Askep Pada Anak Kejang
Askep Pada Anak Kejang
2.2.1 Pengertian
Kejang demam menurut Riyadi & Sukarmin (2013) adalah serangkaian kejang yang terjadi
karena kenaikan suhu tubuh (suhu rektal di atas 38ºC)
Kejang demam menurut Putri & Baidul (2009) adalah kejang yang terjadi pada saat bayi atau
anak mengalami demam tanpa infeksi sistem saraf pusat. Tidak ada nilai ambang batas suhu
yang dapat menimbulkan terjadinya kejang demam. Selama anak mengalami kejang demam, ia
dapat kehilangan kesadaran disertai gerakan lengan dan kaki atau justru disertai dengan
kekakuan tubuhnya.
Kejang demam menurut Judha & Nazwar (2011) merupakan kelainan neurologis akut yang
paling sering di jumpai pada anak-anak. Bangkitan kejang ini terjadi karena adanya kenaikan
suhu tubuh (suhu rektal di atas 38ºC) yang di sebabkan oleh proses ekstrakranium. Penyebab
demam terbanyak adalah infeksi saluran pernafasan bagian atas di susul infeksi saluran
pencernaan.
Kejang demam menurut Meadow (2005)adalah suatu kejang yang terjadi pada usia antara 3
bulan hingga 5 tahun yang berkaitan dengan demam namun tanpa adanya tanda-tanda infeksi
intrakranial atau penyebab yang jelas.
Menurut Ngastiyah (2005) Kejang demam sering juga disebut kejang demam tonik-klonik,
sangat sering dijumpai pada anak-anak usia di bawah 5 tahun. Hampir 3% dari anak yang
berumur dibawah 5 tahun pernah menderita kejang demam.
2.2.2 Etiologi
Menurut Riyadi & Sukarmin (2013) penyebab dari kejang demam adalah kenaikan suhu badan
yang tinggi dan cepat, yang disebabkan oleh infeksi yang mengenai jaringan ekstrakranial seperti
tonsilitis, ostitis media akut, bronchilitis.
Menurut Nurarif & Hardhi (2013) penyebab Kejang demam dibedakan menjadi intrakranial dan
ekstrakranial.
1. Intrakranial, meliputi :
2. Ekstrakranial, meliputi :
1) Gangguan metabolik : hipoglikemia, hipokalsemia, hipomagnesia, gangguan elektrolit (Na
dan K) misalnya pada pasien dengan riwayat diare sebelumnya
Menurut Kristanty, dkk (2009) faktor yang mempengaruhi terjadinya kejang demam antara lain:
1) Umur.
Kenaikan suhu tubuh biasanya berhubungan dengan penyakit saluran napas bagian atas, radang
telinga tengah, radang paru-paru, gastroenteritis dan infeksi saluran kemih. Kejang dapat pula
terjadi padabayi yang mengalami kenaikan suhu sesudah vaksinasi terutama vaksin pertusis.
3) Faktor genetic.
2.2.3 Patofisiologi
Infeksi yang terjadi pada jaringan di luar kranial seperti tonsilitis, otitis media akut, bronkitis,
penyebab terbanyaknya adalah bakteri yang bersifat toksik. Toksik yang di hasilkan oleh
mikroorganisme dapat menyebar keseluruh tubuh melalui hematogen maupun limfogen.
Penyebaran toksik ke seluruh tubuh akan di respon oleh hipotalamus dengan menaikkan
pengaturan suhu di hipotalamus sebagai tanda tubuh mengalami bahaya secara sistemik naiknya
pengaturan suhu di hipotalamus akan merangsang kenaikan suhu di bagian tubuh yang lain
seperti otot, kulit sehingga terjadi peningkatan kontraksi otot.
