Anda di halaman 1dari 8

Nama : Intan Nararia Primaditya

NIM : 1713020028

REFLEKSI KASUS

STASE NEUROLOGI

A. Rangkuman Kasus

Seorang perempuan berusia 65 tahun datang ke poliklinik saraf RS. Soeselo Slawi

bersama anaknya. Pasien mengeluh nyeri pinggang menjalar sampai kedua kaki dan

susah untuk digerakkan. Keluhan sudah dirasa selama tiga tahun yang lalu. Keluhan

dirasa semakin memberat saat berjalan dan membaik dengan beristirahat. Selain itu kedua

kaki terasa berat dan kesemutan. Kedua lutut dirasa juga nyeri dan susah untuk jongkok.

Pasien sebelumnya pernah dirawat di rumah sakit sebanyak dua kali. Pasien terakhir

dirawat di rumah sakit kurang lebih tigah bulan yang lalu dengan keluhan yang sama dan

diare terutama saat makan santan.

B. Perasaan Terhadap Pengalaman

Setelah saya mendapati pasien dengan keluhan nyeri pinggang, saya merasa

prihatin dan mulai berpikir bahwa sebagian besar kasus yang ada di poliklinik saraf

dominan dengan nyeri. Kebetulan saya sering mendapati ibu-ibu atau perempuan keluhan

nyeri pinggang. Nyeri pinggang banyak kemungkinan yang terjadi, untuk mendapatkan

diagnosis utama yang tepat maka perlu dilakukan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan

penunjang. Begitupun terapi pasien juga perlu disesuaikan dengan diagnosis utama

pasien.
C. Evaluasi

Anamnesis

1. Identitas

Nama : Ny. S

Usia : 65 Tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

Alamat : Pagerbarang, Tegal.

Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

Status : Menikah

2. Keluhan Utama

Nyeri kedua pinggang menjalar sampai kaki sudah tiga tahun.

3. Riwayat Penyakit Sekarang

Nyeri pinggang menjalar sampai kedua kaki. Kedua kaki susah dan berat untuk

degarakkan juga terasa kesemutan. Saat untuk berjalan beberapa langkah keluhan

langsung memberat dan membaik dengan istirahat. Saat berjalan pasien harus

berpegangan. Pasien juga mengeluh nyeri kedua lutut.

4. Riwayat Penyakit Dahulu

Pasien mempunyai keluhan yang sama. Selain itu pasien mempunyai riwayat tekanan

darah tinggi.

5. Riwayat Penyakit Keluarga

Keluarga tidak mempunyai keluhan yang sama serta penyakit lainnya.

6. Riwayat Alergi

Tidak ada alergi obat maupun makanan.


7. Riwayat Pengobatan

Sebelumnya sudah periksa di Puskesmas dan Rumah Sakit yang sama. Namun saat

obat habis keluhan kambuh dan memberat.

Pemeriksaan Fisik

1. Kesadaran

Compos mentis (E4M6V5)

2. Tanda-Tanda Vital

Tekanan Darah : 140/ 90 mmHg

Nadi : 76 X/ menit

RR : 20 X/ menit

Suhu : 37,0 ℃

3. Kepala

Normocephal, pupil isokor, konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-.

4. Abdomen

Bising usus (+)

Nyeri tekan (-)

5. Ekstremitas

Edema keempat ekstremitas (-)

6. Motorik

Superior Inferior

Kekuatan 555/555 555/444

Pergerakan 555/555 555/555

Tonus DBN DBN


Klonus DBN DBN

Reflek fisiologis ++/++ ++/++

Reflek patologis -/- -/-

Pemeriksaan Penunjang

Perlu dilakukan rontgen tuang belakang.

Diagnosis

Canalis stenosis dengan osteoarthritis dan polineuropati

D. Analisis

Definisi

Stenosis spinal adalah kondisi di mana terjadi penyempitan di bagian celah terbuka pada

tulang belakang. Kondisi ini menyebabkan sumsum tulang belakang yang berisi saraf

tertekan (Eberhard, 2009).

Epidemiologi

Lumbar spinal stenosis menjadi salah satu masalah yang sering ditemukan, yang

merupakan penyakit degeneratif pada tulang belakang pada populasi usia lanjut.

