Anda di halaman 1dari 13

METODE PENGUMPULAN DATA KUALITATIF

A. Relasi Metode Pengumpulan Data dan Teknik Analisis Data


Metode pengumpulan data kualitatif terkadang menjadi suatu metode yang independen
terhadap metode analisis data bahkan menjadi alat utama metode dan teknik analisis data.
Metode yang paling independen adalah metode wawancara mendalam, observasi
partisipasi, bahan dokumenter, bahan visual dan metode penelusuran internet.

B. Metode Wawancara
1. Metode Wawancara Mendalam
Dengan menggunakan metode ini, keterangan untuk tujuan penelitian diperoleh
dengan cara tanya jawab dan bertatap muka secara langsung dengan informan,
biasanya dilakukan berkali-kali, dengan atau tanpa menggunakan pedoman
wawancara, dan keduanya akan terlibat dalam kegiatan sosial yang relatif lama.
Pewawancara harus melakukan peliputan semua proses wawancaranya melalui
pencatatan (bagi peneliti yang terbuka) atau perekaman (bagi peneliti yang melakukan
penyamaran). Catatan harian penting karena menjadi bahan analisis data.

2. Metode Wawancara Bertahap


Karakter utama dari wawancara ini adalah dilakukan secara bertahap dan
pewawancara tidak harus terlibat dalam kehidupan sosial informan. Dengan pedoman
permasalahan yang harus ditanyakan kepada responden, sesungguhnya pewawancara
telah terlebih dahulu memiliki pengetahuan yang cukup tentang permasalahan secara
utuh sehingga dengan keterampilannya akan mudah mempermainkan pertanyaan
sesuai dengan kebutuhan dan kondisi yang ada. Seringkali kesulitan muncul ketika
wawancara ini dilakukan oleh peneliti yang melakukan penyamaran karena
keterbatasan daya ingat pewawancara dalam mengingat jawaban responden.

3. Bentuk-bentuk Subjek dan Objek Wawancara


Jika dilihat dari subjek dan objek, maka metode wawancara dibagi menadi 4 bentuk:
a. wawancara individu dengan individu, yang dilakukan seorang dengan lainnya
b. wawancara individu dengan kelompok, dilakukan seorang terhadap kelompok
c. wawancara kelompok dengan individu, dilakukan sekelompok terhadap seseorang
d. wawancara kelompok dengan kelompok lainnya, dua kelompok saling wawancara
4. Melaksanakan Wawancara yang Baik
Beberapa faktor utama yang harus diperhatikan dalam melakukan wawancara adalah;
a. Kemampuan pewawancara
Untuk melaksanakan tugasnya dengan baik, seorang pewawancara harus
memahami karakteristik sosial dirinya untuk menghindari kesalahpahaman.
Keterampilan pewawancara juga merupakan hal yang penting untuk dapat
membuat responden betah selama proses wawancara. Tidak sedikit pula
keberhasilan wawancara tergantung pada motivasi pewawancara untuk dapat
bekerja lebih serius dan sungguh-sungguh. Dalam beberapa situasi, rasa aman dari
pewawancara atau responden menntukan makna jawaban yang dibutuhkan.
Kadangkala orang akan menjawab lain dari apa yang sesungguhnya saat berada
pada posisi tidak aman. Beberapa pertimbangan dari pewawancara diantaranya
adalah (1) memiliki idealisme dalam dunia ilmu pengetahuan, (2) memahami
makna wawancara untuk metode penelitian, (3) memahamai permasalahan yang
diwawancarai, dan (4) mampu berkomunikasi dengan baik.

b. Situasi wawancara
Kemampuan pewawancara atau responden biasanya dipengaruhi oleh situasi pada
saat wawancara dilakukan. Sehingga pewawancara harus lebih bijaksana dalam
memilih waktu dan tenpat untuk mewawancarai responden.

c. Isi wawancara
Isi dari sebuah wawancara harus menjadi perhatian khusus bagi pewawancara,
terutama untuk hal-hal yang sangat sensitif atau bersifat pribadi karena sebagian
besar responden akan menolak untuk menjawabnya. Pertanyaan yang sukar yang
mengandung pengertian majemuk, abstrak, dan bahkan tidak rasional juga akan
menyulitkan responden.

