Perkembangan Epidemiologi
Secara Internasional, Nasional dan Lokal
Dosen: Ns. Faisal Kholid,M.Kep
Disusun oleh
1. W.H. Welch
Suatu ilmu yang mempelajari timbulnya, perjalanan, dan pencegahan penyakit,
terutama penyakit infeksi menular. Dalam perkembangannya, masalah yang dihadapi
penduduk tidak hanya penyakit menular saja, melainkan juga penyakit tidak menular,
penyakit degenaratif, kanker, penyakit jiwa, kecelakaan lalu lintas, dan sebagainya.
Oleh karena batasan epidemiologi menjadi lebih berkembang.
2. Last
Studi tentang distribusi dan determinan tentang keadaan atau kejadian yang
berkaitan dengan kesehatan pada populasi tertentu dan aplikasi studi untuk
menanggulangi masalah kesehatan.
3. Omran
Epidemiologi adalah suatu studi mengenai terjadinya distribusi keadaan
kesehatan, penyakit dan perubahan pada penduduk, begitu juga determinannya dan
akibat-akibat yang terjadi pada kelompok penduduk.
4. Azrul Azwar
Epidemiologi adalah ilmu yang mempelajari tentang frekuensi dan penyebaran
masalah kesehatan pada sekelompok manusia serta faktor-faktor yang mempengaruhi
masalah kesehatan.
B. Tahapan epidemiologi
Sejarah perkembangan epidemiologi dapat dibedakan menjadi 4 tahap, yaitu
1. Tahap pengamatan
Cara awal untuk mengetahui frekwensi dan penyebaran suatu masalah kesehatan
serta faktor-faktor yang mempengaruhi ini dilakukan dengan pengamatan (observasi).
Dari hasil pengamatan tersebut Hippocrates (ahli epidemiologi pertama/460-377SM)
lebih kurang 2400 tahun yang lalu berhasil menyimpulkan adanya hubungan antara
timbul atau tidaknya penyakit dengan lingkungan. Pendapt ini dituliskannya dalam
bukunya yang terkenal yakni : Udara, Air, dan Tempat. Sekalipun Hippocrates tidak
berhasil membuktikan pendapatnya tersebut, karena memang pengetahuan untuk itu
belum berkembang, tetapi dari apa yang dikemukakan oleh Bapak Ilmu Kedokteran ini
di pandang telah merupakan landasan perkembangan selanjutnya dari epidemiologi.
Tahap perkembangan awal epidemiologi yang seperti ini dikenal dengan nama “Tahap
Penyakit dan Lingkungan”.
2. Tahap perhitungan
Tahap perkembangan selanjutnya dari epidemiologi disebut dengan tahap
perhitungan. Pada tahap ini upaya untuk mengukur frekwensi dan penyebaran suatu
masalah kesehatan, dilakukan dengan bantuan ilmu hitung. Ilmu hitung masuk ke
epidemiologi adalah berkat jasa Jonh Graunt (1662) melakukan pencatatan dan
perhitungan terhadap angka kematian yang terjadi di kota London. John Graunt tidak
melanjutkan penelitiannya dalam epidemiologi, tetapi beralih kepada peristiwa-
peristiwa kehidupan. John Graunt lebih dikenal dengan sebutan Bapak Statistik
Kehidupan. Tahap kedua perkembangan epidemiologi yang seperti ini dikenal dengan
nama “Tahap Menghitung dan Mengukur”.
3. Tahap pengkajian
John graunt memang berhasil memberikan gambaran tetang frekwensi dan
penyebaran masalah kesehatan, tetapi belum untuk faktor-faktor yang
mempengaruhinya. Karena ktidak puasan terhadap hasil yang diperoleh, maka
dikembangkan teknik yang lain yang dikenal sebagai teknik pengkajian. Teknik ini
pertama kali diperkenalkan oleh William Farr (1839) yang melakukan pengkajian data.
Dari pengkajian ini dibuktikan adanya hubungan statistik antara peristiwa kehidupan
dengan keadaan kesehatan masyarakat, seperti : adanya hubungan status pendidikan
dengan tingkat sosial ekonomi penduduk.
Cara kerja yang sama juga dilakukan secara terpisah oleh John Snow(1849) yang
menemukan adanya hubungan antara timbulnya penyakit kolera dengan sumber air
minum penduduk. John Snow menganalisa pada dua perusahaan air minum di London
yakni Lambeth Company dan Southwark & Vauxhall Company.
Pekerjaan yang dilakukan oleh William Farr dan John Snow ini hanya melakukan
pengkajian data yang telah ada, dalam arti yang terjadi secara alamiah, bukan dari data
hasil percobaan. Karena pengkajian data alamiah inilah, maka tahap perkembangan
epidemiologi pada waktu itu dikenal dengan nama “Tahap Eksperimental Alamiah”.
4. Tahap uji coba
Cara kerja uji coba tidak sekedar mengkaji data alamiah saja, tetapi mengkaji data
yang diperoleh dari suatu uji coba yang dengan sengaja dilakukan. Uji coba ini telah
lama dikenal di kalangan kedokteran, misalnya yang dilakukan oleh Lind (1774) yang
melakukan pengobatan kekurangan Vitamin C dengan pemberian jeruk. Atau yang
dilakukan oleh Jenner (1796) yang melakukan uji coba vaksin cacar pada manusia.
