Anda di halaman 1dari 13

A.

Latar Belakang
Beberapa tahun belakangan ini, perhatian tentang pengaruh senyawa
lingkungan atau bahan polutan kimia terhadap kesehatan semakin
meningkat. Senyawa tersebut bisa dikatakan sebagai Endocrine Disrupts
Chemical (EDC) atau dalam bahasa awamnya disebut sebagai senyawa yang
mengganggu mekanisme kerja hormon endokrin. EDC tersebut bisa bekerja
sebagaimana hormon aslinya seperti estrogen, testosteron, atau hormon-
hormon endokrin lainnya. EDC dapat bersifat sebagai estrogen like
hormone tersebut terbukti dapat mempengaruhi kesehatan manusia termasuk
kesehatan reproduksi. Salah satu pengaruh yang ditimbulkan adalah
penurunan kualitas sperma pada pria. Sehingga mengakibatkan kurangnya
kemampuan spermatozoa membuahi sel telur sehingga dapat menyebabkan
infertilitas.
Bahan kimia beracun dapat merusak kemampuan kita melahirkan anak
yang sehat. Masalah kesehatan reproduksi bukan saja mempengaruhi wanita
untuk dapat melahirkan anak dalam usia produktif, tetapi dapat pula
mempengaruhi laki-laki dan wanita setiap saat dalam hidup mereka.
Beberapa bahan kimia dapat menyebabkan keguguran atau sterilitas
(ketidakmampuan mempunyai anak) pada laki-laki atau wanita. Hal ini
dapat terjadi melalui kelenjar hormon-hormon, yakni bahan kimia alami
yang dibuat oleh tubuh untuk mengendalikan pertumbuhan dan prosesproses
lainnya seperti proses datang bulan pada wanita dan reproduksi. Bahan-
bahan kimia lainnya bertindak menyerupai hormon ketika bahan kimia
tersebut berada di dalam tubuh kita. Mereka dapat mengacaukan sistim
hormon alami kita dengan cara mengirimkan sinyal palsu. Karena itulah
bahan kimia yang demikian sering disebut sebagai pengacau hormon.
Penelitian-penelitian terdahulu menemukan/melaporkan bahwa
pestisida diduga mengandung senyawa-senyawa kimia yang dapat bekerja
seperti hormon manusia atau disebut Endocrine Disrupts Chemical (EDC)
dimana hal tersebut dapat berdampak buruk bagi perkembangan kesehatan
reproduksi manusia.
Bahan berbahaya yang terdapat di tempat kerja juga dapat secara tidak
langsung membahayakan keluarga mereka yang berada dirumah. Beberapa
bahan berbahaya dapat secara tidak sengaja terbawa ke rumah tanpa disadari
para pekerja dan mempengaruhi kesehatan reproduksi sang istri atau
kesehatan janin yang dikandungnya atau anggota keluarga lain yang masih

1
muda. Sebagai contoh, timbal dapat terbawa pulang oleh pekerja melalui
kulit, rambut, baju, sepatu, kotak peralatan kerja, atau kendaraan yang
dibawa ke tempat kerja, padahal timbal tersebut dapat menyebabkan
keracunan pada anggota keluarga dan bisa menyebabkan neurobehavioral
dan gangguan pertumbuhan pada janin.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Zat – Zat Toksik Yang Mempengaruhi Reproduksi?
2. Apa Saja Sifat – Sifat Zat Toksik
3. Apa Dampak Zat Toksik Terhadap Sistem Reproduksi?
4. Bagaimana Toksikokinetik Toksik Reproduksi ?
5. Bagaimana Kasus Toksikologi Industri Terhadap Sistem Reproduksi ?

C. Tujuan
1. Untuk Mengetahui Bagaimana Zat – Zat Toksik Yang Mempengaruhi
Reproduksi?
2. Untuk Mengetahui Apa Saja Sifat – Sifat Zat Toksik
3. Untuk Mengetahui Apa Dampak Zat Toksik Terhadap Sistem
Reproduksi?
4. Untuk Mengetahui Bagaimana Toksikokinetik Toksik Reproduksi ?
5. Untuk Mengetahui Bagaimana Kasus Toksikologi Industri Terhadap
Sistem Reproduksi ?

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Sistem Reproduksi


Sistem reproduksi adalah suatu rangkaian dan interaksi organ dan
zat dalam organisme yang dipergunakan untuk berkembang biak. Sistem
reproduksi berbeda antara laki-laki dan perempuan.
1. Sistem Reproduksi pada Laki-laki
Sistem reproduksi pria terdiri atas organ-organ berikut, yaitu:
a. Testis, terdapat sepasang yang dilindungi oleh kulit skrotum dan
berfungsi untuk menghasilkan sel sperma dan hormon kelamin pria
(testosteron)
b. Epididimis, yaitu saluran terluar dari testis sebagai tempat
pematangan dan penyimpanan sementara sel-sel sperma.
c. Vas deferens, yaitu saluran panjang lanjutan dari epididimis, yang
berfungsi untuk pengangkutan sperma sebelum dikeluarkan menuju
vesikula seminalis.
d. Vesikula seminalis, yaitu merupakan kelenjar yang menghasilkan
cairan semen yang bersifat nutritif bagi sperma.
e. Kelenjar Prostat, yaitu kelenjar yang menghasilkan getah untuk
menjaga kehidupan sperma.
f. Uretra, yaitu saluran pada penis yang berfungsi untuk pengeluaran
sperma dan urine.
g. Penis, sebagai alat untuk memasukan sel sperma ke saluran
reproduksi wanita.
h. Skrotum, yaitu merupakan kantong yang didalamnya terdapat
testis, yang berfungsi sebagai pengatur suhu bagi sperma.
i. Kelenjar cowpery, yaitu penghasil lendir untuk melumasi saluran
sperma ketika keluar tubuh.

2. Sistem Reproduksi pada Perempuan


Sistem reproduksi pada wanita terdiri atas organ-organ, yaitu:
a. Ovarium, terdapat sepasang dan berfungsi untuk menghasilkan

ovum serta hormon kelamin wanita (estrogen dan progresteron).


b. Infundibulum, yaitu ujung oviduk yang berbentuk corong dan
berfungsi untuk menangkap ovum yang dilepaskan ovarium (saat
ovulasi)

3
c. Oviduk (tuba falopii), merupakan saluran pengeluaran sel telur
dari ovarium menuju uterus dan merupakan tempat terjadinya
fertilisasi ovum dengan sel sperma

d. Uterus (rahim), yaitu tempat perkembangan embrio (janin).


Dindingnya akan meluruh (menstruasi) apabila ovum tidak dibuahi.

e. Vagina, yaitu tempat masuknya penis pada saat kopulasi dan


saluran pengeluaran bayi ketika dilahirkan.

B. Zat – Zat Toksik Yang Mempengaruhi Reproduksi


CDC (Center for Disease Control and Prevention) melaporkan
bahwa hampir setiap orang yang tubuhnya terpapar bahan kimia ini, dalam
beberapa waktu menunjukkan efek yang merugikan pada kesehatan
reproduksi. Penyelidikan terbaru menunjukkan bahwa dari paparan bahan
kimia tingkat yang lebih tinggi mengganggu endokrin-adalah terkait
dengan efek buruk pada tindakan reproduksi dan kelahiran,termasuk
mengurangi kualitas sperma pada pria, kelahiran prematur, berat badan
lahir rendah, dan perubahan perilaku anak (CDC, 2009).
Toksisitas reproduktif mencakup efek-efek yang merugikan fungsi
seksual dan fertilitas kaum laki-laki dan perempuan sekaligus efek yang
mengganggu perkembangan normal baik sebelum maupun sesudah lahir
(juga disebut toksisitas perkembangan).
Fisiologis sistem reproduksi antara pria dan wanita berbeda, tetapi
sistem pada kedua jenis kelamin tersebut dikendalikan oleh suatu zat kimia
yang disebut hormon. Hormon adalah zat kimia yang disekresi oleh
kelenjar dalam tubuh dan mengendalikan sel-sel lain dalam tubuh. Sekresi
hormon dikendalikan oleh sistem saraf pusat (SSP).
Pada laki-laki, hormon mengendalikan perkembangan organ-organ
reproduksi dan pembentukan sperma (spermatogenesis). Pada perempuan,
hormon mengendalikan organ-organ reproduksi, siklus reproduktif
perempuan, persiapan rahim untuk kehamilan dan laktasi. Hormon juga
memainkan peranan yang sangat penting dalam kehamilan dan
perkembangan janin.
Dalam kondisi normal, pada manusia, diperkirakan satu dari lima
pasangan tidak dapat memiliki anak (mandul), lebih dari sepertiga embrio
akan mengalami kematian dini, dan sekitar 15% kehamilan akan

4
mengalami abortus spontan. Di antara bayi-bayi yang baru lahir, sekitar
3%-nya mengalami kecacatan.
Ini tidak mengejutkan karena banyak zat kimia (atau obat-obatan)
yang dapat mengganggu jalannya beberapa proses biologis dalam sistem
reproduksi laki-laki dan perempuan. Ada tiga target utama dari toksikan
reproduktif. Toksikan tersebut dapat bekerja langsung di sistem saraf pusat
untuk mengubah sekresi hormon (misalnya sintesis steroid).
Gonad (ovarium dan testis) juga menjadi target dari obat-obatan
dan zat kimia, terutama obat kemoterapi kanker. Toksikan reproduktif juga
dapat menghambat atau mengubah spermatogenesis. Akibat yang
ditimbulkan oleh efek toksik tersebut antara lain kemandulan, penurunan
kesuburan, meningkatnya kematian janin, meningkatnya kematian bayi,
dan meningkatnya angka cacat / defek lahir. Zat kimia yang menyebabkan
peningkatan kasus defek / cacat lahir ini disebut teratogen.
Efek buruk perkembangan pada organisme muncul akibat
pemaparan sebelum pembuahan (pada orang tua), selama kehamilan, atau
dari lahir sampai saatnya maturasi seksual. Efek buruk perkembangan
dapat dideteksi kapan saja dalam rentang kehidupan suatu organisme.
Manifestasi pokok dari toksisitas perkembangan mencakup:
a. kematian organisme yang sedang berkembang;
b. abnormalitas struktural;
c. perubahan pertumbuhan, dan
d. defisiensi fungsional.
Paparan terhadap zat kimia selama kehamilan dapat mengakibatkan
perkembangan yang defektif (menuju kecacatan). Pada waktu-waktu
tertentu, janin yang sedang tumbuh dan berkembang menjadi sangat
sensitif terhadap paparan zat kimia toksik, misalnya saat perkembangan
sistem organ atau perkembangan sel-sel jenis tertentu. Pada manusia, fase
kritis induksi malformasi struktural biasanya terjadi 20-70 hari setelah
pembuahan.
Dampak zat kimia (atau obat-obatan) terhadap sistem reproduksi
dapat dilihat pada insidensi talidomid yang tragis di tahun 1960-an. Saat
itu, talidomid diberikan pada ibu hamil sebagai obat mual. Obat ini
memang tidak memiliki efek yang merugikan orang dewasa, tetapi
sifatnya yang teratogen justru mengganggu perkembangan anggota gerak
janin. Akibatnya, anak yang ibunya mengonsumsi obat tersebut ketika

5
hamil, lahir tanpa lengan dan / atau kaki atau bahkan sangat tidak
berbentuk.
Untuk beberapa zat kimia, studi epidemiologis, data pemaparan
okupasional, atau data yang berasal dari penelitian pada binatang
memperlihatkan adanya hubungan antara pemaparan dengan efek buruk
pada sistem reproduksi.

Beberapa penelitian di bidang epidemiologi memperlihatkan


bahwa arsenik anorganik dapat menimbulkan efek perkembangan pada
manusia, janin yang sedang berkembang sangat sensitif terhadap metil
merkuri, paparan timbal terhadap ibu hamil terbukti dapat mengganggu
perkembangan mental anak-anak mereka.
Daftar efek yang merugikan sistem reproduksi semakin bertambah
panjang, dan semakin banyak indikasi yang memperlihatkan bahwa ibu
hamil, janin, bayi yang masih menyusui, dan anak kecil termasuk dalam
kelompok berisiko tinggi yang lebih rentan terhadap efek buruk zat kimia
daripada populasi umum lainnya.
Bayi dan anak kecil memiliki karaktersistik struktural dan
fungsional yang berbeda dengan anak yang lebih tua serta orang dewasa.
Karakteristik tersebut mewakili tahapan di dalam perkembangan dan
pertumbuhan yang normal, dan dapat mempengaruhi daya tahan mereka
jika terpapar zat kimia.
Secara umum dapat dikatakan bahwa zat kimia baik yang organik
maupun yang anorganik lebih mudah diabsorpsi oleh bayi daripada oleh
orang dewasa. Bayi belum siap melakukan biotransformasi terhadap zat
kimia karena ginjal belum matur dan kurang dapat mengekskresikan zat
kimia dibandingkan ginjal orang dewasa.
Dengan demikian, dosis yang sama dari suatu zat kimia per unit
berat badan kemungkinan akan lebih banyak berakumulasi dalam tubuh
bayi daripada dalam tubuh anak yang lebih besar atau orang dewasa
sehingga kemungkinannya untuk mengalami efek toksik lebih besar
Semua karakteristik tersebut menunjukkan adanya kebutuhan
khusus untuk melindungi kelompok populasi yang sensitif ini dari semua
resiko kesehatan akibat pemaparan terhadap zat kimia.
Tabel toksikan lingkungan dan efek buruknya pada sistem
reproduksi:
 Aldrin: abortus spontan, persalinan dini
 Arsenik: abortus spontan, berat badan lahir rendah

6
 Benzene: abortus spontan, berat badan lahir rendah, gangguan menstruasi
 Kadmium: berat badan lahir rendah
 Karbon disulfida: gangguan menstruasi, efek buruk pada sperma
 Senyawa chlorinated: defek pada mata, telinga, dan bibir sumbing,
gangguan sistem saraf pusat, kematian perinatal, leukemia masa kanak-
kanak.
 1,2-Dibromo-3-kloropropan: efek buruk pada sperma, kemandulan
 Dikloroetilen: penyakit jantung bawaan
 Dieldrin: kelahiran dini, abortus spontan
 Heksaklorosikloheksan: ketidakseimbangan hormonal, kelahiran dini,
abortus spontan
 Timbal: lahir mati, berat badan lahir rendah, abortus spontan, defisit
neurobehavioral, perkembangan terhambat, kerusakan otak.
 Merkuri: gangguan menstruasi, abortus spontan, buta tuli,
keterbelakangan mental, pertumbuhan terhambat, kerusakan otak.
 Hidrokarbon aromatik polisiklik: penurunan kesuburan
 Polychlorinated byphenil: persalinan kurang bulan, berat badan lahir
rendah, penurunan lingkar kepala, defisiensi pertumbuhan, efek
neurobehavioral.
 Trikloroetilen: penyakit jantung bawaan.

https://www.smallcrab.com/kesehatan/1028-toksisitas-zat-kimia-terhadap-
sistem-reproduksi

C. Sifat – Sifat Zat Toksik


Berikut adalah pengelompokan bahan kimia berdasarkan sifatnya :
1. Mudah meledak (Explosive)
Suatu zat padat atau cair atau campuran keduanya yang karena suatu
reaksi kimia dapat menghasilkan gas dalam jumlah dan tekanan yang
besar serta suhu yang tinggi, sehingga menimbulkan kerusakan
disekelilingnya. Zat eksplosif amat peka terhadap panas dan pengaruh
mekanis (gesekan atau tumbukan), ada yang dibuat sengaja untuk
tujuan peledakan atau bahan peledak seperti trinitrotoluene (TNT),
nitrogliserin dan ammonium nitrat (NH4NO3). Contoh lainnya adalah
Asetilena dan amonium nitrat.
2. Pengoksidasi (Oxidizing)
Suatu bahan kimia yang mungkin tidak mudah terbakar, tetapi dapat
menghasilkan oksigen yang dapat menyebabkan kebakaran bahan-
bahan lainnya. Contohnya adalah aseton dan asam sulfat

7
3. Karsinogenik (Carcinogenic)
Sifat mengendap dan merusak terutama pada organ paru-paru karena
zat-zat yang terdapat pada rokok. Sehingga paru-paru menjadi
berlubang dan menyebabkan kanker. Contohnya adalah benzena dan
asbes.

4. Mudah terbakar (Flammable)


Bahan kimia yang mudah bereaksi dengan oksigen dan dapat
menimbulkan kebakaran. Reaksi kebakaran yang amat cepat dapat juga
menimbulkan ledakan. Contohnya adalah etil eter dan propana.
5. Beracun (Toxic)
Bahan kimia yang dapat menyebabkan bahaya terhadap kesehatan
manusia atau menyebabkan kematian apabila terserap ke dalam tubuh
karena tertelan, lewat pernafasan atau kontak lewat kulit. Pada
umumnya zat toksik masuk lewat pernafasan atau kulit dan kemudian
beredar keseluruh tubuh atau menuju organ-organ tubuh tertentu. Zat-
zat tersebut dapat langsung mengganggu organ-organ tubuh tertentu
seperti hati, paru-paru, dan lain-lain. Tetapi dapat juga zat-zat tersebut
berakumulasi dalam tulang, darah, hati, atau cairan limpa dan
menghasilkan efek kesehatan pada jangka panjang. Pengeluaran zat-zat
beracun dari dalam tubuh dapat melewati urine, saluran pencernaan, sel
efitel dan keringat. Contohnya adalah merkuri dan klorin.
6. Korosif (Corrosive)
Bahan kimia yang karena reaksi kimia dapat mengakibatkan kerusakan
apabila kontak dengan jaringan tubuh atau bahan lain. Zat korosif dapat
bereaksi dengan jaringan seperti kulit, mata, dan saluran pernafasan.
Kerusakan dapat berupa luka, peradangan, iritasi (gatal-gatal) dan
sinsitisasi (jaringan menjadi amat peka terhadap bahan kimia).
Contohnya adalah asam asetat dan alumunium klorida.
7. Menyebabkan iritasi (Irritant)
Tidak korosif tetapi dapat menyebabkan inflamasi jika kontak dengan
kulit atau selaput lendir. Contohnya ialah amonia dan belerang dioksida.
https://tivannyindahkurnia.wordpress.com/2013/11/14/sifat-sifat-
bahan-kimia/
D. Dampak Zat Toksik Terhadap Sistem Reproduksi
E. Toksikokinetik Toksik Reproduksi

8
Toksikokinetik adalah studi kuantitatif dari pergerakan sebuah zat
kimia yang dimulai dari masuknya zat kimia ke dalam tubuh,
pendistribusiannya ke organ dan jaringan melalui sirkulasi darah dan
disposisi terakhir dengan biotransformasi serta eksresi. Konsep dari
toksikokinetik adalah absorpsi, distribusi, metabolsime dan eksresi
(ADME) (Klaassen 2008).
1. Absorpsi
Sebelum zat kimia membuat dampak kesehatan kepada tubuh
manusia, zat kimia tersebut harus masuk ke dalam tubuh. Peristiwa
masuknya zat kimia ke dalam tubuh disebut dengan absorpsi. Secara
umum, rute masuk zat kimia dalam absorpsi terdiri dari 3 rute yaitu
inhalasi, dermal dan ingesti. Inhalasi merupakan jalur utama dari
pajanan di tempat kerja karena banyak zat kimia yang dapat masuk
langsung ke paru-paru melalui jalur inhalasi seperti debu, asap, uap,
kabut dan gas. Zat kimia tersebut masuk ke dalam paru yang memiliki
luas sekitar 140 m2 sehingga memudahkan untuk absorpsi.
Kontak kulit adalah rute kedua yang terpenting dalam absorpsi.
Kulit memiliki total luas sekitar 2 m2 dengan kemampuan untuk
mengabsorpsi zat kimia terutama yang berbentuk cairan seperti KOH
ataupun aerosol seperti pestisida. Meskipun sedikit, jalur ingesti juga
dapat menjadi jalur masuk zat kimia yang berbahaya (Klaassen 2008).
Jalur ingesti merupakan jalur pencenaan yang dimulai dari mulut,
kerongkongan, dan lambung. Zat kimia yang masuk dalam jalur ini
biasanya terjadi karena ketidaksengajaan seperti dalam kasus
keracunan.
2. Distribusi
Ketika zat kimia diabsopsi ke dalam aliran darah, maka zat kimia
tersebut dapat diangkut ke seluruh tubuh. Proses ini disebut “distribusi”
yang merupakan proses reversibel yaitu zat kimia dapat masuk ke
dalam sel dari darah ataupun bisa masuk ke darah dari sel. Pengiriman
zat kimia ini dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu aliran darah,
permeabilitas kapiler, kekuatan dari pengikatan dari zat kimia ke darah
ataupun jaringan protein dan solubilitas relative dari molekul zat kimia
(Terms n.d.).
3. Metabolisme
Untuk mempermudah eksresi, zat kimia harus melalui proses
metabolisme terlebih dahulu. Proses metabolisme bisa berlangsung di
hati atau ginjal baik dengan perubahan struktur zat kimia ataupun
dengan perubahan kimiawi dari zat kimia.

9
Metabolisme dari zat kimia dapat bervariasi antar grup populasi.
Genetik menjadi salah satu faktor yang dapat mempengaruhi enzim
untuk memproses zat kimia. Umur menjadi faktor lain yang
mempengaruhi karena semakin tua seseorang makan semakin kecil
toleransinya terhadap zat kimia(Terms n.d.).
4. Eksresi
Pengeluaran secara keseluruhan zat kimia dari dalam tubuh disebut
dengan eksresi (Terms n.d.). Ginjal dan organ pencernaan menjadi
bagian penting dalam proses eksresi ini. Selain itu, air susu
ibu,keringat, rambut, kuku dan air ludah juga dapat menjadi organ yang
melakukan proses eksresi (Trush 2008)

F. Studi Kasus
Studi Kasus Dampak Pestisida pada Sistem Reproduksi Perempuan
Peran Perempuan di Pertanian yang begitu besar membuat
perempuan juga dominan dan paling beresiko terhadap dampak pestisida.
Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Badan Pangan Dunia di
perserikatan bangsa-Bangsa (FAO), jumlah perempuan yang terlibat di
sektor pertanian meningkat dari tahun ke tahun. Jumlah tenaga kerja
perempuan dalam sektor pertanian mengalami peningkatan hampir empat
kali lipat dari tahun 1960 sebanyak 7,43 juta menjadi 20,82 juta orang
pada tahun 2000 (Data FAO,2000). Meskipun FAO belum pernah
mengeluarkan data jumlah petani terutama petani perempuan yang terkena
dampak pestisida, namun ada beberapa studi terhadap kasus – kasus yang
berkaitan dnegan dampak pestisida tersebut.
Dari beberapa studi yang dilakukan di beberapa Negara Asia juga
ditegaskan bahwa perempuan adalah pekerja utama di pertanian dan
perkebunan, yang berhubungan langsung dengan penggunaan pestisida
dalam pekerjaannya sehari-hari. Seperti di Malaysia, perempuan terlibat di
hampir 80 persen dari 50,000 dari pekerjaan umum dan terpaksa menjadi
pekerja di perkebunan, dengan sebanyak 30,000 orang yang aktif sebagai
penyemprot pestisida di sektor perkebunan sendiri. Para pekerja di
Malaysia sangat beresiko terpapar pestisida karena hampir sehari-hari
menggunakan pestisida seperti Paraquat, Methamidophos dan
Monocrotophos. Akibatnya, petani perempuan dan perempuan buruh
perkebunan banyak yang menderita penyakit dan mengalami gangguan
kesehatan yang kronis dan akut. Seperti kuku jari tangan yang membusuk,
gatal-gatal, perut mual dan nyeri, sakit punggung, pusing, nafas sesak,

