
adalah dari sebahagian yang lain, karena itu kawinilah mereka dengan seizin tuan mereka,
dan berilah maskawin mereka menurut yang patut, sedang merekapun wanita-wanita yang
memelihara diri, bukan pezina dan bukan (pula) wanita yang mengambil laki-laki lain
sebagai piaraannya; dan apabila mereka telah menjaga diri dengan kawin, kemudian
mereka melakukan perbuatan yang keji (zina), maka atas mereka separo hukuman dari
hukuman wanita-wanita merdeka yang bersuami. (Kebolehan mengawini budak) itu,
adalah bagi orang-orang yang takut kepada kemasyakatan menjaga diri (dari perbuatan
zina) di antara kamu, dan kesabaran itu lebih baik bagimu. Dan Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang.

An nisa 34
‫ت‬ ‫ض يوبتيماَ أيننفيمقوا تمنن أينميوالتتهنم ٍ يفاَل ن‬
‫صاَلتيحاَ م‬ ‫ضمهنم يعليذىَ بينع ض‬
‫ام بينع ي‬ ‫ساَتء بتيماَ في ن‬
‫ضيل ن‬ ‫النريجاَمل قينوامموين يعيلىَ النن ي‬
‫ظومهنن يوانهمجمرومهنن تفي‬ ‫شويزمهنن فيتع م‬‫ام ٍ يوالنلتتي تييخاَمفوين نم م‬
‫ظ ن‬ ‫ب بتيماَ يحفت ي‬ ‫ت لتنليغني ت‬ ‫ت يحاَفت ي‬
‫ظاَ ر‬ ‫يقاَنتيتاَ ر‬
‫اي يكاَين يعلت يلياَ يكتبيلرا‬‫ستبيلل ْ إتنن ن‬ ‫ضترمبومهنن َّ فيإ تنن أي ي‬
‫طنعنيمكنم فييل تينبمغوا يعلينيتهنن ي‬ ‫ضاَتجتع يوا ن‬ ‫انليم ي‬
34. Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah
melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena
mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita
yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada,
oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan
nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka,
dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu
mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha
Besar.

An nur 30

‫صنيمعوين‬ ‫ظوا فممرويجمهنم ٍ ذيذلتيك أينزيكذىَ ليمهنم ْ إتنن ن‬


‫اي يختبيرر بتيماَ يي ن‬ ‫ضوا تمنن أينب ي‬
‫صاَترتهنم يويينحفي م‬ ‫قمنل لتنلممنؤتمتنيين ييمغ ض‬
30. Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: "Hendaklah mereka menahan
pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi
mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat".

An nur 31

َ‫ظهههر ممننهها‬ ‫ظهن فههروهجههلن هوهل يِهنبمديِهن مزيِنهتهههلن إملل هماَ ه‬ ‫صاَمرمهلن هويِهنحفه ن‬‫ضهن ممنن أهنب ه‬ ‫ض ن‬‫ت يِهنغ ه‬ ‫هوقهنل لمنلهمنؤممهناَ م‬
‫ضمرنبهن بمهخهممرمهلن هعلهىى هجهيوُبممهلن هوهل يِهنبمديِهن مزيِنهتهههلن إملل لمبههعوُلهتممهلن أهنو آهباَئممهلن أهنو آهباَمء بههعوُلهتممهلن أهنو‬ ‫هونليه ن‬
‫ت‬ ‫أهنبهناَئممهلن أهنو أهنبهناَمء بههعوُلهتممهلن أهنو إمنخهوُاَنممهلن أهنو بهمنيِ إمنخهوُاَنممهلن أهنو بهمنيِ أههخهوُاَتممهلن أهنو نمهساَئممهلن أهنو هماَ هملههك ن‬
‫ت اَلننهساَمء‬ ‫ظهههرواَ هعلهىى هعنوُهراَ م‬ ‫أهنيِهماَنهههلن أهمو اَللتاَبممعيهن هغنيمر هأومليِ اَ ن ملنربهمة ممهن اَلنرهجاَمل أهمو اَلطننفمل اَللمذيِهن لهنم يِه ن‬
‫ام هجمميععاَ أهيَيِهه اَنلهمنؤممهنوُهن لههعللهكنم‬ ‫ضمرنبهن بمأ هنرهجلممهلن لميهنعلههم هماَ يِهنخمفيهن ممنن مزيِنهتممهلن َّ هوهتوُهبوُاَ إمهلى ل‬‫هوهل يِه ن‬
‫تهنفلمهحوُهن‬

31. Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan
kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak
dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah
menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami
mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-
laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan
mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan
laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum
mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui
perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-
orang yang beriman supaya kamu beruntung.

Tafsir surat al baqarah 235 tafsir ibnu katsir


{‫}يول مجيناَيح يعلينيمكنم‬
Dan tidak ada dosa bagi kalian. (Al-Baqarah: 235)
Yakni untuk melamar wanita-wanita yang ditinggal mati oleh suami mereka dalam idahnya
secara sindiran (tidak terang-terangan).
As-Sauri, Syu'bah,dan Ibnu Jarir serta lain-lainnya meriwayatkan dari Mansur, dari Mujahid, dari
Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: Tidak ada dosa bagi kalian meminang wanita-
wanita itu dengan sindiran. (Al-Baqarah: 235) Yang dimaksud dengan istilah ta'rid atau sindiran
ialah bila seorang lelaki mengatakan, "Sesungguhnya aku ingin kawin, dan sesungguhnya aku
ingin mengawini seorang wanita yang anu dan anu sifatnya," dengan kata-kata yang telah
dikenal. Menurut suatu riwayat, contoh kata-kata sindiran lamaran ialah seperti, "Aku ingin bila
Allah memberiku rezeki (mengawinkan aku) dengan seorang wanita," atau kalimat yang
bermakna; yang penting tidak boleh menyebutkan pinangan secara tegas kepadanya. Menurut
riwayat yang lain ialah, "Sesungguhnya aku tidak ingin kawin dengan seorang wanita selainmu,
insya Allah." Atau "Sesungguhnya aku berharap dapat menemukan seorang wanita yang saleh."
Akan tetapi, seseorang tidak boleh menegaskan lamarannya kepada dia selagi dia masih dalam
idahnya.
Imam Bukhari meriwayatkan secara ta'liq. Untuk itu ia mengatakan, telah menceritakan
kepadanya Talq ibnu Ganam, dari Zaidah, dari Mansur, dari Mujahid, dari Ibnu Abbas
sehubungan dengan firman-Nya: Dan tidak ada dosa bagi kalian meminang wanita-wanita itu
dengan sindiran. (Al-Baqarah: 235) Yang dimaksud dengan sindiran ialah bila seseorang lelaki
mengatakan, "Sesungguhnya aku ingin kawin. Sesungguhnya wanita benar-benar merupakan
hajatku. Aku berharap semoga dimudahkan untuk mendapat wanita yang saleh."
Hal yang sama dikatakan oleh Mujahid, Tawus, Ikrimah, Sa'id ibnu Jubair, Ibrahim An-Nakha'i,
Asy-Sya'bi, Al-Hasan, Qatadah, Az-Zuhri, Yazid ibnu Qasit, Muqatil ibnu Hayyan, dan Al-Qasim
ibnu Muhammad serta sejumlah ulama Salaf dan para imam sehubungan dengan masalah ta'rid
atau sindiran ini. Mereka mengatakan, boleh melakukan pinangan secara sindiran kepada wanita
yang ditinggal mati oleh suaminya.
Hal yang sama berlaku pula terhadap wanita yang ditalak bain, yakni boleh melamarnya dengan
kata-kata sindiran, seperti yang telah dikatakan oleh Nabi Saw. kepada Fatimah binti Qais ketika
diceraikan oleh suaminya Abu Amr ibnu Hafs dalam talak yang ketiga. Nabi Saw. terlebih dahulu
memerintahkan Fatimah binti Qais untuk melakukan idahnya di dalam rumah Ibnu Ummi
Maktum, lalu bersabda kepadanya:
‫ب يعلينييهاَ أم ي‬
"‫ُ فيزيوجهاَ إتنياَمه‬،‫ساَيمةي نبين يزنيضد يمنويلمه‬ ‫ فيلينماَ حلننت يخطي ي‬."‫فيإ تيذا يحلينلت يفآَتذتنيتني‬
Apabila kamu telah halal (boleh nikah), maka beri tahulah aku. Ketika masa idah Fatimah binti
Qais telah habis, maka ia dilamar oleh Usamah ibnu Zaid (pelayan Nabi Saw.), lalu Nabi Saw.
mengawinkan Fatimah binti Qais dengan Usamah.
Wanita yang diceraikan, tidak ada perselisihan pendapat di kalangan ulama, bahwa tidak boleh
bagi selain suaminya melakukan lamaran secara terang-terangan, tidak boleh pula secara
sindiran.
********************
Firman Allah Swt.:
‫}أينو أينكنيننتمنم تفي أيننفم ت‬
{‫سمكنم‬
atau kalian menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hati kalian. (Al-Baqarah:
235)
Yakni kalian memendam keinginan untuk melamar mereka menjadi istri kalian. Perihalnya sama
dengan makna firman-Nya:
‫يويرضبيك يينعليمم يماَ تمتكضن م‬
‫صمدومرمهنم يوماَ يمنعلتمنوين‬
Dan Tuhanmu mengetahui apa yang disembunyikan (dalam) dada mereka dan apa yang mereka
nyatakan. (Al-Qashash: 69)
‫يوأييناَ أينعليمم تبماَ أينخفينيتمنم يوماَ أينعليننتمنم‬
Aku lebih mengetahui apa yang kalian sembunyikan dan apa yang kalian nyatakan. (Al-
Mumtahanah: 1)
Karena itulah maka Allah Swt. berfirman dalam ayat selanjutnya:
{‫ستينذمكمرونيمهنن‬
‫ام أيننمكنم ي‬
‫}يعلتيم ن‬
Allah mengetahui bahwa kalian akan menyebut-nyebut mereka. (Al-Baqarah: 235)
Yakni di dalam hati kalian. Maka Allah menghapus dosa dari kalian karena hal tersebut.
Kemudian Allah Swt. berfirman:
‫}يوليتكنن يل تميواتعمدومهنن ت‬
{‫س يلرا‬
tetapi janganlah kalian mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia. (Al-Baqarah:
235)
Menurut Abu Mijlaz, Abu Sya'sa Jabir ibnu Zaid, Al-Hasan Al-Basri, Ibrahim An-Nakha'i,
Qatadah, Ad-Dahhak, Ar-Rabi ibnu Anas, Sulai-man At-Taimi, Muqatil ibnu Hayyan, dan As-
Saddi, makna yang dimaksud ialah zina. Dan ini adalah makna riwayat Al-Aufa dari Ibnu Abbas,
dan Ibnu Jarir telah memilihnya;
Ali ibnu Abu Talhah mengatakan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: Tetapi
janganlah kalian mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia. (Al-Baqarah: 235)
Yakni janganlah kamu katakan kepadanya, "Sesungguhnya aku cinta kepadamu. Berjanjilah
kamu bahwa kamu tidak akan kawin dengan lelaki selainku," atau kalimat-kalimat lain yang
semisal.
Hal yang sama diriwayatkan pula dari Sa'id ibnu Jubair, Asy-Sya'bi, Ikrimah, Abud Duha, Ad-