Naiknya suhu di hipotalamus, otot, kulit dan jaringan tubuh yang lain akan di sertai
pengeluaran mediator kimia seperti epinefrin dan prostagladin. Pengeluaran mediator kimia ini
dapat merangsang peningkatan potensial aksi pada neuron. Peningkatan potensial inilah yang
merangsang perpndahan ion Natrium, ion Kalium dengan cepat dari luar sel menuju ke dalam
sel. Peristiwa inilah yang di duga dapat menaikkan fase depolarisasi neuron dengan cepat
sehingga timbul kejang. Serangan yang cepat itulah yang dapat menjadikan anak mengalami
penurunan respon kesadaran, otot ekstremitas maupun bronkus juga dapat mengalami spasma
sehingga anak berisiko terhadap injuri dan kelangsungan jalan nafas oleh penutupan lidah dan
spasma bronkus (Riyadi & Sukarmin, 2013)
Pathway
Peningkatan masukan ion natrium, ion kalium ke dalam sel neuron dengan cepat
Penurunan respon rangsangan dari luar Spasma otot mulut, lidah, bronkus
2.2.4 Klasifikasi
Menurut Putri & Baidul (2009) kejang demam ini secara umum dapat di bagi dalam dua jenis,
yaitu:
Bila kejang berlangsung kurang dari 15 menit dan tidak berulang pada hari yang sama. Kejang
demam sederhana tidak menyebabkan kelumpuhan, meninggal, atau mengganggu kepandaian.
Risiko untuk menjadi epilepsi di kemudian hari juga sangat kecil. Sekitar 2% hingga 3%. Risiko
terbanyak adalah berulang kejang demam, yang dapat terjadi pada 30 – 50% anak. Risiko-risiko
tersebut lebih besar pada kejang demam kompleks.
Bila kejang hanya terjadi pada satu sisi tubuh, berlangsung lebih lama dari 15 menit atau
berulang dua kali atau lebih dalam satu hari.
1. Manifestasi klinis menurut Riyadi & Sukarmin (2013) manifestasi klinik yang muncul pada
penderita kejang demam :
1) Suhu tubuh anak (suhu rektal) lebih dari 38ºC.
2) Timbulnya kejang yang bersifat tonik-klonik, tonik, klonik, fokal atau akinetik. Beberapa
detik setelah kejang berhenti anak tidak memberikan reaksi apapun tetapi beberapa saat
kemudian anak akan tersadar kembali tanpa ada kelainan persarafan.
3) Saat kejang anak tidak berespon terhadap rangsangan seperti panggilan, cahaya (penurunan
kesadaran).
Selain itu pedoman mendiagnosis kejang demam menurut Livingstone dapat di pakai sebagai
pedoman untuk menentukan manifestasi klinik kejang demam, yaitu:
6) Pemeriksaan EEG yang di buat sedikitnya satu minggu sesudah suhu normal tidak
menunjukkan kelainan.
7) Frekuensi kejang bangkitan dalam satu tahun tidak melebihi empat kali.
2. Manifestasi klinis menurut Nurarif & Hardhi (2013), manifestasi klinis yang muncul adalah:
1) Kejang umum biasanya di awali kejang tonik kemudian klonik berlangsung 10 – 15 menit,
bisa juga lebih.
2) Takikardia: pada bayi frekuensi sering diatas 150 – 200 per menit.
3) Pulsasi arteri melemah dan tekanan nadi mengecil yang terjadi sebagai akibat menurunnya
curah jantung.
a. Hepatomegali.
1) Darah
b. BUN: peningkatan BUN mempunyai potensi kejang dan merupakan indikasi nepro toksik
akibat dari pemberian obat.
c. Elektrolit: K, Na.
2) Cairan Cerebro Spinal: mendeteksi tekanan abnormal dari CCS tanda infeksi, pendarahan
penyebab kejang.
3) Skull Ray: untuk mengidentifikasi adanya proses desak ruang dan adanya lesi.
4) Transiluminasi: suatu cara yang di kerjakan pada bayi dengan UUB masih terbuka (di bawah
2 tahun) di kamar gelap dengan lampu khusus untuk transiluminasi kepala.
5) EEG: teknik untuk menekan aktivitas listrik otak melalui tengkorak yang utuh untuk
mengetahui fokus aktivitas kejang, hasil biasanya normal.
6) CT Scan: untuk mengidentifikasi lesi cerebral infark hematoma, cerebral oedem, trauma,
abses, tumor dengan atau tanpa kontras.
2. Pemeriksaan penunjang menurut Nurarif & Hardhi (2013), yang dapat di lakukan adalah:
1) Pemeriksaan Laboratorium berupa pemeriksaan darah tepi lengkap elektrolit, dan glukosa
darah dapat dilakukan walaupun kadang tidak menunjukkan kelainan yang berarti.
2) Indikasi Lumbal Pungsi pada kejang demam adalah untuk menegakkan atau menyingkirkan
kemungkinan meningitis. Indkasi lumbal pungsi pada pasien kejang demam meliputi:
a. Bayi<12 bulan harus dilakukan lumbal pungsi karena gejala meningitis sering tidak jelas.
b. Bayi antara 12 bulan sampai 1 tahun dianjurkan untuk melakukan lumbal pungsi kecuali
pasti bukan meningitis.