10
mata kabur/rabun, mudah marah, sakit kepala, sesak di dada, bengkak,
nyeri otot, rasa gatal kulit dan infeksi kulit , bahkan timbulnya kanker.
Di India, pestisida menjadi penyebab utama yang telah
membinasakan Hidup penduduk desa Kasargod, Kerala. Di temukan
bahwa selama dua setengah dekade, pestisida jenis endosulfan telah
disemprotkan dilahan perkebunan kacang-kacangan, pohon dan buah
jambu monyet di beberapa desa daerah Kasargod yang dilakukan oleh
perusahan perkebunan di Kerala. Akibatnya penduduk desa di sekitar
perkebunan menderita berbagai macam penyakit dan menderita gangguan
kesehatan akibat terpapar pestisida endosulfan. Pada umumnya adalah
gangguan terhadap sistem reproduksi perempuan, seperti kanker rahim dan
kanker payudara. Ditemukan fakta anak-anak yang dilahirkan mengalami
cacat fisik, keterlambatan mental, serta kekebalan tubuh rendah. Selain
gangguan terhadap kesehatan, tidak kurang kerusakan yang terjadi pada
lingkungan yang berhasil dicatat adalah ditemukan ikan, lebah madu,
kodok, dan ternak unggas ayam yang mati.
Sebuah penelitian lain di India memperkirakan bahwa lebih dari
1000 orang pekerja di perkebunan ini telah terpapar pestisida dalam kurun
waktu antara agustus hingga desember 2001 dan lebih dari 500 orang
berakibat kematian, ternyata lebih dari setengah dari pekerja tersebut
adalah perempuan. Penggunaan pestisida besar-besaran di perkebunan
produksi kapas di Warangal wilayah Andhra Pradesh, mengakibatkan
masyarakat di daerah tersebut pelan-pelan telah terpapar oleh pestisida.
Mereka mengeluh mengalami gangguan mual, gangguan usus, sakit dada,
sulit bernafas, infeksi kulit, ganguan penglihatan dan ganguan hormonal.
Menurut suatu survei yang terbaru, bekas pekerja IRRI mengalami
gangguan serius seperti timbul bisul yang abdominal, broncitis, rapu
tulang, radang paru-paru, kencing manis, kelumpuhan, gangguan jantung,
radang hati, hipertensi, kegagalan ginjal, Parkinsons, asma dan kanker.
Studi lain yang dilakukan di Amerika,menunjukkan bahwa
perempuan yang tinggal di daerah yang penggunaan pestisidanya tinggi,
mempunyai resiko 1,9 sampai 2 kali lebih tinggi beresiko melahirkan bayi
dalam keadaan cacat, dibandingkan perempuan yang bertempat tinggal di
daerah yang tidak menggunakan pestisida (Emmy lucy,s. Terompet, 1993)

11
Racun kimia yang terbuat dari klorine dapat menyebabkan Kanker
payudara, dan sebuah penelitian Greenpeace menemukan setiap tahun
50.000 perempuan Amerika meninggal dunia karena racun ini. Zat klorine
yang umumnya ada pada pestisida seperti Dioksin, PCB dan DDT,
senyawa ini mampu lama berakumulasi dalam tubuh manusia dan
lingkungan. Pencemaran lingkungan oleh kimia ini berkaitan dengan
kemandulan dan pertumbuhan yang tidak seimbang tidak saja pada
manusia juga terhadap hewan dan tumbuhan.
Di Indonesia sendiri, menurut data pertanian tahun 2000
menyatakan 50,28% dari total jumlah tenaga kerja di sector pertanian atau
sebesar 49,60 juta adalah perempuan, kenyataannya masih sedikit
penelitian terhadap tingkat pencemaran yang ditimbulkan oleh pestisida
baik itu pada proses pertanian maupun pada produk makanan. Sehingga
hanya beberapa kasus keracunan pestisida maupun gangguan yang dialami
yang disebabkan dampak pestisida yang terungkap.
Beberapa dari kasus gangguan terpapar pestisida yang ditemukan
ternyata sebagian besar penderitanya adalah petani perempuan. Kasus
keguguran kehamilan yang dialami oleh salah seorang petani dari
Sumatera Barat akibat penggunaan pestisida Dursban yang dicampur
dengan Atracol (Terompet No.5,1993), menunjukkan fakta bahwa
pestisida sangat berbahaya bagi perempuan terutama bagi kesehatan
reproduksinya. Pestisida dapat meracuni embrio bayi dalam kandungan
yang sama berbahaya seperti meracuni ibunya, bahkan yang belih buruk
lagi kerusakan dapat terjadi sebelum masa kehamilan. Berdasarkan hasil
sebuah studi di universitas Sidney pada tahun 1996 menyatakan bahwa
perempuan yang terkena pestisida masa awal kehamilan dapat
mengakibatkan cacat pada bayi.
Kasus lain, hasil penelitian yang dilakukan oleh PAN Indonesia
terhadap petani perempuan di desa Bukit dan desa Sampun, Berastagi
Sumatera Utara, mengenai tingkat keracunan pestisida berdasarkan
Indikator kelaziman aktivitas enzim Acetylcholinesterase (Ache) dalam
plasma darah, ditemukan bahwa tingkat pencemaran yang terjadi pada
petani perempuan tersebut sudah melampau batas yang ditetapkan oleh
WHO (tidak kurang dari 70 % dari aktivitas normal).

12
13

Anda mungkin juga menyukai