Anda di halaman 1dari 21

PAPER KEPERAWATAN GERONTIK

LEMBAR KERJA MAHASISWA 6

Disusun Sebagai Salah Satu Tugas Keperawatan Gerontik

Mata Kuliah Keperawatan Gerontik Kelas 5B

Koordinator : Dwi Novitasari, S.Kep, Ns, M.Kep

Pengajar : Dwi Novitasari, S.Kep, Ns, M.Kep

Disusun Oleh :

SUHARNI
16144014450064

PROGRAM STUDI ILMU D lll KEPERAWATAN

UNIVERSITAS HARAPAN BANGSA PURWOKRTO

(OKTOBER, 2018)
LEMBAR KERJA MAHASISWA 6

1. Pengertian Diabetes Melitus (DM)


Diabetes mellitus merupakan sekelompok kelainan heterogen yang ditandai
oleh kenaikan kadar glukosa dalam darah atau hiperglikemia. (Brunner dan Suddarth,
2002).
Diabetes Melitus adalah suatu kumpulan gejala yang timbul pada seseorang
yang disebabkan oleh karena adanya peningkatan kadar gula (glukosa) darah akibat
kekurangan insulin baik absolut maupun relatif (Arjatmo, 2002).
2. Klasifikasi DM
a. Tipe I: Diabetes mellitus tergantung insulin (IDDM)
b. Tipe II: Diabetes mellitus tidak tergantung insulin (NIDDM)
c. Diabetes mellitus yang berhubungan dengan keadaan atau sindrom lainnya
d. Diabetes mellitus gestasional (GDM)
3. Etiologi DM Pada Lansia
a. Diabetes Tipe 1
1.) Faktor genetik
Penderita diabetes tidak mewarisi diabetes tipe I itu sendiri, tetapi mewarisi
suatu predisposisi atau kecenderungan genetik ke arah terjadinya DM tipe I.
Kecenderungan genetik ini ditemukan pada individu yang memiliki tipe antigen
HLA.
2.) Faktor-faktor imunologi
Adanya respons otoimun yang merupakan respons abnormal dimana antibodi
terarah pada jaringan normal tubuh dengan cara bereaksi terhadap jaringan
tersebut yang dianggapnya seolah-olah sebagai jaringan asing, Yaitu oto
antibodi terhadap sel-sel pulau Langerhans dan insulin endogen.
3.) Faktor lingkungan
4.) Virus atau toksin tertentu dapat memicu proses otoimun yang menimbulkan
destruksi selbeta.
b. Diabetes Tipe II
Mekanisme yang tepat yang menyebabkan resistensi insulin dan gangguan sekresi
insulin pada diabetes tipe II masih belum diketahui. Faktor genetik memegang
peranan dalam proses terjadinya resistensi insulin.
Faktor-faktor resiko :
1.) Usia (resistensi insulin cenderung meningkat pada usia di atas 65 tahun
2.) Obesitas
3.) Riwayat keluarga
4. Tanda Dan Gejala DM Pada Lansia
Keluhan umum pasien DM seperti poliuria, polidipsia, polifagia pada DM
umumnya tidak ada. Sebaliknya yang sering mengganggu pasien adalah keluhan
akibat komplikasi degeneratif kronik pada pembuluh darah dan saraf. Pada DM lansia
terdapat perubahan patofisiologi akibat proses menua, sehingga gambaran klinisnya
bervariasi dari kasus tanpa gejala sampai kasus dengan komplikasi yang luas. Keluhan
yang sering muncul adalah adanya gangguan penglihatan karena katarak, rasa
kesemutan pada tungkai serta kelemahan otot (neuropati perifer) dan luka pada
tungkai yang sukar sembuh dengan pengobatan lazim.
5. Pemeriksaan Diagnostik DM Pada Lansia
Pemeriksaan penyaring perlu dilakukan pada kelompok dengan resti untuk
DM. Dapat dilakukan dengan pemeriksaan glukosa darah seaktu, kadar glukosa darah,
lalu diikuti dengan TTGO (tes toleransi glukosa oral).
6. Penatalaksanaan Medis Pada DM
DM usia lanjut dapat dikendalikan dengan baik, misalnya dengan Tx :
a. Istirahat
Bila ada komplikasi berat.
b. Diet
Sesuai dengan kebutuhan menurut berat badan atau gizi penderita :
1.) Kurus : BB x 40 – 60 kalori sehari
2.) Normal : BB x 30 kalori sehari
3.) Gemuk : BB x 20 kalori sehari
4.) Obes : BB x 10 – 15 kalori sehari
c. Medikamentosa
Insulin dan obat anti diabetik
1.) DM usia lanjut untuk tipe II sehingga diperhatikan kasus perkasus, cara hidup
pasien, keadaan gizi dan kesehatannya, adanya penyakit lain yang menyertai
serta ada / tidaknya. Komplikasi DM.
