Anda di halaman 1dari 9

Komunitas 1

Perkembangan Epidemiologi
Secara Internasional, Nasional dan Lokal
Dosen: Ns. Faisal Kholid,M.Kep

Disusun oleh

Fathur Mahali (I1031151012)

PROGRAM STUDI NERS


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TANJUNGPURA
2017
A. Defenisi epidemiologi
Epidemiologi berasal dari bahasa Greek yang meliputi Epi adalah atas, demos adalah
penduduk, dan logi adalah studi atau ilmu. Jadi epidemiologi adalah lmu yang
mempelajari hal-hal yang berkaitan dengan masyarakat atau penduduk. Epidemiologi
juga merupakan ilmu yang mempelajari tentang distribusi dan determinan-determinan
yang berhubungan dengan kesehatan atau kejadian pada populasi tertentu dan
menerapkan studi untuk mengendalikan masalah-masalah kesehatan tersebut.
Beberapa pengertian epidemiologi menurut para ahli :

1. W.H. Welch
Suatu ilmu yang mempelajari timbulnya, perjalanan, dan pencegahan penyakit,
terutama penyakit infeksi menular. Dalam perkembangannya, masalah yang dihadapi
penduduk tidak hanya penyakit menular saja, melainkan juga penyakit tidak menular,
penyakit degenaratif, kanker, penyakit jiwa, kecelakaan lalu lintas, dan sebagainya.
Oleh karena batasan epidemiologi menjadi lebih berkembang.
2. Last
Studi tentang distribusi dan determinan tentang keadaan atau kejadian yang
berkaitan dengan kesehatan pada populasi tertentu dan aplikasi studi untuk
menanggulangi masalah kesehatan.
3. Omran
Epidemiologi adalah suatu studi mengenai terjadinya distribusi keadaan
kesehatan, penyakit dan perubahan pada penduduk, begitu juga determinannya dan
akibat-akibat yang terjadi pada kelompok penduduk.
4. Azrul Azwar
Epidemiologi adalah ilmu yang mempelajari tentang frekuensi dan penyebaran
masalah kesehatan pada sekelompok manusia serta faktor-faktor yang mempengaruhi
masalah kesehatan.
B. Tahapan epidemiologi
Sejarah perkembangan epidemiologi dapat dibedakan menjadi 4 tahap, yaitu
1. Tahap pengamatan
Cara awal untuk mengetahui frekwensi dan penyebaran suatu masalah kesehatan
serta faktor-faktor yang mempengaruhi ini dilakukan dengan pengamatan (observasi).
Dari hasil pengamatan tersebut Hippocrates (ahli epidemiologi pertama/460-377SM)
lebih kurang 2400 tahun yang lalu berhasil menyimpulkan adanya hubungan antara
timbul atau tidaknya penyakit dengan lingkungan. Pendapt ini dituliskannya dalam
bukunya yang terkenal yakni : Udara, Air, dan Tempat. Sekalipun Hippocrates tidak
berhasil membuktikan pendapatnya tersebut, karena memang pengetahuan untuk itu
belum berkembang, tetapi dari apa yang dikemukakan oleh Bapak Ilmu Kedokteran ini
di pandang telah merupakan landasan perkembangan selanjutnya dari epidemiologi.
Tahap perkembangan awal epidemiologi yang seperti ini dikenal dengan nama “Tahap
Penyakit dan Lingkungan”.
2. Tahap perhitungan
Tahap perkembangan selanjutnya dari epidemiologi disebut dengan tahap
perhitungan. Pada tahap ini upaya untuk mengukur frekwensi dan penyebaran suatu
masalah kesehatan, dilakukan dengan bantuan ilmu hitung. Ilmu hitung masuk ke
epidemiologi adalah berkat jasa Jonh Graunt (1662) melakukan pencatatan dan
perhitungan terhadap angka kematian yang terjadi di kota London. John Graunt tidak
melanjutkan penelitiannya dalam epidemiologi, tetapi beralih kepada peristiwa-
peristiwa kehidupan. John Graunt lebih dikenal dengan sebutan Bapak Statistik
Kehidupan. Tahap kedua perkembangan epidemiologi yang seperti ini dikenal dengan
nama “Tahap Menghitung dan Mengukur”.
3. Tahap pengkajian
John graunt memang berhasil memberikan gambaran tetang frekwensi dan
penyebaran masalah kesehatan, tetapi belum untuk faktor-faktor yang
mempengaruhinya. Karena ktidak puasan terhadap hasil yang diperoleh, maka
dikembangkan teknik yang lain yang dikenal sebagai teknik pengkajian. Teknik ini
pertama kali diperkenalkan oleh William Farr (1839) yang melakukan pengkajian data.
Dari pengkajian ini dibuktikan adanya hubungan statistik antara peristiwa kehidupan
dengan keadaan kesehatan masyarakat, seperti : adanya hubungan status pendidikan
dengan tingkat sosial ekonomi penduduk.
Cara kerja yang sama juga dilakukan secara terpisah oleh John Snow(1849) yang
menemukan adanya hubungan antara timbulnya penyakit kolera dengan sumber air
minum penduduk. John Snow menganalisa pada dua perusahaan air minum di London
yakni Lambeth Company dan Southwark & Vauxhall Company.
Pekerjaan yang dilakukan oleh William Farr dan John Snow ini hanya melakukan
pengkajian data yang telah ada, dalam arti yang terjadi secara alamiah, bukan dari data
hasil percobaan. Karena pengkajian data alamiah inilah, maka tahap perkembangan
epidemiologi pada waktu itu dikenal dengan nama “Tahap Eksperimental Alamiah”.
4. Tahap uji coba
Cara kerja uji coba tidak sekedar mengkaji data alamiah saja, tetapi mengkaji data
yang diperoleh dari suatu uji coba yang dengan sengaja dilakukan. Uji coba ini telah
lama dikenal di kalangan kedokteran, misalnya yang dilakukan oleh Lind (1774) yang
melakukan pengobatan kekurangan Vitamin C dengan pemberian jeruk. Atau yang
dilakukan oleh Jenner (1796) yang melakukan uji coba vaksin cacar pada manusia.

