Anda di halaman 1dari 22

PENDAHULUAN

Prosedur bedah otorinolaringologi akan menantang kreativitas dan keterampilan


terbaik dari seorang anestesiologis. Secara rutin, anestesiologis akan menggunakan
sungkup anestesi, ventilasi spontan atau jet-insuflasi, tekniki hipotensi terkontrol, dan
ekstubasi pada tingkat anestesi yang dalam. Sebagian besar kasus ini akan dilakukan
dengan sedikit atau tanpa relaksasi otot. Selain itu, dalam lingkungan bedah
kontemporer, sebagian besar kasus-kasus ini akan dilakukan dalam kondisi rawat jalan.
Hal ini menciptakan tantangan tersendiri di bidang analgesia dan pencegahan mual dan
muntah paska operasi (PONV). Populasi pasien akan bervariasi dari neonatus hingga
lansia, dengan jumlah kasus pediatrik yang signifikan. Sebagai fitur unik dari
subspesialisasi ini, anestesiologis akan bekerja dengan rekan dokter yang memiliki
pemahaman yang baik terhadap jalan napas. Ini tidak seperti kebanyakan pengalaman
bedah lainnya. Sifat rumit dari prosedur ini menuntut kerjasama yang baik antara dua
spesialisasi ini. (Ragan, 2018)
Meskipun operasi otologi meliputi berbagai prosedur dari miringotomi sederhana
dengan penempatan tabung sampai dengan reseksi tumor mastoid radikal, banyak
pertimbangan bedah dan anestesi untuk prosedur ini bersifat universal pada semua
spektrum prevalensi dan keparahan penyakit. Otorinolaringologis berpengalaman tahu
bahwa hasil pembedahan otologi yang optimal akan tercapai jika telah ada komunikasi
yang jelas dan menyeluruh dengan anestesiologis, serta persiapan pra operasi yang tepat
sebelum pasien mencapai ruang operasi. Untuk kasus otologi ada persyaratan untuk
menghindari agen anestesi tertentu (seperti nitrous oxide) dan perawatan dalam posisi
pasien. Selain itu, strategi untuk mengurangi insiden mual dan muntah paska operasi
(PONV), meminimalkan perdarahan selama pembedahan, dan mencegah gerakan tanpa
adanya relaksan otot juga harus dipertimbangkan. Seperti prosedur otolaringologi
lainnya, komunikasi yang efektif dan perencanaan pada bagian ahli bedah dan anestesi
memastikan operasi yang aman dan sukses. (Ragan, 2018; Gooden dan Chandrasekhar,
2013)
Operasi otologi yang umum dilakukan antara lain miringoplasti, timpanoplasti
dengan atau tanpa ossiculoplasti, stapedektomi atau stapedotomi, eksplorasi telinga
tengah, perbaikan fistula perilimfa, labirintotomi kimia, kanalplasti, mastoidektomi, dan
implantasi alat bantu dengar, seperti osseointegrated cochlear conduct device (Baha ™
dan Pontopro ™) maupun implantasi koklea. (Gooden dan Chandrasekhar, 2013)
ANESTESIA PADA BEDAH TELINGA
Secara umum, prosedur otologi merupakan operasi elektif yang dilakukan
pada struktur telinga luar dan telinga yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas
hidup pasien melalui perbaikan pendengaran, menghilangkan infeksi atau
memperbaiki defek kosmetik, dengan predominasi usia 18-65 tahun. Diagnosis
umum preoperative untuk operasi otologi melingkupi otitis media kronis (OMK),
kolesteatoma, deformitas telinga congenital, tuli konduktif, neoplasma atau
trauma. (Gooden dan Chandrasekhar, 2013; Nekhendzy, 2013)
Operasi telinga dapat dibagi menjadi 2 kategori luas, yaitu otologi dan
neurotologi. Selama beberapa dekade terakhir, luaran dari operasi otologi dan
neurotologi telah jauh membaik karena peningkatan dari teknologi seperti adanya
mikroskop magnifikasi tinggi, penggunaan instrumen dengan kemampuan irigasi
dan penghisap, operasi dengan instrumentasi endoskopik, serta perkembangan
pemantauan fisiologi intraoperatif. (Nekhendzy, 2013)

Bedah Otologi Bedah Neurotologi


Kanal auditori eksternal Tulang temporal
Reseksi eksostosis Reseksi terbatas dan radikal
Rekonstruksi kanal telinga (kanaloplasti)
Telinga Tengah Saraf cranial, basis kranii, fossa
Miringotomi/Miringopl asti cranial
Timpanoplasti Perbaikan fungsi saraf fasial
Mastoidektomi/Timpanomastoidektomi Tumor glomus
Operasi stapes Neuroma akustik
Rekonstruksi rantai osikular Operasi defek dural
Telinga Dalam Perbaikan pendengaran
Labirintektomi Bone-anchored hearing aids (BAHA)
Kantung endolimfatik Implan koklear
Implan auditori batang otak
Anesthesia for Otolaryngologic Surgery, ed. Basem Abdelmalak and D. John
Doyle. Published by Cambridge University Press. © Cambridge University Press
2013.
Pada tinjauan ini akan dibahas prinsip fundamental dan detil manajemen
anestesi pada pasien dewasa yang akan menjalani operasi otology dan neurotologi.
Pengetahuan mengenai prinsip-prinsip ini akan membantu dalam tatalaksana
pasien tersebut dan dapat mempengaruhi luaran dari pasien tersebut.