Dahhak, Az-Zuhri, Mujahid, dan As-Sauri, yaitu bila si lelaki mengambil janji darinya agar dia
tidak kawin dengan orang lain selain dirinya.
Diriwayatkan dari Mujahid, bahwa yang dimaksud dengan janji rahasia ialah ucapan seorang
lelaki kepada wanita yang bersangkutan, "Janganlah engkau biarkan dirimu terlepas dariku,
karena sesungguhnya aku akan mengawinimu."
Qatadah mengatakan, yang dimaksud ialah bila seorang lelaki mengambil janji dari seorang
wanita yang masih berada dalam idah-nya, yang isinya mengatakan, "Janganlah kamu kawin
dengan selainku nanti."
Maka Allah melarang hal tersebut dan melakukannya, tetapi dia menghalalkan lamaran dan
ucapan secara makruf.
Ibnu Zaid mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Tetapi janganlah kalian
mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia. (Al-Baqarah: 235) Yakni bila si lelaki
mengawininya secara rahasia, sedangkan dia masih berada dalam idah. Lalu sesudah si wanita
halal untuk kawin, barulah si lelaki itu mengumumkannya.
Akan tetapi, barangkali makna ayat tersebut lebih menyeluruh daripada semuanya itu. Karena
itulah disebutkan dalam firman selanjutnya:
{َ‫}تإل أينن تيمقوملوا قينول يمنعمرولفا‬
kecuali sekadar mengucapkan (kepada mereka) perkataan yang makruf. (Al-Baqarah: 235)
Menurut Ibnu Abbas, Mujahid, Sa'id ibnu Jubair, As-Saddi, As-Sauri, dan Ibnu Zaid, makna yang
dimaksud ialah apa yang sebelumnya diperbolehkan, yaitu melakukan lamaran secara sindiran,
seperti ucapan, "Sesungguhnya aku berhasrat kepadamu," atau kalimat-kalimat lain yang
semisal.
Muhammad ibnu Sirin mengatakan bahwa ia pernah bertanya kepada Ubaidah tentang makna
firman-Nya: kecuali sekadar mengucapkan (kepada mereka) perkataan yang makruf. (Al-
Baqarah: 235) Yaitu bila si lelaki berkata kepada wali si wanita, "Janganlah engkau
mendahulukan orang lain daripada aku untuk memperolehnya," yakni aku mau mengawininya,
beri tahukanlah aku lebih dahulu. Demikianlah menurut apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Abu
Hatim.
*******************
Firman Allah Swt.:
{‫ب أييجليمه‬
‫ح يحنتىَ يينبلميغ انلتكيتاَ م‬
‫}يول تينعتزمموا معنقيدةي الننيكاَ ت‬
Dan janganlah kalian ber-'azam (bertetap hati) untuk berakad nikah sebelum habis idahnya. (Al-
Baqarah: 235)
Yang dimaksud dengan Al-Kitab ialah idah, yakni janganlah kalian melakukan akad nikah
dengannya sebelum masa idahnya habis.
Ibnu Abbas, Mujahid, Asy-Sya'bi, Qatadah, Ar-Rabi' ibnu Anas, Abu Malik, Zaid ibnu Aslam,
Muqatil ibnu Hayyan, Az-Zuhri, Ata Al-Khurrasani, As-Saddi, As-Sauri, dan Ad-Dahhak
mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: sebelum habis masa idahnya. (Al-Baqarah:
235) Yakni janganlah kalian melakukan akad nikah sebelum idahnya habis.
Para ulama sepakat bahwa tidak sah melakukan akad nikah dalam masa idah. Tetapi mereka
berselisih pendapat mengenai masalah seorang lelaki yang mengawini seorang wanita dalam
idahnya, lalu si lelaki menggaulinya, kemudian keduanya dipisahkan. Maka apakah wanita
tersebut haram bagi lelaki yang bersangkutan untuk selama-lamanya? Sehubungan dengan
masalah ini ada dua pendapat di kalangan para ulama.
Jumhur ulama berpendapat bahwa si wanita tidak haram baginya, melainkan pihak lelaki boleh
melamarnya kembali bila idah si wanita telah habis.
Imam Malik berpendapat bahwa si wanita haram bagi pihak lelaki untuk selama-lamanya. Ia
mengatakan demikian berdalilkan sebuah asar yang diriwayatkan dari Ibnu Syihab dan Sulaiman
ibnu Yasar yang menceritakan bahwa Khalifah Umar r.a. pernah mengatakan, 'Wanita mana pun
yang melakukan perkawinan di dalam idahnya, jika suami yang kawin dengannya belum
menggaulinya, maka keduanya dipisahkan, lalu si wanita melakukan sisa idah dari suaminya
pertama, sedangkan si lelaki dianggap sebagai salah seorang pelamarnya. Akan tetapi, jika
suaminya yang baru ini telah menggaulinya, maka keduanya dipisahkan, lalu si wanita menjalani
sisa idah dari suami pertamanya, setelah itu ia harus melakukan idah lagi dari suaminya yang
kedua. Setelah selesai, maka si wanita haram bagi lelaki tersebut untuk selama-lamanya."
Mereka mengatakan, diputuskan demikian mengingat ketika si suami mempercepat masa
tangguh yang telah ditetapkan oleh Allah, maka ia dihukum dengan hal yang kebalikan dari
niatnya, untuk itu si wanita diharamkan atas dirinya untuk selama-lamanya. Perihalnya sama
dengan seorang pembunuh yang diharamkan dari hak mewaris (harta peninggalan si terbunuh).
Imam Syafii meriwayatkan asar ini dari Imam Malik. Imam Baihaqi mengatakan bahwa
kemudian Imam Syafii di dalam qaul jadid-nya merevisi pendapat yang telah ia katakan dalam
qaul qadim-nya.. Karena ada pendapat yang mengatakan bahwa si wanita halal bagi lelaki
tersebut. Menurut hemat saya, kemudian asar ini hanya sampai pada Ibnu Umar. As-Sauri telah
meriwayatkan dari Asy'as, dari Asy-Sya'bi, dari Masruq, bahwa Khalifah Umar r.a. menarik
kembali keputusannya itu, lalu menjadikan bagi pihak wanita maskawinnya, kemudian
menjadikan keduanya dapat bersatu lagi.
*******************
Firman Allah Swt.:
‫اي يينعليمم يماَ تفي أيننفم ت‬
{‫سمكنم يفاَنحيذمرومه‬ ‫}يوانعليمموا أينن ن‬
Dan ketahuilah bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada dalam hati kalian; maka takutlah
kepada-Nya. (Al-Baqarah: 235)
Allah memperingatkan mereka tentang apa yang ada di dalam hati mereka menyangkut masalah
wanita, dan memberikan bimbingan kepada mereka agar menyembunyikan niat yang baik dan
menjauhi keburukan. Kemudian Allah tidak membuat mereka berputus asa dari rahmat-Nya dan
ampunan-Nya, untuk itulah maka Allah Swt. berfirman dalam ayat selanjutnya:
‫}يوانعليمموا أينن ن‬
{‫اي يغمفورر يحتليرم‬
Dan ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun. (Al-Baqarah: 235)