Prevalensinya 5 dari 1000 orang diatas usia 50 tahun di Amerika. Merupakan penyakit

terbanyak yang menyebabkan bedah pada spina pada usia lebih dari 60 tahun. Lebih dari

125.000 prosedur laminektomi dikerjakan untuk kasus lumbar spinal stenosis. Pria lebih

tinggi insidennya daripada wanita. Patofisiologinya tidak berkaitan dengan ras, jenis

kelamin, tipe tubuh, pekerjaan dan paling banyak mengenai lumbar ke-4 k-5 dan lumbar

ke-3 ke-4 (Eberhard, 2009).

Etiologi
Berdasarkan etiologi lumbar spinal canal stenosis dapat dibagi menjadi stenosis primer

dan sekunder. Stenosis primer dibagi menjadi: defek kongenital dan perkembangan.

Defek kongenital dibagi menjadi (1) Disrapismus spinalis; (2) Segmentasi vertebra yang

mengalami kegagalan; (3) Stenosis intermiten (d’Anquin syndrome) (Jefferey, 1998).

Patofisiologi

Tiga komponen biokimia utama diskus intervertebralis adalah air, kolagen, dan

proteoglikan, sebanyak 90-95% total volume diskus. Kolagen tersusun dalam lamina,

membuat diskus mampu berekstensi dan membuat ikatan intervertebra. Proteoglikan

berperan sebagai komponen hidrodinamik dan elektrostatik dan mengontrol turgor

jaringan dengan mengatur pertukaran cairan pada matriks diskus. Komponen air memiliki

porsi sangat besar pada berat diskus, jumlahnya bervariasi tergantung beban mekanis

yang diberikan pada segment tersebut. Sejalan dengan pertambahan usia cairan tersebut

berkurang, akibatnya nukleus pulposus mengalami dehidrasi dan kemampuannya

mendistribusikan tekanan berkurang, memicu robekan pada annulus. Kolagen

memberikan kemampuan peregangan pada diskus. Nucleus tersusun secara eksklusif oleh

kolagen tipe-II, yang membantu menyediakan level hidrasi yang lebih tinggi dengan

memelihara cairan, membuat nucleus mampu melawan beban tekan dan deformitas.

Annulus terdiri dari kolagen tipe-II dan kolagen tipe-I dalam jumlah yang sama, namun

pada orang yang memasuki usia 50 tahun atau lebih tua dari 50 tahun kolagen tipe-I

meningkat jumlahnya pada diskus (Keith, 2002).

Proteoglikan pada diskus intervertebralis jumlahnya lebih kecil dibanding pada

sendi kartilago, proteinnya lebih pendek, dan jumlah rantai keratin sulfat dan kondroitin 9

sulfat yang berbeda. Kemampatan diskus berkaitan dengan proteoglikan, pada nuleus
lebih padat daripada di annulus. Sejalan dengan penuaan, jumlah proteoglikan menurun

dan sintesisnya juga menurun. Annulus tersusun atas serat kolagen yang kurang padat

dan kurang terorganisasi pada tepi perbatasannya dengan nukleus dan membentuk

jaringan yang renggang dengan nukleus pulposus (Keith, 2002).

Gejala Klinik

Nyeri di bagian bokong atau kaki, yang merupakan gejala umum dari lumbal

stenosis tulang belakang, mungkin berhubungan dengan kompresi struktur mikrovaskuler

membawa aliran darah ke akar saraf. Pada saat yang sama, gejala stenosis tulang

belakang mungkin akibat langsung dari kompresi fisik akar saraf. Masing-masing proses

ini dapat mengganggu fungsi normal dari akar saraf dan mengurangi efektivitas dan daya

tahan saraf tulang belakang (Eberhard, 2009).

Gejala yang lebih parah dari gangguan termasuk mati rasa, kesemutan, dan

kelemahan di ekstremitas bawah. Posisi tertentu dapat mengurangi gejala stenosis tulang

belakang dengan meningkatkan jumlah ruang yang tersedia untuk saraf. Posisi ini

biasanya melibatkan fleksi (menekuk) dari tulang punggung bagian bawah dan

membungkuk ke depan (Eberhard, 2009).

