PPT Tiroid
PPT Tiroid
ANATOMI
Telinga Dalam
Prosedur telinga dalam meliputi intervensi bedah kompleks pada koklea,
kantung endolimfe, dan labirin. Implan koklea digunakan untuk tuli sensorineural
(SNHL), dan saat ini banyak digunakan pada anak-anak.Pasien dengan gangguan
labirin atau kantung endolimfe seperti penyakit meniere dapat mengalami vertigo
berat dan gangguan pendengaran. Semua prosedur telinga berisiko menyebabkan
kejadian mual muntah perioperatif, namun pada prosedur telinga dalam, hal ini
terjadi lebih berat dan umumnya sulit ditangani. (Nekhendzy, 2013; Doyle, 2015)
Tampilan aksial kepala melewati level kanal auditori eksternal dan cerebellopontine angle. 5,
nervus Trigeminal; 7, nervus fasial; 8, nervus audiovestibular; PA, petrous apex; IAC, internal
auditory canal; CO, cochlea; GG, geniculate ganglion nervus fasial; ME, middle ear; EAC,
external auditory canal; M, mastoid air cell system; SCC, semicircular canals; CPA,
cerebellopontine angle; SS, sigmoid sinus; 4V, fourth ventricle; Cl, clivus; P, pons; Cb, cerebellum
(Nekhendzy, 2013).
Mikroanatomi yang padat dan kompleks dari telinga tengah dan tulang
temporal menunjukkan rapuhnya struktur tersebut dan menyebabkan prosedur
operasi dan pembiusan berlangsung lama. Kebutuhan utama untuk operasi otology
yang detil adalah lapangan operasi yang kering dan bersih, pasien tidak bergerak,
dan preservasi fungsi saraf fasial/cranial, serta fase pulih sadar dari pembiusan
yang tenang. Menjaga lapang operasi tetap bersih sangat penting pada mayoritas
kasus, karena bahkan noda darah sedikit pun dapat menimbulkan efek signifikan
pada pajanan intraoperatif. Selain menggunakan teknik hipotensi terkontrol dari
ahli anestesi, campuran obat anestesi lokal yang mengandung epinefrin (lidokain
1% dengan epinefrin 1:100.000) umumnya digunakan oleh operator untuk
membantu hemostasis dan memfasilitasi area operasi yang tenang. Ahli anestesi
harus tetap waspada dengan respon hemodinamik pasien. Fase pulih sadar dari
anestesi tanpa batuk penting pada operasi rekonstruksi telinga tengah dan dalam.
Pencegahan valsava terkait kejadian mual muntah paska operasi (PONV) juga
sama pentingnya, sehingga profilaksisnya harus dirutinkan (Ragan, 2018; Gooden
dan Chandrasekhar, 2013; Nekhendzy, 2013)
Pertimbangan Umum
Target anestesi pada pembedahan telinga adalah menjaga stabilitas
hemodinamik, menjaga kedalaman anestesi dan mengontrol nyeri dengan baik.
Sebagian besar prosedur bedah pada telinga merupakan microsurgery yang
membutuhkan medan operasi yang sebisa mungkin bersih dari darah, karena
sedikit darah akan mengganggu pandangan operator melalui mikroskop. Beberapa
pembedahan telinga akan membutuhkan tindakan facial nerve monitoring (FNM)
yang membutuhkan pasien dalam kondisi diam dan tenang meskipun tanpa
menggunakan pelumpuh otot. Cedera saraf facialis menjadi perhatian penting
sebab diketahui bahwa insidensi cedera saraf facialis iatrogenik sebesar 0,6% -
3,6%. Posisi pasien juga merupakan hal penting yang harus diperhatikan pada
pembedahan telinga. (Ragan, 2018; Gooden dan Chandrasekhar, 2013)
Pulih sadar yang baik, tanpa perlawanan dan batuk akibat penggunaan pipa
endotrakeal merupakan perhatian khusus dan mendasar pada operasi rekonstruksi
telinga tengah maupun dalam. Mual dan muntah paska operasi juga harus menjadi
perhatian bagi seorang dokter anestesi sebab hal ini dapat memperburuk outcome
pembedahan telinga. (Butterworth et al, 2013; Nekhendzy, 2013)
Hemostasis
Darah dalam jumlah kecil pun dapat menghalangi lapangan operasi. Teknik
untuk mengurangi kehilangan darah pada operasi telinga adalah elevasi ringan
kepala (15°), penggunaan epinefrin (1:100.000 – 1:200.000) topical atau infiltrasi
dan hipotensi terkendali. Oleh karena batuk saat bangun dapat meningkatkan
tekanan vena dan menyebabkan pendarahan, lakukan “ekstubasi dalam”, yaitu
ekstubasi ketika pasien masih dalam keadaan terhipnotis, dapat sangat membantu.