5. Perlengkapan Wawancara
Beberapa alat bantu yang dapat digunakan selama proses wawancara adalah tape
recorder, daftar pertanyaan, hardboard, surat tugas, surat ijin, daftar respon, peralatan
tulis seperti pensil, penghapus, pulpen, dll. Teknik penggunaan alat-alat bantu
wawancara menjadi otoritas pewawancara, yang digunakan berdasarkan kemampuan,
pengalaman, dan kondisi yang ada.
C. Metode Observasi
Observasi adalah kemampuan seseorang untuk menggunakan pengamatannya melalui
hasil kerja pancaindra mata dibantu dengan pancaindra lainnya. Suatu kegiatan
pengamatan dikategorikan sebagai kegiatan pengumpulan data penelitian apabila
memiliki kriteria, yaitu (1) pengamatan digunakan dalam penelitian dan telah
direncanakan serius, (2) pengamatan harus berkaitan dengan tujuan penelitian yang telah
ditetapkan, (3) pengamatan dicatat secara sistematik dan dihubungkan dengan proporsi
umum dan bukan dipaparkan sebagai suatu yang hanya menarik perhatian, dan (4)
pengamatan dapat dicek dan dikontrol mengenai keabsahannya.
1. Observasi Partisipatif
Observasi partisipatif adalah pengumpulan data melalui proses observasi terhadap
objek pengamatan dengan langsung hidup bersama, merasakan serta berada dalam
aktivitas kehidupan objek pengamatan.
2. Observasi Tidak Berstruktur
Observasi dilakukan tanpa menggunakan guide observasi. Dengan demikian,
pengamat harus mampu secara pribadi mengembangkan daya pengamatannya dalam
mengamati suatu objek dan pemahaman atas objek secara umum sangat diperlukan.
3. Observasi Kelompok
Observasi ini dilakukan secara berkelompok terhadap suatu atau beberapa objek
sekaligus dan mempelajari gejala lain yang berpengaruh terhadap objek penelitian.
4. Hal-hal yang Perlu Diperhatikan dalam Melakukan Observasi
Yang perlu diperhatiakn diantaranya, hal apa yang hendak diamati, bagaimana
mencatat pengamatan, alat bantu pengamatan yang digunakan, dan bagaimana
mengatur jarak antar pengamat dengan objek yang diamari.
5. Hal-hal yang Hendak Diamati
Dalam menentukan hal-hal yang hendak diamati, pengamat harus mengamati kembali
masalah dan tujuan penelitian yang telah dirumuskan. Pada observasi tidak
berstruktur, pengamat dituntut mengembangkan sendiri kebutuhannya di lapangan.
6. Bagaimana Mencatat Pengamatan
Dalam mencatat hasil observasi harus memperhatikan waktu pencatatan, cara
pencatatan, dan mencatat disela pengamatan. Hal terbaik mencatat adalah pada saat
objek pengamaran yang diamati sedang terjadi untuk menghindari bias dan lupa. Jika
pencatatan langsung tidak dapat dilakukan, maka pencatatan dilakukan dengan
menggunakan kata kunci. Alternatif lain adalah mencatat disela pengamatan.
7. Alat Bantu Pengamatan
Validitas hasil pengamatan dapat dilakukan menggunakan kamera dan tape recorder.
8. Menjaga Jarak antara Pengamat dan Objek Pengamatan
Kesadaran profesi menjadi pertimbangan utama dalam menjaga jarak yang ideal.
9. Kesulitan Umum Observasi
Beberapa kesulitan umum dalam observasi yaitu: (1) pengamat tertangkap dalam
subjektivitasnya tanpa disadari, (2) pengamat terbawa situasi sehingga melupakan
fungsi utamanya, (3) timbulnya gejala yang menyulitkan pengamat, (4) munculnya
peristiwa yang tidak terduga, (5) pelaksanaan observasi yang terbatas, dan (6)
pengamat mencampuradukkan data observasi dengan pendapat pribadi.

D. Metode Dokumenter
Metode ini adalah metode pengumpulan data yang menelusuri data historis.
1. Dokumen Pribadi adalah catatan seseorang tentang tindakan, pengalaman, dan
kepercayaan. Dapat berupa buku harian, surat pribadi dan otobiografi.
2. Dokumen Resmi terbagi menjadi dua yaitu interen (berupa memo, pengumuman,
instruksi, risalah rapat, dll) dan eksteren (berupa majalah, buletin, pengumuman, dll).

E. Metode Bahan Visual


Bahan visual bermanfaat untuk mengungkapkan suatu keterkaitan antara objek penelitian
dengan peristiwa di masa silam atau peristiwa saat ini (memiliki makna secara spesifik
terhadap objek penelitian). Keterkaitan objek dan informan penelitian dengan peristiwa
masa lalu diungkapkan dari beberapa hal, yaitu (1) bagaimana hubungan antara pemilik
bahan visual, (2) apakah lingkungan sosial juga memiliki keterkaitan, (3) apa makna
bahan visual terhadap objek dan informan penelitian, dan (4) sejauh mana bahan visual
tersebut memberi petunjuk. Bahan visual ini adalah bahan informasi sekunder.

F. Metode Penelusuran Data Online


Secara teknis, penggunaan metode ini mensyaratkan peneliti mempunyai pemahaman
teknis terhadap teknologi informasi karena cara yang dilakukan adalah melakukan
penelusuran data melalui internet seperti www.google.com, yang memungkinkan peneliti
mendapatkan infomasi teori secepat mungkin dan dapat dipertanggungjawabkan secara
akademis. Prosedur terpenting dalam metode ini adalah penyebutan sumber data dan
kapan melakukan browsing. Metode ini juga menyediakan bahan informasi sekunder.
INTERVIU:
BERTANYALAH PADA RESPONDEN JIKA KALIAN TIDAK MEMAHAMI

Komunikasi yang baik adalah interaksi yang terencana, dan interviu dilakukan untuk
mendapatkan informasi sesuai dengan tujuan penelitian. Sebagai penginterviu, peneliti
berupaya agar kata-kata responden berhamburan atau making words fly dalam metafora
Gleshne & Peshkin (1988). Namun, harus dirancang dengan cermat agar yang berhamburan
itu bukan omong kosong yang tidak terkait dengan tujuan penelitian. Seringkali menginterviu
beberapa orang sekaligus lebih baik, karena beberapa alasan, antara lain: (1) responden
merasa lebih nyaman dan tidak merasa terintimidasi bila sewaktu diinterviu ada teman lain,
(2) responden terdorong untuk menjawab, dan (3) mereka akan saling melengkapi sehingga
topik-topik akan tertuntaskan dalam sekali pertemuan. Peneliti – termotivasi oleh pertanyaan
penelitian – mengembangkan sejumlah pertanyaan interviu kepada responden – sebagai
penguasa informasi – dalam konteks emiknya, yaitu motif, nilai, kepedulian, dan kebutuhan.

 Menyusun Pertanyaan
Pertanyaan interviu tidak identik dengan pertanyaan penelitian, namun keduanya
memang terkait. Pertanyaan penelitian merupakan energi yang mampu menggerakkan
penelitian dari A hingga Z, sedangkan pertanyaan interviu hanyalah alat untuk memancing
jawaban dari berbagai responden.

Pertanyaan 1. Teori Daftar Pertanyaan


Uji Interviu
2. Obrolan Pertanyaan
Penelitian Coba Final
3. Pengamatan Interviu

Penjelasan dari diagram diatas adalah sebagai berikut:


 Pertanyaan final yang diajukan kepada responden itu telah dicoba terlebih dahulu
dalam sebuah pilot study. Dalam proses uji coba ini responden harus bersikap kritis
sehingga tidak sekadar menjawab.
 Yang diuji coba itu hanya sebagai draf pertanyaan yang akan dikembangkan dengan
menghubungkan semua pertanyaan penelitian dengan tiga hal, yaitu (1) teori yang
relevan dengan persoalan, (2) obrolan tidak formal dengan berbagai pihak di lapangan,
dan (3) pengamatan empiris di lapangan.
Lincoln & Guba (1985) menyebutkan lima langkah penting dalam melakukan interviu,
yaitu (1) menentukan siapa yang akan diinterview, (2) menyiapkan bahan-bahan interviu, (3)
langkah-langkah pendahuluan, (4) mengatur kecepatan menginterviu dan mengupayakannya
agar tetap produktif, dan (5) mengakhri interviu..

 Jenis-jenis Pertanyaan
Pertanyaan yang diajukan dapa diklasifikasi berdasarkan fungsi, substansi, dan
sebagainya. Dilihat dari fungsinya, ada tiga jenis pertanyaan yang diajukan kepada para
responden, yakni (1) pertanyaan pendahuluan sebagai tanda permisi untuk menumbuhkan
kepercayaan, (2) pertanyaan luas (Spradley:1979) yakni pertanyaan sebagai kerangka umum,
dan (3) pertanyaan spesifik ihwal substansi penelitian yaitu persoalan pokok yang digali. Dari
sudut substansi atau jenis informasi yang ditanyakan, Patton (1980) membedakan enam
pertanyaan sebagai berikut:
1. Pertanyaan pengalaman atau tingkah laku yang dimaksudkan untuk mengungkap
deskripsi pengalaman, tingkah laku, tindakan, dan kegiatan yang telah teramati.
2. Pertanyaan opini atau nilai yang dimaksudkan untuk mengungkap opini responden
ihwal dunia, program, atau kejadian tertentu.
3. Pertanyaan perasaan yang dimaksudkan untuk mengungkap respon emosional dari
responden terhadap pengalaman mereka.
4. Pertanyaan pengetahuan untuk mengungkap respon kognitif dari responden.
5. Pertanyaan sensori untuk mengungkap respon sensori dari responden
6. Pertanyaan latar belakang untuk mengungkap hubungan lokasi dari responden
terhadap orang lain, khususnya usia, pendidikan, ras, tempat tinggal, dan sebagainya.

 Interaksi dengan Responden


Melalui kunjungan pendahuluan ke lapangan, peneliti akan menemukan siapa yang layak
diinterviu. Sebagai peneliti yang memerlukan responden maka peneliti harus mampu
membangun hubungan baik dengan para responden. Menurut Dester (1970) hubungan ini
ditentukan oleh tiga hal, yaitu (1) kepribadian dan keterampilan, (2) sikap dan orientasi yang
diinterviu, dan (3) definisi kedua orang tersebut sebagai ihwal situasi. Beberapa
penjabarannya adalah sebagai berikut:
1. Penginterviu harus objektif, netral, dan tidak sok menghakimi jawaban responden
2. Penginterviu harus sensitif terhadap simbol verbal dan non verbal dari responden
3. Penginterviu harus memahami beban psikologis dari setiap ertanyaan yang diajukan
4. Penginterviu menghindari pertanyaan yang terlalu luas atau teoretis
5. Penginterviu harus merencanakan urutan pertanyaan dari basa-basi kulo nuwun,
pertanyaan umum, khusus, sensitif, penutup dan sebagainya
6. Penginterviu seyogianya menghindari jenis pertanyaan, yaitu (1) pertanyaan yes-no,
(2) pertanyaan ganda, (3) pertanaan why karena relatif menyulitkan responden.

 Tempat, Waktu, dan Transkripsi


Tiga aspek ini penting dipersiapkan demi suksesnya sebuah interviu. Sebagai peneliti
harus membuat janji dimana responden siap diwawancarai dan mencari waktu yang tepat.
Menurut Gleshne & Peshkin (1992) satu jam dapat dijadikan patokan. Seluruh proses interviu
ada baiknya direkam sehingga tidak ada sesuatu yang missed. Tugas selanjutnya adalah
mentranskripsi. Jangan menangguhkan transkripsi sampai semua responden terwawancara.
Untuk menghindari kekeliruan baca ulang transkripsi itu dan dengarkan kembali rekaman itu.