C. Aspek epidemiologi
1. Waktu
Distribusi penyakit menurut waktu merupakan aspek utama dalam analisis
epidomiologi karena kejadian penyakit biasanya dinyatakan dalam bulanan atau
tahunan.
2. Orang
Beberapa karakteristik penting yang secara rutin diperhatikan dalam mempelajari
distribusi kejadian penyakit menurut orang adalah umur dan jenis kelamin.
3. Tempat
Distribusi penyakit menurut tempat sering dinyatakan karena biasanya suatu
tempat atau lokasi yang dibatasi oleh batas-batas alam dan hal tersebut memiliki
kaitan dengan pemahaman etiologi penyakit.

D. Perkembangan ilmu epidemiologi


1. Lokal
Angka Kematian Bayi (AKB) di Kalimantan Barat untuk tahun 2012
berdasarkan laporan pendahuluan hasil Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia
(SDKI) tahun 2012 adalah 31 per 1.000 Kelahiran hidup. Sedang untuk Angka
Kematian Bayi Nasional adalah 32 per 1.000 Kelahran Hidup. Hal ini berarti terjadi
penurunan angka kematian bayi yang signifikan di provinsi Kalimantan Barat dimana
Angka Kematian Bayi di Kalimantan Barat sudah lebih rendah dibandingkan dengan
Angka Kematian Bayi Nasional. Berturut-turut AKB di Kalimantan Barat
berdasarkan hasil SDKI mulai tahun 1994 adalah 97 per 1.000 Kelahiran Hidup,
Tahun 1997 menjadi 70 per 1.000 KH, Tahun 2002 menjadi 47 per 1.000 KH, turun
menjadi 46 per 1.000 kelahiran hidup berdasarkan SDKI Tahun 2007 dan turun
menjadi 31 per 1.000 KH berdasarkan laporan pendahuluan SDKI 2012. Adapun
target Indonesia pada tahun 2015 (target MDG’s) adalah menurunkan AKB sampai
19 per 1.000 kelahiran hidup.

Namun demikian jika merujuk pada data profil kesehatankabupaten/kota yang


masuk di Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan Barat, terlihat bahwa kasus kematian
bayi yang dilaporkan pada tahun 2015 adalah sebesar 690 kasus dengan 92.138
kelahiran hidup. Sehingga dengan demikan jika dihitung angka kematian bayinya
adalah 7 per 1.000 kelahiran hidup.
Angka Kematian Bayi menggambarkan keadaan sosial ekonomi masyarakat
dimana angka kematian itu dihitung. Kegunaan Angka Kematian Bayi untuk
pengembangan perencanaan berbeda antara kematian neo-natal dan kematian bayi
yang lain. Karena kematian neo-natal disebabkan oleh faktor endogen yang
berhubungan dengan kehamilan maka program program untuk mengurangi angka
kematian neo-natal adalah yang bersangkutan dengan program pelayanan kesehatan
Ibu hamil, misalnya program pemberian pil besi (tablet Fe) dan suntikan anti
tetanus.
Sedangkan Angka Kematian Post-NeoNatal dan Angka Kematian Anak serta
Kematian Balita dapat berguna untuk mengembangkan program imunisasi, serta
program-program pencegahan penyakit menular terutama pada anak-anak, program
penerangan tentang gizi dan pemberian makanan sehat untuk anak dibawah usia 5
tahun.
2. Nasional
Hepatitis virus merupakan sebuah fenomena gunung es, dimana penderita yang
tercatat atau yang datang ke layanan kesehatan lebih sedikit dari jumlah penderita
sesungguhnya. Mengingat penyakit ini adalah penyakit kronis yang menahun,
dimana pada saat orang tersebut telah terinfeksi, kondisi masih sehat dan belum
menunjukkan gejala dan tanda yang khas, tetapi penularanya terus berjalan.
Menurut hasil Riskesdas tahun 2013, bahwa jumlah orang yang didiagnosis
hepatitis di fasilitas kesehatan berdasarkan gejala-gejala yang ada, menunjukkan
peningkatan 2 kali lipat apabila dibandingkan dari data tahun 2007-2013, hal ini
dapat memberikan petunjuk awal kepada kita tentang upaya pengendalian di masa
lalu, peningkatan akses, potensial masalah di masa yang akan dating apabila tidak
segera dilakukan upaya-upaya yang serius.
Sumber Riskesdas 2013