C. Aspek epidemiologi
1. Waktu
Distribusi penyakit menurut waktu merupakan aspek utama dalam analisis
epidomiologi karena kejadian penyakit biasanya dinyatakan dalam bulanan atau
tahunan.
2. Orang
Beberapa karakteristik penting yang secara rutin diperhatikan dalam mempelajari
distribusi kejadian penyakit menurut orang adalah umur dan jenis kelamin.
3. Tempat
Distribusi penyakit menurut tempat sering dinyatakan karena biasanya suatu
tempat atau lokasi yang dibatasi oleh batas-batas alam dan hal tersebut memiliki
kaitan dengan pemahaman etiologi penyakit.
Dari tabel diatas terlihat karakteristik prevalensi hepatitis tertinggi terdapat pada
provinsi apa dan dari kelompok umur berapa. Adapun upaya yang pernah dilakukan
adalah imunisasi hepatitis B pada bayi, melakukan peringatan hari hepatitis sedunia,
pembentukan komite ahli hepatitis, pendeteksian secara dini terhadap ibu hamil,
seminar dan lain-lain.
3. Internasional
Autis merupakan suatu gangguan perkembangan yang sangat kompleks pada
anak, mulai tampak sebelum usia 3 tahun. Kondisi ini menyebabkan mereka tidak
mampu berkomunikasi maupun mengekspresikan keinginannya, sehingga
mengakibatkan terganggunya perilaku dan hubungan dengan orang lain. Prevalensi
autis beberapa tahun terakhir ini mengalami kenaikan yang signifikan.
Center for Diseases Control and Prevention (CDC) di Amerika Serikat pada
bulan Maret 2013 melaporkan, bahwa prevalensi autis meningkat menjadi 1:50
dalam kurun waktu setahun terakhir. Hal tersebut bukan hanya terjadi di negara-
negara maju seperti Inggris, Australia, Jerman dan Amerika namun juga terjadi di
negara berkembang seperti Indonesia. Prevalensi autis di dunia saat ini mencapai 15-
20 kasus per 10.000 anak atau berkisar 0,15-0,20%. Jika angka kelahiran di
Indonesia 6 juta per tahun maka jumlah penyandang autis di Indonesia bertambah
0,15% atau 6.900 anak per tahunnya.
Perilaku autis digolongkan menjadi dua jenis yaitu perilaku yang eksesif
(berlebihan) dan perilaku defisit (berkekurangan). Perilaku eksesif adalah perilaku
yang hiperaktif dan tantrum (mengamuk) seperti menjerit, mengepak, mengigit,
mencakar, memukul, dan termasuk juga menyakiti diri sendiri (self abuse). Perilaku
defisit adalah perilaku yang menimbulkan gangguan bicara atau kurangnya perilaku
sosial seperti tertawa atau menangis tanpa sebab serta melamun. Perilaku autis dapat
ditangani dengan beberapa langkah diantaranya melalui pengobatan medis, terapi
psikologis, tata laksana perilaku, dan pengaturan diet. Pengaturan terapi diet dapat
mempermudah pencapaian hasil terapi lainnya.
Diet yang biasa dilakukan untuk penderita autis diantaranya diet Gluten Free
Casein Free (GFCF), diet anti yeast/fermentasi dan intoleransi makanan berupa zat
pengawet, zat pewarna makanan dan zat penambah rasa makanan.Perbaikan atau
penuruan perilaku autis dapat dilihat dalam waktu 1-3minggu untuk diet Gluten Free
Casein Free (GFCF), 1-2 minggu untuk diet anti yeast/fermentasi.Penelitian terkait
yang telah dilakukan tahun 2004 di Bogor diperoleh hasil bahwa sebanyak 68,24%
anak autis menunjukkan adanya perbaikan perilaku pada tingkat hiperaktivitas
setelah dilakukan terapi diet. Penelitian lainnya tahun 2012 di Bandung melaporkan
bahwa sebanyak85% orangtua yang tidak patuh dalam menerapkan diet
Gluten Free Casein Free (GFCF) berdampak pada terjadinya gangguan
perilaku anak mereka seperti tantrum (mengamuk) dibandingkan pada anak autis
yang orangtuanya patuh dalam menjalankan diet. Anak autis yang orangtuanya patuh
dalam menjalankan diet membuat perilaku mereka menjadi lebih tenang, emosi lebih
stabil dan konsentrasi belajarnya menjadi lebih fokus.
Hal ini menunjukkan bahwa frekuensi konsumsi gluten maupun casein
memiliki dampak bagi penderita autis Berdasarkan latar belakang tersebut, maka
tujuan penelitian ini adalah mengetahui hubungan skor frekuensi diet bebas gluten
bebas casein dengan skor perilaku autis.
Daftar Pustaka
Dinas Kesehatan. (2015). Profil Kesehatan Provinsi Kalimantan Barat TahuN 2015.
Pontianak: Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat.
Pratiwi, R. A., & Dieny, F. F. (2014). Hubungan Skor Diet Frekuensi Bebas Gluten
Bebas Casein Dengan Skor Perilaku Autis. Journal of Nutrition College, 34 - 42.
Budiarto, Eko; Anggraeni , Dewi. 2002. Pengantar Epidemiologi Edisi 2.Jakarta: EGC.
Depkes RI. 2003. Indikator Inddonesia Sehat 2010 dan Pedoman Penetapan Indikator
Provinsi Sehat dan Kabupaten/Kota Sehat. Jakarta.