Anda di halaman 1dari 6

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

HIV/AIDS merupakan penyakit menular yang menyerang sistem imun,

ditemukan pertama kali di California pada tahun 1981. Sejak HIV AIDS

ditemukan, jumlah penderita terus mengalami peningkatan. Data WHO saat ini

menyatakan bahwa sekitar 36.100.000 penduduk dunia terinfeksi HIV/AIDS

dimana 6 juta kasus terdapat di Asia Tenggara (BKKBN, 2006). Depkes RI

menyatakan dari Juli 1987 sampai dengan September 2007 pengidap HIV dan

kasus AIDS sebanyak 16.288 orang dengan angka kematian mencapai 2.287.
Pada tahun 2009 secara global jumlah pasien yang hidup dengan

HIV/AIDS sebanyak 33,3 juta, dimana 30,8 juta diantaranya berusia diatas 15

tahun. Di Indonesia HIV/AIDS pertama kali ditemukan di Bali sejak tahun 1987.

Sejak saat itu perkembangan jumlah kasus HIV/AIDS cenderung meningkat

setiap tahunnya. Menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia sejak

Maret 2008 ada sebanyak 12.000 orang penderita di Indonesia. (KPA Prov Bali,

2013).
Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi Bali menyebutkan, kasus HIV dan

AIDS hingga Agustus 2013 adalah 8.141 kasus, namun jumlah sebenarnya

diperkirakan mencapai 26.000. Secara epidemiologi dikenal dengan fenomena

gunung es, artinya bila ada satu kasus yang tercatat maka diasumsikan terdapat

200 kasus yang sama yang tidak tercatat. Kota Denpasar menduduki peringkat

pertama dibanding kabupaten lainnya di Bali dengan jumlah kasus mencapai

2.611 kasus atau sekitar 40.14% (KPA Prov Bali, 2013).

1
Pemerintah telah melakukan upaya untuk menekan angka kejadian

HIV/AIDS di Bali. Salah satu cara yang dilakukan Dinas Kesehatan Provinsi

Bali adalah dengan memaksimalkan sosialisasi penggunaan kondom. Pemerintah

Provinsi Bali membagikan sekitar 80.000 kondom dalam setahun dengan target

para pekerja seks dan pelanggannya, yang disebarkan secara cuma-cuma pada

saat penyuluhan kesehatan dan kegiatan sosial lainnya melalui bantuan LSM
Angka kejadian HIV/AIDS semakin meningkat akan menurunkan kualitas

sumber daya manusia khusunya di Denpasar Bali. Orang dengan HIV AIDS

(ODHA) dalam masyarakat masih sulit untuk diterima baik di keluarga maupun

masyarakat. Pada kenyataannya stigma negatif masyarakat kepada ODHA masih

melekat. Fenomena itu tentu sangat menghawatirkan karena ODHA juga

memiliki hak untuk sembuh dan meningkatkan kualitas hidup mereka (Oktarina,

2011).
Stigma dan diskriminasi mengakibatkan pasien HIV/AIDS tidak mau

terbuka, merasa malu dan takut dikucilkan di masyarakat sehingga tidak mau

melakukan pengecekan kesehatan. Stigma dan diskriminasi yang sering dihadapi

ini adalah isolasi, pemberian label nama atau metode lain yang mengidentifikasi

sebagai seorang HIV positif, pelanggaran kerahasiaan, perlakuan yang negatif

dari orang lain, penggunaan kata-kata dan bahasa tubuh yang negatif oleh pekerja

kesehatan, juga akses yang terbatas untuk fasilitas pelayanan kesehatan. Berbagai

kondisi yang mereka alami ini menyebabkan tidak sedikit pasien HIV/AIDS

yang mengalami putus asa, dengan keputusasaannya pasien semakin terisolasi

dari jangkauan pelayanan kesehatan baik dalam pencegahan maupun penanganan

kondisi HIV/AIDS (Waluyo dkk, 2010).

2
Perawat sebagai tenaga kesehatan mempunyai tugas yang sangat penting

dalam pelayanan kesehatan. Perawat merupakan salah satu profesi tenaga

kesehatan yang memiliki resiko tertular infeksi HIV/AIDS. Perawat selalu

kontak dengan pasien langsung selama 24 jam. Perawat yang bekerja di fasilitas

kesehatan seperti Rumah Sakit sangat beresiko terpapar infeksi yang secara

potensial membahayakan jiwanya, sehingga perawat termasuk dalam kelompok

beresiko tinggi (Syamsulhidayat dan Jong, 1997)


Pengalaman merawat pasien dengan kasus HIV/AIDS merupakan hal baru

bagi setiap tenaga kesehatan di Rumah Sakit, khususnya bagi perawat.

Perawatlah yang berhubungan langsung setiap hari selama masa perawatan.