2.) Pedoman penatalaksanaan
a.) Menilai penyakitnya secara menyeluruh dan memberikan pendidikan
kepada pasien dan keluarga
b.) Menghilangkan gejala – gejala akibat hiperglikemia seperti rasa haus,
sering kencing, lemas, gatal – gatal.
c.) Lebih bersifat konservatif, usahakan agar glukosa darah tidak terlalu tinggi
( 200 220 mg / dl ).
d.) Mengendalikan glukosa darah dan berat badan.
7. Pengkajian Keperawatan Pada Lansia Dengan DM
a. Identitas
DM pada pasien usia lanjut umumnya terjadi pada usia > 60 tahun dan umumnya
adalah DM tipe II ( non insulin dependen ) atau tipe DMTTI.
b. Keluhan utama
DM pada usila mungkin cukup sukar karena sering tidak khas dan asimtomatik (
contohnya ; kelemahan, kelelahan, BB menurun, terjadi infeksi minor,
kebingungan akut, atau depresi ).
c. Riwayat Penyakit Dahulu
Terjadi pada penderita dengan DM yang lama.
d. Riwayat Penyakit Sekarang
Pada umumnya pasien datang ke RS dengan keluhan gangguan penglihatan karena
katarak, rasa kesemutan pada tungkai serta kelemahan otot ( neuropati perifer )
dan luka pada tungkai yang sukar sembuh dengan pengobatan lazim.
e. Riwayat Penyakit Keluarga
Dalam anggota keluarga tersebut salah satu anggota keluarga ada yang menderita
DM.
f. Pemeriksaan fisik pada Lansia
1.) Sel ( perubahan sel )
Sel menjadi lebih sedikit, jumlah dan ukurannya menjadi lebih besar,
berkurangnya jumlah cairan tubuh dan berkurangnya cairan intrasel.
2.) Sistem integumen
Kulit keriput akibat kehilangan jaringan lemak, kulit kering dan pucat dan
terdapat bintik – bintik hitam akibat menurunnya aliran darah kekulit dan
menurunnya sel – sel yang memproduksi pigmen, kuku pada jari tengah dan
kaki menjadi tebal dan rapuh. Pada orang berusia 60 tahun rambut wajah
meningkat, rambut menipis / botak dan warna rambut kelabu, kelenjar keringat
berkurang jumlah dan fungsinya.
3.) Sistem Muskuler
Kecepatan dan kekuatan kontraksi otot skeletal berkurang pengecilan otot
karena menurunnya serabut otot. Pada otot polos tidak begitu berpengaruh.
4.) Sistem pendengaran
Presbiakusis ( menurunnya pendengaran pada lansia ) membran timpani
menjadi altrofi menyebabkan austosklerosis, penumpukan serumen sehingga
mengeras karena meningkatnya keratin.
5.) Sistem Penglihatan
Karena berbentuk speris, sfingter pupil timbul sklerosis dan hilangnya respon
terhadap sinar, lensa menjadi keruh, meningkatnya ambang penglihatan ( daya
adaptasi terhadap kegegelapan lebih lambat, susah melihat gelap ). Hilangnya
daya akomodasi, menurunnya lapang pandang karena berkurangnya luas
pandangan. Menurunnya daya membedakan warna hijau atau biru pada skala.
6.) Sistem Pernafasan
Otot – otot penafasan kehilangan kekuatan dan menjadi kaku, menurunnya
aktivitas sillia, paru kurang elastis, alveoli kurang melebar biasanya dan
jumlah berkurang. Oksigen pada arteri menurun menjadi 75 mmHg. Karbon
oksida pada arteri tidak berganti – kemampuan batuk berkurang.
7.) Sistem Kardiovaskuler
Katub jantung menebal dan menjadi kaku. Kemampuan jantung memompa
darah menurun 1 % pertahun. Kehilangan obstisitas pembuluh darah, tekanan
darah meningkat akibat meningkatnya resistensi pembuluh darah perifer.
8.) Sistem Gastointestinal
Kehilangan gigi, indra pengecap menurun, esofagus melebar, rasa lapar
menurun, asam lambung menurun waktu pengosongan lambung, peristaltik
lemah sehingga sering terjadi konstipasi, hati makin mengecil.
9.) Sistem Perkemihan
Ginjal mengecil, nefron menjadi atrofi, aliran darah ke ginjal menurun sampai
50 %, laju filtrasi glumesulus menurun sampai 50 %, fungsi tubulus berkurang
sehingga kurang mampu memekatkan urine, Dj urin menurun, proteinuria
bertambah, ambang ginjal terhadap glukosa meningkat, kapasitas kandung
kemih menurun ( zoome ) karena otot – otot yang lemah, frekwensi berkemih
meningkat, kandung kemih sulit dikosongkan, pada orang terjadi peningkatan
retensi urin dan pembesaran prostat ( 75 % usia diatas 60 tahun ).