 Apakah Anda Penginterviu yang Baik


Beberapa atribut yang dipelajari untuk melengkapi kalimat “Penginterviu yang baik.....”:
1. Penuh antisipasi, berarti siap menghadapinya
2. Melakukan kulo nuwun, untuk mendapatkan kepercayaan responden
3. Naif, kerangka berpikir yang meminggirkan asumsi peneliti atas jawaban responden
4. Analitis, kemampuan peneliti dalam menganalisis
5. Paradoks, mendominasi tetapi juga menyerah
6. Tidak reaktif, direktif, dan terapetik
7. Sabar mengejar data

 Kelebihan dan Kekurangan Interviu


Kelebihannya, sedikit kemungkinan terjadi kesalahpahaman antara penginterviu dengan
responden. Penginterviu dapat leluasa memparafrase pertanyaan yang kurang dimengerti.
Responden memberikan respon secara langsung sehingga komunikasi alami dan informasi
semakin kaya. Kelemahan interviu yaitu (1) tidak efisien dalam waktu dan tenaga karena sulit
diprediksi berapa lama, (2) sulit untuk melakukan pretes bagi materi interviu kecuali dalam
interviu yang terstruktur, (3) fleksibilitas yang tinggi sehingga tidak terkendali dan peneliti
bisa tersesat, (4) responden yang berkarakter banyak omong dan senang diskusi, (5) interviu
tak terstruktur mengandalkan sedikit responden, (6) kebenaran informasi hasil interviu sulit
diuji ulang, dan (7) penginterviu dapat mendominasi responden dan mempengaruhinya.
OBSERVASI:
SAKSIKAN, CATAT, LALU MAKNAI

Dalam penelitian kualitatif, metode yang paling utama adalah interviu dan observasi.
Observasi berbeda dengan interviu dalam dua hal. Interviu dilakukan pada latar yang
direncanakan, sedangkan observasi peran serta dilakukan pada latar belakang alami. Data
yang diperoleh dari interviu adalah data sekunder sedangkan data dari observasi merupakan
data primer. Observasi perlu dilakukan bila (1) peristiwa itu dapat diobservasi langsung, (2)
diperlukan sudut pandang baru terhadap peristiwa itu, dan (3) manakala responden tidak
bersedia atau tidak mungkin diwawancarai.

 Definisi
Observasi penelitian adalah pengamatan sistematis dan terencana yang diniati untuk
perolehan data yang dikontrol validitas dan realibilitasnya. Pertama, pertanyaan penelitian
tetap merupakan patokan yang menerangi kegiatan observasi atau kerangka konseptual harus
tetap dijadikan rujukan dalam menentukan langkah-langkah observasi. Kedua, kompetensi
mengobservasi meliputi antara lain keterampilan menulis secara deskriptif, membuat catatan
lapangan, membedakan yang penting dan menggunakan metode yang mantap untuk
memvalidasi temuan. Ketiga, observasi didahului oleh observasi informal dan impresionistis.

 Apa yang Mesti Diobservasi


Melalui observasi berperan serta, peneliti berkesempatan memperoleh predikat peneliti
yang terpercaya. Seperti halnya interviu, obeservasi juga merentang dalam sebuah kontinum
dari sangat terstruktur ke tidak terstruktur. Agar observasi terarah, peneliti harus
mempersiapan pedoman observasi yang disusun berdasarkan pertanyaan penelitian

 Keterlibatan Peneliti: Suatu Kontinum


Istilah observasi berperan serta mengindikasikan keterlibatan peneliti sewaktu
melaksanakan observasi. Dalam kontinum itu Merriam (1988: 92-933) mengidentifikasi
empat kategori pengobservasian, yaitu (1) perserta penuh yaitu peneliti sebagai anggota
kelompok yang sedang diamati, (2) peserta sebagai pengamat, peran peneliti sebagai
pengamat diketahui oleh kelompoknya, (3) pengamat sebagai peserta, peran peneliti sebagai
pengamat ini diketahui oleh kelompok yang diamati, dan (4) pengamat penuh, pengamat
tersembunyi sehingga responden tidak mengetahui bahwa dirinya sedang diamati.
 Suasana Psikologis saat Mengobservasi
Kegiatan penelitian sewaktu mengobservasi adalah kegiatan skizofrenia, yakni kegiatan
yang dilakukan peneliti tidak sepenuhnya terlibat di dalamnya. Ia berperan serta, namun pada
waktu yang bersamaan menarik diri agar mampu melihat persoalan secara analitis. Kondisi
psikologis ini seringkali membuat peneliti stres – ada kekhawatiran, kehadirannya akan
mempengaruhi apa yang diobservasi dan juga sejauh mana kehadirannya mempengaruhi
intepretasi data yang diperoleh.