Dari tabel diatas terlihat karakteristik prevalensi hepatitis tertinggi terdapat pada
provinsi apa dan dari kelompok umur berapa. Adapun upaya yang pernah dilakukan
adalah imunisasi hepatitis B pada bayi, melakukan peringatan hari hepatitis sedunia,
pembentukan komite ahli hepatitis, pendeteksian secara dini terhadap ibu hamil,
seminar dan lain-lain.
3. Internasional
Autis merupakan suatu gangguan perkembangan yang sangat kompleks pada
anak, mulai tampak sebelum usia 3 tahun. Kondisi ini menyebabkan mereka tidak
mampu berkomunikasi maupun mengekspresikan keinginannya, sehingga
mengakibatkan terganggunya perilaku dan hubungan dengan orang lain. Prevalensi
autis beberapa tahun terakhir ini mengalami kenaikan yang signifikan.
Center for Diseases Control and Prevention (CDC) di Amerika Serikat pada
bulan Maret 2013 melaporkan, bahwa prevalensi autis meningkat menjadi 1:50
dalam kurun waktu setahun terakhir. Hal tersebut bukan hanya terjadi di negara-
negara maju seperti Inggris, Australia, Jerman dan Amerika namun juga terjadi di
negara berkembang seperti Indonesia. Prevalensi autis di dunia saat ini mencapai 15-
20 kasus per 10.000 anak atau berkisar 0,15-0,20%. Jika angka kelahiran di
Indonesia 6 juta per tahun maka jumlah penyandang autis di Indonesia bertambah
0,15% atau 6.900 anak per tahunnya.
Perilaku autis digolongkan menjadi dua jenis yaitu perilaku yang eksesif
(berlebihan) dan perilaku defisit (berkekurangan). Perilaku eksesif adalah perilaku
yang hiperaktif dan tantrum (mengamuk) seperti menjerit, mengepak, mengigit,
mencakar, memukul, dan termasuk juga menyakiti diri sendiri (self abuse). Perilaku
defisit adalah perilaku yang menimbulkan gangguan bicara atau kurangnya perilaku
sosial seperti tertawa atau menangis tanpa sebab serta melamun. Perilaku autis dapat
ditangani dengan beberapa langkah diantaranya melalui pengobatan medis, terapi
psikologis, tata laksana perilaku, dan pengaturan diet. Pengaturan terapi diet dapat
mempermudah pencapaian hasil terapi lainnya.
Diet yang biasa dilakukan untuk penderita autis diantaranya diet Gluten Free
Casein Free (GFCF), diet anti yeast/fermentasi dan intoleransi makanan berupa zat
pengawet, zat pewarna makanan dan zat penambah rasa makanan.Perbaikan atau
penuruan perilaku autis dapat dilihat dalam waktu 1-3minggu untuk diet Gluten Free
Casein Free (GFCF), 1-2 minggu untuk diet anti yeast/fermentasi.Penelitian terkait
yang telah dilakukan tahun 2004 di Bogor diperoleh hasil bahwa sebanyak 68,24%
anak autis menunjukkan adanya perbaikan perilaku pada tingkat hiperaktivitas
setelah dilakukan terapi diet. Penelitian lainnya tahun 2012 di Bandung melaporkan
bahwa sebanyak85% orangtua yang tidak patuh dalam menerapkan diet
Gluten Free Casein Free (GFCF) berdampak pada terjadinya gangguan
perilaku anak mereka seperti tantrum (mengamuk) dibandingkan pada anak autis
yang orangtuanya patuh dalam menjalankan diet. Anak autis yang orangtuanya patuh
dalam menjalankan diet membuat perilaku mereka menjadi lebih tenang, emosi lebih
stabil dan konsentrasi belajarnya menjadi lebih fokus.
Hal ini menunjukkan bahwa frekuensi konsumsi gluten maupun casein
memiliki dampak bagi penderita autis Berdasarkan latar belakang tersebut, maka
tujuan penelitian ini adalah mengetahui hubungan skor frekuensi diet bebas gluten
bebas casein dengan skor perilaku autis.
Daftar Pustaka

Dinas Kesehatan. (2015). Profil Kesehatan Provinsi Kalimantan Barat TahuN 2015.
Pontianak: Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat.

Murti, B. (2008). Sejarah Epidemiologi. Bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat,, 1-35.

Pratiwi, R. A., & Dieny, F. F. (2014). Hubungan Skor Diet Frekuensi Bebas Gluten
Bebas Casein Dengan Skor Perilaku Autis. Journal of Nutrition College, 34 - 42.

Budiarto, Eko; Anggraeni , Dewi. 2002. Pengantar Epidemiologi Edisi 2.Jakarta: EGC.
Depkes RI. 2003. Indikator Inddonesia Sehat 2010 dan Pedoman Penetapan Indikator
Provinsi Sehat dan Kabupaten/Kota Sehat. Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai