Anda di halaman 1dari 38

38b 2/28/03 1:36 AM Page 1

C e n t e r f o r I n t e r n a t i o n a l F o r e s t r y R e s e a r c h C e n t e r f o r I n t e r n a t i o n a l F o r e s t r y R e s e a r c h

CIFOR Occasional Paper adalah seri publikasi hasil-hasil riset yang memiliki relevansi
penting dengan kehutanan di kawasan tropis. Isi masing-masing seri telah dikaji oleh
pakar di dalam dan luar CIFOR. Untuk mendapatkan versi elektroniknya telah
tersedia pada situs www.cifor.cgiar.org/publications/papers.

Silakan menghubungi cifor@cgiar.org untuk mendapatkan seri publikasi ini.

CIFOR Occasional Paper No. 38(i)


Kebakaran Hutan di Indonesia:
Penyebab, Biaya dan Implikasi Kebijakan

Center for International Forestry Research (CIFOR) didirikan pada tahun 1993
Luca Tacconi
sebagai bagian dari sistem CGIAR, sebagai tanggapan atas keprihatinan dunia akan
konsekuensi sosial, lingkungan dan ekonomi yang disebabkan oleh kerusakan dan
kehilangan hutan. Penelitian CIFOR menghasilkan pengetahuan dan berbagai
metode yang dibutuhkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang
hidupnya mengandalkan hutan, dan untuk membantu negara-negara di kawasan
tropis dalam mengelola hutannya secara bijaksana demi manfaat yang
berkelanjutan. Berbagai penelitian ini dilakukan di lebih dari 24 negara, melalui
kerja sama dengan banyak mitra. Sejak didirikan, CIFOR telah memberikan dampak
positif dalam penyusunan kebijakan kehutanan nasional dan global.

CIFOR adalah salah satu dari 16 pusat Future Harvest


dan Consultative Group on International Agricultural Research (CGIAR)
ISSN 0854-9818

© 2003 oleh Center for International Forestry Research


Hak cipta dilindungi Undang-undang. Februari 2003

Foto sampul depan: Yayat Ruchiyat, Carol J.P. Colfer


Foto sampul belakang: Yayat Ruchiyat
Alih Bahasa: Ani Kartikasari

Center for International Forestry Research


Alamat Surat: P.O. Box 6596 JKPWB, Jakarta 10065, Indonesia
Alamat Kantor: Jl. CIFOR, Situ Gede, Sindang Barang, Bogor Barat 16680, Indonesia
Tel.: +62 (251) 622622; Fax: +62 (251) 622100
E-mail: cifor@cgiar.org
Web site: http://www.cifor.cgiar.org
Kebakaran Hutan di Indonesia:
Penyebab, Biaya dan Implikasi Kebijakan

Luca Tacconi
Center for International Forestry Research (CIFOR)
Bogor, Indonesia
ii

Daftar Isi

Daftar singkatan iii


Ucapan terima kasih iv
Ringkasan eksekutif v
1. Pendahuluan 1
2. Luas kebakaran hutan selama peristiwa ENSO 1997/98 2
3. Masalah kebijakan yang terkait dengan kebakaran hutan 4
3.1 Pencemaran kabut asap dan emisi karbon 6
3.2 Degradasi dan deforestasi hutan serta hilangnya berbagai hasil hutan
dan jasanya 7
3.3 Kerugian di sektor pedesaan 7
4. Menghitung kembali biaya ekonomi akibat kebakaran hutan 1997/98 8
4.1 Estimasi nilai agregat 8
4.2 Menghitung kembali komponen-komponen biaya 10
5. Implikasi kebijakan dan rekomendasi 15
5.1 Biaya dan penilaian ekonomi 15
5.2 Kebakaran, degradasi dan deforestasi serta alokasi tata guna lahan 17
5.3 Kebakaran dan pencemaran kabut asap 19
5.4 Kebakaran dan perundang-undangan 19
5.5 Karbon Sink 20
5.6 Kebakaran, ENSO dan faktor-faktor manusia 21
Catatan akhir 22
Rujukan 23
Lampiran 26
iii

Daftar singkatan

ADB Asian Development Bank


ASEAN Association of Southeast Asian Nations
BAPPENAS Badan Perencanaan Pembangunan Nasional
CIFOR Center for International Forestry Research
ENSO El Niño Southern Oscillation
FAO United Nations Food dan Agriculture Organization
GTZ Deutsche Gesellschaft fur Technische Zusammenarbeit
IFFM Integrated Forest Fire Management project (Proyek Pengelolaan Terpadu
Kebakaran Hutan)
ISAS Institute of Southeast Asian Studies
iv

Ucapan terima kasih

Studi ini dilakukan untuk proyek ‘Akar Penyebab dan Dampak Kebakaran
Hutan yang Terjadi di Indonesia’ (The Underlying Causes and Impacts of
Fires in Indonesia) dengan bantuan dana dari European Commission SCR
Common Service for External Relations Budget Line (B7-6201).
Terima kasih atas masukan yang diberikan oleh Jozsef
Micski, Forest Liaison Bureau of the European Commission, Jakarta;
NG Ginting, Badan Pengembangan dan Penelitian Kehutanan,
Departemen Kehutanan, Indonesia; Jeff Bennett, Australian
National University; Ivan Anderson, dulu terlibat dalam Proyek
Pengendalian dan Penanggulangan Kebakaran Hutan (Forest Fire
Prevention and Control Project) (European Commission); Anja
Hoffmann, dulu terlibat dalam Proyek Pengelolaan Kebakaran Hutan
(Integrated Forest Fire Management project) (GTZ); Peter Moore
dan Nina Hasse, proyek FireFight Southeast Asia (WWF-IUCN); Pete
Vayda, Rutgers University dan rekan-rekan saya di CIFOR Unna
Chokkalingam, Ken MacDicken, Mike Spilsbury dan Takeshi Toma.
Terima kasih untuk Soni Mulyadi dan Yayat Ruchiat yang menyiapkan
peta untuk laporan ini. Juga ucapan terima kasih kepada Petrus
Gunarso yang telah turut memberikan masukan dalam perbaikan
Occasional Paper versi bahasa Indonesia. Gideon Suharyanto dan
Paul Stepleton memberikan masukan yang konstruktif dalam proses
penyuntingan dan tata letak publikasi.
v

Ringkasan eksekutif

Belakangan ini kebakaran hutan menjadi Valuasi biaya yang terkait dengan emisi karbon
perhatian internasional sebagai isu lingkungan menunjukkan bahwa kemungkinan biayanya
dan ekonomi, khususnya setelah bencana El Niño mencapai 2,8 miliar dolar.
(ENSO) 1997/98 yang menghanguskan lahan hutan Revisi estimasi biaya ekonomi akibat
seluas 25 juta hektar di seluruh dunia. Kebakaran kebakaran hutan dan kabut asap tetap penting
dianggap sebagai ancaman potensial bagi dan mengarahkan ke berbagai masalah penting
pembangunan berkelanjutan karena efeknya yang perlu diselesaikan untuk menghindari dampak
secara langsung pada ekosistem, kontribusi emisi serupa, khususnya selama ENSO berlangsung.
karbon dan dampaknya bagi keanekaragaman Namun, langkah-langkah yang diambil perlu
hayati. Pencemaran kabut asap merupakan mencakup masalah kebijakan yang spesifik,
masalah berulang bahkan selama tahun-tahun memperhitungkan biaya yang relevan untuk
ketika peristiwa ENSO di Indonesia dan negara- menghitung keuntungan yang diperoleh dari
negara tetangganya tidak terjadi. Selama kebijakan yang diusulkan dan dapat menyelesaikan
peristiwa ENSO 1997/98, Indonesia mengalami penyebab spesifik masalah kebakaran hutan.
kebakaran hutan yang paling hebat di dunia. Artinya, kebijakan yang diambil harus dikaji sesuai
Masalah yang sama terulang pada 2002. dengan kelayakannya untuk mengatasi masalah
Walaupun berbagai studi mengenai degradasi hutan dan deforestasi atau terjadinya
kebakaran hutan sudah dilakukan, belum banyak kabut asap pada skala besar.
kemajuan yang dicapai untuk mengatasi
masalah ini di Indonesia. Alasan-alasannya
Kesimpulan dan rekomendasi
antara lain adalah kerancuan kebijakan,
keterbatasan pemahaman tentang dampaknya
Kebakaran, degradasi dan deforestasi serta
terhadap ekosistem, dan kekaburan tentang
alokasi tata guna lahan
berbagai penyebab kebakaran hutan sebagai
akibat ketidakpastian tanggapan secara
• Di banyak tempat masalah alokasi hutan untuk
kepentingan pemanfaatan lahan lainnya,
ekonomi dan kelembagaan terhadap kebakaran
seperti perkebunan kelapa sawit, dan faktor-
hutan. Masalah kebijakan yang terkait dengan
faktor yang menjadi dasar pengambilan
kebakaran dapat didefinisikan sebagai berikut:
keputusan alokasi lahan ini umumnya
merupakan akar penyebab deforestasi hutan,
• pencemaran kabut asap;
kebakaran bukan penyebabnya;
• degradasi hutan dan deforestasi (beserta hasil
• Oleh karena itu dalam banyak kasus, bukan
hutan dan jasanya yang juga hilang); dan
kebakaran hutan sendiri yang merupakan
• dampak negatifnya bagi sektor pedesaan.
penyebab masalah kebijakan, sehingga
penggunaan api dalam pengelolaan
Beberapa penyebab utama masalah
perkebunan tidak perlu dilarang sama sekali
kebijakan yang terkait dengan kebakaran hutan
seperti yang sekarang dicantumkan di dalam
kemudian diselidiki. Ternyata, ada berbagai
undang-undang;
penyebab utama selain masalah kebijakan, dan
di samping itu masalah kebijakan di masing-
• Pengenalan praktik-praktik pengelolaan hutan
yang lebih baik mungkin mengakibatkan
masing negara juga berbeda. Informasi tentang
pengurangan risiko kebakaran hutan,
luas dan lokasi kebakaran hutan pada 1997/98
mengingat kondisi-kondisi sosial-ekonomi dan
dikumpulkan dan perkiraan luas kawasan yang
kelembagaan yang ada;
dilanda kebakaran hutan direvisi dari 9,7 juta
hektar menjadi 11,7 juta hektar.
• Untuk mendukung pengelolaan sumber daya
yang lebih baik, diperlukan penelitian untuk
Dampak kebakaran hutan 1997/98 bagi
menilai kawasan hutan yang aksesnya rendah
ekosistem juga direvisi. Kebakaran yang
(menggunakan parameter-parameter konser-
mengakibatkan degradasi hutan dan deforestasi
vatif yang terkait dengan akses manusia),
menelan biaya ekonomi sekitar 1,62-2,7 miliar
kawasan hutan primer dan hutan sekunder yang
dolar1. Biaya akibat pencemaran kabut asap
secara potensial menghadirkan kondisi-kondisi
sekitar 674-799 juta dolar; biaya ini kemungkinan
lingkungan yang mengarah ke risiko kebakaran
lebih tinggi karena perkiraan dampak ekonomi
hutan signifikan.
bagi kegiatan bisnis di Indonesia tidak tersedia.
vi

Kebakaran dan pencemaran kabut asap tidak sah perlu dituntut. Jika mereka terbukti
• Dibutuhkan analisis lebih lanjut untuk bersalah maka akan dikenakan denda yang
menjelaskan kaitan kontribusi relatif jumlahnya cukup besar sehingga membuat
berbagai kegiatan dengan pencemaran kabut mereka jera;
asap. Namun, dari sajian informasi umum • Jika kegiatan mata pencaharian masyarakat
yang ada jelas bahwa kegiatan perkebunan terkait dengan masalah kebakaran hutan
bukan satu-satunya faktor yang ikut andil, atau kabut asap, maka hanya inisiatif atau
paling sedikit selama ENSO terjadi. Selama kegiatan berbasis masyarakat saja, yang
periode yang tidak dipengaruhi ENSO, didukung oleh perangkat perundangan, yang
kegiatan perkebunan memang merupakan akan berhasil.
faktor utama, tetapi peran kegiatan para
pengguna lahan skala kecil yang semakin Tempat penampungan karbon
meningkat, khususnya di Kalimantan Barat • Karena kebakaran hutan gambut memiliki
dan Tengah, juga perlu dikaji; andil besar dalam emisi karbon, maka perlu
• Selama periode ENSO berlangsung, lahan perhatian apakah konservasi lahan gambut
gambut yang terdegradasi kemungkinan seharusnya dimasukkan dalam komitmen
menjadi faktor risiko tertinggi terjadinya kedua jangka waktu protokol Kyoto.
kabut asap. Pengelolaan dan akhirnya
regenerasi/restorasi lahan gambut mungkin Kebakaran, ENSO dan faktor manusia
perlu dilakukan untuk menghindari bencana- • Pemerintah Indonesia, kalangan industri dan
bencana pencemaran udara yang berat; LSM harus bertindak lebih dari sekedar
• Pengurangan dan/atau pengelolaan mencari pelaku kebakaran hutan dan
pembakaran hutan untuk pembukaan hutan berusaha menjalin kemitraan yang serius
gambut mungkin akan sangat berpengaruh untuk mengatasi kesulitan masalah
dalam menghilangkan masalah kabut asap lingkungan, ekonomi dan sosial ini secara
selama ENSO tidak berlangsung. Namun, biaya, nasional dan internasional.
keuntungan dan aspek penyebaran inisiatif
kebijakan yang ditujukan untuk mengurangi Biaya ekonomi dan penilaiannya
dampak kebakaran hutan ini perlu dikaji; • Inisiatif-inisiatif kebijakan yang bertujuan
• Masih ada keterbatasan pengetahuan yang menyelesaikan masalah yang berhubungan
signifikan, di tingkat pembuatan kebijakan dengan kebakaran hutan perlu
(kabupaten dan provinsi), tentang kegiatan memperhitungkan biaya dan keuntungan
manusia yang memberi andil dalam masalah yang terkait dengan penggunaan api, dan
ini di sebagian besar Indonesia, termasuk hal- juga penyebarannya;
hal yang disebutkan di atas. Kesenjangan • Kajian ekonomi terhadap kebijakan yang
pengetahuan ini perlu dipenuhi untuk bertujuan untuk menyelesaikan masalah
mengembangkan respon kebijakan yang tepat. spesifik kebijakan, seperti deforestasi dan
degradasi hutan atau pencemaran kabut
Kebakaran dan undang-undang asap, harus juga mempertimbangkan
• Peraturan perundangan harus direvisi. Harus berbagai penyebab kebakaran hutan dan
ada larangan untuk melakukan pembakaran dampaknya yang berbeda-beda;
yang menyebabkan kabut asap yang signifikan, • Insentif bagi para pemegang HPH yang
seperti pembakaran di lahan gambut, meskipun menanamkan modal dalam usaha
penggunaan api dalam situasi dan lokasi yang pencegahan dan pemadaman kebakaran
mungkin menimbulkan efek lokal yang tidak hutan perlu dipahami;
diinginkan dari asap, misalnya, terhadap • Penyelesaian masalah kabut asap memang
kesehatan atau transportasi, harus diatur. penting, tetapi masalah deforestasi dan
Dalam hal kebakaran hutan yang degradasi hutan akibat kebakaran hutan juga
mengakibatkan deforestasi yang tidak perlu diselesaikan karena dapat
diinginkan, pihak yang berwenang harus diberi menyebabkan kerugian besar;
kekuasaan untuk mengatur (termasuk • Penelitian lebih lanjut dan kajian kebijakan
melarang) penggunaan api pada waktu-waktu harus diarahkan untuk meningkatkan
tertentu, seperti selama periode ENSO; pemahaman atas kerusakan yang disebabkan
• Dibutuhkan analisis kelayakan tentang oleh kebakaran hutan terhadap fungsi-fungsi
undang-undang yang mengatur pembangunan hutan, untuk memperkirakan seluruh kerugian
lahan gambut, termasuk implikasi sosial, potensial akibat pencemaran kabut asap;
ekonomi dan lingkungan; • Indikator ekonomi, begitu juga indikator
• Perlu diberikan contoh-contoh hukuman yang lingkungan perlu dipertimbangkan dalam
jelas untuk mengefektifkan perubahan dalam pengembangan kebijakan yang bertujuan
penggunaan api oleh perusahaan; artinya untuk meminimumkan dampak kebakaran
perusahaan yang menggunakan api secara hutan dan pencemaran kabut asap.
Kebakaran Hutan di Indonesia: Penyebab, Biaya dan Implikasi Kebijakan 1

1. Pendahuluan Alasan-alasannya antara lain karena kerancuan


Belakangan ini kebakaran hutan semakin kebijakan, keterbatasan pemahaman tentang
menarik perhatian internasional sebagai isu dampaknya terhadap ekosistem dan
lingkungan dan ekonomi, khususnya setelah perekonomian, dan kekaburan tentang berbagai
bencana El Niño (ENSO) 1997/98 yang penyebab kebakaran hutan sebagai akibat
menghanguskan lahan hutan seluas 25 juta ketidakpastian tanggapan secara ekonomi dan
hektar di seluruh dunia (FAO 2001; Rowell dan kelembagaan terhadap kebakaran hutan.
Moore 2001). Kebakaran dianggap sebagai Misalnya, perbedaan antara kerugian sebagai
ancaman potensial bagi pembangunan akibat pencemaran kabut asap dan kebakaran
berkelanjutan karena efeknya secara langsung hutan, berbagai sumber atau penyebabnya dan
bagi ekosistem (United Nations International pentingnya kebijakan yang memiliki target
Strategy for Disaster Reduction 2002), spesifik sering tidak dipertimbangkan. Sampai
kontribusinya terhadap peningkatan emisi sekarang penyebab kebakaran hutan masih
karbon dan dampaknya bagi keanekaragaman menjadi topik perdebatan; apakah merupakan
hayati. Di Asia Tenggara, keprihatinan mengenai bencana alam atau karena ulah manusia (Colfer
dampak kebakaran hutan cukup signifikan, yang 2002). Selain itu, berbagai usulan kebijakan yang
ditunjukkan dengan penandatanganan diajukan kadang tidak didasari analisis biaya dan
Perjanjian Lintas Batas Pencemaran Kabut oleh manfaat tindakan spesifik yang diambil untuk
negara-negara anggota Association of Southeast menyelesaikan masalah dan penyebabnya.
Asian Nations (ASEAN) pada bulan Juni 2002 di Laporan ini mengkaji ulang dan menentukan
Kuala Lumpur. ‘Kebakaran hutan’ merupakan batasan berbagai masalah kebijakan dan
salah satu prioritas yang dinyatakan oleh mengidentifikasi kebijakan-kebijakan umum
Departemen Kehutanan Indonesia dan aksi untuk yang mungkin diperlukan untuk menangani
menangani masalah ini dimasukkan dalam dampak-dampak negatif kebakaran hutan.
dokumen komitmen kepada negara-negara Laporan ini diawali dengan memadukan
donor yang terhimpun dalam Consultative Group informasi mengenai luas dan lokasi kebakaran
on Indonesia (CGI). hutan. Fokus selanjutnya adalah penentuan
Pada 1997/98, Indonesia mengalami masalah kebijakan. Beberapa penyebab utama
kebakaran hutan paling parah di seluruh dunia. disoroti dengan menjelaskan kegiatan-kegiatan
Citra situasi kota yang diliputi kabut, hutan yang tata guna lahan yang memiliki kontribusi
terbakar dan orangutan yang menderita terjadinya kebakaran hutan. Akar penyebab
terpampang di halaman utama berbagai koran kebakaran hutan yang terjadi dalam berbagai
dan televisi dan menarik perhatian umum. kegiatan pemanfaatan lahan, seperti tatanan
Negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia, kelembagaan dan struktur insentif yang dihadapi
dan juga lembaga-lembaga bantuan oleh para pemangku kepentingan (stakeholders)
pembangunan, melibatkan diri dalam usaha dalam menggunakan dan/atau mengendalikan
memadamkan kebakaran hutan tersebut. kebakaran hutan, tidak dianalisis. Analisis
Kejadian ini dinyatakan sebagai salah satu seperti ini berada di luar cakupan laporan ini,
bencana lingkungan terburuk sepanjang abad namun diperlukan untuk mengembangkan
(Glover 2001), karena dampaknya bagi hutan dan kebijakan-kebijakan yang tepat; oleh karena itu
juga jumlah emisi karbon yang dihasilkannya akan menjadi fokus penelitian selanjutnya.
sangat besar. Laporan ini selanjutnya menguraikan hasil kajian
Walaupun perhatian terus meningkat dan analisis dampak kebakaran hutan pada
terhadap masalah kebakaran hutan dan berbagai ekosistem. Laporan ini memberi perhatian
tindakan telah diupayakan untuk menghindari, khusus pada penilaian biaya ekonomi akibat
mengurangi atau menekan dampak kebakaran kebakaran hutan tahun 1997/98. Penilaian
hutan yang tidak dikehendaki, bencana ekonomi terhadap berbagai bencana yang
pencemaran kabut asap2 masih terjadi lagi pada muncul dapat digunakan untuk: i) menarik
tingkatan yang berbeda di lokasi yang sama perhatian ke arah masalah dan menyoroti
setiap tahun di Asia Tenggara; tingkat yang perannya, ii) menilai perluasan dampaknya ke
tertinggi terjadi pada Agustus-Oktober 2002 sektor ekonomi dan penduduk dan iii)
sejak peristiwa kebakaran hutan tahun 1997. mengevaluasi penyempurnaan kebijakan.
Selanjutnya, kendati berbagai studi Penilaian biaya ekonomi akibat kebakaran hutan
mengenai kebakaran hutan sudah banyak di Indonesia secara khusus telah dipakai untuk
dilakukan, belum banyak kemajuan yang dicapai menarik perhatian terhadap masalah ini tetapi
untuk mengatasi masalah ini di Indonesia. perhatian yang dicurahkan pada perluasan