 Membuat Catatan Observasi


Seperti halnya interviu, peneliti harus membuat catatan observasi. Dalam penelitian
kualitatif beberapa alat pencatat yang lazim dipergunakan yaitu catatan lapangan. Setiap
meakukan observasi, peneliti harus membawa catatan, dan seyogianya diketahui oleh
responden bahwa pengamatannya itu dicatat. Ada dua jenis catatan yang harus dibuat peneliti,
yaitu (1) deskripsi, dan (2) analisis atau komentar pengamat. Catatan lapangan, lazimnya
terdiri atas empat hal yakni (1) deskripsi verbal dari latar, orang, dan kegiatan, (2) kutipan
langsung dari respoden atau paling tidak substansinya, (3) komentar dari peneliti pada margin
kiri atau kanan, dan (4) koding dan catatan idiosinkratik peneliti. Seorang peneliti dituntut
untuk menjadi pencatat yang baik, Gleshne dan Peshkin (1992:49-50) memberikan enam
petunjuk yaitu (1) sewaktu mencatat, gunakanlah satu muka, (2) sisakan margin kiri kanan
yang cukup luas untuk koding dan catatan yang muncul kemudian, (3) kembangkanlah sistem
steno untuk mempercepat pencatatan, (4) jangan mendiskusikan catatan lapangan dengan
siapapun, (5) walaupun catatan lapangan sudah tuntas, coba baca kembali dengan cermat, dan
(6) sekali-kali datanglah ke latar penelitian bukan untuk kegiatan terjadwal.

 Kelebihan dan Kelemahan Observasi


Penelitian kualitatif menggunakan observasi sebagai teknik pengumpulan data karena
beberapa kelebihannya, antara lain (1) peneliti menyaksikan langsung apa yang terjadi dan
merupakan tes kebenaran yang paling alami, (2) peneliti dapat mencatat kebenaran yang
sedang terjadi, (3) observasi meningkatkan kemampuan peneliti untuk memahami tingkah
laku yang kompleks, dan (4) observasi memungkinkan pengumpulan data yang tidak mungkin
dilakukan oleh teknik lain. Namun, beberapa kelemahan dari observasi antara lain reaktivitas
peneliti pada lingkungan dan interpretasi peneliti yang mungkin sangat dipengaruhi oleh
biasnya. Observasi juga bisa dikatakan tidak konsisten dalam struktur metodenya sehingga
sulit untuk direplikasi dan menguji kebenarannya.
Nama : Erlin

NIM : 041711323050

Prodi : AJ Akuntansi

Judul Jurnal : Partisipasi Masyarakat dalam Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan

Lokal (Studi pada Masyarakat Suku Tengger Pegunungan Bromo Jawa Timur)

Penulis Jurnal : Ana Sopanah, Made Sudarma, Unti Ludigdo, dan Ali Djamhuri

Tahun Jurnal : 2013

Latar Belakang

Partisipasi masyarakat dalam penganggaran harus dilakukan pada setiap tahapan


dalam siklus anggaran mulai dari penyusunan, pelaksanaan, sampai dengan
pertanggungjawaban (Mardiasmo, 2002:70). Fakta di lapangan menunjukkan bahwa,
partisipasi masyarakat masih sangat rendah, Rendahnya partisipasi masyarakat tersebut
ditunjukkan oleh Laurian dan Adams (2004), pada rendahnya tingkat kehadiran mereka dalam
berbagai temu publik. Temu publik dianggap kurang efektif sebagai alat persuasi rasional,
namun tetap berperan untuk memelihara sistem demokrasi lokal. Penelitian ini terinspirasi
oleh penelitian Sumarto (2004; 118) yang menjelaskan bahwa mekanisme non formal yang
berasal dari prakarsa inovatif masyarakat sebenarnya lebih efektif dari pada mekanisme yang
formal. Selain itu penelitian ini terinspirasi dari Muluk (2007), dengan menggunakan
pendekatan berpikir sistem berhasil menyimpulkan bahwa partisipasi masyarakat dalam
pemerintah daerah mengalami pengingkatan dalam era reformasi.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk memahami partisipasi masyarakat dalam
proses penganggaran, baik dalam perencanaan, implementasi, maupun
pertanggungjawabannya dalam konteks masyarakat Suku Tengger. Perbedaan adat istiadat
dan budaya suku ini memungkinkan melahirkan bentuk partisipasi yang berbeda dengan
mengkaji nilai lokalitas masyarakatnya. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat
menghasilkan gambaran yang lebih nyata tentang partisipasi mereka dalam proses
penganggaran daerah berbasis kearifan lokal.
Metodologi

Penelitian ini menggunakan pendekatan interpretif dengan metode etnometodologi.


Peneliti menggali dan memahami nilai-nilai lokalitas yang ada pada masyarakat Suku
Tengger dan menjelaskan keberadaan nilai lokalitas tersebut dalam proses perencanaan
penganggaran tersebut.Informan dari penelitian ini dibagi menjadi dua yaitu informan untuk
mengungkap nilai-nilai lokalitas diantaranya dukun pendhita, wong sepuh, legen dan
masyarakat Suku Tengger, sementara informan untuk mengungkap partisipasi masyarakat
dalam perencanaan penganggaran adalah Ketua RT/RW, Kepala Desa beserta staf, Camat
beserta staf, Eksekutif (Kepala Bappeda, Sekretaris Daerah, Bupati), dan DPRD.
Metode pengumpulan data untuk menggali dan memahami nilai lokal diantaranya
dengan menggunakan dokumentasi (foto dan video), pengamatan langsung (observasi),
wawancara mendalam dengan berbagai tokoh adat pada saat upacara adat maupun informal.
Sementara itu, metode pengumpulan data untuk menjelaskan partisipasi masyarakat dalam
proses perencanaan penganggaran menggunakan dokumentasi (foto dan video), pengamatan
langsung (observasi), wawancara mendalam dengan tokoh masyarakat, eksekutif, legislatif,
dan stakeholders. Prosedur analitis data menggunakan analisis data dari Miles dan Huberman
(1992: 15-21) yaitu dengan reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan.

Hasil

1. Menggali Kearifan Lokal Suku Tengger


Kearifan lokal dapat dikategorikan ke dalam dua aspek, yaitu yang berwujud nyata
dan yang tak berwujud. Sistem nilai, tata cara, ketetuan khusus yang dituangkan dalam
catatan tertulis seperti ditemui di kitab primbon, kalender dan prasi merupakan kearifan
lokal yang berwujudnya. Petuah yang disampaikan secara turun temurun secara verbal
merupakan bentuk kearifan lokal yang tak berwujud. Nilai kearifan lokal yang
terinternalisasi dalam proses penganggaran terdiri dari tiga yaitu nilai kepatuhan (setuhu),
nilai kegotongroyongan (sayan), dan nilai kejujuran (prasaja).
Nilai kepatuhan diwujudkan dengan tetap melakukan mekanisme proses perencanaan
penganggaran dan mengikuti jadwal dan tahapan yang telah ditetapkan pemerintah. Nilai
kegotongroyongan diwujudkan dalam implementasi pembangunan di wilayah Suku
Tengger. Nilai kejujuran diwujudkan dalam proses pertanggungjawaban penggunaan
anggaran. Sebagai bentuk kejujuran pemimpin kepada rakyat yang telah mempercayainya,
di masyarakart Suku Tengger selalu diadakan rembug warga tengger.
2. Setuhune Wong Tengger: Partisipasi Masyarakat dalam Perencanaan Pembangunan
Perbedaan yang muncul pada Suku Tengger adalah selain melakukan musrenbang desa,
mereka melakukan mekanisme partisipasi informal. Partisipasi informal tersebut dilakukan
pada bulan Desember bersamaan dengan laporan pertanggungjawaban Petinggi kepada
masyarakat Suku Tengger yang disebut Rembug Desa Tengger. Partisipasi informal ini
merupakan salah satu bentuk inovasi yang dilakukan oleh desa dengan memperhatikan nilai
kearifan lokal. Pelaksanaan musrenbang desa Suku Tengger di Desa Ngadisari menurut teori
partisipatif yang dikemukakan oleh Arnstein (1971) dikategorikan dalam tangga partisipasi
yang ketiga yaitu derajat tangga partisipasi penuh yang ditandai dengan adanya kemitraan,
pendelegasian wewenang, dan adanya kontrol oleh warga.