3) Pemeriksaan EEG dapat dilakukan pada kejang demam yang tidak khas.
4) Pemeriksaan foto kepala, CT-Scan, dan / atau MRI tidak di anjurkan pada anak tanpa
kelainan neurologist karena hampir semuanya menunjukkan gambaran normal. CT Scan atau
MRI direkomendaskan untuk kasus kejang fokal untuk mencari lesi organik di otak.
2.2.7 Komplikasi
Menurut Ngastiyah (2005) risiko terjadi bahaya / komplikasi yang dapat terjadi pada pasien
kejang demam antara lain:
1. Dapat terjadi perlukaan misalnya lidah tergigit atau akibat gesekan dengan gigi.
2. Dapat terjadi perlukaan akibat terkena benda tajam atau keras yang ada di sekitar anak.
Selain bahaya akibat kejang, risiko komplikasi dapat terjadi akibat pemberian obat antikonvulsan
yang dapat terjadi di rumah sakit. Misalnya:1. Karena kejang tidak segera berhenti padahal
telah mendapat fenobarbital kemudian di berikan diazepam maka dapat berakibat apnea.
2. Jika memberikan diazepam secara intravena terlalu cepat juga dapat menyebabkan depresi
pusat pernapasan.
2.2.8 Penatalaksanaan
1. Penatalaksanaan menurut Kristanty, dkk. (2009) terdapat 3 pada klien dengan kejang
demam. Antara lain:
1) pemberian antipiretik.
2. Penatalaksanaan menurut Judha & Nazwar (2011) dalam penanggulangan kejang demam
ada 4 faktor yang perlu di kerjakan, yaitu: Pemberantasan kejang secepat mungkin, apabila
seorang anak datang dalam keadaan kejang, maka:
2) Pengobatan penunjang
Saat serangan kejang adalah semua pakaian ketat di buka, posisi kepala sebaiknya miring untuk
mencegah aspirasi isi lambung, usahakan agar jalan nafas bebas untuk menjamin kebutuhan
oksigen, pengisapan lendir harus dilakukan secara teratur dan diberikan oksigen.
3) Pengobatan rumat
Fenobarbital dosis maintenance: 8-10 mg/kg BB di bagi 2 dosis pada hari pertama, kedua
diteruskan 4-5 mg/kg BB di bagi 2 dosis pada hari berikutnya.
Penyebab kejang demam adalah infeksi respiratorius bagian atas dan astitis media akut.
Pemberian antibiotik yang adekuat untuk mengobati penyakit tersebut. Pada pasien yang di
ketahui kejang lama pemeriksaan lebih intensif seperti fungsi lumbal, kalium, magesium,
kalsium, natrium dan faal hati. Bila perlu rontgen foto tengkorak, EEG, ensefalografi, dan lain-
lain.
3. Penatalaksanaan menurut Ngastiyah (2005) yang di lakukan saat terjadi kejang yaitu:
1) Baringkan pasien di tempat yang rata, kepala di miringkan dan pasangkan sudip lidah yang
telah dibungkus kasa atau bila ada guedel lebih baik.
2) Singkirkan benda-benda yang ada di sekitar pasien, lepaskan pakaian yang mengganggu
pernapasan (misal: ikat pinggang, gurita, dan lain sebagainya)
3) Isap lendir sampai bersih, berikan O₂ boleh sampai 4 L/menit. Jika pasien jatuh apnea
lakukan tindakan pertolongan (lihat pada tetanus).
5) Setelah pasien bangun dan sadar, berikan minum hangat (berbeda dengan pasien tetanus yang
jika kejang tetap sadar).
6) Jika dengan tindakan ini kejang tidak segera berhenti, hubungi dokter apakah perlu
pemberian obat penenang (lihat di status mungkin ata petunjuk jika pasien kejang lama /
berulang).
2.2.9 Pencegahan
Menurut Ngastiyah (2005) cara mencegah jangan sampai timbul kejang bisa menjelaskan
kepada orang tua, seperti:
1. Harus selalu tersedia obat penurun panas yang di dapatkan atas resep dokter yang telah
mengandung antikonvuslan.
2. Jangan menunggu suhu meningkat lagi. Langsung beri obat jika orang tua tau anak panas,
dan pemberian obat diteruskan sampai suhu sudah turun selam 24 jam berikutnya.