10.) Sistem Reproduksi
Selaput lendir vagina menurun / kering, menciutnya ovarium dan uterus, atrofi
payu darah testis masih dapat memproduksi meskipun adanya penurunan
secara berangsur – angsur, dorongan sek menetap sampai usia diatas 70 tahun
asal kondisi kesehatan baik.
11.) Sistem Endokrin
Produksi semua hormon menurun, fungsi paratiroid dan sekresinya tidak
berubah, berkurangnya ACTH, TSH, FSH, dan LH, menurunnya aktivitas
tiroid sehingga laju metabolisme tubuh ( BMR ) menurun, menurunnya
produk aldusteran, menurunnya sekresi, hormon godad, progesteron, estrogen,
testosteron.
12.) Sistem Sensori
Reaksi menjadi lambat kurang sensitif terhadap sentuhan (berat otak menurun
sekitar 10 – 20 % ).
8. Diagnosa Keperawatan Pasien Dengan DM
a. Nyeri akut berhubungan dengan agen injuri biologis (penurunan perfusi jaringan
perifer)
b. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
ketidakmampuan menggunakan glukose (tipe 1)
c. Defisit Volume Cairan berhubungan dengan Kehilangan volume cairan secara
aktif, Kegagalan mekanisme pengaturan
d. Ketidakseimbangan nutrisi lebih dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
kelebihan intake nutrisi (tipe 2)
e. Perfusi jaringan tidak efektif berhubungan dengan hipoksemia jaringan.
9. NOC Untuk Diagnosa Keperawatan Pasien Dengan DM
a. DX 1
Tujuan :
1.) Tingkat nyeri
2.) Nyeri terkontrol
3.) Tingkat kenyamanan
Kriteria hasil :
1.) Mengontrol nyeri, dengan indikator
a.) Mengenal faktor-faktor penyebab
b.) Mengenal onset nyeri
c.) Tindakan pertolongan non farmakologi
d.) Menggunakan analgetik
e.) Melaporkan gejala-gejala nyeri kepada tim kesehatan.
f.) Nyeri terkontrol
2.) Menunjukkan tingkat nyeri, dengan indikator
a.) Melaporkan nyeri
b.) Frekuensi nyeri
c.) Lamanya episode nyeri
d.) Ekspresi nyeri; wajah
e.) Perubahan respirasi rate
f.) Perubahan tekanan darah
g.) Kehilangan nafsu makan
b. DX 2
1.) Nutritional Status : Food and Fluid Intake
a.) Intake makanan peroral yang adekua
b.) Intake NGT adekuat
c.) Intake cairan peroral adekuat
d.) Intake cairan yang adekuat
e.) Intake TPN adekuat
c. DX 3
NOC:
1.) Fluid balance
2.) Hydration
3.) Nutritional Status : Food and Fluid Intake
Kriteria Hasil :
1.) Mempertahankan urine output sesuai dengan usia dan BB, BJ urine normal, HT
normal
2.) Tekanan darah, nadi, suhu tubuh dalam batas normal
3.) Tidak ada tanda tanda dehidrasi, Elastisitas turgor kulit baik, membran mukosa
lembab, tidak ada rasa haus yang berlebihan
d. DX 4
1.) Nutritional Status : Nutrient IntakeKalori
a.) Protein
b.) Lemak
c.) Karbohidrat
d.) Vitamin
e.) Mineral
f.) Zat besi
g.) Kalsium
e. DX 5
Tujuan :
1.) Circulation status
2.) Tissue Prefusion : cerebral
Kriteria Hasil :
1.) mendemonstrasikan status sirkulasi
2.) Tekanan systole dandiastole dalam rentang yang diharapkan
3.) Tidak ada ortostatikhipertensi
4.) Tidak ada tanda tanda peningkatan tekanan intrakranial (tidak lebih dari 15
mmHg)
5.) mendemonstrasikan kemampuan kognitif yang ditandai dengan:
6.) berkomunikasi dengan jelas dan sesuai dengan kemampuan
7.) menunjukkan perhatian, konsentrasi dan orientasi
8.) memproses informasi
9.) membuat keputusan dengan benar
10. NIC Untuk Diagnosa Keperawatan Pasien Dengan DM
a. DX 1
1.) Manajemen nyeri :
a.) Lakukan pegkajian nyeri secara komprehensif termasuk lokasi,
karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas dan ontro presipitasi.
b.) Observasi reaksi nonverbal dari ketidaknyamanan.
c.) Gunakan teknik komunikasi terapeutik untuk mengetahui pengalaman nyeri
klien sebelumnya.
d.) Kontrol ontro lingkungan yang mempengaruhi nyeri seperti suhu ruangan,
pencahayaan, kebisingan.
e.) Kurangi ontro presipitasi nyeri.
f.) Pilih dan lakukan penanganan nyeri (farmakologis/non farmakologis)..
g.) Ajarkan teknik non farmakologis (relaksasi, distraksi dll) untuk mengetasi
nyeri..
h.) Berikan analgetik untuk mengurangi nyeri.
i.) Evaluasi tindakan pengurang nyeri/ontrol nyeri.
j.) Kolaborasi dengan dokter bila ada komplain tentang pemberian analgetik
tidak berhasil.
k.) Monitor penerimaan klien tentang manajemen nyeri.