OP-38 INa.p65 1 2/26/2003, 11:59 PM


Black
2 CIFOR Occasional Paper No. 38(i) Luca Tacconi

dampaknya terbatas dan tidak digunakan dengan mendapat perhatian yang lebih besar. Isu yang
tepat dalam mengevaluasi perbaikan kebijakan- terkait dengan metodologi yang muncul dalam
kebijakan. Oleh karena itu, laporan ini berusaha laporan ini diharapkan akan bermanfaat bagi
menyajikan estimasi dan komentar untuk studi serupa di wilayah lain.
penggunaan selanjutnya dalam studi selanjutnya
dengan sasaran untuk menilai kebijakan-
kebijakan secara spesifik. Studi ini merupakan
langkah pertama yang dibutuhkan untuk
2. Luas kebakaran hutan
mengidentifikasi penelitian selanjutnya yang selama peristiwa ENSO
diperlukan untuk melakukan klarifikasi i) rincian 1997/98
penyebab langsung dan akar penyebab masalah Pengkajian nasional paling lengkap mengenai
dan ii) berbagai respon kebijakan yang tepat. luas lahan yang terbakar selama peristiwa ENSO
Komentar mengenai kedua isu ini juga disajikan 1997/98 memperkirakan total lahan yang
di bagian akhir laporan ini. terbakar sekitar 9,75 juta ha (BAPPENAS-ADB
Sebelum memulai analisis perlu 1999, selanjutnya, studi ADB [ADB, Asian
diperhatikan bahwa karena tingkat keparahan Development Bank; BAPPENAS, National
kebakaran hutan dan dampaknya semakin Development Planning Agency of Indonesia])
meningkat di dunia ini, maka analisis kebijakan (Tabel 1). Perkiraan ini diperbarui berdasarkan
dan ekonomi akibat kebakaran hutan perlu pembahasan berikut dan hasil ringkasannya

Tabel 1. Perhitungan ADB untuk kawasan yang dilanda kebakaran tahun 1997/98 (hektar)
Tipe vegetasi Sumatera Jawa Kalimantan Sulawesi Papua Barat Total
Hutan pegunungan 100.000 100.000
Hutan dataran rendah 383.000 25.000 2.375.000 200.000 300.000 3.283.000
Hutan payau dan gambut 308.000 750.000 400.000 1.458.000
Semak dan rumput kering 263.000 25.000 375.000 100.000 763.000
HTI 72.000 116.000 188.000
Perkebunan 60.000 55.000 1000 3000 119.000
Pertanian 669.000 50.000 2.829.000 199.000 97.000 3.843.000
Total 1.755.000 100.000 6.500.000 400.000 1.000.000 9.755.000
Sumber: BAPPENAS-ADB (1999).

Map 1. Propinsi yang dilanda kebakaran dan persebaran pencemaran kabut asap pada tahun 1997/98

Sumber: Penyebaran kabut asap diperoleh dari Barber and Schweithelm (2000).

OP-38 INa.p65 2 2/26/2003, 11:59 PM


Black
Kebakaran Hutan di Indonesia: Penyebab, Biaya dan Implikasi Kebijakan 3

disajikan dalam Tabel 4. Deskripsi wilayah mirip. Namun, perhatikan bahwa dalam Tabel 1
geografi yang dibahas dalam laporan ini hanya 375,000 ha yang termasuk ‘semak kering
disajikan dalam Peta 1. Studi ADB dikembangkan dan rumput’, yang luasnya lebih kecil daripada
dari pengkajian nasional awal yang dilakukan kebakaran hutan lahan yang diklasifikasikan
tahun 1997 oleh Liew dkk. (1998) kemudian dalam kategori ‘lahan kering yang tidak produktif’
direvisi, termasuk kawasan rawa gambut di Kalimantan Timur (Tabel 2). Oleh karena itu
tambahan yang terbakar di Sumatera seluas dapat diasumsikan bahwa kebakaran hutan di
316,000 ha (Liew dkk. 2001). Dengan demikian bagian kawasan lahan kering yang tidak produktif
perkiraan ADB disesuaikan berdasarkan data dimasukkan dalam kategori ‘pertanian’ oleh ADB.
terbaru ini.3 Kategori lahan pertanian berkurang, tetapi tidak
Proyek Integrated Forest Fire Management untuk semua kategori pertanian yang lain karena
(IFFM) (yang didanai Pemerintah Jerman, estimasi untuk kategori ‘pertanian’ dalam studi
selanjutnya dikenal dengan studi GTZ [Deutsche ADB terlalu rendah.
Gesellschaft fur Technische Zusammenarbeit]), Ada perbedaan mendasar untuk kategori
melakukan penilaian secara rinci terhadap ‘hutan tanaman industri’. Perbedaan ini tidak
kebakaran hutan di Kalimantan Timur pada mengherankan karena studi ADB yang dilakukan
1997/98 (Hoffmann dkk. 1999).4 Ada beberapa mengandalkan data yang disediakan oleh Dinas
perbedaan antara estimasi hasil studi GTZ Kehutanan di Kalimantan Timur, yang tidak
dengan estimasi ADB (Tabel 2). Estimasi hutan didasarkan pada penilaian menyeluruh terhadap
rawa dan lahan basah mangrove yang terbakar data penginderaan jauh. Argumen serupa
50% lebih tinggi daripada hasil studi GTZ. Namun, berlaku juga untuk kategori ‘perkebunan’.
hasil studi ADB tidak memberikan rincian yang Karena itu estimasi ADB lebih tinggi. Perbedaan
sama untuk kategori ini seperti yang diberikan antara estimasi yang dilakukan berdasarkan dua
oleh GTZ, maka integrasi data tidak dapat studi ini ternyata cukup besar. Namun, setelah
diberikan. Ini karena hutan rawa gambut yang angka-angka untuk hutan tanaman industri dan
terbakar akan melepaskan jumlah karbon yang perkebunan (yang dalam studi ADB tidak
jauh lebih banyak daripada mangrove yang didasarkan analisis penginderaan jauh) telah
terbakar. Oleh karena itu, estimasi ADB dapat disesuaikan, dan sekarang perbedaannya hanya
dianggap konservatif. sekitar 10%.
Hutan dataran rendah dan subpegunungan Studi untuk menilai kebakaran hutan
merupakan kategori yang mirip dalam dua studi gambut di Kalimantan Tengah (Page dkk. 2002)
yang dilakukan dan karena itu dapat memperkirakan bahwa di kawasan studi yang
diintegrasikan. ‘Lahan kering yang tidak luasnya sekitar 2,5 juta ha, termasuk kawasan
produktif’ dan ‘Lahan terbuka (savana), alang- proyek Sawah Sejuta Hektar, kebakaran hutan
alang, dan semak belukar’ adalah kategori yang mencakup luas sekitar 797.000 ha. Dari total

Tabel 2. Perbandingan perhitungan luas kawasan yang terbakar di Kalimantan Timur, 1997/98

Vegetasi/tata guna lahan ADB GTZ Perbedaan


Hutan rawa, lahan basah mangrove, di antaranya: 433.000 693.259 260.259
- Hutan rawa gambut 311.098
- Lahan basah 290.432
- Mangrove 91.729
Hutan dataran rendah 1.862.000 2.177.880 315. 880
Hutan subpegunungan 4.000 213.194 209.194
Lahan kering yang tidak berproduksi 798.000
Lahan terbuka, alang alang, semak 292.569 -505.431
HTI 116.000 883.988 767.988
Perkebunan 15.000 382.509 367.509
Pertanian 301.000 459.239 158.239
Pemukiman 7000 -7000
Kolam udang 316 316
Total 3.536.000 5.102.954 1.566.954
Sumber: ADB: BAPPENAS-ADB (1999); GTZ: (Hoffmann dkk. 1999).

OP-38 INa.p65 3 2/26/2003, 11:59 PM


Black
4 CIFOR Occasional Paper No. 38(i) Luca Tacconi

kawasan hutan yang terbakar, kebakaran hutan memperbarui angka-angka hasil studi ADB, maka
terjadi di hutan gambut seluas 729.500 ha, estimasi yang dilakukan ADB tidak direvisi.
hampir sama dengan estimasi ADB, yaitu 750.000 Estimasi konservatif yang disajikan dalam
ha yang terbakar di seluruh Kalimantan. Tabel 4 menunjukkan peningkatan luas kawasan
Mengingat angka estimasi luas hutan gambut yang dilanda kebakaran hutan sekitar 1,94 juta
yang terbakar di Kalimantan Timur oleh GTZ ha. Peningkatan ini terjadi di hutan dataran
(311.000 ha), dan luas hutan gambut lainnya rendah dan hutan rawa gambut, berturut-turut
yang tidak termasuk dalam studi Page dkk. sekitar 315.000 ha dan 666.000 ha.
(2002), yaitu di Kalimantan Tengah dan juga di
Kalimantan Barat, maka jelas bahwa luas hutan
rawa gambut yang terbakar di seluruh
Kalimantan pada 1997/98 jauh melebihi 3. Masalah kebijakan
1.000.000 ha. Oleh karena itu, dengan yang terkait dengan
menambahkan estimasi hutan rawa gambut yang
dilakukan Page dkk. 2002 ke dalam estimasi GTZ,
kebakaran hutan
LSM nasional dan internasional, badan-badan yang
estimasi gabungan untuk Kalimantan adalah
memberikan bantuan dan media telah
1.100.000 ha.
menggunakan angka estimasi biaya kebakaran
Estimasi luas lahan gambut yang terbakar
hutan 1997/98 untuk menekankan keparahan
di seluruh Indonesia juga disajikan oleh Page dkk.
‘masalah kebakaran hutan,’ kebutuhan akan
2002, tetapi tidak diadopsi di sini karena alasan-
tindakan pemerintah untuk mencegah timbulnya
alasan berikut. Estimasi ini menghasilkan kisaran
kebakaran hutan selanjutnya dan
yang lebih tinggi sekitar 7 juta hektar dengan
mengendalikannya. Kebijakan yang
memasukkan proporsi perkiraan kawasan yang
direkomendasikan sangat bervariasi dan
terbakar di kawasan studi di Kalimantan Tengah
menyangkut sektor-sektor kehutanan dan
(33,9%) ke dalam luas lahan gambut nasional
pertanian, termasuk perkebunan kelapa sawit dan
(20,07 juta ha). Namun, tidak ada bukti bahwa
HTI, begitu juga perkebunan rakyat. Kebijakan-
proporsi ini mungkin benar di tingkat nasional.
kebijakan ini meliputi pelarangan atau
Karena itu estimasi yang diusulkan kisarannya
pembekuan konversi hutan sampai ke perbaikan
lebih rendah, yaitu 2,44 ha berdasarkan
kebijakan alokasi lahan dan prosedur
‘kombinasi sumber-sumber yang bisa diverifikasi
pengendalian kebakaran hutan telah tersedia,
dan yang tidak’ tetapi penjelasan tentang
dengan adopsi pengurangan dampak kegiatan
sumber-sumber tersebut tidak ada.
pembalakan, memperkokoh peraturan dan
Estimasi rinci mengenai luas kawasan yang
hukuman bagi yang membuka lahan di
terbakar di seluruh Sumatera belum ada, selain
perkebunan dengan cara membakar lahan dan
yang telah dihitung di atas (Liew dkk. 1998; Liew
rasionalisasi tata guna lahan yang melibatkan
dkk. 2001). Penilaian terhadap kawasan yang
masyarakat untuk mengembangkan konsensus
terbakar di Provinsi Lampung dan Sumatera
tata guna lahan dan menetapkan tanggung
Selatan menghasilkan estimasi total kawasan
jawab dan komitmen masyarakat (BAPPENAS-
yang terbakar sekitar satu juta hektar (Legg dan
ADB 1999; Barber dan Schweithelm 2000;
Laumonier 1999), tetapi rincian tipe vegetasi
Applegate dkk. 2001; Glover 2001; Qadri 2001;
yang terbakar tidak dilakukan. Penilaian lebih
Siegert dkk. 2001).
lanjut mengenai kawasan yang terbakar tersedia
Pemikiran bahwa ‘kebakaran hutan’
untuk kawasan Sumatera Selatan (Forest Fire
merupakan masalah kebijakan, atau sebagai
Prevention dan Control Project 1999). Studi ini
masalah tunggal kebijakan sehingga perlu
menghasilkan estimasi kawasan yang terbakar
rekomendasi umum untuk menyelesaikannya
sekitar 2,8 juta hektar. Jika diperhatikan
adalah pemikiran yang keliru. Dampak
estimasi luas kawasan yang terbakar ini lebih
kebakaran hutan merupakan rangkaian berbagai
tinggi daripada luas total yang dilaporkan oleh
masalah. Tanpa mengakui bahwa inilah masalah
ADB untuk seluruh Sumatera. Ini dapat dijadikan
sebenarnya menimbulkan dua implikasi penting:
indikasi bahwa estimasi ADB lebih konservatif.
Namun, data yang disajikan dalam Tabel 3
a) Ada risiko bahwa semua kebakaran hutan
memang hampir pasti menunjukkan angka
dianggap sebagai masalah daripada
estimasi yang lebih tinggi daripada luas aktual
memikirkan dalam keadaan bagaimana api
kawasan yang terbakar.5 Karena ada faktor
bisa menjadi alat pengelolaan lahan yang
ketidakpastian data dan kenyataan bahwa
sesuai;
estimasi tersebut tidak memungkinkan untuk

OP-38 INa.p65 4 2/26/2003, 11:59 PM


Black
Kebakaran Hutan di Indonesia: Penyebab, Biaya dan Implikasi Kebijakan 5

Tabel 3. Perhitungan kawasan yang terbakar selama musim kemarau tahun 1997 di Sumatera Selatan

Status lahan dan tata guna lahan Kawasan yang terbakar


Ha % dari
totalnya

Kawasan bukan hutan 2.097.050 75


Kebakaran yang dikendalikan 1.501.000 54
- Sawah irigasi 390.000 14
- Perladangan berpindah 894.000 32
- Sawah di kawasan berawa 145.000 5
- Pembukaan lahan di perkebunan karet tua oleh para peladang kecil 14.000 1
- Pembukaan lahan di perkebunan kopi tua 8000 0
- Pembukaan lahan oleh perusahaan-perusahaan perkebunan 50.000 2
Kebakaran yang tidak dikendalikan 596.050 21
- Perkebunan kelapa sawit/karet dan perkebunan skala besar lainnya 13.800 0
- Hutan sekunder 100.000 4
- Vegetasi semak dan perdu yang terbakar karena kebakaran liar sebelumnya 290.000 10
- Vegetasi semak dan perdu 30.000 1
- Padang rumput 30.000 1
- Kawasan perkebunan para petani kecil 30.000 1
- Kawasan transmigrasi 250 0
- Lainnya 102.000 4

Lahan hutan 700.988 25


Kebakaran yang dikendalikan 70.000 3
- Hutan Tanaman Industri HPHTI, pembukaan lahan 70.000 3
Kebakaran yang tidak dikendalikan 630.988 23
- HPH di hutan primer dan sekunder 10.491 0
- Reforestasi HTI 14.494 1
- Reforestasi lainnya selain di HTI 5000 0
- Semak dan perdu 393.000 14
- Padang rumput, hutan yang terdegradasi 30.000 1
- Kawasan rawa dan gambut 173.000 6
- Lainnya 5000 0

Total kebakaran yang dikendalikan 1.571.000 56


Total kebakaran liar 1.227.038 44
Total seluruh kebakaran (dikendalikan dan tidak dikendalikan) 2.798.038 100
Sumber: (Forest Fire Prevention and Control Project March 1999).

Tabel 4. Perhitungan revisi luas kawasan yang dilanda kebakaran tahun 1997/98 (hektar)
Tipe vegetasi Sumatera Jawa Kalimantan Sulawesi Papua Barat Total
Hutan pegunungan 213194 100000 313194
Hutan dataran rendah 383000 25000 2690880 200000 300000 3598880
Hutan payau dan gambut 624000 1100000 400000 2124000
Semak dan rumput kering 263000 25000 375000 100000 763000
HTI 72000 883988 955988
Perkebunan 60000 382509 1000 3000 446509
Pertanian 669000 50000 2481808 199000 97000 3496808
Total 2071000 100000 8127379 400000 1000000 11698379
Sumber: Diperoleh dari (BAPPENAS-ADB 1999). Angka yang ditulis miring merupakan perhitungan terbaru.

