Anda di halaman 1dari 19

Konsep Teori Kejang Demam

2.2.1 Pengertian

Kejang demam menurut Riyadi & Sukarmin (2013) adalah serangkaian kejang yang terjadi
karena kenaikan suhu tubuh (suhu rektal di atas 38ºC)

Kejang demam menurut Putri & Baidul (2009) adalah kejang yang terjadi pada saat bayi atau
anak mengalami demam tanpa infeksi sistem saraf pusat. Tidak ada nilai ambang batas suhu
yang dapat menimbulkan terjadinya kejang demam. Selama anak mengalami kejang demam, ia
dapat kehilangan kesadaran disertai gerakan lengan dan kaki atau justru disertai dengan
kekakuan tubuhnya.

Kejang demam menurut Judha & Nazwar (2011) merupakan kelainan neurologis akut yang
paling sering di jumpai pada anak-anak. Bangkitan kejang ini terjadi karena adanya kenaikan
suhu tubuh (suhu rektal di atas 38ºC) yang di sebabkan oleh proses ekstrakranium. Penyebab
demam terbanyak adalah infeksi saluran pernafasan bagian atas di susul infeksi saluran
pencernaan.

Kejang demam menurut Meadow (2005)adalah suatu kejang yang terjadi pada usia antara 3
bulan hingga 5 tahun yang berkaitan dengan demam namun tanpa adanya tanda-tanda infeksi
intrakranial atau penyebab yang jelas.

Menurut Ngastiyah (2005) Kejang demam sering juga disebut kejang demam tonik-klonik,
sangat sering dijumpai pada anak-anak usia di bawah 5 tahun. Hampir 3% dari anak yang
berumur dibawah 5 tahun pernah menderita kejang demam.

2.2.2 Etiologi

Menurut Riyadi & Sukarmin (2013) penyebab dari kejang demam adalah kenaikan suhu badan
yang tinggi dan cepat, yang disebabkan oleh infeksi yang mengenai jaringan ekstrakranial seperti
tonsilitis, ostitis media akut, bronchilitis.

Menurut Nurarif & Hardhi (2013) penyebab Kejang demam dibedakan menjadi intrakranial dan
ekstrakranial.

1. Intrakranial, meliputi :

1) Trauma (perdarahan) : perdarahan subarachnoid, subdural atau ventrikuler

2) Infeksi : bakteri, virus, parasit misalnya meningitis

3) Kongenital : disgenesis, kelainan serebri

2. Ekstrakranial, meliputi :
1) Gangguan metabolik : hipoglikemia, hipokalsemia, hipomagnesia, gangguan elektrolit (Na
dan K) misalnya pada pasien dengan riwayat diare sebelumnya

2) Toksik : intoksikasi, anastesi local, sindroma putus obat

3) Kongenital : gangguan metabolisme asam basa atau ketergantungan dan kekurangan


piridoksin

Menurut Kristanty, dkk (2009) faktor yang mempengaruhi terjadinya kejang demam antara lain:

1) Umur.

2) Kenaikan suhu tubuh.

Kenaikan suhu tubuh biasanya berhubungan dengan penyakit saluran napas bagian atas, radang
telinga tengah, radang paru-paru, gastroenteritis dan infeksi saluran kemih. Kejang dapat pula
terjadi padabayi yang mengalami kenaikan suhu sesudah vaksinasi terutama vaksin pertusis.

3) Faktor genetic.

4) Gangguan sistem saraf pusat sebelum dan sesudah lahir.

2.2.3 Patofisiologi

Infeksi yang terjadi pada jaringan di luar kranial seperti tonsilitis, otitis media akut, bronkitis,
penyebab terbanyaknya adalah bakteri yang bersifat toksik. Toksik yang di hasilkan oleh
mikroorganisme dapat menyebar keseluruh tubuh melalui hematogen maupun limfogen.
Penyebaran toksik ke seluruh tubuh akan di respon oleh hipotalamus dengan menaikkan
pengaturan suhu di hipotalamus sebagai tanda tubuh mengalami bahaya secara sistemik naiknya
pengaturan suhu di hipotalamus akan merangsang kenaikan suhu di bagian tubuh yang lain
seperti otot, kulit sehingga terjadi peningkatan kontraksi otot.

Naiknya suhu di hipotalamus, otot, kulit dan jaringan tubuh yang lain akan di sertai
pengeluaran mediator kimia seperti epinefrin dan prostagladin. Pengeluaran mediator kimia ini
dapat merangsang peningkatan potensial aksi pada neuron. Peningkatan potensial inilah yang
merangsang perpndahan ion Natrium, ion Kalium dengan cepat dari luar sel menuju ke dalam
sel. Peristiwa inilah yang di duga dapat menaikkan fase depolarisasi neuron dengan cepat
sehingga timbul kejang. Serangan yang cepat itulah yang dapat menjadikan anak mengalami
penurunan respon kesadaran, otot ekstremitas maupun bronkus juga dapat mengalami spasma
sehingga anak berisiko terhadap injuri dan kelangsungan jalan nafas oleh penutupan lidah dan
spasma bronkus (Riyadi & Sukarmin, 2013)

Pathway

Infeksi pada bronkus, tonsil, telinga


Toksik mikroorganisme menyebar secara hematogen dan limfogen

Kenaikan suhu tubuh di hipotalamus dan jaringan lain (hipertermi)

Pelepasan mediator kimia oleh neuron seperti prostaglandin, epinefrin

Peningkatan potensial membran

Peningkatan masukan ion natrium, ion kalium ke dalam sel neuron dengan cepat

Fase depolarisasi neuron dan otot dengan cepat

Penurunan respon rangsangan dari luar Spasma otot mulut, lidah, bronkus

Resiko cidera Resiko penyempitan atau penutupan jalan nafas

Gambar 2.1 Patofisiologi (Riyadi & Sukarmin, 2013)

2.2.4 Klasifikasi

Menurut Putri & Baidul (2009) kejang demam ini secara umum dapat di bagi dalam dua jenis,
yaitu:

1. Kejang demam sederhana (simple febrile seizures).

Bila kejang berlangsung kurang dari 15 menit dan tidak berulang pada hari yang sama. Kejang
demam sederhana tidak menyebabkan kelumpuhan, meninggal, atau mengganggu kepandaian.
Risiko untuk menjadi epilepsi di kemudian hari juga sangat kecil. Sekitar 2% hingga 3%. Risiko
terbanyak adalah berulang kejang demam, yang dapat terjadi pada 30 – 50% anak. Risiko-risiko
tersebut lebih besar pada kejang demam kompleks.

2. Kejang demam kompleks (complex febrile seizures/ complex partial seizures).

Bila kejang hanya terjadi pada satu sisi tubuh, berlangsung lebih lama dari 15 menit atau
berulang dua kali atau lebih dalam satu hari.

2.2.5 Manifestasi Klinis

1. Manifestasi klinis menurut Riyadi & Sukarmin (2013) manifestasi klinik yang muncul pada
penderita kejang demam :
1) Suhu tubuh anak (suhu rektal) lebih dari 38ºC.

2) Timbulnya kejang yang bersifat tonik-klonik, tonik, klonik, fokal atau akinetik. Beberapa
detik setelah kejang berhenti anak tidak memberikan reaksi apapun tetapi beberapa saat
kemudian anak akan tersadar kembali tanpa ada kelainan persarafan.

3) Saat kejang anak tidak berespon terhadap rangsangan seperti panggilan, cahaya (penurunan
kesadaran).

Selain itu pedoman mendiagnosis kejang demam menurut Livingstone dapat di pakai sebagai
pedoman untuk menentukan manifestasi klinik kejang demam, yaitu:

1) Umur anak ketika kejang antara 6 bulan dan 4 tahun.

2) Kejang berlangsung tidak lebih dari 15 menit.

3) Kejang bersifat umum.

4) Kejang timbul dalam 16 jam pertama setelah timbulnya demam.

5) Pemeriksaan saraf sebelum dan sesudah kejang normal.

6) Pemeriksaan EEG yang di buat sedikitnya satu minggu sesudah suhu normal tidak
menunjukkan kelainan.

7) Frekuensi kejang bangkitan dalam satu tahun tidak melebihi empat kali.

2. Manifestasi klinis menurut Nurarif & Hardhi (2013), manifestasi klinis yang muncul adalah:

1) Kejang umum biasanya di awali kejang tonik kemudian klonik berlangsung 10 – 15 menit,
bisa juga lebih.

2) Takikardia: pada bayi frekuensi sering diatas 150 – 200 per menit.

3) Pulsasi arteri melemah dan tekanan nadi mengecil yang terjadi sebagai akibat menurunnya
curah jantung.

4) Gejala bendungan system vena:

a. Hepatomegali.

b. Peningkatan vena jugularis.

2.2.6 Pemeriksaan Penunjang


1. Pemeriksaan penunjang menurut Judha & Nazwar (2011) pemeriksaan penunjang yang
dapat di lakukan tergantung sarana yang tersedia dimana pasien dirawat. Pemeriksaan yang dapat
di lakukan meliputi:

1) Darah

a. Glukosa darah: hipoglikemia merupakan predisposisi kejang (N<200 mq/dl)

b. BUN: peningkatan BUN mempunyai potensi kejang dan merupakan indikasi nepro toksik
akibat dari pemberian obat.

c. Elektrolit: K, Na.

Ketidak seimbangan elektrolit merupakan predisposisi kejang.

Kalium (N 3,80 – 5,00 meq/dl)

Natrium (N 135 – 144 meq/dl)

2) Cairan Cerebro Spinal: mendeteksi tekanan abnormal dari CCS tanda infeksi, pendarahan
penyebab kejang.

3) Skull Ray: untuk mengidentifikasi adanya proses desak ruang dan adanya lesi.

4) Transiluminasi: suatu cara yang di kerjakan pada bayi dengan UUB masih terbuka (di bawah
2 tahun) di kamar gelap dengan lampu khusus untuk transiluminasi kepala.

5) EEG: teknik untuk menekan aktivitas listrik otak melalui tengkorak yang utuh untuk
mengetahui fokus aktivitas kejang, hasil biasanya normal.

6) CT Scan: untuk mengidentifikasi lesi cerebral infark hematoma, cerebral oedem, trauma,
abses, tumor dengan atau tanpa kontras.

2. Pemeriksaan penunjang menurut Nurarif & Hardhi (2013), yang dapat di lakukan adalah:

1) Pemeriksaan Laboratorium berupa pemeriksaan darah tepi lengkap elektrolit, dan glukosa
darah dapat dilakukan walaupun kadang tidak menunjukkan kelainan yang berarti.

2) Indikasi Lumbal Pungsi pada kejang demam adalah untuk menegakkan atau menyingkirkan
kemungkinan meningitis. Indkasi lumbal pungsi pada pasien kejang demam meliputi:

a. Bayi<12 bulan harus dilakukan lumbal pungsi karena gejala meningitis sering tidak jelas.

b. Bayi antara 12 bulan sampai 1 tahun dianjurkan untuk melakukan lumbal pungsi kecuali
pasti bukan meningitis.

3) Pemeriksaan EEG dapat dilakukan pada kejang demam yang tidak khas.
4) Pemeriksaan foto kepala, CT-Scan, dan / atau MRI tidak di anjurkan pada anak tanpa
kelainan neurologist karena hampir semuanya menunjukkan gambaran normal. CT Scan atau
MRI direkomendaskan untuk kasus kejang fokal untuk mencari lesi organik di otak.

2.2.7 Komplikasi

Menurut Ngastiyah (2005) risiko terjadi bahaya / komplikasi yang dapat terjadi pada pasien
kejang demam antara lain:

1. Dapat terjadi perlukaan misalnya lidah tergigit atau akibat gesekan dengan gigi.

2. Dapat terjadi perlukaan akibat terkena benda tajam atau keras yang ada di sekitar anak.

3. Dapat terjadi perlukaan akibat terjatuh.

Selain bahaya akibat kejang, risiko komplikasi dapat terjadi akibat pemberian obat antikonvulsan
yang dapat terjadi di rumah sakit. Misalnya:1. Karena kejang tidak segera berhenti padahal
telah mendapat fenobarbital kemudian di berikan diazepam maka dapat berakibat apnea.

2. Jika memberikan diazepam secara intravena terlalu cepat juga dapat menyebabkan depresi
pusat pernapasan.

2.2.8 Penatalaksanaan

1. Penatalaksanaan menurut Kristanty, dkk. (2009) terdapat 3 pada klien dengan kejang
demam. Antara lain:

1) pemberian antipiretik.

2) Pemberian anti konvulsan.

3) Pemberian oksigen jika ada gangguan pernafasan.

2. Penatalaksanaan menurut Judha & Nazwar (2011) dalam penanggulangan kejang demam
ada 4 faktor yang perlu di kerjakan, yaitu: Pemberantasan kejang secepat mungkin, apabila
seorang anak datang dalam keadaan kejang, maka:

1) Segera diberikan diazepam dan pengobatan penunjang.

2) Pengobatan penunjang

Saat serangan kejang adalah semua pakaian ketat di buka, posisi kepala sebaiknya miring untuk
mencegah aspirasi isi lambung, usahakan agar jalan nafas bebas untuk menjamin kebutuhan
oksigen, pengisapan lendir harus dilakukan secara teratur dan diberikan oksigen.
3) Pengobatan rumat

Fenobarbital dosis maintenance: 8-10 mg/kg BB di bagi 2 dosis pada hari pertama, kedua
diteruskan 4-5 mg/kg BB di bagi 2 dosis pada hari berikutnya.

4) Mencari dan mengobati penyebab

Penyebab kejang demam adalah infeksi respiratorius bagian atas dan astitis media akut.
Pemberian antibiotik yang adekuat untuk mengobati penyakit tersebut. Pada pasien yang di
ketahui kejang lama pemeriksaan lebih intensif seperti fungsi lumbal, kalium, magesium,
kalsium, natrium dan faal hati. Bila perlu rontgen foto tengkorak, EEG, ensefalografi, dan lain-
lain.

3. Penatalaksanaan menurut Ngastiyah (2005) yang di lakukan saat terjadi kejang yaitu:

1) Baringkan pasien di tempat yang rata, kepala di miringkan dan pasangkan sudip lidah yang
telah dibungkus kasa atau bila ada guedel lebih baik.

2) Singkirkan benda-benda yang ada di sekitar pasien, lepaskan pakaian yang mengganggu
pernapasan (misal: ikat pinggang, gurita, dan lain sebagainya)

3) Isap lendir sampai bersih, berikan O₂ boleh sampai 4 L/menit. Jika pasien jatuh apnea
lakukan tindakan pertolongan (lihat pada tetanus).

4) Bila suhu tinggi berikan kompres.

5) Setelah pasien bangun dan sadar, berikan minum hangat (berbeda dengan pasien tetanus yang
jika kejang tetap sadar).

6) Jika dengan tindakan ini kejang tidak segera berhenti, hubungi dokter apakah perlu
pemberian obat penenang (lihat di status mungkin ata petunjuk jika pasien kejang lama /
berulang).

2.2.9 Pencegahan

Menurut Ngastiyah (2005) cara mencegah jangan sampai timbul kejang bisa menjelaskan
kepada orang tua, seperti:

1. Harus selalu tersedia obat penurun panas yang di dapatkan atas resep dokter yang telah
mengandung antikonvuslan.

2. Jangan menunggu suhu meningkat lagi. Langsung beri obat jika orang tua tau anak panas,
dan pemberian obat diteruskan sampai suhu sudah turun selam 24 jam berikutnya.
3. Apabila terjadi kejang berulang atau kejang terlalu lama walaupun telah di berikan obat,
segera bawa anak ke rumah sakit.

Diagnosa Keperawatan

1. Berdasarkan patofisiologi penyakit, dan manifestasi klinik yang muncul maka diagnosa
keperawatan yang sering muncul pada pasien dengan kejang demam menurut Riyadi &
Sukarmin (2013) adalah:

1) Risiko tinggi obstruksi jalan nafas berhubungan dengan penutupan faring oleh lidah, spasme
otot bronkus.

2) Risiko gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan oksigen darah.

3) Hipertermi berhubungan dengan infeksi kelenjar tonsil, telinga, bronkus atau pada tempat
lain.

4) Risiko gangguan pertumbuhan (berat badan rendah) berhubungan dengan penurunan asupan
nutrisi.

5) Risiko gangguan perkembangan (kepercayaan diri) berhubungan dengan peningkatan


frekwensi kekambuhan.

6) Risiko cidera (terjatuh, terkena benda tajam) berhubungan dengan penurunan respon
terhadap lingkungan.

2. Menurut Judha & Nazwar (2011) diagnosis keperawatan yang muncul antara lain:

1) Hipertermi berhubungan dengan proses infeksi, gangguan pusat pengaturan suhu.

2) Potensial terjadinya kejang ulang berhubungan dengan hipertermi.

3) Potensial terjadinya trauma fisik berhubungan dengan kurangnya koordinasi otot.

4) Gangguan rasa nyaman berhubungan dengan hipertermi.

5) Kurangnya pengetahuan keluarga berhubungan dengan keterbatasan informasi.

2.4.3 Intervensi Keperawatan

1. Menurut Riyadi & Sukarmin (2013), intervensi dan rasional yang muncul adalah:

1) Risiko tinggi obstruksi jalan nafas berhubungan dengan penutupan faring oleh lidah, spasme
otot bronkus.
Hasil yang di harapkan: Frekwensi pernapasan meningkat 28-35 x/menit, irama pernafasan
regular dan tidak cepat, anak tidak terlihat terengah-engah.

Rencana tindakan:

(1). Monitor jalan nafas, frekwensi pernafasan, irama pernafasan tiap 15 menit saat penurunan
kesadaran.

Rasional: frekwensi pernapasan yang meningkat tinggi dengan irama yang cepat sebagai salah
satu indikasi sumbatan jallan nafas oleh benda asing, contohnya lidah.

(2). Tempatkan anak pada posisi semifowler dengan kepala ekstensi.