2.) Administrasi analgetik :.
a.) Cek program pemberian analogetik; jenis, dosis, dan frekuensi.
b.) Cek riwayat alergi..
c.) Tentukan analgetik pilihan, rute pemberian dan dosis optimal.
d.) Monitor TTV sebelum dan sesudah pemberian analgetik.
e.) Berikan analgetik tepat waktu terutama saat nyeri muncul.
f.) Evaluasi efektifitas analgetik, tanda dan gejala efek samping.
b. DX 2
1.) Nutrition Management
2.) Monitor intake makanan dan minuman yang dikonsumsi klien setiap hari
3.) Tentukan berapa jumlah kalori dan tipe zat gizi yang dibutuhkan dengan
berkolaborasi dengan ahli gizi
4.) Dorong peningkatan intake kalori, zat besi, protein dan vitamin C
5.) Beri makanan lewat oral, bila memungkinkan
6.) Kaji kebutuhan klien akan pemasangan NGT
7.) Lepas NGT bila klien sudah bisa makan lewat oral
c. DX 3
1.) Fluid management
a.) Timbang popok/pembalut jika diperlukan
b.) Pertahankan catatan intake dan output yang akurat
c.) Monitor status hidrasi ( kelembaban membran mukosa, nadi adekuat, tekanan
darah ortostatik ), jika diperlukan
d.) Monitor vital sign
e.) Monitor masukan makanan / cairan dan hitung intake kalori harian
f.) Kolaborasikan pemberian cairan IV
g.) Monitor status nutrisi
h.) Berikan cairan IV pada suhu ruangan
i.) Dorong masukan oral
j.) Berikan penggantian nesogatrik sesuai output
k.) Dorong keluarga untuk membantu pasien makan
l.) Atur kemungkinan tranfusi
d. DX 4
1.) Weight Management
a.) Diskusikan dengan pasien tentang kebiasaan dan budaya serta faktor
hereditas yang mempengaruhi berat badan.
b.) Diskusikan resiko kelebihan berat badan.
c.) Kaji berat badan ideal klien.
d.) Kaji persentase normal lemak tubuh klien.
e.) Beri motivasi kepada klien untuk menurunkan berat badan.
f.) Timbang berat badan setiap hari.
g.) Buat rencana untuk menurunkan berat badan klien.
h.) Buat rencana olahraga untuk klien.
i.) Ajari klien untuk diet sesuai dengan kebutuhan nutrisinya.
e. DX 5
1.) Peripheral Sensation Management (Manajemen sensasi perifer)
a.) Monitor adanya daerah tertentu yang hanya peka terhadap
panas/dingin/tajam/tumpul
b.) Monitor adanya paretese
c.) Instruksikan keluarga untuk mengobservasi kulit jika ada lsi atau laserasi
d.) Gunakan sarun tangan untuk proteksi
e.) Batasi gerakan pada kepala, leher dan punggung
f.) Monitor kemampuan BAB
g.) Kolaborasi pemberian analgetik
h.) Monitor adanya tromboplebitis
i.) Diskusikan menganai penyebab perubahan sensasi
11. Pengertian Benigna Prostat Hyperplasia (BPH)
BPH adalah pembesaran secara progresif dari kelenjar prostat (secara umum
pada pria lebih dari 50 tahun) menyebabkan berbagai derajat abstruksi uretral dan
pembatasan aliran urinarius (Doenges, 2002)
12. Etiologi BPH Pada Lansia
Penyebab gangguan ini tidak diketahui dengan jelas, tetapi bukti menunjukan
adanya pengaruh hormonal.
13. Tanda Dan Gejala BPH Lansia
a. Prostat besar, seperti karet dan lunak (nontender), prostatisme (kompleks gejala
obstruktif dan iritatif) terlihat.
b. Keraguan dalam memulai berkemih, peningkatan frekuensi berkemih, nokturia
urgensi, mengejan.
c. Penurunan volume dan kekuatan aliran urine, gangguan aliran urine, urine menetes
d. Sensasi berkemih yang tidak lampias, retensi urin akut (lebih dari 60 ml) dan UTI
berulang.
e. Keletihan, anoreksia, mual dan muntah, serta ketidaknyamanan pada panggul juga
dilaporkan terjadi dan pada akhirnya terjadi azotemia dan gagal ginjal akibat retensi
urin kronis dan volume residu yang besar.