3. Apabila terjadi kejang berulang atau kejang terlalu lama walaupun telah di berikan obat,
segera bawa anak ke rumah sakit.
Diagnosa Keperawatan
1. Berdasarkan patofisiologi penyakit, dan manifestasi klinik yang muncul maka diagnosa
keperawatan yang sering muncul pada pasien dengan kejang demam menurut Riyadi &
Sukarmin (2013) adalah:
1) Risiko tinggi obstruksi jalan nafas berhubungan dengan penutupan faring oleh lidah, spasme
otot bronkus.
3) Hipertermi berhubungan dengan infeksi kelenjar tonsil, telinga, bronkus atau pada tempat
lain.
4) Risiko gangguan pertumbuhan (berat badan rendah) berhubungan dengan penurunan asupan
nutrisi.
6) Risiko cidera (terjatuh, terkena benda tajam) berhubungan dengan penurunan respon
terhadap lingkungan.
2. Menurut Judha & Nazwar (2011) diagnosis keperawatan yang muncul antara lain:
1. Menurut Riyadi & Sukarmin (2013), intervensi dan rasional yang muncul adalah:
1) Risiko tinggi obstruksi jalan nafas berhubungan dengan penutupan faring oleh lidah, spasme
otot bronkus.
Hasil yang di harapkan: Frekwensi pernapasan meningkat 28-35 x/menit, irama pernafasan
regular dan tidak cepat, anak tidak terlihat terengah-engah.
Rencana tindakan:
(1). Monitor jalan nafas, frekwensi pernafasan, irama pernafasan tiap 15 menit saat penurunan
kesadaran.
Rasional: frekwensi pernapasan yang meningkat tinggi dengan irama yang cepat sebagai salah
satu indikasi sumbatan jallan nafas oleh benda asing, contohnya lidah.
Rasional: posisi semifowler akan menurunkan tahanan intra abdominal terhadap paru-paru.
Hiperekstensi membuat jalan nafas dalam posisi lurus dan bebas dari hambatan.
(5). Kolaborasi pemberian anti kejang (diazepam dengan dosis rata-rata 0,3 Mg/KgBB/kali
pemberian.
Rasional: diazepam bekerja menurunkan tingkat fase depolarisasi yang cepat di sistem
persyarafan pusat sehingga dapat terjadi penurunan pada spasma otot dan persyarafan perifer.
Hasil yang di harapkan: jaringan perifer (kulit) terlihat merah dan segar, akral teraba hangat.
Rencana tindakan:
Rasional: kapiler kecil mempunyai volume darah yang relatif kecil dan cukup sensitif sebagai
tanda terhadap penurunan oksigen darah.
(2). Pemberian oksigen dengan memakai masker atau nasal bicanul dengan dosis rata-rata 3
liter/menit.
Rasional: oksigen tabung mempunyai tekanan yang lebih tinggi dari oksigen lingkungan
sehingga mudah masuk ke paru-paru. Pemberian dengan masker karena mempunyai prosentase
sekitar 35% yang dapat masuk ke saluran pernafasan.
(3). Hindarkan anak dari rangsangan yang berlebihan baik suara, mekanik, maupun cahaya.
Rasional: rangsangan akan meningkatkan fase eksitasi persarafan yang dapat menaikkan
kebutuhan oksigen jaringan.
(4). Tempatkan pasien pada ruangan dengan sirkulasi udara yang baik (ventilasi memenuhi ¼
dari luas ruangan).
Rasional: meningkatkan jumlah udara yang masuk dan mencegah hipoksemia jaringan.
3) Hipertermi berhubungan dengan infeksi kelenjar tonsil, telinga, bronkus atau pada tempat
lain.
Hasil yang diharapkan: suhu tubuh perektal 36-37ºC, kening anak tidak teraba panas. tidak
terdapat pembengkakan, kemerahan pada tongsil atau telinga.mleukosit 5.000-11.000 mg/dl
Rencana tindakan:
Rasional: peningkatan suhu tubuh yang melebihi 39ºC dapat beresiko terjadinya kerusakan saraf
pusat karena akan meningkatkan neurotransmiter yang dapat meningkatkan eksitasi neuron.
Rasional: saat di kompres panas tubuh anak akan berpindah ke media yang digunakan untuk
mengkompres karena suhu tubuh relatif tinggi.
(3). Beri pakaian anak yang tipis dari bahan yang halus seperti katun.
Rasional: pakaian yang tipis akan memudahkan perpindahan panas dari tubuh ke lingkungan.
Bahan katun akan menghindari iritasi kulit pada anak karena panas yang tinggi akan membuat
kulit sensitif terhadap cidera.
Rasional: cairan yang cukup akan menjaga kelembapan sel, sehingga sel tubuh tidak mudah
rusak akibat suhu tubuh yang tinggi.
Rasional: antipiretik akan mempengaruhi ambang panas pada hipotalamus. Antipiretik juga akan
mempengaruhi penurunan neurotransmiter seperti prostaglandin yang berkontribusi timbulnya
nyeri saat demam.
4) Risiko gangguan pertumbuhan (berat badan rendah) berhubungan dengan penurunan asupan
nutrisi.
Hasil yang di harapkan: orang tua anak menyampaikan anaknya sudah gampang makan dengan
porsi makan di habiskan setiap hari (1 porsi makan)
Rencana tindakan:
Rasional: berat badan adalah salah satu indikator jumlah massa sel dalam tubuh, apabila berat
badan rendah menunjukkan terjadi penurunan jumlah dan massa sel tubuh yang tidak sesuai
dengan umur.
(2). Ciptakan suasana yang menarik dan nyaman saat makan seperti di bawa ke ruangan yang
banyak gambar untuk anak dan sambil di ajak bermain.
Rasional: dapat membantu peningkatan respon korteks serebri terhadap selera makan sebagai
dampak rasa senang pada anak.
(3). Anjurkan orangtua untuk memberikan anak makan dengan kondisi makanan hangat.
Rasional: makanan hangat akan mengurangi kekentalan sekresi mukus pada faring dan
mengurangi respon mual gaster.
(4). Anjurkan orang tua memberikan makanan pada anak dengan porsi sering dan sedikit.
Rasional: mengurangi massa makanan yang banyak pada lambung yang dapat menurunkan
rangsangan nafsu makan pada otak bagian bawah.
Hasil yang di harapkan: anak terlihat aktif berinteraksi dengan orang di sekitar saat di rawat di
rumah sakit,frekwensi kekambuhan kejang demam berkisar 1-3 kali dalam setahun.
Rencana tindakan:
(1). Kaji tingkat perkembangan anak terutama percaya diri dan frekwensi demam.
Rasional: fase ini bila tidak teratasi dapat terjadi krisis kepercayaan diri pada anak. Frekwensi
demam yang meningkat dapat menurunkan penampilan anak.
(2). Berikan anak terapi bermain dengan teman sebaya di rumah sakit yang melibatkan banyak
anak seperti bermain lempar bola.
Rasional: meningkatkan interaksi anak terhadap teman sebaya tanpa melalui paksaan dan doktrin
dari orang tua.
(3). Beri anak reward bila anak berhasil melakukan aktivitas positif misalnya melempar bola
dengan tepat, dan support anak bila belum berhasil.
Rasional: meningkatkan nilai positif yang ada pada anak dan memperbaiki kelemahan dan
kemauan yang kuat.
6) Risiko cidera (terjatuh, terkena benda tajam) berhubungan dengan penurunan respon
terhadap lingkungan.
Hasil yang di harapkan: anak tidak terluka atau jatuh saat serangan kejang.
Rencana tindakan:
(1). Tempatkan anak pada tempat tidur yang lunak dan rata seperti bahan matras.
Rasional: menjaga posisi tubuh lurus yang dapat berdapak pada lurusnya jalan nafas.
Kriteria hasil : Suhu tubuh dalam rentang normal, nadi dan RR dalam rentang normal
Rasional : peningkatan suhu tubuh yang melebihi 390C dapat berisiko terjadinya kerusakan saraf
pusat karena akan meningkatkan neurotransmitter yang dapat meningkatkan eksitasi neuron.
Rasional : pada saat dikompres panas tubuh anak akan berpindah ke media yang digunakan
untuk mengompres karena suhu tubuh relatif lebih tinggi.
(3) Beri pakaian anak yang tipis dan bahan yang halus seperti katun
Rasional : pakaian yang tipis akan memudahkan perpindahan panas dari tubuh ke lingkungan.
Bahan katun akan menghindari iritasi kulit pada anak karena panas yang tinggi akan membuat
kulit sensitif terhadap cidera.
Rasional : cairan yang cukup akan menjaga kelembaban sel, sehingga sel tubuh tidak mudah
rusak akibat suhu tubuh yang tinggi.
Tujuan :
Kriteria hasil :
(1) Longgarkan pakaian, berikan pakaian tipis yang mudah menyerap keringat.
Rasional : proses konveksi akan terhalang oleh pakaian yang ketat dan tidak menyerap keringat.
Kriteria Hasil :
(1) Beri pengaman pada sisi tempat tidur dan penggunaan sisi tempat tidur yang rendah.
Rasional : membantu menurunkan resiko injuri fisik pada ekstimitas ketika kontrol otot volunter
berkurang.
Tujuan :
Kriteria Hasil :
Suhu tubuh 36-370C, Nadi 100-110x/menit, kesadaran composmentis, anak tidak rewel.
Rasional : pemantauan tanda vital yang teratur dapat menentukan perkembangan keperawatan
yang selanjutnya.
(3) Pertahankan suhu tubuh normal.
Rasional : suhu tubuh dapat dipengaruhi oleh tingkat aktivitas, suhu tubuh lingkungan,
kelembaban tinggi akan mempengaruhi panas atau dinginnya tubuh.
(5) Anjurkan untuk menggunakan baju tipis dan terbuat dari kain katun.
Rasional : proses hilangnya panas akan terhalangi oleh pakaian tebal dan tidak dapat menyerap
keringat.
Tujuan :
Kriteria Hasil :
(2) Beri penjelasan kepada keluarga sebab dan akibat kejang demam.
Rasional : penjelasan tentang kondisi yang dialami dapat membantu menambah wawasan
keluarga.
(4) Berikan Health Education tentang cara menolong anak kejang dan mencegah kejang demam
antara lain :
(4) Pasang gagang sendok yang telah dibungkus kain yang basah, lalu dimasukkan ke mulut
(5) Setelah kejang berhenti dan pasien sadar segera minumkan obat tunggu sampai keadaan
tenang.
(6) Jika suhu tinggi saat kejang lakukan kompres dingin dan beri banyak minum.
Rasional : sebagai upaya alih informasi dan mendidik keluarga agar mandiri dalam mengatasi
masalah kesehatan.
(5) Berikan Health Education agar selalu sedia obat penurun panas, bila anak panas.
Rasional : mencegah peningkatan suhu lebih tinggi dan serangan kejang ulang.
(6) Jika anak sembuh, jaga agar anak tidak terkena penyakit infeksi dengan menghindari orang
atau teman yang menderita penyakit menular sehingga tidak mencetuskan kenaikan suhu.
(7) Beritahukan keluarga jika anak akan mendapatkan imunisasi agar memberitahukan kepada
petugas imunisasi bahwa anaknya pernah menderita kejang demam.
Rasional : imunisasi pertusis memberikan reaksi panas yang dapat menyebabkan kejang demam.
2.4.4 Evaluasi
DAFTAR PUSTAKA
Nurarif, Amin & Hardhi, 2013, Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis dan
NANDA NIC-NOC Jilid 2, Media Action Publising, Yogyakarta
Hidayat, Aziz Alimul A, 2006, Keterampilan Dasar Praktik Klinik Kebidanan, Salemba Medika,
Jakarta
Hidayat, Aziz Alimul A, 2005. Pengantar Ilmu Keperawatan Anak 1, Salemba Medika, Jakarta
Kusyati, Eni, 2006, Keterampilan dan Prosedur Laboratorium Keperawatan Dasar, EGC, Jakarta
Nursalam, 2005, Asuhan Keperawatan Bayi dan Anak (Untuk Perawat dan Bidan), Salemba
Medika, Jakarta
IDAI, 2008, Buku Ajar Infeksi & Pediatri Tropis, Edisi krdua, Badan penerbit IDAI, Jakarta.
Purtri, Triloka dan Baidul Hasniah, 2009, Menjadi Dokter Pribadi bagi Anak Kita,Katahati,
Jogjakarta
Meadeow, Sir roy dan Simon J Newell, 2005, Lecture Notes: Pediatrica, Erlangga, Jakarta
Krisanty, Paula dkk, 2009, Asuhan Keperawatan Gawat Darurat, TIM, Jakarta
Riyadi, Sujono & Sukarmin, 2013, Asuhan Keperawatan Pada Anak, Graha Ilmu, Yogyakarta
Adriana, Dian, 2011, Tumbuh Kembang dan Terapi Bermain pada Anak, Salemba Medika,
Jakarta