3. Kegotong-royongan yang Membumi: Partisipasi Masyarakat dalam Perencanaan


Pembangunan
Pembangunan diartikan sebagai proses perubahan yang terencana yang melibatkan pemerintah
dan masyarakat. Jika pembangunan hanya melibatkan pemerintah, maka tujuan pembangunan
tidak akan tercapai. Dalam mengimplementasikan berbagai pembangunan, masyarakat Suku
Tengger selalu menerapkan nilai-nilai kegotong-royongan (sayan). Beberapa pekerjaan yang
didanai oleh APBD dilakukan secara gotong royong, sedangkan dalam kegiatan yang berupa
pemberdayaan, nilai saya diwujudkan dalam bentuk rembugan untuk menentukan sebuah
keputusan. Nilai Sayan juga terlihat dalam pembangunan fisik maupun non fisik seperti
pembinaan ibu-ibu PKK terkait dengan berbagai penyuluhan. Nilai kegotongroyongan
merupakan modal sosial yang harus dipertahankan ditengah arus modernisasi. Dengan
menginternalisasi nilai gotong royong maka egoisme pribadi atau kekuasaan dapat terdistrosi.

4. Pertanggungjawaban Ala Rakyat Tengger: Membangun Kejujuran Untuk


Kesejahteraan
Penyampaian LKPJ Bupati Probolinggo kepada DPRD merupakan mekanisme dalam
sistem penyelenggaraan pemerintah, yang menyampaikan secara langsung kepada rakyat di
alun-alun Kraksaan. Pertanggungjawaban ala rakyat yang dilakukan Bupati, juga dilakukan
oleh Petinggi Suku Tengger. Bentuk pertanggungjawaban ini merupakan bentuk kejujuran
yang telah dilakukan oleh pemimpin kepada rakyatnya. Sementara dari sisi Suku Tengger
rembug desa merupakan kegiatan rutin yang manfaatnya sangat banyak bagi terciptanya
pemerintah yang baik, bersih dan transparan. Ini merupakan bentuk internalisasi nilai kearifan
lokal kejujuran dan keterbukaan pemimpin atau Petinggi Tengger kepada masyarakatnya.
Kesimpulan

Dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan rembug desa Suku Tengger di Desa Ngadisari
menurut teori partisipasi yang dikemukakan oleh Arnstein (1971) dikategorikan dalam
partisipasi penuh dan merupakan temuan yang menarik karena hampir tidak pernah terjadi di
daerah lainnya. Dalam konteks penganggaran daerah nilai kearifan lokal kepatuhan (setuhu)
terinternalisasi dalam proses perencanaan, nilai kearifan lokal gotong royong (sayan)
terinternalisasi dalam implementasi pembangunan, dan nilai kearifan lokal kejujuran dan
keterbukaan terinternalisasi dalam pertanggungjawaban pembangunan.

Nilai kepatuhan (setuhu) dalam masyarakat Suku Tengger diwujudkan dalam


melakukan mekanisme musrenbang sesuai peraturan perundang-undangan sebagai mekanisme
formal, sedangkan mekanisme informalnya dalam bentuk rembug desa dengan tujuan untuk
menjaring aspirasi masyarakat yang kemudian akan diusulkan saat musrenbang formal.

Nilai gotong royong (sayan) terinternalisasi dalam proses implementasi pembangunan.


Kebijakan-kebijakan pemerintah daerah yang lebih mengutamakan kepentingan pribadi dan
kelompoknya harus mulai berbenah dan mengadopsi nilai kegotongroyongan Suku Tengger,
sehingga diharapkan egoisme pribadi maupun kekuasaan akan terdistrosi.

Bentuk pertanggungjawaban Petinggi kepada masyarakat Suku Tengger yang


dilaksanakan pada akhir tahun dengan sebutan rembug desa Tengger merupakan bentuk
internalisasi nilai kearifan lokal kejujuran dan keterbukaan pemimpin kepada masyarakatnya
secara langsung.

Anda mungkin juga menyukai