Rasional: posisi semifowler akan menurunkan tahanan intra abdominal terhadap paru-paru.
Hiperekstensi membuat jalan nafas dalam posisi lurus dan bebas dari hambatan.

(3). Pasang tongspatel saat timbul serangan kejang.

Rasional: mencegah lidah tertekuk yang dapat menutupi jalan nafas.

(4). Bebaskan anak dari pakaian yang ketat

Rasional: mengurangi tekanan terhadap rongga thorax sehingga terjadi keterbatasan


pengembangan paru.

(5). Kolaborasi pemberian anti kejang (diazepam dengan dosis rata-rata 0,3 Mg/KgBB/kali
pemberian.

Rasional: diazepam bekerja menurunkan tingkat fase depolarisasi yang cepat di sistem
persyarafan pusat sehingga dapat terjadi penurunan pada spasma otot dan persyarafan perifer.

2) Risiko gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan oksigen darah.

Hasil yang di harapkan: jaringan perifer (kulit) terlihat merah dan segar, akral teraba hangat.

Rencana tindakan:

(1). Kaji tingkat pengisian kapiler perifer.

Rasional: kapiler kecil mempunyai volume darah yang relatif kecil dan cukup sensitif sebagai
tanda terhadap penurunan oksigen darah.

(2). Pemberian oksigen dengan memakai masker atau nasal bicanul dengan dosis rata-rata 3
liter/menit.
Rasional: oksigen tabung mempunyai tekanan yang lebih tinggi dari oksigen lingkungan
sehingga mudah masuk ke paru-paru. Pemberian dengan masker karena mempunyai prosentase
sekitar 35% yang dapat masuk ke saluran pernafasan.

(3). Hindarkan anak dari rangsangan yang berlebihan baik suara, mekanik, maupun cahaya.

Rasional: rangsangan akan meningkatkan fase eksitasi persarafan yang dapat menaikkan
kebutuhan oksigen jaringan.

(4). Tempatkan pasien pada ruangan dengan sirkulasi udara yang baik (ventilasi memenuhi ¼
dari luas ruangan).

Rasional: meningkatkan jumlah udara yang masuk dan mencegah hipoksemia jaringan.

3) Hipertermi berhubungan dengan infeksi kelenjar tonsil, telinga, bronkus atau pada tempat
lain.

Hasil yang diharapkan: suhu tubuh perektal 36-37ºC, kening anak tidak teraba panas. tidak
terdapat pembengkakan, kemerahan pada tongsil atau telinga.mleukosit 5.000-11.000 mg/dl

Rencana tindakan:

(1). Pantau suhu tubuh anak tiap setengah jam.

Rasional: peningkatan suhu tubuh yang melebihi 39ºC dapat beresiko terjadinya kerusakan saraf
pusat karena akan meningkatkan neurotransmiter yang dapat meningkatkan eksitasi neuron.

(2). Kompres anak dengan alkohol atau air dingin.

Rasional: saat di kompres panas tubuh anak akan berpindah ke media yang digunakan untuk
mengkompres karena suhu tubuh relatif tinggi.

(3). Beri pakaian anak yang tipis dari bahan yang halus seperti katun.
Rasional: pakaian yang tipis akan memudahkan perpindahan panas dari tubuh ke lingkungan.
Bahan katun akan menghindari iritasi kulit pada anak karena panas yang tinggi akan membuat
kulit sensitif terhadap cidera.

(4). Jaga kebutuhan cairan anak tercukupi melalui pemberian intravena.

Rasional: cairan yang cukup akan menjaga kelembapan sel, sehingga sel tubuh tidak mudah
rusak akibat suhu tubuh yang tinggi.

(5). Kolaborasi pemberian antipiretik (aspirin dengan dosis 60 mg/tahun/kali pemberian),


antibiotik.

Rasional: antipiretik akan mempengaruhi ambang panas pada hipotalamus. Antipiretik juga akan
mempengaruhi penurunan neurotransmiter seperti prostaglandin yang berkontribusi timbulnya
nyeri saat demam.

4) Risiko gangguan pertumbuhan (berat badan rendah) berhubungan dengan penurunan asupan
nutrisi.

Hasil yang di harapkan: orang tua anak menyampaikan anaknya sudah gampang makan dengan
porsi makan di habiskan setiap hari (1 porsi makan)

Rencana tindakan:

(1). Kaji berat badan dan jumlah asupan kalori anak.

Rasional: berat badan adalah salah satu indikator jumlah massa sel dalam tubuh, apabila berat
badan rendah menunjukkan terjadi penurunan jumlah dan massa sel tubuh yang tidak sesuai
dengan umur.

(2). Ciptakan suasana yang menarik dan nyaman saat makan seperti di bawa ke ruangan yang
banyak gambar untuk anak dan sambil di ajak bermain.

Rasional: dapat membantu peningkatan respon korteks serebri terhadap selera makan sebagai
dampak rasa senang pada anak.

(3). Anjurkan orangtua untuk memberikan anak makan dengan kondisi makanan hangat.

Rasional: makanan hangat akan mengurangi kekentalan sekresi mukus pada faring dan
mengurangi respon mual gaster.
(4). Anjurkan orang tua memberikan makanan pada anak dengan porsi sering dan sedikit.

Rasional: mengurangi massa makanan yang banyak pada lambung yang dapat menurunkan
rangsangan nafsu makan pada otak bagian bawah.

5) Risiko gangguan perkembangan (kepercayaan diri) berhubungan dengan peningkatan


frekwensi kekambuhan.

Hasil yang di harapkan: anak terlihat aktif berinteraksi dengan orang di sekitar saat di rawat di
rumah sakit,frekwensi kekambuhan kejang demam berkisar 1-3 kali dalam setahun.

Rencana tindakan:

(1). Kaji tingkat perkembangan anak terutama percaya diri dan frekwensi demam.

Rasional: fase ini bila tidak teratasi dapat terjadi krisis kepercayaan diri pada anak. Frekwensi
demam yang meningkat dapat menurunkan penampilan anak.

(2). Berikan anak terapi bermain dengan teman sebaya di rumah sakit yang melibatkan banyak
anak seperti bermain lempar bola.

Rasional: meningkatkan interaksi anak terhadap teman sebaya tanpa melalui paksaan dan doktrin
dari orang tua.

(3). Beri anak reward bila anak berhasil melakukan aktivitas positif misalnya melempar bola
dengan tepat, dan support anak bila belum berhasil.

Rasional: meningkatkan nilai positif yang ada pada anak dan memperbaiki kelemahan dan
kemauan yang kuat.

6) Risiko cidera (terjatuh, terkena benda tajam) berhubungan dengan penurunan respon
terhadap lingkungan.

Hasil yang di harapkan: anak tidak terluka atau jatuh saat serangan kejang.

Rencana tindakan:

(1). Tempatkan anak pada tempat tidur yang lunak dan rata seperti bahan matras.

Rasional: menjaga posisi tubuh lurus yang dapat berdapak pada lurusnya jalan nafas.

(2). Pasang pengaman di kedua sisi tempat tidur.

Rasional: mencegah anak terjatuh.

(3). Jaga anak saat timbul serangan kejang.

Rasional: menjaga jalan nafas dan mencegah anak terjatuh.


2. Menurut Judha & Nazwar (2011), intervensi dan rasional yang harus di lakukan adalah:

1) Hipertermi berhubungan dengan proses infeksi, gangguan pusat pengaturan suhu.

Tujuan : Terjadi penurunan suhu tubuh

Kriteria hasil : Suhu tubuh dalam rentang normal, nadi dan RR dalam rentang normal

Intervensi dan Rasional

(1) Pantau suhu tubuh anak tiap setengah

Rasional : peningkatan suhu tubuh yang melebihi 390C dapat berisiko terjadinya kerusakan saraf
pusat karena akan meningkatkan neurotransmitter yang dapat meningkatkan eksitasi neuron.

(2) Kompres anak dengan air dingin/ hangat

Rasional : pada saat dikompres panas tubuh anak akan berpindah ke media yang digunakan
untuk mengompres karena suhu tubuh relatif lebih tinggi.

(3) Beri pakaian anak yang tipis dan bahan yang halus seperti katun

Rasional : pakaian yang tipis akan memudahkan perpindahan panas dari tubuh ke lingkungan.
Bahan katun akan menghindari iritasi kulit pada anak karena panas yang tinggi akan membuat
kulit sensitif terhadap cidera.

(4) Jaga kebutuhan cairan anak tercukupi melalui pemberian intravena

Rasional : cairan yang cukup akan menjaga kelembaban sel, sehingga sel tubuh tidak mudah
rusak akibat suhu tubuh yang tinggi.

(5) Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian antipiretik

Rasional : antipiretik akan mempengaruhi ambang panas pada hipotalamus.

2) Potensial terjadinya kejang ulang berhubungan dengan hipertermi

Tujuan :

Klien tidak mengalami kejang selama hipertermi

Kriteria hasil :

(1) Tidak terjadi serangan kejang ulang

(2) Suhu 36-37,50C


(3) Nadi 100-110x/menit

(4) Respirasi 24-28x/menit

(5) Kesadaran composmentis

Intervensi dan Rasional

(1) Longgarkan pakaian, berikan pakaian tipis yang mudah menyerap keringat.