Hukum yang terkandung dalam Surah Al-Baqarah 235


Tidak ada kesempitan serta tidak dosa bagi seseorang yang memberi sindiran atau isyarat
kepada seorang perempuan yang sedang manjalani masa iddah dengan maksud ingin
mengawininya.1[3] Dalam ayat ini Allah menuntun setiap muslim supaya dapat menahan luapan

1
syahwatnya. Jika ia menginginkan wanita yang sedang menjalani iddah, ia boleh meminangnya
secara tidak terang-terangan , yakni dengan kata-kata sindiran yang baik.
Ini merupakan hukum bagi wanita-wanita yang dalam iddah, baik karena kematian suami
atau perceraian talak ketiga dalam kehidupan, yaitu diharamkan bagi selain suami yang telah
mentalak tiga untuk menyatakan secara jelas keinginannya untuk meminangnya, itulah yang

dimaksudkan dalam ayat, [ ًّ‫]ووُلَسكس س سسن لن تهسوواًّسعس س سهدوُههنن سسس س سرا‬ “dalam pada itu janganlah kamu

mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia”.


Adapun sindiran Allah Ta’ala telah meniadakan dosa padanya. Perbedaan antara kedua hal
itu adalah bahwa pengakuan yang jelas tidaklah mengandung makna kecuali pernikahan, oleh
karena itu diharamkan, karena dikhawatirkan wanita itu mempercepat dan membuat kebohongan
tentang selesainya masa iddahnya karena dorongan keinginan menikah. Disini terdapat indikasi
tentang dilarangnya sarana-sarana (yang mengantarkan) kepada hal yang diharamkan, dan
menunaikan hak untuk suami pertama adalah dengan tidak mengadakan perjanjian dengan selain
dirinya selama masa iddahnya.
Ta’aridh(sindiran) ialah perkataan pada wanita” Aku ingin kawin dan aku ingin wanita
yang sifatnya seperti ini”. Atau kalimat “ semoga Allah menjodohan aku dengan wanita yang
baik dan salehah.2[4]
Demikian pula terhadap wanita yang ditalak tiga, yakni boleh melamarnya dengan
menggunakan sindiran. Adapun wanita yang ditalak raj’i (yang masih dapat kembali keapda
suaminya) tidak boleh dipinang sebelum selesai iddahnya, walaupun dengan sindiran.
Demikian pula Allah memberikan kemurahan kepada kalian mengungkapkan perasaan
yang terpendam, dalam hati kalian terhadap diri mereka. Allah memahami bahwa kalian tidak
akan membendung perasaan semacam ini, sebab cepat atau lambat kalia pasti akan
mengatakannya. Untuk itulah Allah berfirman

‫وعلسوم اًّلَلنهه أونهكذم وستوذذهكهروُنوسههنن‬


Allah mengetahui apa yang kalian simpan didalam hati kalian, dan kalian merasa berat
menyimpannya untuk tidak mengatakannya. Oleh karena itu, ia memberi kemurahan kepada
kalian untuk mengungkapkannya, tetapi tidak dengan cara terang-terangan. Dan janganlah kalian

2
menyimpang dari garis-garis kemurahan yang telah Allah berikan kepada kalian dalam masalah
ini.3[5]
Para ulama sepakat, bahwa tidak sah nikah (akad) yang dilakukan dimasa iddah , hingga
selesai masa iddahnya.tetapi para ulama berselisih pendapat mengenai wanita yang dinikahi
hingga ia disetubuhi, apakah suami istri itu harus dipisahkan? Kemudian apakah boleh kembali
mengawininya atau tidak?
Jumhur ulama berpendapat, bahwa setelah keduanya dipisahkan, maka si suami boleh
meminang dan mengawininya setelah selesai iddahnya. Sedangkan Imam Malik berpendapat,
sesudah keduannya dipisahkan tetap haram buat selamanya. Sebab, ia telah melanggar dengan
masa yang ditentukan Allah, sehingga ia dihukum dengan hal yang berlawanan dengan
keinginannya, sama dengan pembunuh ang tidak bisa menerima waris dari si terbunuh.
Karena itu, Allah menutup ayat ini dengan peringata “Dan ketahuilah, bahwasanya Allah
mengetahui apa yang ada didalam hati kalian, Maka takutlah kepada-Nya.
Tetapi disamping itu Allah Maha Pengampun bagi hamba-Nya yang bertaubat setelah terlanjur
berbuat pelanggaran dan Allah itu sabar, tidak keburu menyiksa orang yang berbuat pelanggaran
bukan siksa Nya ditangguhkan kalau-kalau dia meminta ampun.4[6] 5[6] Tafsir Ibnu Katsier jilid I, 469

Anda mungkin juga menyukai