14. Pemeriksaan Diagnostik BPH Lansia
a. Pemeriksaan fisik, termasuk pemeriksaan rektal dengan jari (digital rectal
examination, DRE) dan riwayat kesehatan
b. Urinalisis untuk mendeteksi hematuria dan UTI
c. Kadar antigen spesifik prostat (PSA) diperiksa jika pasien memiliki minimal 10
tahun harapan hidup dan mereka yang diketahui mengidap kanker prostat yang kan
mengubah penanganan
d. Catatan kecepatan aliran urine dan pengukuran residu urine pasca berkemih (PVR)
e. Studi urodinamik, uretrokistokospi, dan ultrasound dapat dilakukan
f. Pemeriksaan darah lengkap, termasuk studi tentang pembekuan darah
15. Penatalaksanaan Medis BPH Lansia
a. Penatalaksanaan medis
Rencana tetapi tergantung pada penyebab, tingkat keparahan obstruksi, dan kondisi
pasien. Terapi mencakup :
1.) Segera melakukan katerisasi jika pasien tidak dapat berkemih (konsultasikan
dengan ahli urologi jika kateter biasa tidak dapat dimasukan). Kistostomi
suprapublik terkadang diperlukan.
2.) Menunggu dengan penuh waspada untuk memantau perkembangan penyakit.
b. Penatalaksanaan farmakologis
1.) Penyakit alfa-adreganik (mis., alfuzosin, terazosin), yang merelaksasi otot polos
leher kandung kemih dan prostat, dan penyakit 5-alfa-reduktase
2.) Manipulasi hormonal dengan agens antiandrogen (finasterida) mengurangi
ukuran prostat dan mencegah pengubahan testoteron menjadi dihidrostestoteron
(DHT)
3.) Penggunaan agen fitoteraupetik dan suplemen diet lain (serenoa repens) dan
pygeum africanum tidak direkomendasikan, meskipun biasa digunakan.
c. Penatalaksanaan bedah
1.) Gunakan terapi invasif secara minimal
2.) Reseksi bedahn(TURP, TUIP)
16. Pengkajian Keperawatan Pada Pasien BPH
a. Sirkulasi
Pada kasus BPH sering dijumpai gangguan sirkulasi, pada kasus pre operasi
dijumpai kasus peningkatan TD karena efek pembesaran ginjal. Tekanan nadi
meningkat dan TD menurun serin dijumpai pada post BPH karena kekurangan
volume cairan.
b. Integritas ego
Integritas ego terganggu karena sering memikirkan bagaimana akan menghadapi
pengobatan yang dapat dilihat dari tanda-tanda kegelisahan, kacau mental.
c. Eliminasi
Gangguan eliminasi merupakan gejala utama pasien preoperasi
d. Makanan dan cairan
Kaji intake dan output.
e. Nyeri dan kenyamanan
Kaji nyeri suprapublik, nyeri panggul, nyeri punggung bawah
f. Keselamatan / keamanan
g. Seksualitas
Kemampuan seksual menurun.
h. Laboratorisum
Kaji urin analisa, kultur urin, urologi, urin, kreatinin/BUN, asam fosfat serum, sel
darah putih.
17. Diagnosa Keperawatan Dengan BPH
a. Gangguan eliminasi urine berhubungan dengan sumbatan saluran pengeluaran pada
kandung kemih
b. Nyeri akut berhubngan dengan spasme kandung kemih
c. Resiko infeksi berhubungan dengan kerusakan jaringan sebagai efek skunder dari
prosedur pembedahan
18. NOC Untuk Diagnosa Keperawatan Dengan BPH
a. DX 1
1.) Gangguan eliminasi urine
2.) Ellimination pattern
3.) Urinary elimintion
Kiteria hasil :
a.) Ballance cairan seimbang
b.) Dapat mengosongkan kandung kemih secara keseluruhan
c.) Tidak ada nyeri saat buang air kecil
d.) Tidak ada retensi urine
b. DX 2
1.) Pain level
2.) Pain control
3.) Control level
Kriteria hasil :
a.) Dapat mengungkapkan bahwa nyeri berkurang
b.) Menunjukkan perubahan tonus otot ( tidak lemas dan kaku )
c.) Menyatakan rasa nyaman setelah nyeri berkurang.
c. DX 3
1.) Pengendalian resiko komunitas penyakit menular
2.) Status immune
3.) Pengendalian resiko infeksi
Kriteria hasil :
a.) Klien bebas dari gejala infeksi ( Rubor, Kolor, dolor, tumor, fungsiolaisa)
b.) Menunjukkan perilaku hidup sehat yang adekuat
c.) Menindikasi status gastrointestinal, pernapasan, genitourinaria, dan imun
dalam batas
19. NIC Diagnosa Keperawatan Dengan BPH
a. DX 1
Urinary Retention Care
1.) Kaji keluhan klien
2.) Kaji input output cairan
3.) Lakukan Bladder Training
4.) Memantau asupan dan keluaran cairan
5.) Menyediakan waktu untuk pengosongan kandung kemih
6.) Pemasangan kateter
b. DX 2
1.) Lakukan pengkajian nyeri yang komperehensif meliputi lokasi, karakteristik,
durasi, frekuaensi, kualitas, intensitas, atau keparahan nyeri, dan faktor
presipitasinya.
2.) Berikan informasi tentang nyeri, seperti penyebab nyeri, berapa lama akan
berlangsung, dan antisipasi ketidaknyamanan akibat prosedure.