ANATOMI

Telinga merupakan sebuah organ yang mampu mendeteksi atau mengenal


suara serta berperan dalam keseimbangan dan posisi tubuh. Telinga dibagi atas
telinga luar, telinga tengah dan telinga dalam.

Telinga luar dan Membran Timpani


Gangguan pada kanal telinga dan membran timpani melibatkan proses yang
mengganggu resepsi dan transmisi suara dari sumber luar ke telinga tengah.
Umumnya kasus-kasus ini ditangani dengan bius umum, namun beberapa kasus
dapat ditangani dengan bius lokal dan sedasi. Setelah induksi dan jalan napas
diamankan, kepala pasien akan ditelengkan ke samping agar area telinga yang
akan dioperasi dapat diakses dengan jelas. Tidak semua operasi telinga
berlangsung lama, beberapa klinisi menggunakan alat supraglotik (LMA), namun
jalan napas endotrakeal masih menjadi pilihan utama. Pada kanaloplasti,
penggunaan N2O diperbolehkan, namun tidak didukung. Pada timpanoplasti,
penggunaan N2O sebaiknya dihindari untuk mencegah ekspansi dan dislokasi
cangkok bedah. (Ragan, 2018; Butterworth et al, 2013)

Gambar 1. Komponen telinga luar dan tengah

Telinga Tengah dan Mastoid


Gangguan pada telinga tengah bermanifestasi sebagai gangguan
pendengaran akibat masalah pada konduksi, umumnya disebabkan oleh infeksi
atau inflamasi (Ragan, 2018; Doyle, 2015).
Tuba Eustachius, adalah saluran yang menghubungkan rongga di belakang
hidung (nasofaring) dengan telinga tengah (kavum timpani), berfungsi untuk
menyeimbangkan tekanan udara telinga tengah dengan tekanan udara luar
(tekanan udara atmosfer). Disfungsi struktur ini merupakan penyebab utama
terjadinya radang telinga tengah ini (otitis media, OM). Pada keadaan normal,
muara tuba Eustachius berada dalam keadaan tertutup dan akan membuka bila kita
menelan. Pada anak, fungsi tuba belum sempurna dan pendek, penampang relatif
besar, dan posisi tuba datar sehingga infeksi saluran nafas atas pada anak lebih
mudah menjalar ke telinga tengah dan lebih sering menimbulkan OM daripada
dewasa.
Pada anak, otitis media dapat mengakibatkan efusi telinga tengah diikuti
kehilangan pendengaran dan mungkin memerlukan prosedur berulang untuk
drainase cairan dan penempatan saluran untuk ventilasi telinga tengah. Infeksi
kronis dapat mengakibatkan perforasi membran timpani dan kerusakan osikel
telinga tengah, terjadinya kolesteatoma dapat merusak tulang, menyebar ke
kavitas mastoid, telinga dalam, sinus lateral, selaput otak, dan otak. Paralisis
nervus fasial dan penyebaran intracranial jarang terjadi, namun di masa lalu, hal
ini merupakan penyebab utama morbiditas setelah infeksi telinga kronis.
Miringoplasti merupakan prosedur penutupan perforasi persisten pada membrane
timpani menggunakan cangkok jaringan dari otot dan fasia temporal.
Timpanoplasti merupakan prosedur penutupan membran timpani yang lebih luas
disertai rekonstruksi kerusakan rantai osikular. Stapedektomi meliputi
pembuangan tulang stapes yang rusak dan menyebabkan kehilangan pendengaran
konduktif yang digantikan implant prostetik. (Nekhendzy, 2013; Doyle, 2015)
Prosedur Mastoidektomi dikategorikan menjadi dua yaitu Canal Wall Up
dan Canal Wall Down. Operasi Canal Wall Up melingkupi simple mastoidectomy/
sederhana, dan complete mastoidectomy/ lengkap. Prosedur ini bertujuan untuk
mengevakuasi penyakit pada rongga mastoid. Operasi Canal Wall Down meliputi
radical mastoidectomy, modified radical mastoidectomy, dan bondy modified
radical mastoidectomy. Prosedur ini bertujuan mengeradikasi seluruh penyakit di
mastoid dan telinga tengah. Rongga mastoid, telinga tengah, dan liang telinga luar
digabungkan menjadi satu ruangan sehingga memudahkan drainase. Pada
mastoidektomi radikal, saluran telinga posterior dan superior, serta membran
timpani, maleus, dan inkus diangkat. Untuk kasus-kasus yang akan dilakukan
perbaikan fungsi pendengaran akan dilanjutkan dengan timpanoplasti (Doyle,
2015)

