Latar Belakang
Beberapa tahun belakangan ini, perhatian tentang pengaruh senyawa
lingkungan atau bahan polutan kimia terhadap kesehatan semakin
meningkat. Senyawa tersebut bisa dikatakan sebagai Endocrine Disrupts
Chemical (EDC) atau dalam bahasa awamnya disebut sebagai senyawa yang
mengganggu mekanisme kerja hormon endokrin. EDC tersebut bisa bekerja
sebagaimana hormon aslinya seperti estrogen, testosteron, atau hormon-
hormon endokrin lainnya. EDC dapat bersifat sebagai estrogen like
hormone tersebut terbukti dapat mempengaruhi kesehatan manusia termasuk
kesehatan reproduksi. Salah satu pengaruh yang ditimbulkan adalah
penurunan kualitas sperma pada pria. Sehingga mengakibatkan kurangnya
kemampuan spermatozoa membuahi sel telur sehingga dapat menyebabkan
infertilitas.
Bahan kimia beracun dapat merusak kemampuan kita melahirkan anak
yang sehat. Masalah kesehatan reproduksi bukan saja mempengaruhi wanita
untuk dapat melahirkan anak dalam usia produktif, tetapi dapat pula
mempengaruhi laki-laki dan wanita setiap saat dalam hidup mereka.
Beberapa bahan kimia dapat menyebabkan keguguran atau sterilitas
(ketidakmampuan mempunyai anak) pada laki-laki atau wanita. Hal ini
dapat terjadi melalui kelenjar hormon-hormon, yakni bahan kimia alami
yang dibuat oleh tubuh untuk mengendalikan pertumbuhan dan prosesproses
lainnya seperti proses datang bulan pada wanita dan reproduksi. Bahan-
bahan kimia lainnya bertindak menyerupai hormon ketika bahan kimia
tersebut berada di dalam tubuh kita. Mereka dapat mengacaukan sistim
hormon alami kita dengan cara mengirimkan sinyal palsu. Karena itulah
bahan kimia yang demikian sering disebut sebagai pengacau hormon.
Penelitian-penelitian terdahulu menemukan/melaporkan bahwa
pestisida diduga mengandung senyawa-senyawa kimia yang dapat bekerja
seperti hormon manusia atau disebut Endocrine Disrupts Chemical (EDC)
dimana hal tersebut dapat berdampak buruk bagi perkembangan kesehatan
reproduksi manusia.
Bahan berbahaya yang terdapat di tempat kerja juga dapat secara tidak
langsung membahayakan keluarga mereka yang berada dirumah. Beberapa
bahan berbahaya dapat secara tidak sengaja terbawa ke rumah tanpa disadari
para pekerja dan mempengaruhi kesehatan reproduksi sang istri atau
kesehatan janin yang dikandungnya atau anggota keluarga lain yang masih
1
muda. Sebagai contoh, timbal dapat terbawa pulang oleh pekerja melalui
kulit, rambut, baju, sepatu, kotak peralatan kerja, atau kendaraan yang
dibawa ke tempat kerja, padahal timbal tersebut dapat menyebabkan
keracunan pada anggota keluarga dan bisa menyebabkan neurobehavioral
dan gangguan pertumbuhan pada janin.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Zat – Zat Toksik Yang Mempengaruhi Reproduksi?
2. Apa Saja Sifat – Sifat Zat Toksik
3. Apa Dampak Zat Toksik Terhadap Sistem Reproduksi?
4. Bagaimana Toksikokinetik Toksik Reproduksi ?
5. Bagaimana Kasus Toksikologi Industri Terhadap Sistem Reproduksi ?
C. Tujuan
1. Untuk Mengetahui Bagaimana Zat – Zat Toksik Yang Mempengaruhi
Reproduksi?
2. Untuk Mengetahui Apa Saja Sifat – Sifat Zat Toksik
3. Untuk Mengetahui Apa Dampak Zat Toksik Terhadap Sistem
Reproduksi?
4. Untuk Mengetahui Bagaimana Toksikokinetik Toksik Reproduksi ?
5. Untuk Mengetahui Bagaimana Kasus Toksikologi Industri Terhadap
Sistem Reproduksi ?
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
c. Oviduk (tuba falopii), merupakan saluran pengeluaran sel telur
dari ovarium menuju uterus dan merupakan tempat terjadinya
fertilisasi ovum dengan sel sperma
4
mengalami abortus spontan. Di antara bayi-bayi yang baru lahir, sekitar
3%-nya mengalami kecacatan.
Ini tidak mengejutkan karena banyak zat kimia (atau obat-obatan)
yang dapat mengganggu jalannya beberapa proses biologis dalam sistem
reproduksi laki-laki dan perempuan. Ada tiga target utama dari toksikan
reproduktif. Toksikan tersebut dapat bekerja langsung di sistem saraf pusat
untuk mengubah sekresi hormon (misalnya sintesis steroid).
Gonad (ovarium dan testis) juga menjadi target dari obat-obatan
dan zat kimia, terutama obat kemoterapi kanker. Toksikan reproduktif juga
dapat menghambat atau mengubah spermatogenesis. Akibat yang
ditimbulkan oleh efek toksik tersebut antara lain kemandulan, penurunan
kesuburan, meningkatnya kematian janin, meningkatnya kematian bayi,
dan meningkatnya angka cacat / defek lahir. Zat kimia yang menyebabkan
peningkatan kasus defek / cacat lahir ini disebut teratogen.
Efek buruk perkembangan pada organisme muncul akibat
pemaparan sebelum pembuahan (pada orang tua), selama kehamilan, atau
dari lahir sampai saatnya maturasi seksual. Efek buruk perkembangan
dapat dideteksi kapan saja dalam rentang kehidupan suatu organisme.
Manifestasi pokok dari toksisitas perkembangan mencakup:
a. kematian organisme yang sedang berkembang;
b. abnormalitas struktural;
c. perubahan pertumbuhan, dan
d. defisiensi fungsional.
Paparan terhadap zat kimia selama kehamilan dapat mengakibatkan
perkembangan yang defektif (menuju kecacatan). Pada waktu-waktu
tertentu, janin yang sedang tumbuh dan berkembang menjadi sangat
sensitif terhadap paparan zat kimia toksik, misalnya saat perkembangan
sistem organ atau perkembangan sel-sel jenis tertentu. Pada manusia, fase
kritis induksi malformasi struktural biasanya terjadi 20-70 hari setelah
pembuahan.
Dampak zat kimia (atau obat-obatan) terhadap sistem reproduksi
dapat dilihat pada insidensi talidomid yang tragis di tahun 1960-an. Saat
itu, talidomid diberikan pada ibu hamil sebagai obat mual. Obat ini
memang tidak memiliki efek yang merugikan orang dewasa, tetapi
sifatnya yang teratogen justru mengganggu perkembangan anggota gerak
janin. Akibatnya, anak yang ibunya mengonsumsi obat tersebut ketika
5
hamil, lahir tanpa lengan dan / atau kaki atau bahkan sangat tidak
berbentuk.
Untuk beberapa zat kimia, studi epidemiologis, data pemaparan
okupasional, atau data yang berasal dari penelitian pada binatang
memperlihatkan adanya hubungan antara pemaparan dengan efek buruk
pada sistem reproduksi.
6
Benzene: abortus spontan, berat badan lahir rendah, gangguan menstruasi
Kadmium: berat badan lahir rendah
Karbon disulfida: gangguan menstruasi, efek buruk pada sperma
Senyawa chlorinated: defek pada mata, telinga, dan bibir sumbing,
gangguan sistem saraf pusat, kematian perinatal, leukemia masa kanak-
kanak.
1,2-Dibromo-3-kloropropan: efek buruk pada sperma, kemandulan
Dikloroetilen: penyakit jantung bawaan
Dieldrin: kelahiran dini, abortus spontan
Heksaklorosikloheksan: ketidakseimbangan hormonal, kelahiran dini,
abortus spontan
Timbal: lahir mati, berat badan lahir rendah, abortus spontan, defisit
neurobehavioral, perkembangan terhambat, kerusakan otak.
Merkuri: gangguan menstruasi, abortus spontan, buta tuli,
keterbelakangan mental, pertumbuhan terhambat, kerusakan otak.
Hidrokarbon aromatik polisiklik: penurunan kesuburan
Polychlorinated byphenil: persalinan kurang bulan, berat badan lahir
rendah, penurunan lingkar kepala, defisiensi pertumbuhan, efek
neurobehavioral.
Trikloroetilen: penyakit jantung bawaan.
https://www.smallcrab.com/kesehatan/1028-toksisitas-zat-kimia-terhadap-
sistem-reproduksi
7
3. Karsinogenik (Carcinogenic)
Sifat mengendap dan merusak terutama pada organ paru-paru karena
zat-zat yang terdapat pada rokok. Sehingga paru-paru menjadi
berlubang dan menyebabkan kanker. Contohnya adalah benzena dan
asbes.
8
Toksikokinetik adalah studi kuantitatif dari pergerakan sebuah zat
kimia yang dimulai dari masuknya zat kimia ke dalam tubuh,
pendistribusiannya ke organ dan jaringan melalui sirkulasi darah dan
disposisi terakhir dengan biotransformasi serta eksresi. Konsep dari
toksikokinetik adalah absorpsi, distribusi, metabolsime dan eksresi
(ADME) (Klaassen 2008).
1. Absorpsi
Sebelum zat kimia membuat dampak kesehatan kepada tubuh
manusia, zat kimia tersebut harus masuk ke dalam tubuh. Peristiwa
masuknya zat kimia ke dalam tubuh disebut dengan absorpsi. Secara
umum, rute masuk zat kimia dalam absorpsi terdiri dari 3 rute yaitu
inhalasi, dermal dan ingesti. Inhalasi merupakan jalur utama dari
pajanan di tempat kerja karena banyak zat kimia yang dapat masuk
langsung ke paru-paru melalui jalur inhalasi seperti debu, asap, uap,
kabut dan gas. Zat kimia tersebut masuk ke dalam paru yang memiliki
luas sekitar 140 m2 sehingga memudahkan untuk absorpsi.
Kontak kulit adalah rute kedua yang terpenting dalam absorpsi.
Kulit memiliki total luas sekitar 2 m2 dengan kemampuan untuk
mengabsorpsi zat kimia terutama yang berbentuk cairan seperti KOH
ataupun aerosol seperti pestisida. Meskipun sedikit, jalur ingesti juga
dapat menjadi jalur masuk zat kimia yang berbahaya (Klaassen 2008).
Jalur ingesti merupakan jalur pencenaan yang dimulai dari mulut,
kerongkongan, dan lambung. Zat kimia yang masuk dalam jalur ini
biasanya terjadi karena ketidaksengajaan seperti dalam kasus
keracunan.
2. Distribusi
Ketika zat kimia diabsopsi ke dalam aliran darah, maka zat kimia
tersebut dapat diangkut ke seluruh tubuh. Proses ini disebut “distribusi”
yang merupakan proses reversibel yaitu zat kimia dapat masuk ke
dalam sel dari darah ataupun bisa masuk ke darah dari sel. Pengiriman
zat kimia ini dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu aliran darah,
permeabilitas kapiler, kekuatan dari pengikatan dari zat kimia ke darah
ataupun jaringan protein dan solubilitas relative dari molekul zat kimia
(Terms n.d.).
3. Metabolisme
Untuk mempermudah eksresi, zat kimia harus melalui proses
metabolisme terlebih dahulu. Proses metabolisme bisa berlangsung di
hati atau ginjal baik dengan perubahan struktur zat kimia ataupun
dengan perubahan kimiawi dari zat kimia.
9
Metabolisme dari zat kimia dapat bervariasi antar grup populasi.
Genetik menjadi salah satu faktor yang dapat mempengaruhi enzim
untuk memproses zat kimia. Umur menjadi faktor lain yang
mempengaruhi karena semakin tua seseorang makan semakin kecil
toleransinya terhadap zat kimia(Terms n.d.).
4. Eksresi
Pengeluaran secara keseluruhan zat kimia dari dalam tubuh disebut
dengan eksresi (Terms n.d.). Ginjal dan organ pencernaan menjadi
bagian penting dalam proses eksresi ini. Selain itu, air susu
ibu,keringat, rambut, kuku dan air ludah juga dapat menjadi organ yang
melakukan proses eksresi (Trush 2008)
F. Studi Kasus
Studi Kasus Dampak Pestisida pada Sistem Reproduksi Perempuan
Peran Perempuan di Pertanian yang begitu besar membuat
perempuan juga dominan dan paling beresiko terhadap dampak pestisida.
Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Badan Pangan Dunia di
perserikatan bangsa-Bangsa (FAO), jumlah perempuan yang terlibat di
sektor pertanian meningkat dari tahun ke tahun. Jumlah tenaga kerja
perempuan dalam sektor pertanian mengalami peningkatan hampir empat
kali lipat dari tahun 1960 sebanyak 7,43 juta menjadi 20,82 juta orang
pada tahun 2000 (Data FAO,2000). Meskipun FAO belum pernah
mengeluarkan data jumlah petani terutama petani perempuan yang terkena
dampak pestisida, namun ada beberapa studi terhadap kasus – kasus yang
berkaitan dnegan dampak pestisida tersebut.
Dari beberapa studi yang dilakukan di beberapa Negara Asia juga
ditegaskan bahwa perempuan adalah pekerja utama di pertanian dan
perkebunan, yang berhubungan langsung dengan penggunaan pestisida
dalam pekerjaannya sehari-hari. Seperti di Malaysia, perempuan terlibat di
hampir 80 persen dari 50,000 dari pekerjaan umum dan terpaksa menjadi
pekerja di perkebunan, dengan sebanyak 30,000 orang yang aktif sebagai
penyemprot pestisida di sektor perkebunan sendiri. Para pekerja di
Malaysia sangat beresiko terpapar pestisida karena hampir sehari-hari
menggunakan pestisida seperti Paraquat, Methamidophos dan
Monocrotophos. Akibatnya, petani perempuan dan perempuan buruh
perkebunan banyak yang menderita penyakit dan mengalami gangguan
kesehatan yang kronis dan akut. Seperti kuku jari tangan yang membusuk,
gatal-gatal, perut mual dan nyeri, sakit punggung, pusing, nafas sesak,
10
mata kabur/rabun, mudah marah, sakit kepala, sesak di dada, bengkak,
nyeri otot, rasa gatal kulit dan infeksi kulit , bahkan timbulnya kanker.
Di India, pestisida menjadi penyebab utama yang telah
membinasakan Hidup penduduk desa Kasargod, Kerala. Di temukan
bahwa selama dua setengah dekade, pestisida jenis endosulfan telah
disemprotkan dilahan perkebunan kacang-kacangan, pohon dan buah
jambu monyet di beberapa desa daerah Kasargod yang dilakukan oleh
perusahan perkebunan di Kerala. Akibatnya penduduk desa di sekitar
perkebunan menderita berbagai macam penyakit dan menderita gangguan
kesehatan akibat terpapar pestisida endosulfan. Pada umumnya adalah
gangguan terhadap sistem reproduksi perempuan, seperti kanker rahim dan
kanker payudara. Ditemukan fakta anak-anak yang dilahirkan mengalami
cacat fisik, keterlambatan mental, serta kekebalan tubuh rendah. Selain
gangguan terhadap kesehatan, tidak kurang kerusakan yang terjadi pada
lingkungan yang berhasil dicatat adalah ditemukan ikan, lebah madu,
kodok, dan ternak unggas ayam yang mati.
Sebuah penelitian lain di India memperkirakan bahwa lebih dari
1000 orang pekerja di perkebunan ini telah terpapar pestisida dalam kurun
waktu antara agustus hingga desember 2001 dan lebih dari 500 orang
berakibat kematian, ternyata lebih dari setengah dari pekerja tersebut
adalah perempuan. Penggunaan pestisida besar-besaran di perkebunan
produksi kapas di Warangal wilayah Andhra Pradesh, mengakibatkan
masyarakat di daerah tersebut pelan-pelan telah terpapar oleh pestisida.
Mereka mengeluh mengalami gangguan mual, gangguan usus, sakit dada,
sulit bernafas, infeksi kulit, ganguan penglihatan dan ganguan hormonal.
Menurut suatu survei yang terbaru, bekas pekerja IRRI mengalami
gangguan serius seperti timbul bisul yang abdominal, broncitis, rapu
tulang, radang paru-paru, kencing manis, kelumpuhan, gangguan jantung,
radang hati, hipertensi, kegagalan ginjal, Parkinsons, asma dan kanker.
Studi lain yang dilakukan di Amerika,menunjukkan bahwa
perempuan yang tinggal di daerah yang penggunaan pestisidanya tinggi,
mempunyai resiko 1,9 sampai 2 kali lebih tinggi beresiko melahirkan bayi
dalam keadaan cacat, dibandingkan perempuan yang bertempat tinggal di
daerah yang tidak menggunakan pestisida (Emmy lucy,s. Terompet, 1993)
11
Racun kimia yang terbuat dari klorine dapat menyebabkan Kanker
payudara, dan sebuah penelitian Greenpeace menemukan setiap tahun
50.000 perempuan Amerika meninggal dunia karena racun ini. Zat klorine
yang umumnya ada pada pestisida seperti Dioksin, PCB dan DDT,
senyawa ini mampu lama berakumulasi dalam tubuh manusia dan
lingkungan. Pencemaran lingkungan oleh kimia ini berkaitan dengan
kemandulan dan pertumbuhan yang tidak seimbang tidak saja pada
manusia juga terhadap hewan dan tumbuhan.
Di Indonesia sendiri, menurut data pertanian tahun 2000
menyatakan 50,28% dari total jumlah tenaga kerja di sector pertanian atau
sebesar 49,60 juta adalah perempuan, kenyataannya masih sedikit
penelitian terhadap tingkat pencemaran yang ditimbulkan oleh pestisida
baik itu pada proses pertanian maupun pada produk makanan. Sehingga
hanya beberapa kasus keracunan pestisida maupun gangguan yang dialami
yang disebabkan dampak pestisida yang terungkap.
Beberapa dari kasus gangguan terpapar pestisida yang ditemukan
ternyata sebagian besar penderitanya adalah petani perempuan. Kasus
keguguran kehamilan yang dialami oleh salah seorang petani dari
Sumatera Barat akibat penggunaan pestisida Dursban yang dicampur
dengan Atracol (Terompet No.5,1993), menunjukkan fakta bahwa
pestisida sangat berbahaya bagi perempuan terutama bagi kesehatan
reproduksinya. Pestisida dapat meracuni embrio bayi dalam kandungan
yang sama berbahaya seperti meracuni ibunya, bahkan yang belih buruk
lagi kerusakan dapat terjadi sebelum masa kehamilan. Berdasarkan hasil
sebuah studi di universitas Sidney pada tahun 1996 menyatakan bahwa
perempuan yang terkena pestisida masa awal kehamilan dapat
mengakibatkan cacat pada bayi.
Kasus lain, hasil penelitian yang dilakukan oleh PAN Indonesia
terhadap petani perempuan di desa Bukit dan desa Sampun, Berastagi
Sumatera Utara, mengenai tingkat keracunan pestisida berdasarkan
Indikator kelaziman aktivitas enzim Acetylcholinesterase (Ache) dalam
plasma darah, ditemukan bahwa tingkat pencemaran yang terjadi pada
petani perempuan tersebut sudah melampau batas yang ditetapkan oleh
WHO (tidak kurang dari 70 % dari aktivitas normal).
12
13