3.) Informasikan kepada pasien tentang prosedur yang dapat meningkatkan atau
menurunkan nyeri dan tawarkan stretegi koping yang disarankan.
4.) Kelola nyeri pasca bedah awal dengan pemberian obat yang terjadwal (misalnya
setiap 4 jam sekali selama 3hari)
5.) Gunakan tindakan pengendali nyeri.
c. DX 3
1.) Perawatan luka insisi membersikan, memantau, dan memfasilitasi
penyembuhan luka yang ditutup dengan jahitan. Dan mencegah terjadinya
komplikasi pada luka dan memfasilitasi proses penyembuhan luka.
2.) Pengendalian infeksi meminimalkan penyebaran dan penularan agens infeksius
3.) Pantau tanda dan gejala infeksi
4.) Pantau hasil laboratorium
5.) Amati tampilan praktik higine personal untuk perlindungan terhadap infeksi
20. Pengertian Inkontinensia Urin
Inkontinensia didefinisikan sebagai berkemih ( defekasi ) di luar kesadaran,
pada waktu dan tempat yang tidak tepat, dan menyebabkan masalah kebersihan atau
social ( Watson, 1991 ). Terdapat dua aspek social yang sangat penting dalam definisi
inkontinensia ini. Inkontinensia yang diderita oleh klien mungkin tidak menimbulkan
sejumlah masalah yang nyata bagi teman atau keluarganya. Aspek social yang lain yaitu
adanya konsekuensi yang ditimbulkan inkontinensia terhadap individu yang
mengalminya, antara lain klien akan kehilangan harga diri, juga merasa terisolasi dan
depresi.
21. Tipe – Tipe Inkontinensia Urin
a. Inkontinensia stress
Terjadi akibat adanya tekanan di dalam obdomen ( peningkatan intra badomen secar
tiba – tiba yang menambah tekanan yang emmang telah ada pada kandung kemih ).
Oleh Karen itu, bersin batuk, tertawa, latihan / olahraga, atau perubahan posisi
dengan bangun dari kursi atay berbalik dapat menyebabkan kehilangan sejumlah
kecil urine tanpa disadari atau kebocoran urine dari kandung kemih. Hal tersebut
lebih sering terjadi pada wanita karena kehilangan tonus otot dasar panggul yang
dihubungkan dengan melahirkan anak, prolaps pelvis seperti sistokel, uretra yang
lebih pendek secra natomis, dan kelemahan sfingter. Pada pria, prostatektomi
adalah salah satu penyebabnya.
b. Inkontinensia mendesak ( urgensi )
Inkontinensia ini dihubungkan dengan keinginan yang kuat dan mendesak untuk
berkemih dengan kemampuan yang kecil untuk menunda berkemih. Berkemih
dapat dilakukan, tetapi orang biasanya berkemih sebelum sampai ke toilet. Mereka
tidak merasakan adanya tanda untuk berkemih. Pada inkontinensia urgensi,
kandung kemih hampir penuh sebelum kebutuhan utnuk berkemih dirasakan dan
sebagai akibatnya, sejumlah kecil sampai sedang urine keluar sebelum dapat
mencapai toilet. Sensasi urgensi tersebut disertai dengan frekuensi. Penyebabnya
dihubungkan dengan ketidakstabilan otot trusor ( aktivitas yang berlebihan ) oleh
otot itu sendiri atau yang dihubungkan dengan kondisi seperti sistitis, obstruksi
aliran keluar, cedera spinal pada bagian suprasakral, dan stroke. Antara 40 – 70%
inkontinensia pada lansia adalah jenis.
c. Inkontinensia Overflow
Inkontinensia karena aliran yang berlebihan ( overflow ) adalah hilangnya urine
yang terjadi dengan distensi kandung kemih secara berlebihan yang terjadi pada 7
sampai 11% pasien inkontinensia. Kapasitas berlebihan, yang menyebabkan
tekanan kandung kemih lebih besar daripada tekanan resistensi sfingter uretra.
Karena otot detrusor tidak berkontraksi, terjadi urine yang menetes dan penurunan
pancaran urine saat berkemih.
d. Inkontinensia reflex
Akibat dari kondisi sistem saraf pusat yang terganggu, seperti demensia. Dalam hal
ini, pengosongan kandung kemih dipengaruhi reflex yang dirangsang oleh
pengisian. Kemampuan rasa ingin berkemih dan berhenti berkemih tidak ada.
e. Inkontinensia fungsion
Inkontinensia fungsional disebabkan oleh factor – factor selain dari disfungsi
system urinaria. Struktur system urinaria utuh dan fungsinya normal, tetapi factor
eksternal mengganggu kontinensia. Demensia, gangguan psikologis lain,
kelemahan fisik atau imobilitas, dan hambatan lingkungan seperti jarak kamar
mandi yang jauh adalah salah satu factor – factor ini. Hal ini terjadi saat terdapat
factor yang membatasi individu untuk kontinensia, bias berupa spinal, psikiatrik,
atau musculoskeletal.
f. Inkontinensia Fekal
Lansia yang mengalami inkontinensia fekal mungkin tidak menyadari kebutuhan
untuk defekasi. Jika ia tidak dapat pergi ke kamar mandi atau menggunakan
commode atau pispot sendiri, pasien dapat kehilangan sensitifitas rectum akibat
harus menahan desakan defekasi sementara menunggu bantuan. Perubahan
musculoskeletal dapat juga emmepngaruhi kemampuan lansia untuk mengambil
posisi yang nyaman, yang mempengaruhi frekuensi dan keefektifan defekasi.