(Butterworth et al, 2013)
Manajemen Anestesi
Hipotensi Terkendali
Tehnik hipotensi pertamakali dikemukakan oleh Cushing pada tahun 1917,
pada operasi intracranial dan dipraktekkan untuk pertamakali oleh Gardnes pada
tahun 1946. Pada tahun 1950, Enderby mengemukakan bahwa perdarahan dapat
dikontrol bukan saja dengan menurunkan MAP tetapi juga dengan cara
memposisikan pasien. Keputusan untuk membuat hipotensi sering menjadi
kontroversi, oleh karena ketidakmampuan untuk mendefinisikan MAP terendah
yang aman dan dapat dipercaya. (Gooden dan Chandrasekhar, 2013; Nekhendzy,
2013)
Terdapat berbagai istilah seperti controlled hypotension, induced
hypotension, deliberated hypotension, hypotensive anaesthesia. Namun umumnya
mempunyai arti prosedur tertentu yang digunakan dengan tujuan untuk
mengurangi perdarahan, sehingga memperbaiki kondisi lapangan operasi dan
menurunkan kebutuhan akan transfusi darah. Teknik ini diindikasikan pada
operasi oromaxillofacial, endoscopic sinus atau middle ear microsurgery, operasi
spinal, dan operasi saraf yang lainnya. Pengurangan tekanan darah sistolik sampai
dengan 80-90 mmHg atau dengan mempertahankan MAP 50-65 mmHg pada
pasien dengan normotensi (Nekhendzy, 2013; Gobind, 2011)
Farmakologis
Obat yang ideal untuk tehnik hipotensi adalah yang bersifat : 1). Mudah cara
pemberiannya, 2). Efek berdasarkan dosis yang dapat diprediksi, 3). Onset dan
recovery yang cepat, 4). Eliminasi obat yang cepat tanpa menghasilkan metabolit
yang toksik, 5). Efek minimal terhadap aliran darah ke organ yang vital, dan 6).
Tidak meningkatkan ukuran otak dan tidak mempengaruhi autoregulasi cerebral
selama neurosurgery. (Nekhendzy, 2013; Gobind, 2011; Liang dan Irwin, 2010)
Obat-obatan yang digunakan untuk menghasilkan hipotensi antara lain:
1. Obat anestesi inhalasi (Halothane, Enflurane, Isoflurane dan Sevoflurane).
2. Vasodilator (Nitrogliserin, Hidralazin, Sodium Nitroprusid).
Vasodilator
a. Nitroprusside
Keuntungan menggunakan obat ini adalah penurunan tekanan darah
yang cepat seimbang dengan pengembalian tekanan darah yang cepat ke
nilai normal, sehingga mampu menghasilkan hipotensi dalam periode yang
sangat singkat misalnya saat pengangkatan meningioma atau pemotongan
aneurisma serebral. Nitroprusside memberikan distribusi aliran darah
serebral yang lebih homogen akibat efek vasodilatasi langsung ke serebral
dan mempertahankan aliran darah yang adekuat ke organ vital pada MAP di
atas 50 mmHg. Dosis nitroprusside yang direkomendasikan 0,2 – 0,5
mcg/kgBB/mnt dan ditingkatkan secara bertahap sampai level hipotensi
yang diharapkan tercapai, sedangkan dosis maksimal yang dianggap aman
1,5 mcg/kgBB/mnt. (Butterworth et al, 2013; Gobind, 2011; Liang dan
Irwin, 2010)
b. Nicardipine
Nicardipin termasuk golongan antagonis calcium channel
dihydropyridine yang mempunyai potensi vasodilatasi arteri dengan efek
kronotropik dan inotropic negative yang minimal. Nicardipine akan
mempenguhi tonus otot pembuluh darah yang tergantung kalsium.