Pekerjaan perawat merupakan pekerjaan yang beresiko kontak dengan darah,

cairan tubuh pasien dan tertusuk jarum suntik bekas pasien. Begitu besarnya

bahaya penularan ini, maka perawat harus berperan penting dalam hal

pencegahan penularan baik kepada pasien lain maupun dirinya sendiri. Perawat

juga perlu bekerja secara hati-hati dan selalu menerapkan standar pencegahan

umum dalam merawat pasien HIV/AIDS (Oktarina, 2011).


Rumah Sakit merupakan tempat rujukan pertama bagi pelayanan

kesehatan rawat inap. Pasien dengan HIV/AIDS biasanya datang ke Rumah Sakit

berdasarkan keluhan penyakit opurtunistik, artinya pada awal mereka dirawat

tidak semua pasien maupun perawat mengetahui bahwa pasien telah terjangkit

virus HIV/AIDS. Adanya resiko tertular penyakit tersebut dapat menimbulkan

ketakutan dan keengganan pada perawat untuk kontak dan merawat pasien

dengan HIV/AIDS. Perawat dianggap memiliki informasi yang baik dan sangat

terampil serta dianggap penting untuk semua sistem kesehatan nasional, namun

3
terkadang perawat tidak memberikan asuhan keperawatan yang maksimal dan

lebih sering melakukan penolakan terhadap pasien dengan diagnose medis

HIV/AIDS (Lemens, 2010).


ICN (International Council of Nursing) mengatakan bahwa estimasi

sekitar 19-35% semua kematian pegawai kesehatan di Afrika disebabkan oleh

HIV/AIDS dan di negara lain juga para perawat menolak merawat penderita

HIV/AIDS yang sudah mendekati ajal. Penelitian di Nigeria menunjukan bahwa

perawat sering menghindari kontak dengan penderita dan jarang memberikan

pendidikan kesehatan (Phaladze, 2003 dalam Sukarja, 2011). Kondisi yang sama

terjadi di Uganda, Brazil dan Bosnia, sebagian perawat takut bersentuhan dengan

penderita HIV/AIDS dan kurang memberikan pendidikan kesehatan dengan

alasan keterbatasan sarana dan alat (Fourner dkk, 2007 dalam Sukarja, 2011).
Dari riset yang dilakukan Sri Hanida Tahun 2009 dikatakan bahwa perawat

sebagian besar takut dengan pasien HIV/AIDS dan semua responden dari

penelitian tersebut mengaku bahwa selalu menghindari kontak dengan pasien

HIV/AIDS. Perawat lebih cenderung melakukan aktivitas medis sesuai dengan

intruksi dokter dan hampir seluruh perawat melimpahkan tindakan keperawatan

pada keluarga pasien yang seharusnya dilakukan oleh perawat. Perawat tidak

bersedia memandikan atau membersihkan feses dan membersihkan muntahan

pasien tapi perawat lebih sering melakukan aktivitas seperti mengukur tanda

vital, mengganti linen dan mendekatkan meja makan (Oktarina, 2011).


Ketakutan akan tertular penyakit HIV/AIDS dalam merawat pasien dengan

penyakit yang mudah menular, dapat melahirkan sikap dan perilaku perawat

yang tidak profesional dalam memberikan asuhan keperawatan pada pasien. Jika

jumlah pasien HIV/AIDS terus meningkat namun ada rasa takut pada perawat

4
untuk merawat pasien HIV/AIDS maka pasien HIV/AIDS akan terbengkalai dan

tidak akan mendapatkan asuhan keperawatan secara holistik.


Dari uraian diatas penulis ingin melakukan penelitian analisis

fenomenologi yang berjudul pengalaman perawat dalam merawat pasien dengan

HIV/AIDS.

1.2 Rumusan masalah

Dari latar belakang di atas dapat dirumuskan ” Bagaimana pengalaman

perawat dalam merawat pasien dengan HIV/AIDS”.

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Mengetahui pengalaman perawat dalam merawat pasien dengan

HIV/AIDS.

1.3.2 Tujuan Khusus

1.3.2.1 Mengeksplorasi perasaan perawat selama merawat pasien dengan

HIV/AIDS.

1.3.2.2 Mengeksplorasi cara pencegahan dalam merawat pasien dengan

HIV/AIDS.

1.3.2.3 Mengeksplorasi kendala yang dihadapi dalam merawat pasien dengan

HIV/AIDS.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan ilmu

pengetahuan dalam bidang keperawatan ataupun profesi yang

berkecimpung di bidang kesehatan.

5
1.4.2 Manfaat Praktis

Secara praktis bahwa hasil penelitian ini berguna bagi tenaga kesehatan

terutama keperawatan dalam meningkatkan mutu pelayanan keperawatan

khususnya untuk meningkatkan pelayanan keperawatan pada pasien

dengan HIV/AIDS.

Anda mungkin juga menyukai