22. Etiologi Inkontinensia Urin Lansia
Alasan utama pada lansia adalah adanya “ketidakstabilan kandung kemih”.
Beberapa kerusakan persyarafan mengakibatkan seseorang tidak dapat mencegah
kontraksi otot kandung kemih secara efektif (otot detrusor) dan mungkin juga
dipersulit oleh masalah lain, seperti keterbatasan gerak atau konfusi. Keinginan untuk
miksi datang sangat cepat dan sangatb mendesak seseorang sehingg penderita tidak
sempat pergi ke toilet, akibatnya terjadi inkontinensia.
Pada wanita, kelemahan otot spingter pada outlet sampai kandung kemih
seringkali disebabkan oleh kelahiran multiple sehingga pengeluaran urin dari kandung
kemih tidak mampu dicegah selama mas apeningkatan tekanan pada kandung kemih.
Pada pria adalah pembesaran kelenjar prostat, penyebab yang paling umum
terjadinya obtruksi aliran urin dari kandung kemih. Kondisi ini menyebabkan
inkontinensia karena adanya mekanisme overlow.
23. Tanda Dan Gejala Inkontinensia Urine Pada Lansia
a. Inkontinensia stress : keluarnya urin selama batuk, mengedan, dan sebagainya.
b. Inkontinensia urgensi : ketidakmampuan menahan keluarnya urin dengan
gambaran seringnya terburu-buru untuk berkemih
c. Enuresis noctural : mengompol
d. Gejala infeksi urin, obstruksi, trauma, penyakit neurologis
e. Ketidaknyamanan daerah pubis
f. Distensi vesika urinaria
g. Ketidaksanggupan untuk berkemih
h. Sering berkemih, saat vesika urinaria berisi sedikit urin
i. Ketidakseimbangan jumlah urin yang dikeluarkan dengan asupanya
j. Meningkatkan keresehan dan keinginan berkemih
k. Adanya urin sebanyak 3000-4000 dalam kandung kemih
l. Tidak merasakan urin keluar
m. Kandung kemih terasa penuh walaupun telah buang air kecil
24. Pemeriksaan Diagnostik Inkontinensia Urin Pada Lansia
a. Urinalisis, digunakan untuk melihat apakah ada bakteri, darah, glukosa dalam
urine
b. Uroflowmetry, digunakan untuk mengevaluasi pola berkemih dan menunjukan
obstruksi pintu bawah kandung kemih dengan mengukur laju aliran ketika pasien
berkemih.
c. Cysometri, digunakan untuk mengkaji fungsi neuromuscular kandung kemih
dengan mengukur efesiensi reflex otot detrusor, tekanan dan kapasitas intravesikal
dan reaksi kandung kemih terhadap rangsang panas.
d. Urografi ekskretorik, untuk mengevaluasi struktur fungsi ginal, ureter dan
kandung kemih
e. Volding cystourethrography, untuk mendeteksi ketidaknormaln kandung kemih
dan uretra
f. Uretrografi retrograde
g. Elektromiografi sfingter (pembesaran prostat)
h. Pemeriksaan vagina
i. Katerisasi residu pasca kemih
25. Penatalaksanaan Medis Inkontinensia Urin Pada Lansia
a. Terapi non farmakologis
1.) Terapi suportif non spesifik (edukasi, manipulasi lingkungan, pakaian dan
pads tertentu)
2.) Intervensi tingkah laku/ bladder trainning (latihan dasar otot panggul, latihan
kandung kemih, pendjadwalan berkemih)
b. Terapi medika mentosa
c. Operasi
d. Katerisasi
e. Terapi non farmakologis
1.) Hyoscamin (urgensi atau campuran)
2.) Tolterodin (urgensi atau OAB)
3.) Imipranin (urgensi atau OAB)
4.) Pseudoephredrin (stress)
5.) Topikal estrogen (urgensi dan stress)
6.) Doxazosin (BPH dengan urgensi)
26. Pengkajian Keperawatan Pada Lansia Dengan Inkontinensia Urin
a. Keadaan umum : klien tampak lemas dan tanda vital terjadi peningkatan respon
dari terjadinya inkontinensia
b. B1 (breathing)
Kaji pernapasan adanya gangguan pada pola nafas, sianosis karena suplai oksigen
menurun, kaji ekspansi dada, adakah kelainan perkusi
c. B2 (blood)
Kaji peningkatan tekanan darah, biasanya pasien bingung dan gelisah
d. B3 (brain)
Kesadaran biasanya sadar penuh
e. B4 (bladder)
1.) Inspeksi : periksa warna, bau banyaknya urine biasanya bau menyengat karena
adanya aktivitas mikroorganisme (bakteri) dalam kandung kemih disertai
keluarnya darah apabila ada lesi pada bladder, pembesaran daerah supra pubik
lesi pada meatus uretra, banyak kencing dan nyeri saat berkemih menandakan
disuria akibat infeksi.
2.) Palpasi : rasa nyeri di dapat pada daerah supra pubik / pelvis
3.) Pemeriksaan kekuatan otot dan membandingkan dengan ekstremitas yang lain,
adakah nyeri persendian
27. Diagnosa Keperawatan Pada Lansia Dengan Inkontinensia Urin
a. Inkontinensia stress berhubungan dengan kelemahan otot pelvis dan struktur dasar
penyokongnya
b. Inkontinensia urin refleks berhubungan dengan tidak adanya sensasi untuk
berkemih dan kehilangan kemampuan untuk menghambat kontraksi kandung
kemih
c. Inkontinensia urin : dorongan berhubungan dengan gangguan impuls eferen
inhibitor sekunder akibat disfungsi otak atau medulla spinalis
d. Resiko disrefleksia b/d stimulasi sistem reflex saraf simpatis sekunder akibat
kehilangan control autonomic
e. Resiko infeksi b/d inkontinensia
f. Resiko kerusakan integritas kulit berhubungan dengan irigasi konstan oleh urin
28. NOC Diagnosa Keperawatan Pada Lansia Dengan Inkontinensia Urin
a. Inkontinensia stress berhubungan dengan kelemahan otot pelvis dan struktur dasar
penyokongnya
Tujuan :
1.) Klien akan bisa melaporkan suatu pengurangan/ penghilangan inkontinensia
2.) Klien dapat menjelaskan penyebab inkontinensia dan rasional penatalaksanaan
b. Resiko infeksi b/d inkontinensia
Tujuan :
1.) Berkemih dengan urine jernig tanpa ketidaknyamanan
2.) Urinalisis dalam batas normal
3.) Kultur urin menunjukan tidak adanya bakteri
c. Resiko kerusakan integritas kulit berhubungan dengan irigasi konstan oleh urin
Tujuan :
1.) Jumlah bakteri <100.000 /ml
2.) Kulit periostomal tetap utuh
3.) Suhu 37oc
4.) Urin jernih dengan sedimen minimal.
29. NIC Diagnosa Keperawatan Pada Lansia Dengan Inkontinensia Urin
a. Inkontinensia stress berhubungan dengan kelemahan otot pelvis dan struktur dasar
penyokongnya
1.) Kaji pola kebiasaan berkemih dan gunakan catatan berkemih harian
2.) Pertahankan catatan harian untuk mengkaji efektifitas program yang
direncanakan
3.) Observasi status perkemihan untuk memeriksa kebocoran saat andung kemih
4.) Intruksikan klien batuk dalam posisi lititimi, jika tidak ada kebocoran, ulangi
dengan posisi klien membentuk sudut 45o, lanjutkan dengan klien berdiri jika
tidak ada kebocoran yang lebih dulu
5.) Pantau masukan dan pengeluaran
6.) Ajarkan klien untuk mengidentifikasi otot dinding pelvis dan kekuatanya
dengan latihan
7.) Kolaborasi dengan dokter dalam mengkaji efek medikasi dan tentukan
kemungkinan perubahan obat/dosis , jadwal pemberian obat untuk
menurunkan frekuensi inkontinensia
b. Resiko infeksi b/d inkontinensia
1.) Berikan perawatan perineal dengan air sabun setiap shift. Jika pasien
inkontinensia, cuci daerah perineal sesegera mungkin
2.) Jika dipasang kateter indwelling, berikan perawatan kateter 2x sehari dan
setelah buang air besar
3.) Ikuti kewaspadaan umum (cuci tangan dan pemakaian sarung tangan)
4.) Ubah posisi pasien setiap 2jam dan anjurkan masukan sekurang-kurangnya
2400 ml/hari
5.) Lakukan tindakan untuk memelihara asam urine (sari buah berry)
c. Resiko kerusakan integritas kulit berhubungan dengan irigasi konstan oleh urin
1.) Pantau penampilan kulit periostomal setiap 8 jam
2.) Ganti wafer stomehesif setiap minggu atau bila bocor terdeteksi. Yakinkan
kulit bersih sebelum pemasangan wafer yang baru. Potong lubang wafer +
setengah inchi lebih besar dari diameter stoma untuk menjamin ketepatan
ukuran kantung yang benar benar menututupi kulit periostomal. Kosongkan
katung urostomi bila telah sperempat sampai setengah penuh.

Anda mungkin juga menyukai