OP-38 INa.p65 5 2/26/2003, 11:59 PM


Black
6 CIFOR Occasional Paper No. 38(i) Luca Tacconi

b) Kita mungkin kehilangan kesempatan untuk beberapa peristiwa pencemaran kabut asap yang
menyoroti kenyataan bahwa kebakaran melintasi batas negara selama dua dekade
hutan mungkin memiliki dampak-dampak terakhir, dan yang terpenting adalah peristiwa
yang berbeda (misalnya, sesuai dengan yang terkait dengan kebakaran hutan terbesar
lokasi dan kawasan yang terkena dampak) tahun 1997.
sehingga perlu diselesaikan dengan kebijakan Di Indonesia, kebakaran hutan gambut
yang berbeda pula. merupakan penyumbang pencemaran kabut asap
yang terbesar. Tahun 1997/98, kebakaran hutan
Berkaitan dengan butir yang pertama, gambut mungkin menghasilkan 60-90% emisi
sudah banyak diskusi serius di Indonesia yang menyebabkan kabut asap dan kebakaran
mengenai luas kebakaran hutan, tetapi belum hutan ini juga merupakan sumber utama emisi
dijelaskan kebakaran hutan mana yang dianggap karbon (BAPPENAS-ADB 1999). Tahun 1997,
sebagai masalah, artinya kebakaran hutan mana penyumbang utama pencemaran kabut asap
yang menimbulkan dampak yang tidak yang menyebar hingga ke Singapura, daratan
dikehendaki. Untuk kasus kebakaran hutan di utama Malaysia dan Sumatera adalah kebakaran
Indonesia, tiga masalah kebijakan utama yang hutan gambut di Provinsi Jambi, Riau 6 dan
diidentifikasi terkait dengan kebakaran hutan Sumatera Selatan. Kebakaran ini terutama
adalah sebagai berikut: akibat pembukaan lahan untuk dijadikan
perkebunan kelapa sawit dan HTI. Di Sumatera
• pencemaran kabut asap, emisi karbon dan Selatan, kebakaran yang terjadi di lahan basah
dampak-dampak terkait lainnya; juga disebabkan oleh kegiatan-kegiatan mata
• degradasi hutan dan deforestasi, dan pencaharian masyarakat seperti persawahan,
hilangnya hasil hutan dan berbagai jasa penangkapan ikan dan pembalakan7, tetapi
lingkungan yang diberikan hutan, termasuk sejauh mana tingkat penyebab masing-masing
kayu, hasil hutan nonkayu, erosi tanah dan masih belum diketahui (Anderson dan Bowen
lenyapnya fungsi pengendali banjir, 2000; Barber dan Schweithelm 2000, peta 2;
keanekaragaman hayati; dan Tapper dkk. 2001). Selama tahun-tahun di luar
• kerugian di sektor pedesaan akibat masa ENSO, pembukaan lahan gambut untuk
kebakaran hutan liar dan anomali cuaca yang perkebunan tampaknya merupakan sumber
dipicu oleh kebakaran hutan. utama kabut asap (Sargeant 2001).
Meskipun peran perusahaan-perusahaan
Emisi karbon dapat juga dianggap sebagai besar telah didokumentasikan dengan baik, ada
masalah terpisah karena merupakan isu juga peningkatan pengaruh aktivitas petani kecil
lingkungan yang terjadi secara global. Namun sebagai faktor penyumbang masalah kabut asap.
masalah emisi karbon akibat kebakaran hutan Tahun 1997, kebakaran hutan gambut di kawasan
yang tidak dipandang terlalu penting oleh Proyek Sawah Sejuta Hektar yang dibuat oleh
pemerintah, akan dibahas kemudian. Kehilangan pemerintah di Kalimantan Tengah merupakan
keanekaragaman hayati mungkin lebih sumber utama kabut asap di Kalimantan (Barber,
merupakan keprihatinan kelompok-kelompok 2000; Siegert, 2001) yang juga melanda Sarawak.
internasional daripada pemerintah sendiri. Sekali lagi, tahun 2002, terjadi kebakaran hutan
Ketiga masalah-masalah kebijakan ini akan di kawasan yang sama, yang menghasilkan kabut
dibahas satu persatu nanti. Masalah kerugian di asap tebal yang menyelimuti Kalimantan Tengah
sektor pedesaan disoroti secara singkat. Masalah mulai Agustus hingga Oktober. Kebakaran yang
ini tidak menonjol dalam agenda kebijakan menimbulkan kabut asap tebal juga melanda
penting di tingkat internasional, nasional dan kawasan yang sama pada Agustus 2001 (Anderson
bahkan provinsi dan belum menjadi fokus 2001).
penelitian mendalam. Pembakaran hutan secara ektensif di
Kalimantan Barat tahun 1997, mungkin untuk
membuka lahan perkebunan kelapa sawit dan
3.1 Pencemaran kabut asap dan emisi HTI (Potter dan Lee 1999) di lahan gambut dan
karbon juga karena kegiatan mata pencaharian
Pencemaran kabut asap merupakan masalah penduduk di kawasan Danau Sentarum (Dennis
utama kebijakan yang terkait dengan kebakaran dkk. 2000) menyebabkan pencemaran kabut
dan menarik perhatian negara-negara tetangga asap di Kalimantan Barat dan Sarawak. Selama
dan melalui tekanan yang mereka berikan, Januari-April 1998, kebakaran hutan di kawasan
menarik perhatian pemerintah Indonesia. Ada Danau Mahakam bagian Tengah, tampaknya

OP-38 INa.p65 6 2/26/2003, 11:59 PM


Black
Kebakaran Hutan di Indonesia: Penyebab, Biaya dan Implikasi Kebijakan 7

berkaitan dengan kegiatan mata pencaharian tampaknya terjadi degradasi hutan skala besar
penduduk, (Chokkalingam dkk. 2001), demikian yang tidak disengaja. Apakah deforestasi skala
juga kebakaran hutan skala besar di kawasan besar juga terjadi, masih memerlukan kajian
lain di Kalimantan Timur, mempunyai andil besar lebih lanjut.
dalam pencemaran kabut asap di provinsi ini. Kebakaran hutan tahun 1997 jauh lebih
Kebakaran-kebakaran hutan ini tidak ekstensif dibandingkan periode di luar ENSO
mengakibatkan pencemaran lintas batas yang (Anderson dkk. 1999), ini menunjukkan bahwa
signifikan. kemungkinan terjadi kebakaran yang tidak
Kebakaran di Papua bagian selatan memiliki disengaja. Namun kebakaran hutan di
andil besar dalam kabut asap pada tahun 1997. Sumatera, Sulawesi, Papua Barat dan Kalimantan
Namun peristiwa ini tidak begitu diperhatikan Barat dan Kalimantan Selatan tampaknya terjadi
karena kabut asap menyebar ke barat ke arah di lahan-lahan yang sedang dibuka. Di Sumatera
laut (Legg dan Laumonier 1999; Tapper dkk. Selatan kebakaran hutan melanda sebagian
2001) dan melanda kawasan Papua Barat sendiri besar hutan yang terdegradasi dan semak
yang memiliki kepadatan penduduk yang rendah belukar (Achard dkk. 1998; Potter dan Lee 1999;
dan tidak ada kota besar. Anderson dan Bowen 2000; FWI/GFW 2002).
Kesimpulannya, pencemaran kabut asap dan Dengan memperhatikan perbedaan antara
emisi karbon terutama disebabkan oleh kebakaran pembukaan hutan yang direncanakan dengan
hutan yang disengaja dan rambatan api dari kebakaran hutan liar yang masih terjadi di
kawasan lahan gambut. Hubungan antara kegiatan kawasan yang dialokasikan untuk pembukaan
pembakaran di dalam hutan dan perkebunan lahan dan tidak disengaja, angka kehilangan
selain di lahan gambut, padang rumput dan lahan hutan akibat kebakaran hutan yang tidak sengaja
pertanian lainnya, lebih terbatas relevansinya ternyata cukup penting dalam estimasi kerugian
dengan masalah kebijakan ini. ekonomi, yang diuraikan secara rinci dalam
Bagian 4, dan bagi perbaikan kebijakan yang
akan dikembangkan kemudian.
3.2 Degradasi dan deforestasi hutan
serta hilangnya berbagai hasil hutan
dan jasanya 3.3 Kerugian di sektor pedesaan
Lenyapnya hutan berikut berbagai hasil dan Kerugian di sektor pedesaan mungkin disebabkan
jasanya merupakan sebagian besar masalah oleh kebakaran hutan liar oleh kegiatan pertanian
kebijakan nasional yang kerugiannya ditanggung atau kegiatan lainnya. Data tentang kerugian
oleh Indonesia. Tentu saja ada pemangku potensial di tingkat nasional dan juga lokal sangat
kepentingan asing yang juga prihatin atas jarang tersedia. Kemungkinan isu ini kurang
besarnya kerugian yang harus ditanggung, mendapat perhatian karena kebanyakan
khususnya yang terkait dengan keanekaragaman organisasi yang terlibat dalam penilaian dampak
hayati. Tahun 1997/98, hutan dataran rendah kebakaran hutan sebagian besar menaruh
Kalimantan Timur mengalami kebakaran hutan perhatian pada hutan dan keanekaragaman
yang paling ekstensif, sekitar 60% dari total luas hayati. Kemungkinan dampaknya terhadap sektor
hutan ini. Kawasan ini juga mengalami musim pedesaan kurang penting, sehingga membatasi
kemarau yang paling hebat karena pengaruh perhatian para pemangku kepentingan nasional
ENSO (Fuchs dan Schneider 2002). Sumber api dan lokal mengenai topik ini dan/atau juga
masih belum dipahami dengan baik, tetapi zona- merupakan penilaian yang sulit dan mahal untuk
zona titik api tersebar dan tidak dipengaruhi dilakukan. Data yang tersedia (Jhamtani dan
oleh perbedaan tipe lahan (Steenis dan Fogarty Badawi 1998; Oosterman dan Widayat 2001)
2001). Ini mengindikasikan bahwa kebakaran menunjukkan bahwa paling sedikit ada beberapa
hutan dengan tingkat yang sama melanda semua kawasan pedesaan yang kemungkinan terkena
lahan garapan dan bahwa kebakaran hutan liar dampak kebakaran hutan liar. Selain itu ada
memiliki kaitan dengan serangkaian kegiatan laporan-laporan potensi dampak negatif kabut
komersial dan mata pencaharian utama. asap terhadap produksi pertanian, misalnya
Berbagai kegiatan yang memiliki andil terhadap kelapa sawit (Casson 2000), karena
peristiwa kebakaran hutan selanjutnya perlu mempengaruhi proses fotosintesis, tetapi laporan
dijajaki. Mengingat luas yang terbakar di lain menyatakan bahwa penyebabnya adalah
kawasan HPH dan hutan lindung cukup musim kemarau (United States Department of
signifikan, masing-masing 2.347.717 ha dan Agriculture 1998). Namun, ada beberapa bukti
440.381 ha (Hoffmann dkk. 1999, h 21) – yang menunjukkan bahwa asap akibat kebakaran

OP-38 INa.p65 7 2/26/2003, 11:59 PM


Black
8 CIFOR Occasional Paper No. 38(i) Luca Tacconi

hutan tahun 1998 di Kalimantan telah menahan (biaya tidak langsung). Biaya intangible lebih
hujan (Rosenfeld 1999). Penelitian lebih lanjut sulit dihitung, sehingga harus didasarkan pada
mengenai dampak kabut asap dan kebakaran berbagai macam perkiraan. Kepentingan biaya
hutan terhadap sektor pedesaan secara khusus intangible tidak boleh dianggap remeh hanya
diperlukan di kawasan yang dilanda kebakaran karena biaya ini sulit dihitung, walaupun,
hutan liar yang signifikan seperti di Kalimantan keandalan estimasi mungkin diragukan dan
Timur. mungkin diabaikan oleh pemangku kepentingan
tertentu.
Data berikut ini disajikan untuk menyoroti
4. Menghitung kembali berbagai dampak kebakaran hutan di Indonesia
biaya ekonomi akibat dan negara lainnya, dan juga biaya langsung
akibat kebakaran hutan dan kabut asap yang
kebakaran hutan ditimbulkannya. Estimasi nilai agregat akan
1997/98 dibahas lebih dulu. Kemudian diikuti dengan
Pada peristiwa kebakaran hutan tahun 1997/98 rincian biaya lainnya. Bila perlu estimasi telah
ada tiga studi yang dilakukan di tingkat nasional direvisi dan ringkasannya disajikan dalam Tabel
(Jhamtani dan Badawi 1998; BAPPENAS-ADB 8 dan 9.
1999; Glover dan Jessup 1999, selanjutnya
disebut studi ISAS [Institute of Southeast Asian
Studies]). Studi ADB dikembangkan dari 4.1 Estimasi nilai agregat
Jhamtani dan Badawi (1998). Oleh karena itu, Studi ISAS menggunakan nilai tukar Rupiah rata-
hanya studi ADB dan ISAS yang dianggap rinci rata tahun 1997 sebesar 2500 rupiah per dolar,
dan ringkasan dari asumsi dan parameter sedangkan studi ADB memakai nilai tukar Rupiah
utamanya disajikan dalam Lampiran. Kedua rata-rata tahun 1998 sebesar 8000 rupiah per
studi utama ini dikaji berdasarkan alasan-alasan dolar. Krisis di Asia pada tahun 1997/98
berikut ini: menyingkapkan kelemahan perekonomian di
Indonesia, termasuk nilai tukar Rupiah yang
• banyak praktisi yang berpendapat bahwa terlalu tinggi. Dengan meninjau kembali hal ini,
kedua studi ini saling mendukung temuan maka nilai tukar yang lebih tepat digunakan
masing-masing, karena itu hasilnya mendapat adalah dari tahun 1998.
sambutan yang luas. Keyakinan ini Dalam studi ISAS, biaya yang terkait dengan
berdasarkan kenyataan bahwa studi ADB, yang pertanian dan kesehatan di Indonesia, yang
meliput insiden kebakaran hutan yang terjadi merupakan kategori biaya yang dihitung dalam
pada tahun 1997 dan 1998, menghitung luas rupiah kemudian dikonversi ke dolar, masing-
kawasan yang terbakar dan juga kerugian total masing turun dari 470 juta dolar menjadi 147
di sektor ekonomi, yang nilainya hampir dua juta dolar untuk pertanian dan dari 924 juta
kali lipat dari nilai dalam studi ISAS, yang dolar menjadi 289 juta dolar untuk kesehatan
hanya meliput tahun 1997 saja; (Tabel 5).
• kekurangan atau kelemahan di satu studi Studi ADB menghitung biaya total
dapat disoroti oleh temuan studi lainnya; ‘kebakaran hutan dan kekeringan’ di Indonesia.
• estimasinya dapat digunakan untuk saling Namun, hasil dari studi ini sering dikutip oleh
melengkapi. media, dalam publikasi ilmiah (misalnya, Barber
dan Schweithelm 2000), dan juga dalam
Penghitungan kembali kerugian ekonomi dokumen-dokumen resmi (misalnya, Qadri 2001)
dilakukan dalam kerangka yang menyoroti sebagai kerugian akibat ‘kebakaran hutan’ saja.
perbedaan antara biaya nyata yang bisa diukur Oleh karena itu biaya pertanian yang terkait
secara moneter (tangible) dan biaya yang tidak dengan kekeringan (2431 miliar dolar) tidak ikut
dapat langsung diukur dengan nilai uang dihitung (Tabel 6).
(intangible) (Bureau of Transport Economics Ada kesamaan dan juga perbedaan yang
2002). Biaya tangible ini dihitung melalui nilai- signifikan antara dua studi ini (Tabel 7).
nilai pasar seperti kerusakan infrastruktur (biaya Keduanya mengaitkan biaya kebakaran sebagai
langsung) dan kerugian produksi (biaya tidak bagian paling besar biaya total yang ditanggung
langsung). Sedangkan biaya intangible oleh Indonesia. Dalam dua studi ini, kabut asap
merupakan biaya yang tidak memiliki nilai pasar memiliki proporsi biaya yang lebih kecil
seperti dampak negatif terhadap kesehatan dibandingkan kebakaran hutan. Jika biaya
(biaya langsung) dan gangguan kegiatan sosial regional akibat pencemaran kabut asap

OP-38 INa.p65 8 2/26/2003, 11:59 PM


Black
Kebakaran Hutan di Indonesia: Penyebab, Biaya dan Implikasi Kebijakan 9

Tabel 5. Perhitungan ISAS, nilai tukar rata-rata disesuaikan (juta dolar)

Masalah biaya Indonesia Negara lainnya Total


Dinilai Tidak dinilai Dinilai Tidak dinilai
dengan dengan dengan dengan
uang uang uang uang
1. Kerusakan yang terkait dengan kebakaran
Kayu 494 494
Pertanian 147 147
Keuntungan langsung dari hutan 705 705
Keuntungan tidak langsung dari hutan 1077 1077
Keanekaragaman hayati yang bisa diperoleh 30 30
Biaya pengendalian kebakaran 11 13 25
Emisi karbon 272 272
Sub-otal 652 1812 13 272 2750

2. Kerusakan yang terkait dengan kabut asap


Kesehatan 289 17 306
Pariwisata 70 186 256
Transportasi 18 7 25
Kerugian produksi industri 157 157
Penurunan hasil tangkapan ikan 16 16
Subtotal 88 289 366 17 760
Total biaya 740 2101 379 289 3509
Sumber: Diperoleh dari (Glover dan Jessup 1999).

Tabel 6. Perhitungan ADB (juta dolar)


Masalah biaya Indonesia Negara lainnya Total
Dinilai Tidak dinilai Dinilai Tidak dinilai
dengan dengan dengan dengan
uang uang uang uang
1. Biaya yang terkait dengan kebakaran
Kayu 1461
Pohon yang mati 287
HTI 91
Perkebunan 319
HHNK 631
Keuntungan tidak langsung dari hutan
Pencegahan banjir 413
Erosi dan pengendapan 1354
Biaya pengendalian kebakaran 12
Emisi karbon 1446
Bangunan dan harta benda lainnya 1
Subtotal 2171 2398 1446 6015
2. Biaya yang terkait dengan kabut asap
Kesehatan 148
Pariwisata 111
Transportasi 33
Subtotal 144 148 292
Total biaya 2315 2546 1446 6307

Sumber: Diperoleh dari (BAPPENAS-ADB 1999).

OP-38 INa.p65 9 2/26/2003, 11:59 PM


Black
10 CIFOR Occasional Paper No. 38(i) Luca Tacconi

Tabel 7. Perbandingan hasil-hasil utama studi yang dilakukan ADB dan ISAS

Masalah biaya Indonesia Negara lainnya Total


Dinilai Tidak dinilai Dinilai Tidak dinilai
dengan dengan dengan dengan
uang uang uang uang
ISAS Biaya kebakaran 652 1812 13 272 2750
Kontribusi kebakaran dalam biaya total 18,6% 51,6% 0,4% 7,8% 78,3%
Biaya kabut 88 289 366 17 760
Kontribusi kabut dalam biaya total 2,5% 8,2% 10,4% 0,5% 21,7%
Total biaya 740 2101 379 289 3509
Kontribusi dalam biaya total 21,1% 59,9% 10,8% 8,2% 100%

ADB Biaya kebakaran 2171 2398 1446 6015


Kontribusi kebakaran dalam biaya total 34,4% 38,0% 22,9% 95,4%
Biaya kabut 144 148 292
Kontribusi kabut dalam biaya total 2,3% 2,3% 4,6%
Total biaya 2315 2546 1446 6307
Kontribusi dalam biaya total 36,7% 40,4% 22,9% 100%

ditambahkan dalam studi ADB, kontribusi Meskipun kawasan-kawasan perkebunan besar


totalnya akan meningkat tetapi hanya sekitar di Kalimantan Timur dilaporkan juga dilanda
5%. Kebakaran hutan memang merupakan kebakaran hutan (Tabel 4), kawasan ini belum
proporsi biaya paling besar dalam dua studi ini, ditanam. Estimasi ADB digunakan karena
dan dalam studi ISAS biaya intangible akibat kaitannya dengan biaya paling akurat yang
kebakaran hutan mencapai tiga kali lipat biaya tersedia. Tampaknya mustahil bahwa kerusakan
tangible. Menurut ADB kontribusi biaya tangible akibat kebakaran hutan melampaui estimasi
dan intangible sama besar dari total biaya. yang dipakai karena statistik produksi nasional
Perbedaan-perbedaan ini menunjukkan bahwa untuk tanaman perkebunan yang terbakar
dua studi ini tidak sepenuhnya saling mendukung (kelapa sawit, karet, coklat) selama periode
temuan masing-masing. Biaya untuk masing- 1996-2000 menunjukkan kecenderungan yang
masing kategori perlu dikaji secara lebih rinci. meningkat secara tetap8 (AgroIndonesia 2002).

4.2 Menghitung kembali komponen- 4.2.2 Kayu


komponen biaya Estimasi ISAS tidak benar karena menggunakan
rata-rata sisa tegakan hutan yang berasal dari
4.2.1 Pertanian penghitungan rata-rata untuk Sumatera dan
Studi ISAS mengasumsikan bahwa semua lahan Kalimantan tetapi total kawasan hutan yang
pertanian yang terbakar menimbulkan biaya terbakar di Sumatera dan Kalimantan berbeda.
ekonomi. Studi ini tidak memperhitungkan Penghitungan rata-rata dengan pembobotan
bahwa kebakaran mungkin sengaja dilakukan mungkin akan lebih tepat. Studi ISAS dan ADB
sebagai cara mengolah lahan atau pada saat mungkin menghitung terlalu tinggi jumlah kayu
kebakaran hutan terjadi, lahan dalam keadaan yang terbakar, karena sebagian besar hutan yang
tidak ada tanaman. Kenyataannya, selama terbakar telah dibalak sebelumnya. Di
musim kemarau bulan Juli hingga Oktober 1997 Kalimantan Timur, diketahui bahwa:
ketika terjadi kebakaran hutan, lahan dalam
keadaan siap ditanam. Karena itu, hanya jika “kawasan yang terbakar tahun 1997/98
lahan yang terbakar itu dalam kondisi ditanami kembali terbakar lagi tahun 1982/83 … tetapi
tanaman tahunan, maka kebakaran hutan akan saat ini sebagian besar kawasan yang
menyebabkan kerugian ekonomi. Sedangkan terbakar telah dibalak atau baru saja
untuk tanaman musiman, kemungkinan banyak dikonversi. Jadi sejumlah besar kayu
kawasan belum ditanami atau tanaman belum komersial yang diameternya melebihi batas
tumbuh karena kekeringan. tebang telah diambil sebelum peristiwa
Studi ADB memakai angka estimasi kerugian kebakaran hutan 1997/98. … Ini
hasil perkebunan akibat kebakaran hutan yang menyebabkan kondisi persediaan kayu
disajikan oleh Jhamtani dan Badawi (1998). menjadi sangat buruk di bagian-bagian

OP-38 INa.p65 10 2/26/2003, 11:59 PM


Black
Kebakaran Hutan di Indonesia: Penyebab, Biaya dan Implikasi Kebijakan 11

kawasan yang rusak karena kebakaran hutan belum ditanami (Steenis dan Fogarty 2001).
1997/98.” (Hoffmann dkk. 1999, p 21.) Estimasi ADB yang terkait dengan kebakaran
hutan yang dilaporkan dari hutan tanaman
Data yang digunakan dalam laporan ADB industri masih belum disesuaikan.
diperkuat melalui penelitian lapangan yang agak
terbatas tetapi data yang terkait dengan laporan 4.2.5 HHNK dan manfaat langsung hutan lainnya
di Kalimantan Timur ini didukung oleh Siegert dkk. Studi ISAS mengadopsi estimasi global untuk hasil
(2001). Oleh karena itu, estimasi ADB digunakan hutan nonkayu (HHNK) dan nilai rekreasi hutan
dan dianggap sebagai tingkat estimasi yang lebih (Costanza dkk. 1997) dan kemudian
tinggi. menerapkannya untuk Indonesia. Namun hasil
Estimasi yang direvisi untuk nilai minimum estimasi ini tidak divalidasi dengan merujuk
kerugian berupa kayu didasarkan atas pada nilai aktual yang relevan dengan ekosistem
pertimbangan bahwa, seperti yang dibahas dalam hutan di Indonesia, sehingga estimasi ini menjadi
Bagian 3, kebakaran hutan di Sumatera, Sulawesi, tidak sah. Alasan-alasan bahwa penerapan
Papua, Kalimantan Barat dan Tengah kemungkinan estimasi global tersebut tidak tepat akan
terjadi di kawasan pembukaan lahan, yang dijelaskan dalam pembahasan berikut ini.
hutannya telah dibalak secara komersial. Selain Studi ADB memperoleh data kerugian HHNK
itu, kawasan hutan yang terbakar karena dengan menerapkan nilai total sumber daya alam
ketidaksengajaan di Sumatera Selatan terjadi di yang diekstraksi per hektar, berdasarkan studi
kawasan yang telah terdegradasi (Proyek yang dilakukan di lahan basah Danau Sentarum
Pencegahan dan Pengendalian Kebakaran Hutan - di Kalimantan Barat (Aglionby dan Whiteman
Forest Fire Prevention and Control Project 1999). 1996), sebagai bagian dari total kawasan hutan
Oleh karena itu, estimasi minimum kerugian kayu yang terbakar. Berdasarkan sebuah sampel rumah
hanya mencakup kawasan yang terbakar di tangga, studi di Danau Sentarum
Kalimantan Timur. mengekstrapolasikan total keuntungan bersih
Biaya nyata dari kayu yang terbakar manfaat langsung ekosistem yang diperoleh
mungkin juga lebih rendah daripada yang semua rumah tangga yang tinggal di kawasan
diasumsikan di sini karena segera setelah lindung ini. Studi ADB membagi keuntungan total
kebakaran hutan, Pemerintah Indonesia manfaat langsung dengan luas kawasan lindung
mengeluarkan peraturan yang memperbolehkan untuk memperoleh nilai per hektarnya.
‘pembalakan penyelamatan’, yaitu pohon-pohon Perhitungan seperti ini sebagai perkiraan nilai
yang terbakar dapat diambil kayunya (van kerugian HHNK per hektar hutan yang terbakar
Nieuwstadt dkk. 2001). Namun data tentang nilai tidak sesuai karena alasan-alasan berikut.
ekstraksi kayu yang terbakar ini tidak ada. Pertama, mari kita pertimbangkan isu
penerapan nilai per hektar ke berbagai
ekosistem yang berbeda. Sekitar 60% total
4.2.3 Kerugian berupa kematian pohon manfaat bersih langsung di kawasan lindung
Secara teori, kematian pohon memang dapat Danau Sentarum diperoleh dari kegiatan
diperhitungkan sebagai bagian dari biaya menangkap ikan. Namun kegiatan ini tidak
kebakaran. Namun, ini hanya berlaku jika hutan terjadi pada tingkat yang sama di ekosistem
tidak dibakar untuk kepentingan pemanfaatan hutan yang estimasinya diterapkan dalam
lahan alternatif. Banyak kawasan yang terbakar penghitungan. Selain itu, tidak ada bukti jelas
dikonversi menjadi perkebunan. Oleh karena itu yang menunjukkan bahwa jumlah tangkapan ikan
hasil perhitungan dalam studi ADB terhadap nilai di danau dan sungai di Kalimantan Timur itu
pohon yang mati terlalu tinggi. Seperti dalam kasus terpengaruh oleh kebakaran hutan (Sarwono
kayu, estimasi yang direvisi untuk nilai minimum 1989). Bahkan ada kemungkinan, meskipun dalam
pohon yang mati memperhitungkan bahwa jangka pendek, hasil tangkapan ikan meningkat
kebakaran hutan di Sumatera, Sulawesi, Papua karena peristiwa kebakaran hutan, karena
Barat, Kalimantan Barat dan Tengah kemungkinan masyarakat secara aktif mulai meningkatkan
terjadi di kawasan pembukaan lahan. penangkapan ikan (Chokkalingam dkk. 2001).
Kedua dan berkaitan dengan butir di atas,
nilai kerugian HHNK per hektar akibat kebakaran
4.2.4 Hutan tanaman industri hutan sebenarnya jauh lebih rendah dibandingkan
Meskipun kawasan HTI yang sangat luas dengan yang diadopsi oleh ADB (23 dolar). Studi
dilaporkan terbakar di Kalimantan Timur (Tabel yang dilakukan di dua desa di Kalimantan Timur
4), sebagian besar kawasan ini sebenarnya (Grossmann 1997) menemukan bahwa:

OP-38 INa.p65 11 2/26/2003, 11:59 PM


Black
12 CIFOR Occasional Paper No. 38(i) Luca Tacconi

• HHNK memberikan sumbangan sekitar 9% (26 untuk pencegahan banjir. Hutan produksi,
dolar) dari total pendapatan tunai rumah kategori tata guna lahan yang sebagian besar
tangga setiap tahun (sekitar 290 dolar) dan berada di dataran rendah, jauh kurang penting
hampir semua pendapatan dari HHNK (sekitar dalam memenuhi fungsi ini.10 Biaya tambahan
77%) berasal dari penangkapan satwa ilegal; untuk banjir akibat pengurangan tutupan hutan
• Nilai pengganti tahunan dari semua HHNK mencakup biaya untuk infrastruktur perkotaan
yang dikonsumsi oleh rumah tangga adalah dan pedesaan, seperti sekolah, pasar, gedung-
sekitar 20% (58 dolar) dari pendapatan tunai gedung pemerintah, masjid dan jalan.
setiap tahun; Kepadatan perumahan dan jalanan di perkotaan
• Sebagian besar HHNK memiliki kerapatan sekitar 11 kali lebih besar daripada di pedesaan.
yang sangat rendah dan sebagian besar Karena itu, biayanya juga harus dibagi secara
tumbuhan yang dipanen adalah dari spesies proporsional.
yang dibudidayakan; Dalam hal kerusakan tanaman
• Khusus spesies liar dikumpulkan dari ruang perdagangan, mereka mengasumsikan bahwa
terbuka, di sepanjang bantaran sungai dan padi merupakan tanaman utama yang
di lahan bera (jekau) baru yang belum mengalami kerusakan akibat banjir. Implikasi-
ditanami. implikasi bagi asumsi biaya tambahan akibat
banjir yang disebabkan oleh kebakaran hutan
Ketiga, keuntungan manfaat langsung 1997/98 adalah sebagai berikut. Hutan produksi,
(yaitu, nilai total) merupakan ukuran yang tidak yaitu, hutan dataran rendah, dan bukan hutan
tepat untuk menilai manfaat ekonomi HHNK. konservasi dan hutan lindung, adalah kategori
“Nilai HHNK dari satu hektar hutan setara tata guna lahan yang paling besar dilanda
dengan harga sewa yang akan dibayarkan untuk kebakaran hutan. Kawasan yang dilanda
memanen hutan seluas satu hektar itu.” kebakaran memiliki dampak yang terbatas, jika
(Chomitz dan Kumari 1998, h. 26). Nilai rente ada, pada infrastruktur kota di bagian hilir,
ekonomi HHNK mendekati nol mengingat biaya demikian juga dengan infrastruktur desa di
ekstraksi, yaitu biaya untuk tenaga kerja, bagian hilir. Kawasan hutan yang terbakar tidak
hampir sama besar dengan nilai penjualan HHNK memiliki dampak berarti pada sawah di bagian
(Chomitz dan Kumari 1998). hilir. Berkaitan dengan peristiwa banjir aktual
Keempat, kerugian karena kehilangan yang mungkin terjadi di kawasan yang benar-
spesies yang dibudidayakan, seperti rotan, benar dilanda kebakaran hutan 1997/98, hanya
mungkin bisa cukup besar (dan memerlukan kebanjiran yang terjadi di Kalimantan Timur
perhatian lebih lanjut) tetapi spesies ini lebih pada 1998 merupakan kejadian yang mungkin
baik dimasukkan dalam kerugian yang terkait berkaitan langsung dengan kebakaran hutan
dengan hasil-hasil pertanian karena spesies ini (Glover dan Jessup 1999). Kenyataannya,
dibudidayakan, daripada menggelembungkan peristiwa banjir di Kalimantan Timur dicatat
nilai ekonominya per hektar hutan. jauh sebelum peristiwa kebakaran hutan 1982/
Berdasarkan alasan-alasan tersebut, 83 (Massing 1981) dan tidak ada indikasi yang
kerugian ekonomi HHNK per hektar bisa jelas apakah pola banjir telah berubah. Banjir
diasumsikan sebesar nol. Dan nilai ini dapat merupakan bagian integral dari ekosistem Danau
dimasukkan sebagai estimasi minimum. Estimasi Mahakam bagian tengah di Sungai Mahakam
maksimum nilai kerugian di Kalimantan Timur (Wetlands International 2002), sungai terbesar
sebesar 1 dolar/ha,9 selama 10 tahun dengan di Kalimantan Timur yang mengalir melalui
nilai diskon 10%. Kebakaran hutan di provinsi- kawasan yang dilanda kebakaran hutan.
provinsi lain diasumsikan merupakan kebakaran Berkaitan dengan erosi tanah dan
hutan untuk pembukaan lahan. pengendapan, ada tiga aspek penghitungan biaya.
Pertama, adalah biaya yang terkait dengan erosi
4.2.6 Manfaat hutan yang tidak langsung tanah yang terjadi. Kedua, erosi ini akan
Studi ADB menghitung nilai pencegahan banjir menyebabkan pengendapan. Ketiga, biaya
dan erosi dan pengendapan berdasarkan laporan ekonomi akan muncul dari proses-proses ini.
yang mempertimbangkan nilai total ekonomi Nilai ekonomi hutan yang terkait dengan
hutan di Indonesia (Whiteman dan Fraser 1997). fungsi-fungsi tanah dan perlindungan
Berkaitan dengan pencegahan banjir, konversi pengendapan diperoleh dengan menghitung
dan perlindungan hutan, ADB memperhitungkan biaya ekonomi untuk 52 bendungan besar dan
bahwa kategori tata guna lahan yang berada di delapan pelabuhan (Whiteman dan Fraser 1997).
kemiringan yang lebih tinggi, terutama penting Nama dan lokasi bendungan tidak tersedia dalam

OP-38 INa.p65 12 2/26/2003, 11:59 PM


Black
Kebakaran Hutan di Indonesia: Penyebab, Biaya dan Implikasi Kebijakan 13

laporan yang dirujuk ini. Kami mengetahui didukung oleh kenyataan bahwa tidak ada
bahwa ada 68 bendungan besar yang terdaftar peristiwa banjir yang relevan dalam 2 tahun
sejak tahun 1995,11 dan tidak ada bendungan setelah kebakaran hutan yang dikaitkan dengan
besar di kawasan yang dilanda kebakaran hutan. penghitungan itu terjadi. Jika diasumsikan
Delapan pelabuhan nasional yang disebutkan bahwa hutan yang terbakar tersebut benar-
juga tidak berada di kawasan yang dilanda benar berfungsi untuk pencegahan banjir (nilai
kebakaran dan begitu juga potensi erosi dan maksimum), dan mengingat bahwa kawasan
pendangkalan yang dihitungnya. yang terbakar itu adalah daerah pedesaan dan
Untuk penghitungan nilai erosi tanah bukan perkotaan, nilai ekonomi fungsi ini
setelah peristiwa kebakaran hutan di Kalimantan seharusnya tidak lebih dari 9% yang diasumsikan
Timur, bukti kuantitatif yang masih terbatas dalam laporan ADB (berdasarkan perbandingan
menunjukkan bahwa “laju erosi tanah di lahan 1:11 untuk infrastruktur pedesaan dengan
hutan yang telah dibalak (dengan tingkat perkotaan yang dibahas sebelumnya). Biaya
kerapatan pembalakan berat, ringan dan tidak akibat erosi tanah dan pendangkalan mungkin
ada pembalakan) yang kemudian mengalami terbatas (maksimum: 9% studi ADB), atau sama
kebakaran hutan yang hebat, masih dapat sekali tidak ada (minimum).
diterima/ditolerir, berdasarkan penelitian yang Estimasi-estimasi ini diberikan untuk
dilakukan 1,5 tahun setelah pembalakan dan 6- memperlihatkan gambaran yang didasarkan atas
10 bulan setelah kebakaran hutan” (Sudarmadji fakta-fakta yang diketahui. Namun ada juga
2001, h. 43). Penelitian ini dilakukan di kawasan kemungkinan bahwa biaya yang lebih tinggi
kebakaran hutan yang tidak begitu luas dan sama terkait dengan erosi tanah dan pengendapan
sekali tidak mewakili seluruh kawasan. Untuk seharusnya tidak diabaikan. Ada beberapa
kebakaran hutan tahun 1982/83, erosi tanah contoh yang menunjukkan bahwa penurunan
secara luas memang terjadi tetapi tidak ada data tutupan hutan pada tingkat yang signifikan tidak
kuantitatif yang dikumpulkan (Leighton dan menyebabkan peningkatan pendangkalan (Alford
Wirawan 1986). Di provinsi yang sama, 1992). Namun, selain ada juga bukti bahwa
Kalimantan Timur, tingkat erosi di hutan-hutan kebakaran hutan, khususnya pada tingkat yang
yang telah dibalak diketahui hampir sama tinggi parah, biasanya memang menyebabkan erosi
dengan hutan yang dibalak dan yang terbakar. tanah dan pendangkalan, meskipun efek-efeknya
Artinya, kebakaran hutan tidak membuat tingkat di tingkat DAS tidak diketahui dengan baik
erosi bertambah. Selain itu beberapa kegiatan (DeBano 2000). Oleh karena itu, penilaian lebih
pertanian yang dilakukan di Kalimantan Timur, lanjut tentang dampak-dampak biofisik ini
seperti perkebunan lada tradisional diperlukan supaya implikasi kebakaran hutan
(Kartawinata dan Vayda 1984) mengakibatkan terhadap lingkungan dan perekonomian dapat
tingkat erosi yang lebih tinggi daripada hutan dipahami dengan lebih baik lagi.
yang dibalak dan yang terbakar.
Untuk kerugian berupa pendangkalan, tidak
ada informasi yang menegaskan bahwa 4.2.7 Keanekaragaman hayati
pendangkalan ini terjadi. Studi yang dilakukan Untuk menghitung kerugian dari segi
untuk menilai dampak erosi tanah dan keanekaragaman hayati, studi ISAS
pendangkalan terhadap kegiatan ekonomi juga menggunakan nilai 300 dolar per km2, yang
belum ada. Misalnya, belum diketahui adanya didasarkan pada pengalaman internasional;
hubungan jelas antara penurunan hasil dengan indikasi pembayaran berkisar antara 30-
penangkapan ikan dan pendangkalan di 3000 dolar/km2 untuk perlindungan hutan tropis.
Kalimantan Timur setelah kebakaran hutan Studi ini menunjukkan bahwa ini bukan estimasi
tahun 1982/83 (Schindele dkk. 1989). Penyusutan yang ‘sebenarnya’ bagi nilai keanekaragaman
yang terjadi pada spesies tertentu tampaknya hayati, tetapi ‘nilai yang bisa diperoleh’, yaitu,
lebih terkait dengan kombinasi efek kekeringan, nilai yang dapat diperoleh dari pasar
kebakaran hutan menyebabkan kemerosotan internasional yang terbatas untuk ikut
habitat tertentu dan karena penangkapan ikan membayarnya. Estimasi ini menimbulkan
yang berlebihan. beberapa pertanyaan.
Berdasarkan alasan-alasan di atas, hasil Pertama, kerelaan untuk membayar hutan
revisi estimasi biaya adalah sebagai berikut. sekunder (sebagian besar hutan dataran rendah
Hutan yang dilanda kebakaran hutan tidak yang terbakar telah dibalak, bahkan di kawasan
memiliki nilai ekonomi dari segi pencegahan lindung yang ditebang secara ilegal) diduga jauh
banjir (nilai minimum), yang tampaknya lebih rendah daripada nilai yang disebutkan.