Telinga Dalam
Prosedur telinga dalam meliputi intervensi bedah kompleks pada koklea,
kantung endolimfe, dan labirin. Implan koklea digunakan untuk tuli sensorineural
(SNHL), dan saat ini banyak digunakan pada anak-anak.Pasien dengan gangguan
labirin atau kantung endolimfe seperti penyakit meniere dapat mengalami vertigo
berat dan gangguan pendengaran. Semua prosedur telinga berisiko menyebabkan
kejadian mual muntah perioperatif, namun pada prosedur telinga dalam, hal ini
terjadi lebih berat dan umumnya sulit ditangani. (Nekhendzy, 2013; Doyle, 2015)

Tampilan aksial kepala melewati level kanal auditori eksternal dan cerebellopontine angle. 5,
nervus Trigeminal; 7, nervus fasial; 8, nervus audiovestibular; PA, petrous apex; IAC, internal
auditory canal; CO, cochlea; GG, geniculate ganglion nervus fasial; ME, middle ear; EAC,
external auditory canal; M, mastoid air cell system; SCC, semicircular canals; CPA,
cerebellopontine angle; SS, sigmoid sinus; 4V, fourth ventricle; Cl, clivus; P, pons; Cb, cerebellum
(Nekhendzy, 2013).

PERTIMBANGAN UMUM DAN TUJUAN ANESTESI

Mikroanatomi yang padat dan kompleks dari telinga tengah dan tulang
temporal menunjukkan rapuhnya struktur tersebut dan menyebabkan prosedur
operasi dan pembiusan berlangsung lama. Kebutuhan utama untuk operasi otology
yang detil adalah lapangan operasi yang kering dan bersih, pasien tidak bergerak,
dan preservasi fungsi saraf fasial/cranial, serta fase pulih sadar dari pembiusan
yang tenang. Menjaga lapang operasi tetap bersih sangat penting pada mayoritas
kasus, karena bahkan noda darah sedikit pun dapat menimbulkan efek signifikan
pada pajanan intraoperatif. Selain menggunakan teknik hipotensi terkontrol dari
ahli anestesi, campuran obat anestesi lokal yang mengandung epinefrin (lidokain
1% dengan epinefrin 1:100.000) umumnya digunakan oleh operator untuk
membantu hemostasis dan memfasilitasi area operasi yang tenang. Ahli anestesi
harus tetap waspada dengan respon hemodinamik pasien. Fase pulih sadar dari
anestesi tanpa batuk penting pada operasi rekonstruksi telinga tengah dan dalam.
Pencegahan valsava terkait kejadian mual muntah paska operasi (PONV) juga
sama pentingnya, sehingga profilaksisnya harus dirutinkan (Ragan, 2018; Gooden
dan Chandrasekhar, 2013; Nekhendzy, 2013)

Tabel 1. Perkiraan durasi prosedur operasi pada telinga


PERTIMBANGAN PRAOPERASI

Pembedahan telinga secara umum merupakan pembedahan elektif dan


berfokus pada perbaikan kualitas hidup sehingga sangat penting bagi seorang
anestesiologis untuk mengevaluasi dan mengoptimalkan kondisi preoperatif
pasien sebaik mungkin.
Tantangan utama seorang anestesiologis dalam memberikan pelayanan
anestesi pada pasien bedah telinga adalah ekspektasi pasien. Ekspektasi pasien
pada pembedahan telinga antara lain prosedur yang aman, perbaikan fungsi
pendengaran, telinga yang kering tanpa ada perforasi membran timpani, dan
hilangnya keluhan vertigo maupun pusing. (Gooden dan Chandrasekhar, 2013;
Nekhendzy, 2013)
Manajemen preoperatif untuk pasien yang akan menjalani pembedahan
telinga tidak jauh berbeda dengan penilaian preoperatif pasien pada umumnya.
Beberapa menyebutkan bahwa perlu adanya penilaian khusus secara individual
pada pasien yang akan menjalani pembedahan telinga tengah. Seorang
anestesiologis harus mampu mengidentifikasi apakah pasien mengalami gangguan
pendengaran atau menggunakan alat bantu dengar, sebab hal ini akan menyulitkan
komunikasi pasien-dokter. Pada kondisi ini sebaiknya pasien diijinkan untuk
menggunakan alat bantu dengarnya selama mungkin, tetapi harus dilepas sebelum
induksi anestesi untuk mencegah cedera akibat tekanan yang didapatkan pada
telinga luar selama operasi. Alat bantu dengar ini bisa dipasang kembali sebelum
kondisi pulih sadar untuk membantu mengurangi kecemasan dan memfasilitasi
komunikasi yang lebih baik. Manifestasi klinis yang umum terjadi pada pasien
dengan kelainan telinga antara lain gangguan pendengaran, nistagmus, vertigo,
mual dan muntah. Hal ini menyebabkan pasien merasa tidak nyaman menjelang
operasi. (Gooden dan Chandrasekhar, 2013; Nekhendzy, 2013)
Pada pasien dewasa, pembedahan telinga tengah dapat dilakukan baik
dengan menggunakan anestesi lokal maupun umum, meskipun pada beberapa
prosedur yang rumit dengan durasi panjang sebaiknya dilakukan dengan anestesi
umum.
Selama kunjungan preoperasi, dokter anestesi harus mampu menggali
informasi dengan baik seperti mendapatkan data historis tentang motion sickness
atau post operative nausea and vomiting (PONV). Secara keseluruhan, informasi
yang didapatkan selama kunjungan preoperatif sangat menentukan dalam
pengambilan keputusan rencana anestesi dan perlunya premedikasi pada pasien
dengan kondisi klinis tertentu. (Nekhendzy, 2013)
Riwayat penyakit kardiovaskular, serebrovaskuler dan penyakit ginjal
kronis harus digali dengan baik karena akan menjadi pertimbangan perlunya
penggunaan teknik hipotensi kendali selama operasi. (Butterworth et al, 2013)
Sebagian besar pembedahan telinga dilakukan dalam anestesi umum.
Namun demikian, monitored anesthesia care (MAC) dapat dijadikan
pertimbangan untuk tatalaksana anestesi pada operasi stapedektomi. Teknik ini
memberikan kesempatan bagi dokter THT untuk melakukan tes pendengaran
intraoperatif. Seleksi yang ketat perlu dilakukan untuk pasien yang akan menjalani
pembedahan dengan teknik sedasi. (Gooden dan Chandrasekhar, 2013)
Kriteria pasien yang akan menjalani stapedektomi dengan sedasi antara lain:
1. Jalan napas normal, patensi baik dan terjaga
2. Tidak obesitas
3. Tidak ada resiko aspirasi paru dan lambung penuh
4. Tidak ada riwayat klaustropobia atau serangan panic
5. Nyaman / tidak terganggu dengan kebisingan di ruang operasi
6. Memahami dengan baik terkait prosedur sedasi

PERTIMBANGAN INTRA OPERASI

Pertimbangan Umum
Target anestesi pada pembedahan telinga adalah menjaga stabilitas
hemodinamik, menjaga kedalaman anestesi dan mengontrol nyeri dengan baik.
Sebagian besar prosedur bedah pada telinga merupakan microsurgery yang
membutuhkan medan operasi yang sebisa mungkin bersih dari darah, karena
sedikit darah akan mengganggu pandangan operator melalui mikroskop. Beberapa
pembedahan telinga akan membutuhkan tindakan facial nerve monitoring (FNM)
yang membutuhkan pasien dalam kondisi diam dan tenang meskipun tanpa
menggunakan pelumpuh otot. Cedera saraf facialis menjadi perhatian penting
sebab diketahui bahwa insidensi cedera saraf facialis iatrogenik sebesar 0,6% -
3,6%. Posisi pasien juga merupakan hal penting yang harus diperhatikan pada
pembedahan telinga. (Ragan, 2018; Gooden dan Chandrasekhar, 2013)
Pulih sadar yang baik, tanpa perlawanan dan batuk akibat penggunaan pipa
endotrakeal merupakan perhatian khusus dan mendasar pada operasi rekonstruksi
telinga tengah maupun dalam. Mual dan muntah paska operasi juga harus menjadi
perhatian bagi seorang dokter anestesi sebab hal ini dapat memperburuk outcome
pembedahan telinga. (Butterworth et al, 2013; Nekhendzy, 2013)

Nitrous Oxide ( N2O )


N2O lebih larut dibandingkan nitrogen didalam darah, sehingga memiliki
sifat mengisi ruangan yang mengandung udara lebih cepat daripada nitrogen dan
dapat diserap ke aliran darah. Perubahan tekanan pada telinga tengah akibat N2O
biasanya dapat ditoleransi cukup baik karena adanya aliran pasif melalui pipa
eustasius. Pasien dengan masalah telinga kronik (misalnya otitis media atau
sinusitis) memiliki sumbatan di pipa Eustasius dan mungkin akan mengalami
kehilangan pendengaran atau rupture membrane timpani selama anesthesia yang
menggunakan N2O.
Selama prosedur timpanoplasti, telinga tengah akan terbuka dan terjadi
kontak dengan atmosfer, sehingga tidak ada tekanan yang terbentuk. Setelah
pemasangan membrane timpani, telinga tengah menjadi ruang tertutup. Jika N2O
berdifusi ke ruang ini, makan akan terjadi peningkatan tekanan di telinga tengah
yang akan membuat implant rusak dan terlepas, sehingga sebaiknya penggunaan
N2O dihindari selama prosedur timpanoplasti dan dihentikan sebelum
pemasangan implan membrane timpani. Batasan waktu proses washout N2O ini
tergantung dari banyak factor, seperti ventilasi alveolar dan fresh gas flow, akan
tetapi para ahli merekomndasikan waktu 15-30 menit untuk menghentikan
penggunaan N2O sebelum pemasangan implant. (Butterworth et al, 2013)

Hemostasis
Darah dalam jumlah kecil pun dapat menghalangi lapangan operasi. Teknik
untuk mengurangi kehilangan darah pada operasi telinga adalah elevasi ringan
kepala (15°), penggunaan epinefrin (1:100.000 – 1:200.000) topical atau infiltrasi
dan hipotensi terkendali. Oleh karena batuk saat bangun dapat meningkatkan
tekanan vena dan menyebabkan pendarahan, lakukan “ekstubasi dalam”, yaitu
ekstubasi ketika pasien masih dalam keadaan terhipnotis, dapat sangat membantu.
(Butterworth et al, 2013)

Identifikasi Saraf Fasial


Mempertahankan saraf fasial adalah hal yang penting pada beberapa operasi
telinga (misalnya reseksi tumor glomus atau neuroma akustik). Paralisis
intraoperative menggunakan obat pelumpuh otot dapat menganggu interpretasi
stimulasi saraf fasial dan sebaiknya dihindari. (Doyle, 2015; Butterworth et al,
2013; Gooden dan Chandrasekhar, 2013)

Manajemen Anestesi
Hipotensi Terkendali
Tehnik hipotensi pertamakali dikemukakan oleh Cushing pada tahun 1917,
pada operasi intracranial dan dipraktekkan untuk pertamakali oleh Gardnes pada
tahun 1946. Pada tahun 1950, Enderby mengemukakan bahwa perdarahan dapat
dikontrol bukan saja dengan menurunkan MAP tetapi juga dengan cara
memposisikan pasien. Keputusan untuk membuat hipotensi sering menjadi
kontroversi, oleh karena ketidakmampuan untuk mendefinisikan MAP terendah
yang aman dan dapat dipercaya. (Gooden dan Chandrasekhar, 2013; Nekhendzy,
2013)
Terdapat berbagai istilah seperti controlled hypotension, induced
hypotension, deliberated hypotension, hypotensive anaesthesia. Namun umumnya
mempunyai arti prosedur tertentu yang digunakan dengan tujuan untuk
mengurangi perdarahan, sehingga memperbaiki kondisi lapangan operasi dan
menurunkan kebutuhan akan transfusi darah. Teknik ini diindikasikan pada
operasi oromaxillofacial, endoscopic sinus atau middle ear microsurgery, operasi
spinal, dan operasi saraf yang lainnya. Pengurangan tekanan darah sistolik sampai
dengan 80-90 mmHg atau dengan mempertahankan MAP 50-65 mmHg pada
pasien dengan normotensi (Nekhendzy, 2013; Gobind, 2011)

Teknik Hipotensi Kendali


Beberapa hal yang memerlukan perhatian pada tehnik anastesi hipotensi
adalah rani MAP (Mean Arterial Pressure) dapat di manipulasi dengan
mengurangi baik tahanan pembuluh darah sistemik (SVR) atau cardiac output
ataupun keduanya. Menurunkan tahanan pembuluh darah sistemik dengan dilatasi
perifer sementara untuk menurunkan cardiac output dengan menurunkan venous
return, denyut jantung, kontraksi miocardium atau kombinasinya. (Nekhendzy,
2013; Gobind, 2011; Liang dan Irwin, 2010)
Metode untuk mengurangi cardiac output, diantaranya:
1. Mengurangi volume darah dengan arteriotomi
Tehnik ini awalnya diperkenalkan oleh Gardner pada 1946, masalah yang
terjadi pada tehnik ini hilangnya darah secara akut mengurangi hantaran
oksigen pada jaringan karena adanya vasokonstriktor kompensatori dan
menurunnya kadar hemoglobin. Teknik ini sudah tidak digunakan lagi.
2. Dilatasi pembuluh darah menggunakan nitroglycerine untuk mengurangi
preload
3. Menurunkan kontraksi jantung menggunakan agent inhalan atau beta
blocker
4. Menurunkan denyut jantung menggunakan agent inhalan atau beta blocker

Metode untuk mengurangi tahanan pembuluh darah perifer, diantaranya:


1. Blokade dari reseptor alfa adrenergik seperti labetolol, phentolamine
2. Relaksasi dari otot polos pembuluh darah seperti vasodilator yang bekerja
langsung(nitroprusside), calcium channel bolcker, inhalan agent,
purines(adenosin), prostaglandin E1.

Posisi tubuh, efek ventilasi mekanik terhadap hemodinamik, dan perubahan


heart rate serta volume sirkulasi dapat digunakan secara bersama-sama dengan
obat-obatan untuk menurunkan tekanan darah sampai level yang diharapkan.
Dengan penggunaan manuver fisiologis yang sesuai dapat menurunkan dosis obat
yang potensial toksik untuk membuat keadaan hipotensi (Nekhendzy, 2013;
Gobind, 2011; Liang dan Irwin, 2010)

Mekanisme manuver untuk meningkatkan kerja agent hipotensi:


1. Positioning
Posisi pasien penting diperhatikan untuk memastikan keberhasilan dari
teknik anestesi hipotensi. Dengan menempatkan area operasi lebih tinggi
akan memberikan kemudahan drainase vena dari area operasi sehingga
dapat memberikan operasi dengan perdarahan minimal.
2. Tekanan positif pada jalan nafas
Ventilasi bertekanan positif dengan tidal volum yang tinggi, waktu inspirasi
yang panjang dan meningkatnya tekanan akhir positif ekspirasi dapat
mengurangi venous return. Walaupun begitu, peningkatan pada ventilasi
tidal sepertinya juga meningkatkan respiratory dead space pada anestesi
hipotensi dan meningkatkan tekanan intratorakal yang akan mengurangi
cerebral venous outflow demikian meningkatkan aliran darah otak dan
tekanan intrakranial. Manipulasi respirasi untuk meminimalkan venous
return biasanya tidak digunakan selama anestesi hipotensi.
Kontraindikasi Teknik Hipotensi
Kontraindikasi penggunaan tehnik hipotensi anestesi ada 2 macam. Pertama
pada pasien, beberapa kondisi harus dipertimbangkan, yaitu adanya riwayat
serebrovaskuler, gangguan ginjal, hati, klaudikasio perifer yang berat dan pasien-
pasien dengan perfusi organ yang jelek seperti pasien dengan hipovolemia dan
anemia berat. Demikian pula pada pasien dengan hipertensi berat, lama dan tidak
terkontrol. Pada pasien-pasien yang diterapi dengan beta bloker dan diuretic akan
memperberat efek hipotensi. Sedangkan beberapa kondisi yang kontroversial
untuk dilakukan tehnik hipotensi, yaitu pasien dengan aneurisma serebral, infark
miokard atau angina pectoris.Kontraindikasi pada ahli anestesi yaitu, kurangnya
pemahaman akan tehnik ini, ketidakmampuan memonitor pasien secara adekuat.
(Gobind, 2011; Liang dan Irwin, 2010)

Farmakologis
Obat yang ideal untuk tehnik hipotensi adalah yang bersifat : 1). Mudah cara
pemberiannya, 2). Efek berdasarkan dosis yang dapat diprediksi, 3). Onset dan
recovery yang cepat, 4). Eliminasi obat yang cepat tanpa menghasilkan metabolit
yang toksik, 5). Efek minimal terhadap aliran darah ke organ yang vital, dan 6).
Tidak meningkatkan ukuran otak dan tidak mempengaruhi autoregulasi cerebral
selama neurosurgery. (Nekhendzy, 2013; Gobind, 2011; Liang dan Irwin, 2010)
Obat-obatan yang digunakan untuk menghasilkan hipotensi antara lain:
1. Obat anestesi inhalasi (Halothane, Enflurane, Isoflurane dan Sevoflurane).
2. Vasodilator (Nitrogliserin, Hidralazin, Sodium Nitroprusid).

Agen anestesi inhalasi


1. Sevofluran
Pada umumnya digunakan pada anak-anak karena induksi nya yang
cepat, nyaman dan toleransi terhadap jalan nafas lebih baik dibandingkan
inhalasi yang lain. Kombinasi Sevofluran dengan Remifentanil atau
Sufentanil digunakan untuk mengontrol hipotensi pada anak-anak.
Kosentrasi 4% diperlukan untuk mencapai MAP 55 – 65 mmHg.
Studi pada tikus yang mendapat adenosine untuk mengontrol
didapatkan bahwa sevofluran MAC 1,0 menurunkan MAP sebesar 36% dan
berkurangnya SVR 34% pada sirkulasi splancnic, aliran darah portal
meningkat 48% menghasilkan peningkatan portal liver blood hingga 38%
(Butterworth et al, 2013; Gobind, 2011; Liang dan Irwin, 2010)
2. Halothane
Halothane menyebabkan vasodilatasi moderat, dimana terjadi
penurunan tahanan perifer sistemik sebesar 15 – 18%. Hipotensi pada
penggunaan halothane disebabkan karena efek langsung depresi otot
jantung. Halothane sering digunakan pada kosentrasi rendah untuk memulai
anestesi hipotensi. Studi pada tikus yang mendapat adenosine untuk
mengontrol hipotensi didapatkan bahwa halothane 1,0 MAC akan
menurunkan MAP sebesar 38% dan SVR berkurang 47%. Index stroke
volume meningkat hingga 40% dan perubahan ini menghasilkan
peningkatan indeks jantung 35%. Pada splanchic, aliran darah portal dan
hepatic arterial meningkat 90% dan 37% menghasilkan peningkatan total
liver blood flow 76% (Butterworth et al, 2013; Gobind, 2011; Liang dan
Irwin, 2010)
3. Enflurane
Mekanisme dan kerja enflurane hamper sama dengan halothane.
Enflurane mempunyai efek venodilatasi, sehingga pada penggunaan
hipotensi anestesi hanya diperbolehkan menggunakan konsentrasi 0,25–
0,5% (Butterworth et al, 2013; Gobind, 2011; Liang dan Irwin, 2010)
4. Isoflurane
Isoflurane digunakan secara luas untuk menginduksi hipotensi karena
onset kerja cepat, mudah dikontrol dan efek kardiovaskuler cepat pulih
setelah obat dihentikan. Isoflurane memiliki efek minimal terhadap
kontraktilitas otot jantung pada konsentrasi inspirasi yang rendah.
Keuntungannya adalah meningkatkan dosis isoflurane tidak hanya
menghasilkan efek vasodilatasi dan hipotensi, tetapi juga menekan system
syaraf pusat sehingga meminimalkan reflek vasokonstriksi atau takikadi
akibat stimulasi baroreseptor. Isofluran 2% atau MAC 1,54 menghambat
peningkatan aliran darah medulla adrenal, nor epinephrine dan apinephrine
serta penurunan aliran darah organ abdomen sebesar 70% yang diamati pada
MAP 60 mmHg. (Butterworth et al, 2013; Gobind, 2011; Liang dan Irwin,
2010)