Rasional : proses konveksi akan terhalang oleh pakaian yang ketat dan tidak menyerap keringat.

(2) Berikan kompres dingin

Rasional : perpindahan panas secara konduksi

(3) Berikan ekstra cairan (susu, sari buah)

Rasional : saat demam kebutuhan akan cairan tubuh meningkat.

(4) Observasi kejang dan tanda vital tiap 4 jam

Rasional : pemantauan yang teratur menentukan tindakan yang akan dilakukan.

(5) Batasi aktivitas selama anak panas

Rasional : aktivitas dapat meningkatkan metabolisme dan meningkatkan panas.

(6) Berikan pengobatan antipiretik sesuai advis dokter.

Rasional : menurunkan panas pada pusat hipotalamus dan sebagai propilaksis.

3) Potensial terjadi trauma fisik berhubungan dengan kurangnya koordinasi otot.

Tujuan : Tidak terjadi trauma fisik selama perawatan.

Kriteria Hasil :

(1) Tidak terjadi trauma fisik selama perawatan.

(2) Mempertahankan tindakan yang mengontrol aktivitas kejang.

(3) Mengidentifikasi tindakan yang harus diberikan ketika terjadi kejang.

Intervensi dan Rasional :

(1) Beri pengaman pada sisi tempat tidur dan penggunaan sisi tempat tidur yang rendah.

Rasional : meminimalkan injuri saat kejang.


(2) Tinggallah bersama klien selama fase kejang.

Rasional : meningkatkan keamanan klien.

(3) Berikan tongue spatel diantara gigi atas dan bawah.

Rasional : menurunkan resiko trauma pada mulut.

(4) Letakkan klien di tempat yang lembut.

Rasional : membantu menurunkan resiko injuri fisik pada ekstimitas ketika kontrol otot volunter
berkurang.

(5) Catat tipe kejang (lokasi, lama) dan frekuensi kejang.

Rasional : membantu menurunkan lokasi area serebral yang terganggu.

(6) Catat tanda-tanda vital sesudah fase kejang.

Rasional : mendeteksi secara dini keadaan yang abnormal.

4) Gangguan rasa nyaman berhubungan dengan hiperthermi.

Tujuan :

Rasa nyaman terpenuhi.

Kriteria Hasil :

Suhu tubuh 36-370C, Nadi 100-110x/menit, kesadaran composmentis, anak tidak rewel.

Intervensi dan Rasional :

(1) Kaji faktor-faktor terjadinya hiperthermi.

Rasional : mengetahui penyebab terjadinya hipertermi karena penambahan pakaian/selimut dapat


menghambat penurunan suhu tubuh.

(2) Observasi tanda-tanda vital tiap 4 jam sekali.

Rasional : pemantauan tanda vital yang teratur dapat menentukan perkembangan keperawatan
yang selanjutnya.
(3) Pertahankan suhu tubuh normal.

Rasional : suhu tubuh dapat dipengaruhi oleh tingkat aktivitas, suhu tubuh lingkungan,
kelembaban tinggi akan mempengaruhi panas atau dinginnya tubuh.

(4) Ajarkan pada keluarga memberikan kompres dingin pada kepala/ketiak.

Rasional : proses konduksi/perpindahan panas dengan suatu bahan perantara.

(5) Anjurkan untuk menggunakan baju tipis dan terbuat dari kain katun.

Rasional : proses hilangnya panas akan terhalangi oleh pakaian tebal dan tidak dapat menyerap
keringat.

(6) Atur sirkulasi udara ruangan.

Rasional : penyediaan udara bersih.

(7) Beri ekstra cairan dengan menganjurkan pasien banyak minum.

Rasional : kebutuhan cairan meningkat karena penguapan tubuh meningkat.

(8) Batasi aktivitas fisik.

Rasional : aktivitas meningkatkan metabolisme dan meningkatkan panas.

5) Kurangnya pengetahuan keluarga berhubungan dengan keterbatasan informasi.

Tujuan :

Pengetahuan keluarga bertambah tentang penyakit anaknya.

Kriteria Hasil :

(1) Keluarga tidak sering bertanya tentang penyakit anaknya.

(2) Keluarga mampu diikutsertakan dalam proses keperawatan.

(3) Keluarga mentaati setiap proses keperawatan.

Intervensi dan Rasional :

(1) Kaji tingkat pengetahuan keluarga.