OP-38 INa.p65 13 2/26/2003, 11:59 PM


Black
14 CIFOR Occasional Paper No. 38(i) Luca Tacconi

Kedua, perkiraan kerugian dari segi estimasi ADB sebenarnya adalah lahan gambut.
keanekaragaman hayati dan juga kayu yang Jika sebenarnya semua kawasan yang
hilang berarti terjadi penghitungan ganda. Jika diidentifikasi sebagai ‘hutan rawa gambut’ adalah
nilai kayu memang diperoleh seluruhnya, yaitu gambut dan kita mengadopsi kawasan yang
semua kayunya dipanen, nilai keanekaragaman dilaporkan dalam Tabel 4, maka emisi karbon dari
hayati memang akan lenyap sampai tingkat gambut bisa menjadi 442 juta ton, sehingga total
signifikan, kecuali jika teknik pembalakan emisi karbon hingga 493 juta ton.13 Angka ini
berdampak ringan diterapkan. Namun, nilai setara dengan sekitar 30% emisi global rata-rata
yang diperoleh dari pemanenan kayu akan tahunan dari perubahan tata guna lahan yang
menghasilkan berbagai macam keuntungan dan berlangsung selama tahun 1989-1995 (IPCC 2000),
akan tercermin dalam kerugian dari segi kayu dan kebakaran hutan gambut memberikan
yang nilainya akan lebih rendah. Ketiga, kontribusi 27% dari emisi global yang disebabkan
dengan mencantumkan nilai kerugian oleh perubahan tata guna lahan. Dengan
keanekaragaman hayati yang hilang untuk menggunakan nilai yang diadopsi dari studi ADB
selamanya berarti bahwa kebakaran hutan (7 dolar/ton), maka total kerugiannya akan
menyebabkan kehilangan hutan secara mencapai sekitar 2,8 miliar dolar.
permanen, padahal kenyataannya tidak Dari perspektif kelembagaan, emisi karbon
demikian. Biasanya kebakaran hutan akibat pembukaan lahan atau tipe kebakaran
mengakibatkan kerusakan 12 di sebagian hutan lainnya bukan berupa biaya bagi suatu
kawasan dan hutan akan bergenerasi, jika negara atau masyarakat global. Negara-negara
faktor-faktor lain, biasanya yang terkait dengan berkembang (dalam persyaratan protokol Kyoto,
kegiatan manusia, tidak menghalanginya. Oleh negara-negara yang tidak tercantum dalam
karena itu, hubungan antara gangguan yang Lampiran 1) tidak harus memenuhi target
ditimbulkan manusia dan kebakaran hutan yang pengurangan emisi karbon dan emisi karbon dari
membuat hutan rentan terhadap kebakaran proyek-proyek yang menghindarkan deforestasi
berulang dan gangguan lainnya adalah tidak diijinkan dalam Mekanisme Pembangunan
penyebab deforestasi. Bersih (Clean Development Mechanism) selama
Berdasarkan alasan-alasan yang disebutkan komitmen pertama. Oleh karena itu, meskipun
di atas, maka estimasi minimum yang direvisi kontribusinya bagi emisi dunia cukup berarti,
mengasumsikan bahwa nilai keanekaragaman emisi karbon akibat kebakaran hutan di Indonesia
hayati yang hilang adalah nol. Estimasi sekarang masih belum dapat dihitung sebagai
maksimum menggunakan kisaran nilai minimum biaya bagi negara lain dan tidak mewakili potensi
yang tersedia dari studi ISAS (30 dolar ha) yang keuntungan yang seharusnya dapat diperoleh dari
mempertimbangkan bahwa sebenarnya sebagian proyek-proyek yang diterapkan melalui
besar kawasan yang terbakar adalah hutan Mekanisme Pembangunan Bersih. Karena itu,
sekunder dan kerelaan membayar untuk tipe biaya yang terkait dengan emisi karbon tidak
hutan ini pasti lebih rendah daripada untuk dimasukkan dalam estimasi kerugian yang
hutan primer. direvisi. Namun, ada implikasi kebijakan yang
akan dibahas dalam bagian lain tulisan ini.

4.2.8 Emisi karbon


Studi ADB melaporkan jumlah emisi karbon yang 4.2.9 Kesehatan
lebih tinggi daripada yang dilaporkan oleh studi Untuk menghitung biaya ekonomi dampak
ISAS. Seperti penjelasan berikut ini, ada pencemaran udara yang terkait dengan
kemungkinan emisi karbon sebenarnya lebih kesehatan sebagai akibat kebakaran hutan dan
tinggi daripada emisi karbon yang diadopsi oleh lahan secara khusus sulit dilakukan karena
studi ADB. Oleh karena itu, kami memfokuskan keterbatasan latar belakang pengetahuan yang
analisis pada studi ADB. mempelajari hubungan antara tingkat
Berdasarkan studi ADB, dari estimasi 206,6 pencemaran udara yang berbeda dan berbagai
juta ton emisis karbon akibat kebakaran hutan, efeknya bagi kesehatan (Osterman dan Brauer
156,3 juta (sekitar 75%) dihasilkan dari gambut 2001). Kedua penulis ini mencatat bahwa selama
yang terbakar, yang juga menghasilkan sekitar 5 peristiwa kabut asap tahun 1997/98, terjadi
juta ton (60%) bahan partikel debu dari total 8,2 peningkatan kunjungan ke rumah sakit di
juta. Estimasi-estimasi ini didasarkan atas asumsi Singapura sebesar 30% untuk masalah yang
bahwa sekitar 750,000 ha (50%) kawasan yang terkait dengan kabut, tetapi peningkatan
diidentifikasi sebagai hutan rawa gambut dalam signifikan bagi yang dirawat di rumah sakit dan

OP-38 INa.p65 14 2/26/2003, 11:59 PM


Black
Kebakaran Hutan di Indonesia: Penyebab, Biaya dan Implikasi Kebijakan 15

data kematian tidak tercatat. Namun demikian, 5.1 Biaya dan penilaian ekonomi
setelah mengkaji kembali penelitian-penelitian Biaya total kebakaran dan pencemaran kabut
epidemiologi mereka menyatakan bahwa: asap pada tahun 1997/98 mungkin lebih rendah
daripada yang diperkirakan sebelumnya. Angka
“penelitian tentang keterpaparan musiman kerugian total tidak dicantumkan di dalam tabel
terhadap asap kebakaran memerlukan karena agak menyesatkan jika menambahkan
pengamatan terhadap jangka waktu biaya kebakaran hutan pada biaya kebakaran
keterpaparan yang dapat dibandingkan yang lebih disebabkan oleh kabut asap. Bagi
dengan peristiwa-peristiwa kebakaran yang mereka yang ingin mengetahui angka
terjadi di Asia Tenggara. Berdasarkan studi seluruhnya, estimasi biaya totalnya kira-kira
ini, maka beralasan untuk menduga bahwa antara $2,3 miliar dan $3,2 miliar. Ada
peristiwa kabut asap di Asia Tenggara kemungkinan bahwa kerugian akibat kabut asap
menimbulkan serangkaian dampak dari ternyata lebih tinggi dari yang dilaporkan.
yang akut, termasuk kematian yang Penilaian dampak kabut asap terhadap kegiatan
meningkat, dan juga efek-efek subkronis bisnis di Indonesia tidak dilakukan, seperti
(berkala) bagi fungsi paru-paru, gejala dan terlihat dalam Tabel 9. Jika dianggap tepat untuk
penyakit pernafasan. Untuk ini penentuan menyertakan emisi karbon ke dalam biaya, biaya
efek jangka panjang akibat peristiwa total dapat berkisar antara $5,1 miliar dan $6
tunggal pencemaran udara masih sulit miliar. Estimasi biaya yang telah direvisi ternyata
dilakukan, meskipun keterpaparan pada masih cukup tinggi, artinya ada masalah penting
biomassa asap yang terjadi berulang setiap yang perlu diatasi supaya dampak serupa dapat
tahun sepatutnya mendapat perhatian dihindari, khususnya selama tahun-tahun ENSO.14
yang serius.” (Osterman dan Brauer 2001, Namun, perlu diperhatikan bahwa kerugian
h. 211.) ekonomi bersih dari kebakaran, yang merupakan
selisih antara biaya dan manfaat, kemungkinan
Mengingat ketidakpastian tentang efek besar lebih rendah daripada biaya yang
kabut asap pada kesehatan dan jumlah orang diperkirakan. Dalam kebanyakan kasus kebakaran
yang terganggu akibat kebakaran hutan, hasil disulut karena memberikan manfaat. Contohnya,
studi ADB dan ISAS masing-masing digunakan dapat mengurangi biaya pembukaan perkebunan
sebagai batas terendah dan tertinggi estimasi – antara $68 dan $117 per ha berturut-turut untuk
berbagai dampak. Estimasi ISAS untuk Indonesia hutan tanaman industri kayu dan kelapa sawit
disesuaikan (-6%) dengan mengasumsikan bahwa (Guyon dan Simorangkir 2002) – atau mengurangi
tingkat pencemaran yang terkait dengan Indeks biaya pemanenan untuk mata pencaharian seperti
pencemaran Udara sedang 51-100 menyebabkan menangkap ikan.
peningkatan masalah kesehatan, yang Inisiatif kebijakan yang ditujukan untuk
sebenarnya tidak demikian (Osterman dan menangani masalah-masalah yang berhubungan
Brauer 2001). dengan kebakaran perlu memperhitungkan
biaya maupun manfaat yang terkait dengan
penggunaan api, dan juga distribusinya.
5. Implikasi kebijakan dan Misalnya, penilaian terhadap kebijakan yang
diarahkan untuk mengurangi pencemaran kabut
rekomendasi asap mungkin perlu mempertimbangkan biaya
Pencemaran kabut asap dan degradasi serta implementasi kebijakan yang dimaksud dan juga
deforestasi hutan adalah dua masalah utama manfaatnya, yang dapat dinilai sebagai biaya
kebijakan yang terkait dengan kebakaran yang untuk menghindari dampak yang timbul dari
dibahas secara mendetil dalam laporan ini. pencemaran kabut asap. Untuk melakukan
Kerugian akibat kedua hal itu selama ENSO perhitungan ini diperlukan pendekatan analisis
1997/98, dan juga dalam tahun-tahun biaya-manfaat dalam analisis kebijakan. Sebagai
belakangan ini, sampai tingkat tertentu alternatif, pendekatan keefektifan-biaya dapat
penyebabnya dapat berbeda-beda. Temuan juga digunakan. Pendekatan ini digunakan untuk
sederhana namun penting ini perlu diakui untuk menekan biaya implementasi kebijakan yang
merumuskan kebijakan yang lebih tepat. ditujukan untuk mencapai target-target
Kebijakan-kebijakan harus dipelajari tertentu, seperti penurunan dampak kesehatan.
keakuratannya karena penting artinya dalam Intinya, adopsi salah satu dari kedua pendekatan
menangani masalah degradasi dan deforestasi tersebut merupakan keputusan politis. Oleh
hutan atau masalah kabut asap. karena itu, biaya dan manfaat suatu kebijakan

OP-38 INa.p65 15 2/26/2003, 11:59 PM


Black
16 CIFOR Occasional Paper No. 38(i) Luca Tacconi

Tabel 8. Biaya ekonomi akibat kebakaran (juta dolar)


Masalah biaya Indonesia Negara
lainnya
Minimum Maksimum Min/Maks
Dinilai Tidak dinilai Dinilai Tidak dinilai Total Dinilai
dengan dengan dengan dengan Maks dengan
uang uang uang uang uang

Kayu 1056 1614


Pohon yang mati 197 316
HTI 91 91
HHNK 0 8
Perkebunan 319 319
Keuntungan tidak langsung dari hutan
Pencegahan banjir 0 37
Erosi dan pengendapan 0 122
Keanekaragaman hayati 0 181
Pengendalian kebakaran 12 12 13
Transmigrasi, kepemilikan 1 1
Total 1675 0 2352 348 2700 13
Bagian dari 1457 1766 283 2049
Kalimantan Timur 87% 75% 82% 76%

Tabel 9. Biaya ekonomi akibat pencemaran kabut asap (juta dolar)

Masalah biaya Indonesia Singapore Malaysia Total

Dinilai Tidak dinilai Total


dengan dengan
uang uang

Kesehatan 147-272 9 8 164


Pariwisata 111 58 127 297
Transportasi 33 7 0 40
Produksi industri na 0 157 157
Penurunan hasil tangkapan ikan na 0 16 16
Total 144 147-272 291-416 74 309 674-799
Total bersama 43-52% 9-11% 39-46%
na: tidak ada.
Diperoleh dari: Indonesia (BAPPENAS-ADB 1999); Singapura dan Malaysia (Glover dan Jessup 1999).

juga perlu dipertimbangkan, daripada hanya hutan merupakan penyebab pencemaran kabut
memfokuskan pada biaya kebakaran seperti yang asap yang juga merupakan penyebab langsung
terjadi dalam perdebatan selama ini tentang deforestasi. Walaupun hal ini kelihatannya jelas,
kebakaran di Indonesia. berbagai proposal kebijakan diajukan untuk
Penilaian ekonomi terhadap berbagai menangani ‘masalah kebakaran’ didasarkan
kebijakan yang ditujukan untuk menangani pada alasan untuk mengurangi biaya, yang
masalah deforestasi dan degradasi hutan atau merupakan bagian dari biaya total yang harus
pencemaran kabut asap, harus memperhatikan dikeluarkan akibat kebakaran dan kabut asap,
penyebab dan dampak yang berbeda. Misalnya, tanpa membedakan masalah kebijakan mana
biaya pencegahan untuk inisiatif pengurangan yang akan digunakan dan juga tanpa
kabut asap tidak boleh memasukkan biaya yang memperhitungkan sumber-sumber dampak yang
berhubungan dengan degradasi dan deforestasi berbeda.
hutan, kecuali memang jelas bahwa kebakaran Berbagai insentif yang dihadapi para

OP-38 INa.p65 16 2/26/2003, 11:59 PM


Black
Kebakaran Hutan di Indonesia: Penyebab, Biaya dan Implikasi Kebijakan 17

pemegang HPH untuk menginvestasikan dana diakui bahwa ada juga keterbatasan
pencegahan dan penanggulangan kebakaran pengetahuan tentang beberapa fungsi hutan dan
perlu dipahami. Insentif-insentif ini meliputi potensi kerugian yang terkait dengannya. Selain
kemampuan untuk mengontrol sumber daya kayu itu, potensi kerugian lain, seperti dampak pada
yang ada dalam areal HPH dan jumlahnya. produksi industri di Indonesia, tidak diestimasi.
Kemampuan para pemegang HPH untuk Penelitian dan pengkajian kebijakan di masa
melindungi sumber daya kayu dari eksploitasi datang harus ditujukan untuk meningkatkan
ilegal oleh pihak lain mungkin merupakan faktor pemahaman tentang kerusakan fungsi hutan
yang mempengaruhi keputusan mereka untuk sebagai akibat kebakaran, supaya dapat
menginvestasikan dana pencegahan dan mengestimasi berbagai kisaran potensi kerugian
penanggulangan kebakaran. Penilaian yang lebih yang timbul karena pencemaran kabut asap.
baik terhadap nilai tegakan kayu yang ada di Akhirnya, penilaian ekonomi yang terkait
dalam areal HPH juga diperlukan. Kayu terbakar dengan perubahan lingkungan jangka panjang,
merupakan bagian terbesar dari kerugian akibat seperti potensi dampak kebakaran berulang
tahun 1997/98. Estimasi kerugian ini didasarkan pada tanah dan keanekaragaman hayati, gagal
pada parameter-parameter yang diragukan di menangkap biaya yang terkait dengan kejadian
tingkat nasional. Jika nilai tegakan kayu yang ini karena tersebar sepanjang jangka waktu yang
tertinggal dalam areal HPH dianggap lebih lama dan nilainya mungkin menjadi tidak
rendah daripada yang diasumsikan dalam penting karena adanya penurunan sepanjang
berbagai studi yang dikaji, maka kerugian dari kurun waktu. Indikator ekonomi dan juga
segi nilai kayu secara signifikan akan lebih lingkungan perlu diperhitungkan dalam
rendah. Kerugian yang mungkin lebih rendah pengembangan kebijakan-kebijakan yang
tidak akan mendorong pada pemegang HPH ditujukan untuk menekan dampak kebakaran
untuk melakukan investasi dalam pencegahan dan pencemaran kabut asap.
dan penanggulangan kebakaran.
Pencemaran kabut asap tercatat punya
andil lebih besar dari kerugian total kebakaran 5.2 Kebakaran, degradasi dan
tahun 1997/98 (20%-30%) daripada angka deforestasi serta alokasi tata guna
estimasi sebelumnya. Jika data tentang kerugian lahan
yang dialami dunia usaha di Indonesia tersedia, Kebakaran hutan tahun 1997/98 mendapat
maka biaya yang harus ditanggung akibat perhatian besar bukan hanya karena kabut asap
pencemaran kabut asap akan lebih besar lagi. yang ditimbulkannya tetapi juga karena kabut
Perhatian Pemerintah Indonesia dan negara asap dianggap bertanggung jawab atas kerugian
tetangga lainnya yang cukup bear terhadap ekonomi dan ekologi yang terkait dengan
masalah kabut asap dibandingkan dengan degradasi atau deforestasi hutan yang terbakar.
kebakaran hutan yang mengakibatkan degradasi Namun fakta bahwa kebakaran terutama terjadi
dan deforestasi hutan dapat dijelaskan dari dua di areal hutan yang sudah terdegradasi daripada
faktor. Pertama, ukuran estimasi biaya. Kedua, ‘hutan primer’ hanya mendapat sedikit
kenyataan bahwa pencemaran kabut asap perhatian. Pembakaran hutan untuk pembukaan
terjadi hampir setiap tahun dan secara langsung lahan di areal perkebunan juga dikritik karena
mempengaruhi Indonesia dan negara tetangga, menyebabkan kehilangan hutan. Seperti telah
dengan biaya ekonomi lebih besar dan juga disebutkan, kejadian-kejadian itu menghasilkan
dampak negatif dalam hal hubungan publik dan sejumlah rekomendasi kebijakan, berkisar dari
diplomatik. Masalah pencemaran kabut asap pembatasan atau pelarangan konversi hutan
memang perlu diatasi, tetapi masalah sampai kebijakan yang lebih baik untuk alokasi
kebakaran yang mengakibatkan deforestasi dan lahan dan prosedur pengendalian kebakaran
degradasi hutan juga perlu ditangani karena tersedia, sampai ke pengetatan peraturan dan
juga dapat menimbulkan kerugian yang pengenaan denda untuk pembakaran hutan
signifikan. dalam rangka pembukaan lahan perkebunan dan
Dalam hal metodologi yang diterapkan penerapan teknik pembalakan berdampak ringan
untuk menilai kerugian, jelas bahwa biaya yang (BAPPENAS-ADB 1999; Barber dan Schweithelm
tidak terlihat (intangible) sulit untuk dinilai dan 2000; Applegate dkk. 2001; Glover 2001; Qadri
didasarkan pada berbagai pendekatan 2001; Siegert dkk. 2001).
perkiraan. Estimasi yang telah direvisi Ada banyak kelemahan dalam generalisasi
memperlihatkan bahwa nilai kerugian yang masalah kebakaran dan usulan kebijakan untuk
disebutkan masih terlalu tinggi. Namun perlu memecahkannya. Pertama, di banyak tempat