Penatalaksanaan

1. Terapi Konservatif

Terapi konservatif dilakukan apabila gejalanya ringan dan durasinya pendek selain itu

kondisi umum pasien tidak mendukung dilakukan terapi operatif (misalnya pasien

dengan hipertensi atau diabetes melitus). Modalitas utama meliputi edukasi,

penentraman hati, modifikasi aktivitas termasuk mengurangi mengangkat beban,

membengkokan badan, memelintir badan, latihan fisioterapi harus menghindari


hiperekstensi dan tujuannya adalah untuk menguatkan otot abdominal fleksor untuk

memelihara posisi fleksi, penggunaan lumbar corset-type brace dalam jangka pendek,

analgesik sederhana (misal acetaminofen), NSAIDs, kalsitonin nasal untuk nyeri

sedang, injeksi steroid epidural untuk mengurangi inflamasi, golongan narkotika bila

diperlukan, penggunaan akupuntur dan TENS masih kontroversi. Latihan juga sangat

penting antara lain bersepeda, treadmill, hidroterapi misalnya berenang dapat memicu

pengeluaran endorphin dan meningkatkan suplai darah ke elemen saraf, serta

membantu memperbaiki fungsi kardiorespirasi (Jefferey, 1998).

2. Terapi Operatif

Prosedur pembedahan yang sering dikerjakan adalah laminektomi dekompresi.

Standar laminektomi dekompresi adalah membuang lamina dan ligamentum flavum

dari tepi lateral satu resesus lateralis sampai melibatkan level transversal spina.

Semua resesus lateralis yang membuat akar saraf terperangkap harus didekompresi.

Pasien diposisikan dalam posisi pronasi dengan abdomen bebas, melalui garis tengah

tentukan prosesus spinosus. Untuk mengkonfirmasi level yang kita temukan sudah

benar setengah cranial dari spinosus caudal dan setengah caudal dari cranial prosesus

spinosus dipotong dengan pemotong ganda. Kanal dimasukkan ke dalam garis tengah

dan proses dekompresi secara bertahap diambil dari caudal ke cranial menggunakan

Kerrison rongeurs. Bila tulang terlalu tebal gunakan osteotome atau drill

berkecepatan tinggi. Dekompresi dibawa lebih ke lateral dari pedicle. Facetotomy

dilakukan dengan osteotome untuk dekompresi akar saraf di resesus lateralis.

Dekompresi komplit saat pulsasi dural sac kembali dan venous refilling akar saraf

terlihat di foramen dan akar saraf kembali mobile. Ruang pada jalan keluar kanal bisa
juga diakses menggunakan kanula tumpul atau bila ada lebih baik menggunakan

umbilical catheter. Laser kanula Doppler berguna untuk menilai kembalinya aliran

darah ke akar saraf. Diskus harus dibiarkan intak walaupun bisa menyebabkan

penekanan pada akar saraf yang menetap yang diikuti juga penekanan oleh tulang dan

jaringan lunak, karena resiko terjadinya instabilitas pasca operasi dan pengambilan

diskus juga lebih sulit dikerjakan (Jefferey, 1998).

E. Kesimpulan

Lumbar spinal stenosis merupakan penyakit degeneratif yang sering ditemukan pada

orang lanjut usia. Gejala yang sering ditimbulkan adalah nyeri pinggang bawah.

Penanganannya tergantung berat ringannya gejala, dapat koservatif maupun operatif.

Dalam penanganan menggunakan terapi operatif, komplikasi, hasil terapinya bergantung

pada kondisi penderita dan pemulihannya yang lama juga harus dipertimbangkan

mengingat pasien yang umumnya usia tua.

Daftar Pustaka

Jefferey M. S., 1998. Current Concepts Review - Degenerative Lumbar Spinal Stenosis.

Journal Bone Joint Surg Am; 80:1053-66.

Keith L. M, Anne M R. Agur., 2002. Anatomi Klinis Dasar. Jakarta: Hipokrates.

Eberhard S, Harald P, Randolf K., et al., 2009. Lumbar spinal stenosis: Syndrome,

Diagnostics and Treatment Nat. Rev. Neurol. 5, 392–403.

Anda mungkin juga menyukai