Rasional : mengetahui sejauh mana pengetahuan yang dimiliki keluarga dan kebenaran informasi
yang didapat.

(2) Beri penjelasan kepada keluarga sebab dan akibat kejang demam.

Rasional : penjelasan tentang kondisi yang dialami dapat membantu menambah wawasan
keluarga.

(3) Jelaskan setiap tindakan perawatan yang akan dilakukan.

Rasional : agar keluarga mengetahui tujuan setiap tindakan perawatan.

(4) Berikan Health Education tentang cara menolong anak kejang dan mencegah kejang demam
antara lain :

(1) Jangan panik saat kejang.

(2) Baringkan anak ditempat rata dan lembut.

(3) Kepala dimiringkan.

(4) Pasang gagang sendok yang telah dibungkus kain yang basah, lalu dimasukkan ke mulut

(5) Setelah kejang berhenti dan pasien sadar segera minumkan obat tunggu sampai keadaan
tenang.

(6) Jika suhu tinggi saat kejang lakukan kompres dingin dan beri banyak minum.

(7) Segera bawa ke rumah sakit bila kejang lama.

Rasional : sebagai upaya alih informasi dan mendidik keluarga agar mandiri dalam mengatasi
masalah kesehatan.

(5) Berikan Health Education agar selalu sedia obat penurun panas, bila anak panas.

Rasional : mencegah peningkatan suhu lebih tinggi dan serangan kejang ulang.

(6) Jika anak sembuh, jaga agar anak tidak terkena penyakit infeksi dengan menghindari orang
atau teman yang menderita penyakit menular sehingga tidak mencetuskan kenaikan suhu.

Rasional : sebagai upaya preventif serangan ulang.

(7) Beritahukan keluarga jika anak akan mendapatkan imunisasi agar memberitahukan kepada
petugas imunisasi bahwa anaknya pernah menderita kejang demam.

Rasional : imunisasi pertusis memberikan reaksi panas yang dapat menyebabkan kejang demam.
2.4.4 Evaluasi

Menurut Judha & Nazwar (2011), Evaluasi yang muncul adalah :

1) Suhu tubuh dalam rentang normal.

2) Tidak terjadi serangan kejang ulang.

3) Tidak terjadi trauma fisik selama perawatan.

4) Suhu tubuh 36-37ºC.

5) Keluarga tidak sering bertanya tentang penyakit anaknya.

DAFTAR PUSTAKA

Nurarif, Amin & Hardhi, 2013, Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis dan
NANDA NIC-NOC Jilid 2, Media Action Publising, Yogyakarta

Hidayat, Aziz Alimul A, 2006, Keterampilan Dasar Praktik Klinik Kebidanan, Salemba Medika,
Jakarta

Hidayat, Aziz Alimul A, 2005. Pengantar Ilmu Keperawatan Anak 1, Salemba Medika, Jakarta

Judha, Mohammad, 2011, Sistem Persyarafan (Dalam Asuhan Keperawatan), Gosyen


Publishing, Yogyakarta

Kusyati, Eni, 2006, Keterampilan dan Prosedur Laboratorium Keperawatan Dasar, EGC, Jakarta

Muscari, Mary E, 2005, Panduan Belajar Keperawatan Pediatrik, EGC, Jakarta


Ngastiyah, 2005, Perawatan Anak Sakit, Ed 2, EGC, Jakarta

Nursalam, 2005, Asuhan Keperawatan Bayi dan Anak (Untuk Perawat dan Bidan), Salemba
Medika, Jakarta

IDAI, 2008, Buku Ajar Infeksi & Pediatri Tropis, Edisi krdua, Badan penerbit IDAI, Jakarta.

Potter, Paricia dan Anne G Perry, 2010, Fundamentals of Nursing Fundamental


Keperawatan,Salemba Medika, Indonesia

Purtri, Triloka dan Baidul Hasniah, 2009, Menjadi Dokter Pribadi bagi Anak Kita,Katahati,
Jogjakarta

Meadeow, Sir roy dan Simon J Newell, 2005, Lecture Notes: Pediatrica, Erlangga, Jakarta

Krisanty, Paula dkk, 2009, Asuhan Keperawatan Gawat Darurat, TIM, Jakarta

Riyadi, Sujono & Sukarmin, 2013, Asuhan Keperawatan Pada Anak, Graha Ilmu, Yogyakarta

Soetjiningsih,IG. N. Gde Ranuh, 2013, Tumbuh Kembang Anak, Ed 2, EGC, Jakarta

Adriana, Dian, 2011, Tumbuh Kembang dan Terapi Bermain pada Anak, Salemba Medika,
Jakarta

Anda mungkin juga menyukai