OP-38 INa.p65 17 2/26/2003, 11:59 PM


Black
18 CIFOR Occasional Paper No. 38(i) Luca Tacconi

alokasi lahan hutan untuk dijadikan tata guna penduduknya. Luas areal hutan yang tidak dihuni
lahan alternatif, seperti perkebunan kelapa manusia di Indonesia masih tidak dapat
sawit dan faktor-faktor yang mendasari dipastikan. Perkiraan awal yang diberikan untuk
keputusan tersebut merupakan faktor yang estimasi areal hutan yang berakses rendah15
bertanggung jawab atas deforestasi hutan yang sekitar 52 juta ha, dan sampai 33 juta hektar
terjadi, dan bukan karena kebakaran. Dalam di antaranya berada di dalam kawasan HPH
kasus ini, mengusulkan kebijakan-kebijakan (FWI/GFW 2002). Namun, nilai estimasi ini lebih
untuk mengatasi ‘masalah kebakaran’ adalah tinggi untuk areal yang dipengaruhi oleh
salah fokus. Jika tujuannya mencegah kegiatan terbatas manusia. Hasil analisis
deforestasi, maka usulan kebijakannya harus sementara di Kalimantan Timur menunjukkan
diarahkan untuk merevisi proses alokasi tata bahwa kegiatan mata pencaharian yang
guna lahan. Dalam hal ini, menyebutkan menyebabkan kebakaran hutan terjadi sejauh
kerugian ekonomi, seperti kerugian dari kayu 7 km dari desa (bandingkan dengan jarak 0.5-1
yang hilang, akibat deforestasi yang disebabkan km yang diadopsi sebagai definisi hutan berakses
oleh kebakaran hutan sebagai alasan untuk rendah oleh FWI/GWI) dan bahkan sering lebih
menghindari konversi juga tidak benar. Yang jauh lagi (Tacconi dkk. 2002). Areal luas yang
harus dipertimbangkan adalah biaya, yang dirusak kebakaran di Kalimantan Timur tahun
mencakup pencemaran kabut asap dan manfaat- 1998 mengenai desa-desa dan sekitar 46% dari
manfaat tata guna lahan alternatif, contohnya areal yang rusak oleh kebakaran berada dalam
perkebunan vs hutan alam. jarak 7 km dari desa.
Kedua, mengingat bahwa dalam banyak Rekomendasi untuk memindahkan
kasus, bukan kebakaran itu yang menyebabkan masyarakat dari hutan untuk meminimisasi risiko
masalah kebijakan, seperti deforestasi, tidak ada kebakaran setelah hutan ditebang (Glover dan
alasan untuk melarang sepenuhnya penggunaan Jessup 1999; Glover 2001) tidak sesuai dengan
api di perkebunan seperti yang baru-baru saja kondisi politik dan ekonomi saat ini yang
disebutkan dalam peraturan perundang- didominasi oleh perdebatan untuk meningkatkan
undangan (Peraturan Pemerintah 4/2001). peran masyarakat dalam pengendalian sumber
Pendekatan ini mungkin tepat jika perkebunan daya. Di areal berpenduduk sedikit, penebangan
bertanggung jawab terhadap kebakaran yang ilegal yang tersebar dapat juga mengurangi
menjalar liar, atau jika semua kebakaran di manfaat mengenalkan praktik pengelolaan hutan
perkebunan menghasilkan pencemaran kabut yang lebih baik. Bahkan tanpa penebangan kayu
asap. Namun sebagian besar bukti yang ilegal, adopsi praktik pengelolaan hutan yang
menunjukkan bahwa dalam beberapa kasus lebih baik menghadapi banyak rintangan (Putz
kebakaran di perkebunan terjadi karena api dkk. 2000). Oleh karena itu, areal hutan berakses
menjalar liar masih belum dapat dipastikan, dan rendah, sekali ditebang, mungkin akan dimasuki
telah disebutkan bahwa kegiatan di lahan penduduk, yang mengarah ke peningkatan risiko
gambut cenderung menghasilkan sebagian besar terjadinya kebakaran.
pencemaran kabut asap. Isu peraturan dibahas Dalam konteks ini penting dicatat bahwa
lebih lanjut di bawah ini dalam kaitannya Kalimantan Timur, yang terkena dampak paling
dengan pencemaran kabut asap. berat kekeringan karena ENSO tahun 1997/98
Ketiga, pengenalan praktik pengelolaan dan 1982/83, kerugian yang dicapai paling
hutan yang lebih baik mungkin tidak akan sedikit tiga perempat dari biaya total kebakaran.
banyak menurunkan risiko kebakaran, Risiko kebakaran skala besar khususnya
mengingat kondisi sosial-ekonomi dan signifikan di areal yang cenderung dipengaruhi
kelembagaan yang ada. Studi ekologi kemarau ENSO dan dapat diperkirakan bahwa
menunjukkan umpan baik positif antara kemarau ENSO yang berulang akan merusak areal
penebangan hutan, kebakaran hutan, ini lagi. Propinsi lain, seperti Kalimantan Tengah
ketersediaan bahan pembakar dan kerentanan dan Papua Barat, yang masih memiliki areal
terjadinya kebakaran di masa depan (Cochrane hutan luas dan mengalami tingkat eksploitasi
dkk. 1999; Siegert dkk. 2001). Oleh karena itu, yang tinggi, mungkin menghadapi perubahan
praktik pengelolaan hutan seperti pengurangan ekologi yang tinggi karena gabungan faktor-
dampak penebangan hutan dipandang dapat faktor manusia dan kelembagaan yang dapat
menekan kerentanan terjadinya kebakaran, meningkatkan risiko kebakaran. Oleh karena itu,
tetapi mungkin risiko kebakaran hanya untuk mendukung pengelolaan sumber daya
berkurang di areal yang sepenuhnya yang lebih baik, diperlukan penelitian untuk
dikendalikan oleh pemegang HPH, yang jarang menilai areal hutan berakses rendah

OP-38 INa.p65 18 2/26/2003, 11:59 PM


Black
Kebakaran Hutan di Indonesia: Penyebab, Biaya dan Implikasi Kebijakan 19

(menggunakan parameter konservatif mengenai Dengan hanya memfokuskan kegiatan


akses manusia), areal hutan primer dan hutan perkebunan besar dan kecil mungkin tidak akan
sekunder yang kondisi lingkungannya berpotensi memecahkan masalah kabut asap selama tahun-
signifikan meningkatkan risiko kebakaran. tahun ENSO.
Kebakaran hutan akibat pembukaan lahan
di Sumatera diperkirakan akan terus berlanjut
5.3 Kebakaran dan pencemaran kabut seiring dengan berlangsungnya pembukaan
asap perkebunan baru (Anderson dan Bowen 2000).
Kerugian ekonomi dari pencemaran kabut asap Kecenderungan ini mungkin juga terjadi di
bersumber dari banyak faktor. Di Kalimantan dan Kalimantan. Penurunan dan/atau pengelolaan
Sumatera, pembakaran lahan gambut kebakaran akibat pembukaan lahan di lahan
merupakan sumber utama kabut asap. Namun gambut mungkin akhirnya akan dapat
ini merupakan faktor langsung. Pada tahun 1997, menghilangkan masalah kabut asap selama
di Kalimantan (dan juga wilayah Malaysia di tahun-tahun bukan ENSO. Namun, biaya, manfaat
pulau yang sama), sumber utama pencemaran dan aspek distribusi dari inisiatif kebijakan yang
kabut asap adalah Proyek Lahan Sejuta Hektar ditujukan untuk mengurangi dampak kebakaran
yang diprakarsai pemerintah; pembukaan lahan ini perlu dikaji. Kerugian dari pencemaran kabut
gambut oleh perusahaan besar (dan asap tahun 1997/98 diperkirakan dapat jauh lebih
kemungkinan oleh rakyat, dengan tingkat yang besar daripada biaya pencemaran kabut asap
lebih rendah) di Kalimantan Barat juga ikut pada tahun-tahun bukan ENSO. Jika instrumen
andil. Di Sumatera (dan akibatnya di Singapura pasar seperti biaya pencemaran dikenakan untuk
dan Semenanjung Malaysia), bagian terbesar mengurangi pencemaran udara oleh perusahaan
pencemaran kabut asap berasal dari perkebunan (Qadri 2001), manfaat (yaitu biaya
pembakaran lahan gambut di provinsi Riau, pencegahan) dari inisiatif ini tidak boleh
Jambi dan Sumatera Selatan dari pembukaan diasumsikan sama dengan kerugian yang diderita
lahan oleh perusahaan dan kemungkinan oleh pada tahun 1997/98.
rakyat (walaupun dengan tingkat yang lebih Pengetahuan membuktikan adanya kegiatan
rendah), dan di rawa yang telah terdegradasi di utama manusia yang mengakibatkan
Sumatera Selatan, api menjalar dari kegiatan pencemaran kabut asap dan kebakaran yang tak
mata pencaharian seperti pertanian, perikanan dikehendaki di beberapa areal, seperti di
dan penebangan kayu. beberapa bagian Sumatera. Laporan ini telah
Analisis lebih lanjut diperlukan untuk meringkas banyak informasi tentang berbagai
menjelaskan kontribusi relatif dari berbagai penyebab kebakaran yang tidak diinginkan dan
kegiatan terhadap pencemaran kabut asap. pencemaran kabut asap di Sumatera,
Namun, informasi yang ada menunjukkan bahwa Kalimantan Barat, Tengah dan Timur dan Papua
kegiatan perkebunan bukan merupakan satu- Barat. Namun, masih ada kekurangan
satunya kontributor, paling sedikit selama ENSO. pengetahuan yang signifikan, pada tingkat
Selama periode di luar ENSO perkebunan tertentu pembuatan kebijakan (kabupaten dan
merupakan kontributor utama, tetapi propinsi), tentang kegiatan manusia yang ikut
meningkatnya peran kegiatan masyarakat, menjadi penyebab masalah-masalah ini di
khususnya di Kalimantan Barat dan Tengah, banyak tempat di Indonesia, termasuk hal-hal
perlu lebih dipastikan. Hal ini memiliki implikasi yang sudah dibahas dalam bagian di atas.
terhadap prioritas tindakan dan instrumen Kesenjangan pengetahuan perlu diisi untuk
kebijakan yang dapat digunakan untuk mengembangkan respon kebijakan yang tepat.
mengatasi masalah kabut asap.
Selama tahun-tahun ENSO lahan gambut
yang terdegradasi mungkin merupakan faktor 5.4 Kebakaran dan perundang-undangan
risiko yang signifikan atas timbulnya kabut asap. Berbagai dampak kebakaran, dan bukan
Pengelolaan dan akhirnya regenerasi/restorasi kebakaran itu sendiri, merupakan bagian dari
lahan gambut mungkin diperlukan untuk masalah kebijakan dan bahwa dalam keadaan
mencegah pencemaran udara yang signifikan. tertentu kebakaran mungkin merupakan cara
Biaya dan kelangsungan kebijakan ini perlu pengelolaan lahan yang tepat. Pengakuan
dipastikan dan dibandingkan dengan manfaat terhadap kenyataan ini memiliki implikasi
yang diharapkan (yaitu produksi di bidang perundang-undangan. Perundang-undangan
ekonomi yang lebih baik, manfaat lingkungan Indonesia (Peraturan Pemerintah 4/2001)
positif dan pencegahan biaya lingkungan). melarang semua pembakaran hutan dan lahan.

OP-38 INa.p65 19 2/26/2003, 11:59 PM


Black
20 CIFOR Occasional Paper No. 38(i) Luca Tacconi

Peraturan ini memfokuskan kebakaran sebagai gambut di perkebunan kelapa sawit dan hutan
masalah, yang harus dicegah dalam segala situasi. tanaman16 berarti ada jalan untuk menjangkau
Agar efektif dalam mengatasi masalah-masalah areal tersebut. Inspeksi oleh pegawai pemerintah
kebijakan, perundang-undangan perlu mengenali dan pengumpulan bukti untuk mengusut pihak
ada berbagai tipe kebakaran dan tidak semua yang memanfaatkan kebakaran secara ilegal
kebakaran bermasalah. Ada kebakaran yang dapat dilakukan. Oleh karena itu, setelah hukum
menghasilkan banyak sekali kabut asap dan ada direvisi, pemerintah perlu mengambil langkah
yang menghasilkan sedikit saja. Ada kebakaran tegas melawan perusahaan yang memanfaatkan
yang sengaja dilakukan untuk membuka lahan kebakaran secara ilegal. Jika beberapa
untuk kepentingan pembangunan perkebunan, perusahaan ditemukan bersalah dan mereka
yang mungkin tidak menghasilkan banyak kabut didenda, perusahaan lain akan menangkap pesan
jika bukan di lahan gambut. Ada juga kebakaran yang kuat ini, dan mungkin mempengaruhi
yang tak terkendali di areal yang seharusnya mereka dalam penggunaan. Oleh karena itu,
dipertahankan sebagai hutan, seperti yang terjadi untuk menghasilkan perubahan dalam
di Kalimantan Timur tahun 1997/98. pemanfaatan kebakaran oleh perusahaan
Perundang-undangan seperti tersebut di diperlukan contoh tindakan penghukuman yang
atas seharusnya direvisi. Larangan hanya berlaku jelas, misalnya perusahaan yang memanfaatkan
untuk kebakaran yang berakibat banyak kabut, kebakaran secara ilegal harus dituntut, dan jika
seperti di lahan gambut, sementara penggunaan ternyata bersalah denda yang dikenakan harus
api dalam situasi dan lokasi yang akibat lokal cukup berat sehingga dapat menjerakan
asapnya tak diinginkan, seperti pada kesehatan perusahaan lain.
atau transportasi, harus diatur dengan peraturan Namun, jelas ada keterbatasan keefektifan
yang ditegakkan. Dalam hal kebakaran yang cara-cara legal ini (dan usaha penegakannya)
berakibat deforestasi yang tak diinginkan, pihak dalam mengkaji masalah-masalah kebakaran
yang berwenang harus diberi kuasa untuk dan kabut asap. Dalam banyak kasus kegiatan
mengatur (termasuk melarang) penggunaan api mata pencaharian skala kecil oleh penduduk
dalam jangka waktu tertentu, seperti selama desa merupakan sumber utama nyala api dan
ENSO. Revisi ini sebaiknya difokuskan pada kemungkinan besar ketentuan dalam perundang-
kebakaran yang benar-benar menimbulkan undangan tidak akan berhasil menangani sumber
masalah. Dengan demikian, ketersediaan sumber nyala api. Kegiatan mata pencaharian skala kecil
daya yang terbatas untuk mencegah dan jauh lebih terpencar dibandingkan dengan
menanggulangi kebakaran dapat digunakan untuk perusahaan, dan tentu saja lebih sulit untuk
mengatasi kebakaran yang memang rumit. memantau dan pengaturannya secara legal
Dalam kaitannya dengan lahan gambut, ada hampir tidak mungkin ditegakkan. Oleh karena
perundang-undangan yang mengatur itu, ketika kegiatan mata pencaharian terlibat
pengembangannya. Undang-undang ini dalam kebakaran atau masalah kabut asap,
menetapkan bahwa areal gambut yang lebih hanya inisiatif berbasis masyarakat,17 yang
dalam dari 3 meter tidak boleh dikembangkan didukung oleh peraturan perundang-undangan,
(Ketetapan Presiden No. 32/1990). Namun tidak memiliki kemungkinan untuk berhasil.
jelas apakah peraturan itu sungguh-sungguh
diimplementasikan. Analisis ketepatan 5.5 Karbon Sink
peraturan ini diperlukan, termasuk implikasi Sampai sekarang masih ada ketidakpastian
social, ekonomi dan lingkungannya. mengenai jumlah emisi karbon sebagai akibat
Jelas bahwa merevisi perundang-undangan kebakaran tahun 1997/98. Estimasi
saja tidak akan memecahkan masalah-masalah menunjukkan kisaran angka dari 206,6 juta ton
kebakaran. Hukum perlu ditegakkan dan hal ini karbon, 156,3 juta (sekitar 75%) dihasilkan dari
tidak terjadi. Ini bukan hanya karena kebakaran gambut yang terbakar, sampai 493 juta ton,
sulit dipantau dan dipatroli. Kebakaran hutan dengan kontribusi 442 juta ton (sekitar 90 %)
yang berulang di Indonesia yang sering dari lahan gambut. Angka Estimasi yang lebih
disebutkan sebagai ‘kebakaran hutan,’ yang tinggi sebanding dengan sekitar 30% (dan 27%
memberi kesan areal yang terbakar terpencil dari kebakaran gambut) dari emisi rata-rata
dan sulit dijangkau. Padahal kenyataannya ini global per tahun yang disebabkan oleh
tidak selalu demikian. Contohnya, fakta bahwa perubahan tata guna lahan selama 1989-1995
selama terjadi kabut pada Juli-Oktober 2002 di (IPCC 2000).
Kalimantan Barat lebih dari 75 persen dari titik Di atas disebutkan bahwa saat ini, bahwa
api (hot spots) yang diidentifikasi berada di lahan dari perspektif kelembagaan, emisi karbon dari

OP-38 INa.p65 20 2/26/2003, 11:59 PM


Black
Kebakaran Hutan di Indonesia: Penyebab, Biaya dan Implikasi Kebijakan 21

pembukaan lahan dan tipe kebakaran lain bukan yang mencakup perkebunan, penduduk desa dan
merupakan biaya bagi negara itu sendiri atau lembaga pemerintah, dan juga ENSO, ikut andil
komunitas global, karena negara-negara atas terjadinya kebakaran dan kabut asap.
berkembang tidak harus memenuhi target Sayangnya, usaha pencarian pihak yang
pengurangan emisi karbon dan emisi karbon dari bersalah atas kebakaran dan kabut asap, yaitu
proyek-proyek yang mencegah deforestasi tidak perusahaan, penduduk desa, atau bahkan ENSO,
diperbolehkan dalam Mekanisme Pembangunan terulang secara teratur sama dengan
yang Bersih untuk periode komitmen pertama. berulangnya masalah kabut asap yang
Mengingat kontribusi lahan gambut dalam emisi mengganggu kegiatan sosial dan ekonomi di
karbon, perlu dipertimbangkan apakah Indonesia dan tetangganya, paling sedikit dua
konservasi lahan gambut harus dimasukkan kali setahun. Sementara angka kerugian ekonomi
dalam periode komitmen kedua dari protokol tahun 1997/98 telah direvisi menjadi lebih
Kyoto. rendah dan kejadian kabut dua kali setahun
mungkin menghasilkan dampak ekonomi yang
lebih rendah daripada kejadian tahun 1997/98,
5.6 Kebakaran, ENSO dan faktor-faktor angka kerugiannya masih signifikan. Dalam hal
manusia luas permukaan lahan yang terbakar, laporan ini
Perdebatan mengenai apakah kebakaran di menunjukkan bahwa kebakaran mempengaruhi
Indonesia disebabkan oleh faktor-faktor manusia areal yang lebih luas daripada yang dinyatakan
atau sebagai hasil dari kejadian alam merupakan sebelumnya, meskipun ada pernyataan bahwa
topik yang bisa diperdebatkan. Jelas bahwa kebakaran yang terjadi tidak seluas yang
kondisi lingkungan akibat dari ENSO dan kegiatan dilaporkan oleh organisasi-organisasi seperti
manusia ikut andil atas terjadinya kebakaran, WWF (Lomborg 2001). Oleh karena itu,
karena kebakaran alami di Indonesia merupakan Pemerintah Indonesia, kalangan industri dan
kejadian langka dan kebakaran skala besar organisasi-organisasi nonpemerintah perlu
seperti yang terjadi tahun 1997/98 tidak terjadi mengkaji lebih dalam daripada sekedar mencari
selama tahun-tahun bukan ENSO. Di sisi lain, pihak yang bersalah, dan berusaha menciptakan
jelas bahwa masalah kabut asap terjadi hampir hubungan kemitraan yang serius untuk
setiap tahun sebagai akibat kegiatan mengatasi masalah lingkungan, ekonomi dan
pembukaan lahan, sekalipun luasnya jauh lebih sosial yang sulit ini di tingkat nasional maupun
kecil dari tahun-tahun ENSO. Faktor manusia, internasional.