Vasodilator
a. Nitroprusside
Keuntungan menggunakan obat ini adalah penurunan tekanan darah
yang cepat seimbang dengan pengembalian tekanan darah yang cepat ke
nilai normal, sehingga mampu menghasilkan hipotensi dalam periode yang
sangat singkat misalnya saat pengangkatan meningioma atau pemotongan
aneurisma serebral. Nitroprusside memberikan distribusi aliran darah
serebral yang lebih homogen akibat efek vasodilatasi langsung ke serebral
dan mempertahankan aliran darah yang adekuat ke organ vital pada MAP di
atas 50 mmHg. Dosis nitroprusside yang direkomendasikan 0,2 – 0,5
mcg/kgBB/mnt dan ditingkatkan secara bertahap sampai level hipotensi
yang diharapkan tercapai, sedangkan dosis maksimal yang dianggap aman
1,5 mcg/kgBB/mnt. (Butterworth et al, 2013; Gobind, 2011; Liang dan
Irwin, 2010)
b. Nicardipine
Nicardipin termasuk golongan antagonis calcium channel
dihydropyridine yang mempunyai potensi vasodilatasi arteri dengan efek
kronotropik dan inotropic negative yang minimal. Nicardipine akan
mempenguhi tonus otot pembuluh darah yang tergantung kalsium.
Pelepasan nicardipine tidak menghasilkan pengembalian ke tekanan darah
baseline sampai obat berdifusi keluar dari reseptor dan terjadi keseimbangan
kalsium intra dan ekstraseluler.Tetapi pengembalian ke tekanan darah yang
lambat justru memberi keuntungan karena proses yang bertahap tanpa
disertai rebound hypertension yang biasa terlihat pada nitroprusside
memberikan lebih banyak waktu untuk pembentukan bekuan darah yang
stabil dan mencegah hilangnya darah yang berlebihan paska operasi.
Nicardipine menghasilkan reflek takikardi yang minimal dibandingkan
nitroprusside. (Butterworth et al, 2013; Gobind, 2011; Liang dan Irwin,
2010)
c. Nitroglycerin
Metabolisme nitroglycerin melibatkan pemecahan trinitrate yang
terjadi di hepar menjadi dimono-nitrate dan terakhir glycerol. Peningkatan
tekanan intracranial yang dihasilkan nitroglycerin lebih besar dibandingkan
nitroprusside. Dosis nitroglycerin dimulai 0,2 – 0,5 mcg/kgBB/mnt dan
ditingkatkan bertahap hingga level hipotensi yang diharapkan tercapai.
nitroglycerin tidak menimbulkan takifilaksis, toksisitas dan rebound
hypertension seperti nitroprusside. (Butterworth et al, 2013; Gobind, 2011;
Liang dan Irwin, 2010)

PERTIMBANGAN PASKA OPERASI

Fase Pulih Sadar


Jika menggunakan teknik anestesi umum, diperlukan level kedalaman
anestesi yang sama hingga akhir prosedur, untuk menumpulkan respon
laringotrakeal pasien dan mencegah batuk dan laringospasme terkait pergerakan
kepala pasien saat pembalutan kepala.
Jika menggunakan intubasi endotrakeal, kondisi pulih sadar yang halus
merupakan tantangan tersendiri. Dari beberapa strategi, ada 3 yang dapat
dipertimbangkan, pertama, pasien dapat diekstubasi dalam, dan jalan napas pasien
ditopang dengan sungkup hingga dapat bernapas spontan dengan baik bangun dari
efek anestesi. Untuk operasi telinga, hal ini bukan merupakan , pilihan yang tepat
karena meningkatnya risiko laringospasme post ekstubasi dan meningkatnya
kebutuhan tatalaksana jalan napas oleh anestesiologis. Penggunaan ventilasi
tekanan positif atau continuous positive airway pressure (CPAP) merupakan
kontraindikasi pada pulih sadar, karena tekanan ditransmisikan melalui tuba
eustachius dan dapat menggeser cangkok membrane timpani atau mengganggu
perbaikan lain. Pendekatan kedua dengan maneuver Bailey yang meliputi insersi
alat bantu jalan napas supraglotik (umumnya LMA) di belakang ETT, mencabut
ETT dalam kondisi pasien masih terbius, diikuti penggunaan topangan ventilasi
supraglotik hingga pasien dapat bernapas spontan normal dan bangun dari bius.
Metode ketiga, farmakologi, pendekatan yang bergantung pada pemakaian
remifentanil dosis rendah untuk menumpulkan respon trakeal dan membantu
ekstubasi yang halus. Remifentanil membantu pemulihan kesadaran yang
terprediksi, cepat dan hampir simultan dengan kembalinya ventilasi spontan serta
reflek jalan napas. Data saat ini menunjukkan bahwa dosis infus rumatan
remifentanil intravena 0.05– 0.06 mg/kg/mnt (target konsentrasi 1.5 ng/ml) saat
pulih sadar cukup efektif, dapat menekan reflek batuk pada mayoritas pasien yang
masih terintubasi saat sadar. Profilaksis antiemetik sebaiknya menjadi rutinitas,
karena insiden PONV paska operasi telinga mencapai 50-80%. Penggunaan TIVA
dan hindari N2O sangat direkomendasikan. Remifentanil dosis rendah dapat
menyebabkan hiperalgesia (0.1–0.3 mg/kg/mnt). Jika dicurigai terjadi toleransi
opiat, pemberian dosis adekuat fentanyl dan/ atau analgesik kerja panjang
(morfin) masih dapat diberikan dengan aman. (Ragan, 2018; Gooden dan
Chandrasekhar, 2013)
Kombinasi obat antiemetik optimal masih menjadi topic penelitian yang
hangat beberapa tahun ini, dan umumnya dicapai dengan pemberian antagonis
5HT-3 intravena (ondansetron iv 4–8 mg) Kombinasi penghambat reseptor 5HT-3
dengan deksametason iv 8–10 mg terlihat aman dan efektif, serta mungkin dapat
memperbaiki luaran pasien. Profilaksis PONV multimodal (tambahan skopolamin
transdermal) digunakan pada pasien risiko tinggi.
Gangguan pada membran timpani oleh N2O [Longnecker, 2018]

