Selama 15 tahun jadi supir truk freezer pengangkut ikan dari Sibolga menuju
berbagai kota di Pulau Jawa, pria ini selalu menenggak minuman berenergi.
Tujuannya, agar tahan mengemudi selama berhari-hari. Katarak membuatnya
berhenti dua hal: minum dan bawa truk lintas provinsi.
Didampingi istrinya Hotma boru Hutabarat (55), pria berusia 57 tahun ini sedang
duduk menunggu bus yang disewa aparat Koramil Lumut, Tapteng, menjemput
mereka di RS TNI Losung Batu Padangsidimpuan. Bus itu akan membawa pulang
sekitar 30-an warga Lumut yang sudah selesai menjalani operasi katarak gratis,
yang digelar Tambang Emas Martabe bekerjasama dengan Kodam I/BB dan ANV,
periode 2018.
Mengenakan kacamata hitam yang dibeli istrinya seharga Rp25 ribu dari pedagang
yang berjualan di tengah keramaian rumah sakit, pria mantan supir truk ini dengan
ramah merespon ajakan ngobrol.
Ayah tiga anak yang tinggal di kecamatan Lumut, Tapanuli Tengah ini, menuturkan,
sejak muda dirinya rutin mengemudi truk freezer bermuatan ikan laut asal Sibolga,
ke berbagai kota di Pulau Jawa. “Sejak tahun 1994,” cetusnya. Ke Probolinggo,
Jember, Surabaya, dan kota-kota lainnya. “Paling dekat ke Jakarta,” cetusnya, lagi-
lagi senyum memamerkan gigi.
Gaya hidup supir truk lintas provinsi, menurutnya sama sekali tidak sehat.
Perjalanan jarak jauh pasti berhari-hari. Mata dipaksa melek siang malam. Tidur di
truk tidak nyenyak. Stamina diperas lewat minuman energi. Kerap makan mie instan.
“Saat mengemudi malam hari, mata pasti silau kena lampu jarak jauh yang
ditembakkan kendaraan dari arah berlawanan. Ditambah makanan yang tidak sehat,
lengkaplah sudah,” cetus pria yang sudah dua periode terpilih sebagai Kepling ini,
sambil tertawa.
Hampir setiap minggu ia wajib mencari tukang urut. Ototnya terasa ngilu-ngilu.
Ia pernah mendatangi tabib India di Medan. Diberi obat tetes mata. Tapi tidak
memberi perubahan apapun. Mendatangi berbagai optik dan mencoba puluhan
kacamata. Tapi tetap tidak bisa melihat jelas.
“Tapi tidak berhenti total ya. Saya masih membawa truk. Tapi ya putar-putar
Tapteng ajalah,” kata pria yang akhirnya putar haluan menjadi pemborong bangunan
rumah. Selain jadi pemborong bangunan kecil-kecilan, ia juga nyambi sebagai petani
karet dan sawit. Dibantu istri.
“Sebenarnya sudah 4 tahun terakhir ini saya dapat informasi mengenai operasi
katarak ini. Bahkan sudah tiga kali mendaftar ikut. Tapi saat mau pergi, ada saja
halangan untuk pergi. Undangan pesta lah, ada proyeklah, dll. Tahun ini ikut karena
nggak ada halangan,” cetusnya.
“Semangat ikut operasi. Sakitnya hanya serasa digigit semut. Gratis. Dikasih makan
lagi,” pujinya happy.
“Cuma dokternya bilang kerjaan jangan dulu berat-berat. Jangan terlalu banyak
menunduk,” katanya.
“Tapi kalau boleh titip pesan, Tambang Emas Martabe jangan hanya peduli
masyarakat lingkar tambang saja. Kalau bisa desa tetangganya juga,” pintanya
sembari melirik penuh makna ke arah staf Martabe yang duduk di dekatnya. (Mea)