OP-38 INa.p65 21 2/26/2003, 11:59 PM


Black
22 CIFOR Occasional Paper No. 38(i) Luca Tacconi

Catatan akhir

Semua nilai dolar dihitung dalam dolar AS.


1
yang benar-benar berasal dari kawasan hutan.
Kabut asap merujuk pada adanya erosol
2 10
Simulasi mengasumsikan bahwa 25% total
yang terlihat karena pembakaran dan jarak hutan yang hilang di kawasan DAS terjadi di
penglihatan yang rendah akibat partikel-partikel hutan produksi. Ini memberikan kontribusi 7%
kering. kawasan banjir tambahan.
3
Angka yang disajikan hanya untuk saat ini. 11
URL: http://www.pu.go.id/publik/
Angka ini dipengaruhi oleh kualitas data pegairan/html/ind/infbair/bendungan/
penginderaan jauh yang buruk, keterbatasan bendungan.htm
data tata guna lahan dan kegiatan lapangan yang 12
Di Kalimantan Timur, berdasarkan data
terbatas yang dilakukan untuk menilai kawasan yang disajikan oleh proyek IFFM, yang
sebenarnya yang dilanda kebakaran. Saya menghitung bahwa biomassa yang hilang
mengucapkan terima kasih kepada I. Anderson, berkisar antara 25%-50% sekitar 75% dari
dulu terlibat dalam Proyek Pencegahan dan kebakaran yang melanda hutan dataran rendah.
Pengendalian Kebakaran Hutan yang Cochrane dan Laurance (2002) juga melaporkan
menjelaskan hal ini. kom. pri. Nov 2002. bahwa kebakaran kedua memusnahkan
4
Kebakaran melanda Kalimantan Timur khususnya 40% tegakan pohon dan biomassa.
khususnya pada tahun 1998, sementara di 13
Total emisi karbon juga dihitung oleh Page
kawasan lain Indonesia dilanda kebakaran pada dkk. (2002) paling sedikit menjadi 810 juta ton.
tahun 1997. Perhitungan minimum ini berdasarkan kisaran
5
I. Anderson, kom. pri. Nov 2002. perhitungan yang lebih rendah untuk kawasan
6
Selama tahun-tahun normal, kemungkinan yang terbakar yang dibahas dalam Bagian 3 dan
Riau mengalami kebakaran karena pembukaan berdasarkan rata-rata 51cm gambut yang
lahan yang lebih besar (seperti yang dideteksi terbakar (batas terendah 25 cm, batas tertinggi
oleh satelit) dibandingkan dengan provinsi lain 85 cm). Perhitungan ADB dilakukan berdasarkan
di Indonesia. Menurut catatan curah hujan setiap rata-rata 30 cm gambut yang terbakar. Nilai rata-
tahun, Riau tidak menderita kekeringan yang rata yang digunakan dalam studi ADB ini diadopsi
hebat akibat kejadian ENSO. Di Riau, banyak untuk menghindari perhitungan yang terlalu
terjadi kebakaran dan polusi kabut asap yang tinggi. Kawasan yang diteliti oleh Page dkk.
berasal dari kebakaran kebun di lahan gambut (2002) sebagian besar dilanda kebakaran hebat;
pada awal tahun 1997 dan awal 1998 tetapi tidak sehingga, rata-rata gambut yang terbakar di
terjadi kebakaran liar seperti di Jambi dan tingkat nasional kemungkinan menjadi lebih
Sumatera Selatan selama musim terjadinya kabut rendah daripada yang mereka gunakan.
pada bulan September hingga pertengahan 14
Kebakaran Agustus-Oktober 2002 dan
November 1997 (I. Anderson, kom. pri. Nov 2002). pencemaran berat kabut asap di Kalimantan
7
Belum diketahui kegiatan mana yang dikaitkan dengan kejadian ENSO berkekuatan
benar-benar bertanggung jawab atas peristiwa sedang.
kebakaran yang terjadi di lahan gambut. 15
Hutan berakses rendah didefinisikan
8
Satu-satunya pengecualian adalah sebagai ‘hutan primer atau sekunder dewasa
penurunan sekitar 20% pada waktu produksi yang relatif tidak terjamah kegiatan..[dan]
karet oleh perusahaan-perusahaan besar yang ..menurut arealnya dan jarak dari jalan, sungai
menyumbang sekitar 15% total produksi. yang dapat diarungi (dalam kasus Kalimantan),
Penurunan ini terjadi karena perubahan pemukiman masyarakat, pertanian,
struktural dalam sektor. pertambangan dan pembangunan lain. Jarak
9
Ini angka kasar yang kemungkinan terlalu minimum dari batasan-batasan tersebut adalah
tinggi. Angka ini diperoleh berdasarkan asumsi- 0.5-1 km’ (FWI/GFW 2002, h. 73).
asumsi berikut: i) HHNK yang dinilai 58 dolar 16
Analisis CIFOR tentang data titik api.
dikumpulkan lebih dari luas 100 ha, yaitu, 5,8 17
‘Inisiatif berbasis masyarakat’ mengacu
dolar/ha; ii) penangkapan satwa ilegal tidak pada kegiatan yang ingin melibatkan berbagai
terpengaruh secara signifikan oleh kebakaran; pemangku kepentingan lokal dalam proses.
iii) mengingat sebagian besar spesies tumbuhan Bukan berarti bahwa seluruh ‘komunitas’, yaitu
yang dimanfaatkan adalah spesies yang desa, perlu terlibat dan bukan berarti unit sosial
dibudidayakan, hanya sekitar 20% tumbuhan yang homogen.

OP-38 INa.p65 22 2/26/2003, 11:59 PM


Black
Kebakaran Hutan di Indonesia: Penyebab, Biaya dan Implikasi Kebijakan 23

Rujukan

Achard, F., Eva, H., Glinni, A., Mayaux, P., Barber, C.V. dan Schweithelm, J. 2000. Trial by
Richards, T. dan Stibig, H.J. 1998. Fire. Forest Fires and Forestry Policy in
Identification of deforestation hot spot areas Indonesia’s Era of Crisis and Reform. World
in the humid tropics. TREES: Tropical Resources Institute (WRI), Forest Frontiers
Ecosystem Environment Observations by Initiative. Kerja sama dengan WWF-Indonesia
Satellites. Joint Research Centre, European dan Telapak Indonesia Foundation,
Commission, Ispra. Washington D.C.
Aglionby, J. dan Whiteman, A. 1996. The Bureau of Transport Economics. 2002. Economic
utilisation of economic data for conservation Costs of Natural Disasters in Australia.
management planning: a case study from Commonwealth Government of Australia,
Danau Sentarum wildlife reserve. Canberra. www.dotrs.gov.au/bte/docs/r103/
Conservation Project, Indonesia-UK Tropical contents.htm.
Forest Management Programme, Jakarta. Casson, A. 2000. The Hesitant Boom: Indonesia’s
AgroIndonesia. Indonesia agricultural production Oil Palm Sub-Sector in an Era of Economic
year 2000 in numbers. www.agroindonesia. Crisis and Political Change. CIFOR Occasional
com/news/eng/2002/feb/19-02-02.htm (26/ Paper No 29. CIFOR, Bogor.
2/2002). Chokkalingam, U., Tacconi, L. dan Ruchiyat, Y.
Alford, D. 1992. Streamflow and sediment 2002. Fire use, peatland transformation and
transport from mountain watersheds of the local livelihoods: a case of positive
Chao Phraya Basin, Northern Thailand: A reinforcement? Peatland for People: Natural
reconnaissance study. Mountain Research and Resource Functions and Sustainable
Development 12 (3): 257-58. Management. Proceedings of the International
Anderson, I. 200.1 NOAA/GIS Training Expert Symposium on Tropical Peatlands, 22-23
Final Report. Forest Fire Prevention and Agustus 2001, Jakarta. BPPT dan Indonesian
Control Project; European Union, Ministry of Peat Association, Jakarta.
Forestry, Palembang. http://www.mdp. Chomitz, K. dan Kumari, K. 1998. The domestic
co.id/ffpcp/report19.htm. benefits of tropical forests: a critical review.
Anderson, I.P. dan Bowen, M.R. 2000. Fire Zone The World Bank Research Observer 13 (1):
and the Threat to the Wetlands of Sumatra, 13-35.
Indonesia. Forest Fire Prevention and Control Cochrane, M.A., Alencar, A., Schulze, M.D.,
Project; European Union; Departemen Souza, C.M., Nepstad, D.C., Lefebvre, P. dan
Kehutanan, Palembang. Davidson, E. 1999. Positive feedbacks in the
Anderson, I.P., Bowen, M.R., Imanda, I.D. dan fire dynamics of closed canopy forests.
Muhnandar. 1999. Vegetation Fires in Science 284: 1832-1835.
Indonesia: The Fire History of the Sumatra Cochrane, M.A. dan Laurance, W.F. 2002. Fire
Provinces 1996-1998 as a Predictor of Future as a large-scale edge effect in Amazonian
Areas at Risk. Forest Fire Prevention and forests. Journal of Tropical Ecology 18: 311-
Control Project; European Union; 325.
Departemen Kehutanan, Palembang. Colfer, C.J.P. 2002. Ten propositions to explain
Applegate, G.B.A., Chokkalingam, U. dan Kalimantan’s fires. Dalam: C. J. P. Colfer dan
Suyanto, S. 2001. The Underlying Causes and I. A. P. Resosudarmo eds. Which way forward?
Impacts of Fires in Southeast Asia. Final People, Forests and Policymaking in
Report. CIFOR, ICRAF, USAID, USFS, Bogor. Indonesia, 309-324. Resources for the Future,
BAPPENAS-ADB. 1999. Causes, Extent, Impact Washington, D.C.
and Costs of 1997/1998 Fires and Drought. Costanza, R., D’Arge, R., de Groot, R., Faber,
Laporan akhir, Lampiran 1 dan 2. Planning S., Grasso, M., Hannon, B., Limburg, K.,
for Fire Prevention and Drought Management Naeem, S., O’Neill, R.V., Paruelo, J., Raskin,
Project. Asian Development Bank TA 2999- R.G., Sutton, P. dan van den Belt, M. 1997.
INO. National Development Planning Agency The value of the world’s ecosystem services
(BAPPENAS) and Asian Development Bank, and natural capital. Nature (387): 253-260.
Jakarta.

OP-38 INa.p65 23 2/26/2003, 11:59 PM


Black
24 CIFOR Occasional Paper No. 38(i) Luca Tacconi

DeBano, L.F. 2000. The role of fire and soil Jhamtani, H. dan Badawi, W. 1998. Report on
heating on water repellency in a wildland Forest and Land Fires in Indonesia: Impacts,
environment. Journal of Hydrology (231-232): Factors and Evaluation. Volume I. State
195-206. Ministry of Environment; UNDP, Jakarta.
Dennis, R., Erman, A., Kurniawan, I., Stolle, F. Kartawinata, K. dan Vayda, A.P. 1984. Forest
dan Applegate, G. 2000. The underlying conversion in East Kalimantan. In: F. di Castri,
causes and impacts of fires in South-east Asia. F. W. J. Baker and A. Hadley eds. Ecology in
Site 3. Danau Sentarum, West Kalimantan Practice, 98-126. Tycooly International,
Province, Indonesia. CIFOR, ICRAF dan USFS, Dublin.
Bogor, Indonesia. Legg, C.A. dan Laumonier, Y. 1999. Fires in
FAO. 2001. State of the World’s Forests: 2001. Indonesia, 1997: a remote sensing
Food and Agriculture Organisation of the perspective. Ambio 28 (6): 479-485.
United Nations, Rome. Leighton, M. dan Wirawan, N. 1986. Catastrophic
Forest Fire Prevention and Control Project. 1999. drought and fire in Borneo tropical rain forest
Wildfire Occurrence in South Sumatra, Wild associated with the 1982-83 El Niño Southern
Fire Causes and Landuse of Burnt Areas. Oscillations event. In: G. Prance ed. Tropical
Lokakarya Internasional yang Pertama tentang Rainforests and the World Atmosphere, 75-
Panduan Nasional Perlindungan Hutan 102. American Association for the
terhadap Kebakaran. Volume 9, pp 211-213. Advancement of Science, Washington, D.C.,
ITTO, CFC, MoF, IPB, Bogor. U.S.A.
Fuchs, T. dan Schneider, U. ENSO impacts on Liew, S.C., Kwoh, L.K., Lim, O.K. dan Lim, H.
global precipitations in winter 1997/98. 2001. Remote sensing of fire and haze.
http://www.dwd.de/research/klis/produkte/ Dalam: P. Eaton dan M. Radojevic eds. Forest
monitoring/ensowzn/e_ensowzn.htm (12/3/ Fires and Regional Haze in Southeast Asia,
2002). 67-89. Nova Science Pubishers, New York.
FWI/GFW. 2002. The State of the Forest: Liew, S.C., Lim, O.K., Kwoh, L.K. dan Lim, H.
Indonesia. Forest Watch Indonesia, Global 1998. A study of the 1997 forest fires in South
Forest Watch, Bogor, Washington DC. East Asia using SPOT quicklook mosaics. 1998
Glover, D. 2001. The Indonesian fires and haze International Geoscience and Remote Sensing
of 1997: the economic toll. Dalam: P. Eaton Symposium, Seattle.
dan M. Radojevic eds. Forest fires and Lomborg, B. 2001. The Skeptical
regional haze in Southeast Asia, 227-236. Environmentalist. Cambridge University Press,
Nova Science Publishers, New York. Cambridge.
Glover, D. dan Jessup, T. eds. 1999. Indonesia’s Massing, A.M. 1981. Base Line Survey: Middle
Fires and Haze: The Cost of Catastrophe. Mahakam Area. TAD-Project, GTZ,
Institute of Southeast Asian Studies; Samarinda.
International Development Research Centre, Oosterman, A. dan Widayat, D. 2001. The impact
Singapore. of fires on local economies: the case of Batu
Grossmann, C.M. 1997. Significance and Ampar. Berau Forest Management Project,
Development Potential of Non-Wood Forest PT Inhutani I, Jakarta.
Products in Central East Kalimantan. A Case Osterman, K. dan Brauer, M. 2001. Air quality
Study from PT. Limbang Ganeca, Long Lalang during haze episodes and its impact on health.
and Ritan Baru. MoFEC, GTZ, Samarinda. In: P. Eaton and M. Radojevic eds. Forest Fires
Guyon, A. dan Simorangkir, D. 2002. The and Regional Haze in Southeast Asia, 195-226.
Economics of Fire Use in Agriculture and Nova Science Pubishers, New York.
Forestry - A Preliminary Review for Indonesia. Page, S.E., Siegert, F., Rieley, J.O., Boehm, H.D.,
Project FireFight South East Asia, Jakarta. Jaya, A. dan Limin, S. 2002. The amount of
Hoffmann, A.A., Hinrichs, A. dan Siegert, F. 1999. carbon released from peat and forest fires
Fire damage in East Kalimantan in 1997/98 in Indonesia during 1997. Nature 420 (7
related to land use and vegetation classes: November): 61-65.
Satellite radar inventory results and proposal Potter, L. dan Lee, J. 1999. Oil palm in Indonesia:
for further actions. MOFEC, GTZ dan KfW, its role in forest conversion and the fires of
Samarinda. 1997/98. WWF - Indonesia Programme,
IPCC. 2000. Land use, Land-use Change and Jakarta.
Forestry. Cambridge University Press, Putz, F.E., Dykstra, D.P. dan Heinrich, R. 2000.
Cambridge. Why poor logging practices persist in the

OP-38 INa.p65 24 2/26/2003, 11:59 PM


Black
Kebakaran Hutan di Indonesia: Penyebab, Biaya dan Implikasi Kebijakan 25

tropics. Conservation Biology 14 (4): 951-956. Sudarmadji, T. 2001. Impact of logging and forest
Qadri, S.T. ed. 2001. Fire, Smoke and Haze. The fires on soil erosion in tropical humid forest
ASEAN Response Strategy. Asian Development in East Kalimantan. Dalam: S. Kobayashi, J.
Bank, ASEAN, Manila. W. Turnbull, T. Toma, T. Mori dan N. M. N. A.
Rosenfeld, D. 1999. TRMM observed first direct Majid eds. Rehabilitation of Degraded Tropical
evidence of smoke from forest fires inhibiting Forest Ecosystems, 35-44. CIFOR, Bogor.
rainfall. Geophysical Research Letters 26 Tacconi, L., Gunarso, P., Ruchiat, Y. dan Mulyadi,
(20): 3105-3108. S. 2002. Socio-economic causes and impacts
Rowell, A. dan Moore, P.F. 2001. Global Review of fires in the Central Mahakam area, East
of Forest Fires. WWF; IUCN, Gland. Kalimantan. Draft. CIFOR, Bogor.
Sargeant, H.J. 2001 Vegetation Fires in Sumatra Tapper, N., Wain, A. dan Mills, G. Atmospheric
Indonesia. Oil Palm Agriculture in the Wetlands trajectory climatologies for some major
of Sumatra: Destruction or Development? ASEAN cities. Makalah disampaikan pada ‘A
Forest Fire Prevention and Control Project; Changing Atmosphere’, Simposium Eropa
European Union, Departemen Kehutanan, yang ke-8 the Physico-Chemical Behaviors of
Palembang. Atmospheric Pollutants, 17-20 September
Sarwono. 1989. Effects of the Forest Fire 1982/ 2001, Lingotto Conference Centre, Torino.
83 in East Kalimantan on Fishery and www.ei.jrc.it/events/torino2001/torinocd/
Hydrology. BPPK, GTZ, DFS, ITTO, FR-Project, Documents/Urban/UO4.htm (4 April 2002).
Samarinda. United Nations International Strategy for
Schindele, W., Thoma, W. dan Panzer, K. 1989. Disaster Reduction. 2002. Natural disasters
Investigation of the Steps Needed to and sustainable development: understanding
Rehabilitate the Areas of East Kalimantan the links between development and
Seriously Affected by Fire. The Forest Fire environment and natural disasters. United
1982/83 in East Kalimantan. Part I: The Fire, Nations, World Summit on Sustainable
the Effects, the Damage and the Technical Development, New York.
Solutions. BPPK, GTZ, DFS, ITTO, FR-Project, United States Department of Agriculture. 1998.
Samarinda. Indonesia’s financial crisis: implications for
Siegert, F., Ruecker, G., Hinrichs, A. dan agriculture. USDA, Washington DC.
Hoffmann, A.A. 2001. Increased damages van Nieuwstadt, M.G.L., Sheil, D. dan
from fires in logged forests during droughts Kartawinata, K. 2001. The ecological
caused by El Niño. Nature 414 (22 November): consequences of logging in the burnt forests
437-440. of East Kalimantan, Indonesia. Conservation
Steenis, M.Z. dan Fogarty, L.G. 2001. Biology 15 (4): 1183-1186.
Determining spatial factors associated with Wetlands International. Mahakam Lakes.
fire ignition zones: hot spot analysis for East www.livinglakes.org/mahakam/(14/1/2002).
Kalimantan. Berau Forest Management Whiteman, A. dan Fraser, A. 1997. The value of
Project, Jakarta. forestry in Indonesia. Indonesia-UK Tropical
Forest Management Programme, Jakarta.

OP-38 INa.p65 25 2/26/2003, 11:59 PM


Black
26

OP-38 INa.p65
Lampiran
Tabel A1. Ringkasan asumsi dan parameter yang digunakan dalam studi ISAS dan ADB

Black
Masalah Asumsi ISAS Asumsi ADB
biaya

26
1. Kerusakan yang terkait dengan kekeringan

Pertanian Kerugian ekonomi akibat dampak kekeringan di persawahan juga dimasukkan.


CIFOR Occasional Paper No. 38(i)

Kecenderungan linear dalam peningkatan hasil produksi padi diterapkan.


Kenaikan biaya yang terkait dengan impor. Beras juga dimasukkan.
2. Kerusakan yang terkait dengan kebakaran

Pertanian Kawasan yang terbakar: lahan pertanian dan perkebunan 2,5 juta ha; Total kawasan tanaman perkebunan yang terbakar sekitar 91.000 ha
lahan tidak produktif 1,5 juta ha Perhitungan berasal dari laporan UNDP 1998.
Nilai lahan produktif untuk perkebunan kelapa sawit skala besar 2000
sampai 4000 dolar per ha. Nilai lahan petani kecil hanya sekitar 400 dolar per ha.
Maka rata-rata nilai lahan pertanian 1000 dolar per ha
Dengan tingkat diskon 10%, nilai bersih rata-rata per hektar per tahun adalah 100 dolar
Setelah kebakaran, produktivitas lahan pertanian benar-benar pulih dalam tiga tahun,
dengan sebagian produktivitas pulih kembali dalam satu tahun setelah kebakaran

Hutan komersial (dataran rendah) yang terbakar 3283 juta ha


Kayu Kawasan hutan yang terbakar 1 juta ha
Rata-rata nilai tegakan hutan tampaknya berdasarkan Data Inventarisasi Nasional, misalnya:
Tingkat rata-rata tegakan hutan 40,5 m3/ha kelas diameter >50 cm; 63,5 m3/ha
kelas diameter > 20cm. Dataran rendah
Berdasarkan data inventarisasi: Kalimantan – 54,5 m3/ha kelas diameter > 50 cm, 81,4 m3/ha kelas diameter > 20 cm
Kalimantan - 49 m3/ha untuk kelas diameter > 50 cm, 74 m3/ha untuk kelas diameter > 20 cm Sumatera – 36,1 m3/ha kelas diameter > 50 cm, 56,6 m3/ha kelas diameter >20 cm
Sumatera – 32 m3/ha untuk kelas diameter > 50 cm, 53 m3/ha untuk kelas diameter > 20 cm 30% volume tegakan yang terbakar.
Tegakan siasa untuk kelas diameter >20 membutuhkan waktu 10 tahun untuk mencapai Harga bersih kayu berdasarkan biaya ekonomi yang dihitung:
tingkat dewasa. Kalimantan: 28-43 dolar
Sehingga, tingkat rata-rata tegakan siasa saat ini secara keseluruhan adalah 49,37 Sumatera: 32-39 dolar

2/26/2003, 11:59 PM
Kayu dibalak setelah lebih dari 25 tahun.
Harga bersih kayu: 50 dolar

Pohon Dimasukkan dalam kerugian dari nilai kayu di bagian sebelumnya. 65% volume tegakan hancur.
yang mati Hutan ditebang pada siklus 25 tahun.
Penghambat pertumbuhan pohon bagi pohon yang mati dari 0 hingga lebih dari 35 tahun
Pembalakan selanjutnya dengan tingkat diskon 10%
Luca Tacconi
OP-38 INa.p65
Tabel A1. Lanjutan

Masalah biaya Asumsi ISAS Asumsi ADB

HTI Total kawasan yang terbakar 135.000 ha.

Black
Perkebunan yang kurang dari tiga tahun terbakar semua.
Perkebunan yang lebih lama hanya 30% dari kawasan yang terbakar.
Perhitungan biaya pendirian perkebunan, perawatan dan pemeliharaan 504 dolar per ha.

27
Tingkat Indeks gabungan 10%.
Tingkat keuntungan 15%.

HHNK dan Berlaku untuk lahan sejuta hektar hutan yang terbakar 4,84 juta ha hutan yang dilanda
keuntungan Ini termasuk: 75% produksi HHNK musnah pada tahun pertama, akan dimulai lagi setelah 20 tahun
langsung makanan, bahan mentah, HHNK, Nilai per ha/tahun 23 dolar, berasal dari studi Danau Sentarum
lainnya (dolar/ha/tahun sebesar 401)
dari hutan dan rekreasi (dolar/ha/tahun sebesar 129).
Nilai yang dihitung di tingkat dunia dapat diterapkan untuk Indonesia.
Diperoleh dari Costanza dkk 1997

Keuntungan Berlaku untuk lahan sejuta hektar hutan yang terbakar


tidak Ini termasuk gangguan peraturan, peraturan penyediaan air, pengendalian
langsung dari pencemaran, pembentukan tanah, siklus hara, pengelolaan limbah
Kebakaran Hutan di Indonesia: Penyebab, Biaya dan Implikasi Kebijakan

hutan Diperoleh dari Costanza dkk 1997


- Pencegahan Nilai tahunan 91,6 dolar/ha/tahun (berdasarkan Whiteman dan Fraser 1997)
banjir 35% lahan hutan yang terbakar akan memusnahkan pohon dan serasah.
Fungsi perlindungan terbentuk kembali setelah lima tahun.
Kerugian di masa depan dengan tingkat diskon 10%.
- Erosi dan Nilai 550 dolar per ha/tahun pertama, 500 dolar per ha/tahun kedua.
pengendapan Kerugian fungsi hutan lebih dari 35% hutan yang terbakar.

Keanekaragaman Nilai per km2 setara dengan 300 dolar (berdasarkan kajian internasional Data tidak memadai untuk melakukan perhitungan nilai lokal secara
hayati yang tentang jumlah yang dibayar untuk konservasi keanekaragaman hayati tepat. ‘Dengan memasukkan data yang lebih sedikit daripada nilai
bisa diperoleh merosot hingga kisaran 30 sampai 3000 dolar per km2 per tahun). kasarnya untuk komponen ini, mungkin keabsahan seluruh penilaian

2/26/2003, 11:59 PM
Berlalu untuk selamanya di lahan hutan sejuta hektar. yang dilakukan akan dipertanyakan
Tidak menggambarkan nilai intrinsik spesies, ekopariwisata yang potensial,
atau obat-obatan yang dijual di pasaran internasional.

Pelepasan Nilai karbon 10 dolar per ton 206,6 juta ton karbon yang dilepaskan.
karbon 27,2 juta ton emisi karbon Nilai 7 dolar per ton
27
28

OP-38 INa.p65
Tabel A1. Lanjutan

Masalah biaya Asumsi ISAS Asumsi ADB

Black
3. Kerusakan yang terkait dengan kabut asap

Kesehatan Penduduk yang terkena dampak kabut asap dihitung dengan mengekstrapolasikan Penduduk yang dilanda kabut asap dihitung dengan mengekstrapolasikan data dari

28
model yang berasal dari data di Malaysia Indonesia. Perhitungan ini dibuat berdasarkan laporan UNDP 1998.
Termasuk total biaya kesehatan yang dihitung: biaya perawatan di rumah sakit Termasuk kematian, kehilangan produktivitas selama lebih dari 20 tahun.
dan kasus yang tidak dilaporkan dan perawatan itu sendiri. Kerelaan membayar untuk mencegah efek-efek yang merugikan melebihi biaya
CIFOR Occasional Paper No. 38(i)

Tidak termasuk dampak kesehatan jangka panjang. langsung dengan faktor 2:1; termasuk perhitungan tambahan kehilangan surplus
Semua kasus orang dewasa akan melibatkan orang bekerja konsumen.
(yaitu, ibu rumah tangga, manula dan pengangguran tidak ikut dihitung). Pada tahun 1997, 12,360,000 penduduk dilanda kabut asap; total untuk tahun 1998
Kerelaan membayar untuk mencegah efek-efek yang merugikan melebihi biaya langsung tidak dijelaskan, tetapi diasumsikan efeknya serupa dengan tahun 1997;
dengan faktor 2:1; termasuk perhitungan tambahan kehilangan surplus konsumen. 19,108 orang menjalani rawat inap
35,4 juta orang dinyatakan terkena dampak tingkat kabut di atas normal 44,034 orang menjalani rawat jalan
periode keterpaparan kabut adalah 91 hari 695,000 orang menjalani perawatan medis
267,000 orang menjalani rawat inap 2,95 juta orang tidak masuk kerja
623,000 orang menjalani rawat jalan
9,78 juta menjalani perawatan medis
27,9 juta orang tidak masuk kerja

Pariwisata Penurunan jumlah pengunjung antara 15% dan 22,5% Berdasarkan studi ISAS.
50% penurunan jumlah pengunjung dari ASEAN karena krisis ekonomi Total penurunan di sektor pariwisata tahun 1997: 326768;
antara 187,000 dan 281,000 pengunjung 1998: 1,908,070; dengan rincian sebagai berikut:
rata-rata pengeluaran yang dihabiskan 1250 dolar semua kedatangan dari Eropa dan Amerika antara bulan 9/97 dan 4/98 berkurang karena
terjadi kebakaran;
penurunan jumlah kedatangan pada 5/98 hingga 9/98 dari Eropa dan America karena kabut
sebesar 50%;
penurunan jumlah kedatangan pada 9/97 hingga 12/97 dari Asia Pasifik karena kabut
sebesar 50%.
Rata-rata pengeluaran yang dihabiskan pendatang adalah 1129 dolar

2/26/2003, 11:59 PM
Penutupan 1108 penerbangan dibatalkan
bandar udara
Luca Tacconi
CIFOR Occasional Paper Series

1. Forestry Research within the Consultative Group on International 21. Promoting Forest Conservation through Ecotourism Income? A case
Agricultural Research study from the Ecuadorian Amazon region
Jeffrey A. Sayer Sven Wunder
2. Social and Economical Aspects of Miombo Woodland Management 22. Una de Gato: Fate and Future of a Peruvian Forest Resource
in Southern Africa: Options and Opportunities for Research Wil de Jong, Mary Melnyk, Luis Alfaro Lozano, Marina Rosales
Peter A. Dewees and Myriam García
3. Environment, development and poverty: A Report of the 23. Les Approches Participatives dans la Gestion des Ecosystemes
International Workshop on India’s Forest Management and Forestiers d’Afrique Centrale: Revue des Initiatives Existantes
Ecological Revival Jean-Claude Nguinguiri
Uma Lele, Kinsuk Mitra and O.N. Kaul 24. Capacity for Forestry Research in Selected Countries of West and
4. Science and International Nature Conservation Central Africa
Jeffrey A.Sayer Michael J. Spilsbury, Godwin S. Kowero and F. Tchala-Abina
5. Report on the Workshop on Barriers to the Application of Forestry 25. L’Ímpact de la Crise Economique sur les Populations, les Migration
Research Results et le Couvert Forestier du Sud-Cameroun
C.T.S. Nair, Thomas Enters and B. Payne Jacques Pokam Wadja Kemajou and William D.Sunderlin
6. Production and Standards for Chemical Non-Wood Forest Products 26. • The Impact of Sectoral Development on Natural Forest
in China Conservation and Degradation: The Case of Timber and Tree Crop
Shen Zhaobang Plantations in Indonesia
• (Indonesian edition) Dampak Pembangunan Sektoral terhadap
7. • Cattle, Broadleaf Forests and the Agricultural Modernization Konversi dan Degradasi Hutan Alam: Kasus Pembangunan HTI dan
Law of Honduras: The Case of Olancho Perkebunan di Indonesia
• (Spanish edition) Ganadería, bosques latifoliaods y Ley de Hariadi Kartodihardjo and Agus Supriono
Modernizatción en Honduras: El caso de Olancho
William D.Sunderlin and Juan A.Rodriguez 27. L’Impact de la Crise Économique sur les Systèmes Agricoles et le
Changement du Couvert Forestier dans la Zone Forestière Humide
8. High quality printing stock - has research made a difference? du Cameroun
Francis S.P. Ng Henriette Bikié, Ousseynou Ndoye and William D.Sunderlin
9. • Rates Causes of Deforestation in Indonesia: Towards a Resolution 28. • The Effect of Indonesia’s Economic Crisis on Small Farmers and
of the Ambiguities Natural Forest Coverin the Outer Islands
• (Indonesian edition) Laju dan Penyebab Deforestasi di Indonesia: • (Indonesian Edition) Dampak Krisis Ekonomi Indonesia terhadap
Penelaahan Kerancuan dan Penyelesaiannya Petani Kecil dan Tutupan Hutan Alam di Luar Jawa
William D. Sunderlin and Ida Aju Pradnja Resosudarmo William D. Sunderlin, Ida Aju Pradnja Resosudarmo, Edy Rianto,
10. Report on Discussion Forum on Irformation Services in the Asia- Arild Angelsen
Pacific and AGRIS/CARIS in the 21st Century and Asia-Pacific
Regional Consultation 29. The Hesitant Boom: Indonesia’s Oil Palm Sub-Sector in an Era of
Michael O. Ibach and Yvonne Byron Economic Crisis and Political Change
Anne Casson
11. Capacity for Forestry Research in the Southern African
Development Community 30. The Underlying Causes of Forest Decline
Godwin S. Kowero and Michael J. Spilsbury Arnoldo Contreras-Hermosilla

12. Technologies for sustainable forest management: Challenges for 31. ‘Wild logging’: The rise and fall of logging networks and
the 21st century biodiversity conservation projects on Sumatra’s rainforest frontier
Jeffrey A. Sayer, Jerome K. Vanclay and R. Neil Byron John F. McCarthy

13. Bosques secundarios como recurso para el desarrollo rural y la 32. Situating Zimbabwe’s Natural Resource Governance Systems in
conservación ambiental en los trópicos de América Latina History
Joyotee Smith, César Sabogal, Wil de Jong and David Kaimowitz Alois Mandondo

14. Cameroon’s Logging Industry: Structure, Economic Importance 33. Forestry, Poverty and Aid
and Effects of Devaluation J.E. Michael Arnold
Richard Eba’a Atyi 34. The Invisible Wand: Adaptive Co-management as an Emergent
15. • Reduced-Impact Logging Guidelines for Lowland and Hill Strategy in Complex Bio-economic systems.
Dipterocarp Forests in Indonesia Jack Ruitenbeek and Cynthia Cartier
• (Indonesian edition) Pedoman Pembalakan Berdampak Rendah 35. Modelling Methods for Policy Analysis in Miombo Woodlands
untuk Hutan Dipterocarpa Lahan Rendah dan Bukit di Indonesia A. A Goal Programming Model for Planning Management of Miombo
Plinio Sist, Dennis P. Dykstra and Robert Fimbel Woodlands
16. Site Management and Productivity in Tropical Forest Plantations I. Nhantumbo and Godwin S. Kowero
A. Tiarks, E.K.S. Nambiar and Christian Cossalter B. A System Dynamics Model for Management of Miombo
Woodlands
17. Rational Exploitations: Economic Criteria and Indicators for Ussif Rashid Sumaila, Arild Angelsen and Godwin S. Kowero
Sustainable Management of Tropical Forests
Jack Ruitenbeek and Cynthia Cartier 36. How to Know More about Forests? Supply and Use of Information
for Forest Policy
18. Tree Planting in Indonesia: Trends, Impacts and Directions K. Janz and R. Persson
Lesley Potter and Justin Lee
37. Forest Carbon and Local Livelihoods: Assessment of Opportunities
19. Le Marche des Produits Forestiers Non Ligneux de l’Afrique and Policy Recommendations
Centrale en France et en Belgique: Produits, Acteurs, Circuits de Joyotee Smith and Sara J. Scherr
Distribution et Debouches Actuels
Honoré Tabuna 38. Fires in Indonesia: Causes, Costs and Policy Implications
Luca Tacconi
20. Self-Governance and Forest Resources
Elinor Ostrom
38b 2/28/03 1:36 AM Page 1

C e n t e r f o r I n t e r n a t i o n a l F o r e s t r y R e s e a r c h C e n t e r f o r I n t e r n a t i o n a l F o r e s t r y R e s e a r c h

CIFOR Occasional Paper adalah seri publikasi hasil-hasil riset yang memiliki relevansi
penting dengan kehutanan di kawasan tropis. Isi masing-masing seri telah dikaji oleh
pakar di dalam dan luar CIFOR. Untuk mendapatkan versi elektroniknya telah
tersedia pada situs www.cifor.cgiar.org/publications/papers.

Silakan menghubungi cifor@cgiar.org untuk mendapatkan seri publikasi ini.

CIFOR Occasional Paper No. 38(i)


Kebakaran Hutan di Indonesia:
Penyebab, Biaya dan Implikasi Kebijakan

Center for International Forestry Research (CIFOR) didirikan pada tahun 1993
Luca Tacconi
sebagai bagian dari sistem CGIAR, sebagai tanggapan atas keprihatinan dunia akan
konsekuensi sosial, lingkungan dan ekonomi yang disebabkan oleh kerusakan dan
kehilangan hutan. Penelitian CIFOR menghasilkan pengetahuan dan berbagai
metode yang dibutuhkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang
hidupnya mengandalkan hutan, dan untuk membantu negara-negara di kawasan
tropis dalam mengelola hutannya secara bijaksana demi manfaat yang
berkelanjutan. Berbagai penelitian ini dilakukan di lebih dari 24 negara, melalui
kerja sama dengan banyak mitra. Sejak didirikan, CIFOR telah memberikan dampak
positif dalam penyusunan kebijakan kehutanan nasional dan global.

CIFOR adalah salah satu dari 16 pusat Future Harvest


dan Consultative Group on International Agricultural Research (CGIAR)

Anda mungkin juga menyukai