Paska Operasi
Di ruang pemulihan, masalah yang umum dijumpai pada pasien paska bedah
telinga antara lain mual, muntah, dan vertigo. Walaupun managemen nyeri selalu
menjadi perhatian di ruang pemulihan, berbeda halnya dengan paska operasi
telinga. Masa nyeri paling berat dirasakan pada saat operasi telinga tengah
berlangsung. Penanganan pasien di ruang pemulihan sebaiknya berdasarkan
kebutuhan masing-masing pasien. Manajemen yang dapat dilakukan meliputi
hidrasi, medikamentosa, elevasi bertahap area kepala dari ranjang, serta kesunyian
agar pasien lebih tenang.
Komplikasi intraoperatif paling umum terjadi meliputi kerusakan nervus
fasial dan/atau defek dural. Pasien yang menjalani stapedektomi diposisikan
secara rutin miring dengan sisi yang dioeperasi di atas untuk membantu
terbentuknya bekuan darah di telinga dalam yang terbuka. Telinga tengah dan
dalam seringkali berhubungan dengan vertigo postoperatif; kombinasi antiemetic
dan supresan vestibular (benzodiazepine) umumnya efektif dalam mengendalikan
gejala yang muncul. (Ragan, 2018; Gooden dan Chandrasekhar, 2013)
Nyeri paska operasi terkait operasi telinga umumnya rendah, dengan
kemungkinan pengecualian mastoidektomi radikal, dimana nyeri bisa terasa
sedang hingga berat. Bolus intermiten fentanil intravena dikombinasikan dengan
analgesia oral standar umumnya cukup untuk kontrol nyeri dan pemulangan
pasien. Regime analgesi multimodal, yang menggabungkan penggunaan
perioperatif COX 2 dan salah satu (asetaminofen atau ibuprofen) dapat lebih
lanjut menurunkan nyeri paska operasi, memperbaiki kualitas hidup dan
meningkatkan kepuasan pemulihan pasien. (Gooden dan Chandrasekhar, 2013)
DAFTAR PUSTAKA

Butterworth JF, Mackey DC dan Wasnick JD, 2013, Morgan & Mikhail’s Clinical
Anesthesiology, Edisi ke-5, McGraw-Hill Education, New York

Doyle DJ, 2015, ‘Anesthesia ear, nose and throat surgery’, dalam Miller RD (ed.),
Miller’s Anesthesia, Edisi ke -8, Elsevier Saunders, Philadelphia

Gobind R, 2011, ‘Controlled hypotensive anesthesia’, Departement of Anaesthetics,


University of Kwazulu-Natal.

Gooden CK dan Chandrasekhar SS, 2013, ‘Otologic surgery’, dalam Levine AI,
Govindaraj S dan DeMaria S (eds.), Anesthesiology and Otolaryngology, Springer
Science Business Media, New York

Liang S dan Irwin MG, 2010, ‘Review of anesthesia for middle ear surgery’, Journal of
Clinical Anesthesiology, Vol 28, Pp 519-28

Nekhendzy V, 2013, ‘Anesthesia for otologic and neurootologic surgery’, dalam


Abdelmalak B dan Doyle DJ (eds.), Anesthesia for Otolaryngologic Surgery,
Cambridge University Press, New York

Ragan B, 2018, ‘Anesthesia for otorhynolaryngologic surgery’, dalam Longnecker DE,


Mackey SC, Newman MF, Sandberg W dan Zapol W (eds.), Anesthesiology, Edisi
ke-3, McGraw-Hill Medical, Philadelphia

Anda mungkin juga menyukai