Anda di halaman 1dari 3

PASIEN KATARAK: Zainul Sinaga, salah satu dari ratusan pasien yang

menjalani operasi katarak gratis di Rumah Sakit TNI Losung Batu


Padangsidimpuan, didampingi istrinya, Minggu (14/10/2018).

Selama 15 tahun jadi supir truk freezer pengangkut ikan dari Sibolga menuju
berbagai kota di Pulau Jawa, pria ini selalu menenggak minuman berenergi.
Tujuannya, agar tahan mengemudi selama berhari-hari. Katarak membuatnya
berhenti dua hal: minum dan bawa truk lintas provinsi.

Dame Ambarita, Medan

Apakah bertahun-tahun menenggak berkaleng-kaleng minuman energi dari berbagai


merek, bisa memicu katarak? Belum ada penelitian yang membuktikan. Tapi bagi
seorang Zainul Marwan Sinaga, cukuplah 15 tahun ia mengonsumsinya.

“Sejak 10 tahun lalu, saya berhenti minum-minuman energi,” cetusnya sembari


senyum lebar memamerkan giginya yang tampak kecoklatan, Minggu (14/10/2018).

Didampingi istrinya Hotma boru Hutabarat (55), pria berusia 57 tahun ini sedang
duduk menunggu bus yang disewa aparat Koramil Lumut, Tapteng, menjemput
mereka di RS TNI Losung Batu Padangsidimpuan. Bus itu akan membawa pulang
sekitar 30-an warga Lumut yang sudah selesai menjalani operasi katarak gratis,
yang digelar Tambang Emas Martabe bekerjasama dengan Kodam I/BB dan ANV,
periode 2018.

Mengenakan kacamata hitam yang dibeli istrinya seharga Rp25 ribu dari pedagang
yang berjualan di tengah keramaian rumah sakit, pria mantan supir truk ini dengan
ramah merespon ajakan ngobrol.

Ayah tiga anak yang tinggal di kecamatan Lumut, Tapanuli Tengah ini, menuturkan,
sejak muda dirinya rutin mengemudi truk freezer bermuatan ikan laut asal Sibolga,
ke berbagai kota di Pulau Jawa. “Sejak tahun 1994,” cetusnya. Ke Probolinggo,
Jember, Surabaya, dan kota-kota lainnya. “Paling dekat ke Jakarta,” cetusnya, lagi-
lagi senyum memamerkan gigi.

Ia memiliki supir serap. Perjalanan membutuhkan waktu berhari-hari. Tidur di atas


truk secara bergantian.

Untuk mendapatkan stamina, ia rutin menenggak minuman energi dari berbagai


merek. “Biar bisa gantian mengemudi tanpa merasa ngantuk,” cetusnya, lagi-lagi
tersenyum lebar.

Gaya hidup supir truk lintas provinsi, menurutnya sama sekali tidak sehat.
Perjalanan jarak jauh pasti berhari-hari. Mata dipaksa melek siang malam. Tidur di
truk tidak nyenyak. Stamina diperas lewat minuman energi. Kerap makan mie instan.

“Saat mengemudi malam hari, mata pasti silau kena lampu jarak jauh yang
ditembakkan kendaraan dari arah berlawanan. Ditambah makanan yang tidak sehat,
lengkaplah sudah,” cetus pria yang sudah dua periode terpilih sebagai Kepling ini,
sambil tertawa.

Hampir setiap minggu ia wajib mencari tukang urut. Ototnya terasa ngilu-ngilu.

Seiring bertambahnya tahun, pandangannya tidak lagi sejernih dulu. Puncaknya


tahun 2008, ia memutuskan matanya perlu pengobatan. Karena benda-benda kerap
terlihat ‘mencong-mencong’.

“Mencong-mencong… peot-peot,” katanya mengeluarkan pasokan istilahnya yang


lucu.

Ia pernah mendatangi tabib India di Medan. Diberi obat tetes mata. Tapi tidak
memberi perubahan apapun. Mendatangi berbagai optik dan mencoba puluhan
kacamata. Tapi tetap tidak bisa melihat jelas.

Akhirnya sebuah optik di Sibolga yang didatanginya menawarkan untuk memanggil


dokter mata kenalannya. Si dokter datang dan memvonis: “Katarak!”
Ditawarkan untuk operasi. Tapi saat ditanya mengenai harga, alamakk: Rp6 juta per
satu mata. “Takut saya dengan harga itu. Laa.. bayar berapa kalau operasi dua
mata. Pikir-pikir dululah,” ungkapnya dengan nada kocak.

Mendapati fakta yang membahayakan keselamatannya sebagai supir truk lintas


provinsi, ia mengambil keputusan besar: berhenti jadi supir truk antar pulau.

“Tapi tidak berhenti total ya. Saya masih membawa truk. Tapi ya putar-putar
Tapteng ajalah,” kata pria yang akhirnya putar haluan menjadi pemborong bangunan
rumah. Selain jadi pemborong bangunan kecil-kecilan, ia juga nyambi sebagai petani
karet dan sawit. Dibantu istri.

Selama 10 tahun membiarkan kataraknya bercokol tanpa operasi, akhirnya ia ikut


sebagai salahsatu peserta operasi katarak gratis yang dibiayai PT Agincourt
Resorces, pengelola tambang emas di Batangtoru Tapsel.

“Sebenarnya sudah 4 tahun terakhir ini saya dapat informasi mengenai operasi
katarak ini. Bahkan sudah tiga kali mendaftar ikut. Tapi saat mau pergi, ada saja
halangan untuk pergi. Undangan pesta lah, ada proyeklah, dll. Tahun ini ikut karena
nggak ada halangan,” cetusnya.

Ia memuji Babinsa di Lumut yang disebutnya sukses sebagai penyatu masyarakat.

“Semangat ikut operasi. Sakitnya hanya serasa digigit semut. Gratis. Dikasih makan
lagi,” pujinya happy.

Meski pandangannya belum terang, ia santai saja menunggu hingga seminggu.


Karena mantan-mantan pasien katarak di desanya semua berhasil melihat.

“Cuma dokternya bilang kerjaan jangan dulu berat-berat. Jangan terlalu banyak
menunduk,” katanya.

Ia mendoakan perusahaan yang mensponsori operasi, agar aman dan nyaman


berusaha di daerah Tapanuli. Karena mau membantu masyarakat.

“Tapi kalau boleh titip pesan, Tambang Emas Martabe jangan hanya peduli
masyarakat lingkar tambang saja. Kalau bisa desa tetangganya juga,” pintanya
sembari melirik penuh makna ke arah staf Martabe yang duduk di dekatnya. (Mea)

Anda mungkin juga menyukai