Pelepasan nicardipine tidak menghasilkan pengembalian ke tekanan darah
baseline sampai obat berdifusi keluar dari reseptor dan terjadi keseimbangan
kalsium intra dan ekstraseluler.Tetapi pengembalian ke tekanan darah yang
lambat justru memberi keuntungan karena proses yang bertahap tanpa
disertai rebound hypertension yang biasa terlihat pada nitroprusside
memberikan lebih banyak waktu untuk pembentukan bekuan darah yang
stabil dan mencegah hilangnya darah yang berlebihan paska operasi.
Nicardipine menghasilkan reflek takikardi yang minimal dibandingkan
nitroprusside. (Butterworth et al, 2013; Gobind, 2011; Liang dan Irwin,
2010)
c. Nitroglycerin
Metabolisme nitroglycerin melibatkan pemecahan trinitrate yang
terjadi di hepar menjadi dimono-nitrate dan terakhir glycerol. Peningkatan
tekanan intracranial yang dihasilkan nitroglycerin lebih besar dibandingkan
nitroprusside. Dosis nitroglycerin dimulai 0,2 – 0,5 mcg/kgBB/mnt dan
ditingkatkan bertahap hingga level hipotensi yang diharapkan tercapai.
nitroglycerin tidak menimbulkan takifilaksis, toksisitas dan rebound
hypertension seperti nitroprusside. (Butterworth et al, 2013; Gobind, 2011;
Liang dan Irwin, 2010)
Paska Operasi
Di ruang pemulihan, masalah yang umum dijumpai pada pasien paska bedah
telinga antara lain mual, muntah, dan vertigo. Walaupun managemen nyeri selalu
menjadi perhatian di ruang pemulihan, berbeda halnya dengan paska operasi
telinga. Masa nyeri paling berat dirasakan pada saat operasi telinga tengah
berlangsung. Penanganan pasien di ruang pemulihan sebaiknya berdasarkan
kebutuhan masing-masing pasien. Manajemen yang dapat dilakukan meliputi
hidrasi, medikamentosa, elevasi bertahap area kepala dari ranjang, serta kesunyian
agar pasien lebih tenang.
Komplikasi intraoperatif paling umum terjadi meliputi kerusakan nervus
fasial dan/atau defek dural. Pasien yang menjalani stapedektomi diposisikan
secara rutin miring dengan sisi yang dioeperasi di atas untuk membantu
terbentuknya bekuan darah di telinga dalam yang terbuka. Telinga tengah dan
dalam seringkali berhubungan dengan vertigo postoperatif; kombinasi antiemetic
dan supresan vestibular (benzodiazepine) umumnya efektif dalam mengendalikan
gejala yang muncul. (Ragan, 2018; Gooden dan Chandrasekhar, 2013)
Nyeri paska operasi terkait operasi telinga umumnya rendah, dengan
kemungkinan pengecualian mastoidektomi radikal, dimana nyeri bisa terasa
sedang hingga berat. Bolus intermiten fentanil intravena dikombinasikan dengan
analgesia oral standar umumnya cukup untuk kontrol nyeri dan pemulangan
pasien. Regime analgesi multimodal, yang menggabungkan penggunaan
perioperatif COX 2 dan salah satu (asetaminofen atau ibuprofen) dapat lebih
lanjut menurunkan nyeri paska operasi, memperbaiki kualitas hidup dan
meningkatkan kepuasan pemulihan pasien. (Gooden dan Chandrasekhar, 2013)
DAFTAR PUSTAKA
Butterworth JF, Mackey DC dan Wasnick JD, 2013, Morgan & Mikhail’s Clinical
Anesthesiology, Edisi ke-5, McGraw-Hill Education, New York
Doyle DJ, 2015, ‘Anesthesia ear, nose and throat surgery’, dalam Miller RD (ed.),
Miller’s Anesthesia, Edisi ke -8, Elsevier Saunders, Philadelphia
Gooden CK dan Chandrasekhar SS, 2013, ‘Otologic surgery’, dalam Levine AI,
Govindaraj S dan DeMaria S (eds.), Anesthesiology and Otolaryngology, Springer
Science Business Media, New York
Liang S dan Irwin MG, 2010, ‘Review of anesthesia for middle ear surgery’, Journal of
Clinical Anesthesiology, Vol 28, Pp 519-28