Anda di halaman 1dari 25

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Psikologi kognitif menyatakan bahwa perilaku manusia tidak ditentukan oleh
stimulus yang berada dari luar dirinya, melainkan oleh faktor yang ada pada dirinya sendiri.
Faktor-faktor internal itu berupa kemampuan atau potensi yang berfungsi untuk mengenal
dunia luar, dan dengan pengalaman itu manusia mampu memberikan respon terhadap
stimulus. Berdasarkan pandangan itu, teori psikologi kognitif memandang belajar sebagai
proses pemfungsian unsur-unsur kognisi, terutama unsur pikiran, untuk dapat mengenal dan
memahami stimulus yang datang dari luar. Dengan kata lain aktivitas belajar pada diri
manusia ditekankan pada proses internal dalam berfikir, yakni proses pengelolaan informasi.
Banyak teori-teori belajar telah dikemukakan oleh para psikolog atau pakar
pendidikan yang dapat digunakan sebagai dasar pengembangan pembelajaran yang inovatif..
Di antaranya aliran Psikologi Tingkah Laku dikemukakan antara lain oleh: Thorndike,
Ausubel, Gagne, Pavlov dan teori tentang Psikologi Kognitif antara lain dikemukakan oleh
Piaget, Brunner, Brownell, Dienes dan Van Hiele. Dengan munculnya terori pembelajaran
dari para ahli psikologi, mempengaruhi pembelajaran matematika dalam negeri yang
akhirnya pemerintah mengeluarkan kurikulum baru, yang disesuaikan dengan penemuan teori
pembelajaran yang muncul.

1
BAB II
PEMBAHASAN

1.2 Teori Belajar Brownell

Salah satu ahli yang memberikan sumbangan pikiran dalam teori belajar adalah
William Artur Brownell dilahirkan tanggal 19 mei 1895 dan wafat pada tanggal 24 mei
1977, yang mendedikasikan hidupnya dalam dunia pendidikan.

pada penelitiannya mengenai pembelajaran anak khususnya pada aritmetika


mengemukakan belajar matematika harus merupakan belajar bermakna dan belajar
pengertian atau yang dikenal dengan Meaning Theory (teori bermakna) dan dalam
perkembangannya ia meletakkan pondasi munculnya matematika baru. Jika dilihat dari
teorinya ini sesuai dengan teori belajar-mengajar Gestalt yang muncul pada
pertengahan tahun 1930. Dimana menurut teori Gestalt, latihan hafalan atau yang
dikenal dengan sebutan drill adalah sangat penting dalam kegiatan pengajaran. Cara
drill diberikan setelah tertanam pengertian.

Khusus dalam hubungan pembelajaran matematika di SD, Meaning Theory (teori


makna) yang diperkenalkan oleh Brownel merupakan alternatif dari Drill Theory (teori
latihan hafal/ulangan).
Brownell mengemukakan ada tiga keberatan utama berkenaan dengan teori drill pada
pengajaran matematika.
Teori drill memberikan tugas yang harus dipelajari siswa yang hampir tidak mungkin
dicapai. Menurut hasil penelitian menunjukkan anak yang tahu 3 + 6 = 9 ternyata tidak
tahu dengan baik, bahwa 6 + 3 = 9. Penelitian lain menunjukkan bahwa penguasaan 3 +
6 = 9 tidak menjamin dikuasainya 13 + 6 = 19, 23 + 6 = 29 atau 43 + 6 = 49, dan
sebagainya.
Keberatan yang lainnya berkaitan dengan reaksi yang dihasilkan oleh drill. Pada saat
guru memberikan drill pada keterampilan aritmetika, ia berasumsi bahwa murid akan
berlatih sebagai reaksi dari yang telah ditentukan. Misalkan pada waktu guru memberi
tugas 4 + 2 = 6 dan 9 – 5 = 4, ia mengharap semua siswa akan dengan diam berfikir atau
mengucapkan dengan keras, 4 dan 2 sama dengan 6, 9 dikurangi 5 sama dengan 4.
Guru percaya dengan sering mengulanginya akhirnya siswa selalu menjawab 6 dan 4
untuk ke dua tugas tersebut. Kemudian melalui penelitian diketahui bahwa hanya 40%
dari siswa yang dapat menjawab dengan benar berdasarkan ingatannya. Kegiatan ini
menunjukkan bahwa drill tidak menghasilkan respons otomatis untuk siswa-siswa di
kelas 1 dan kelas 2 SD, padahal tugas dan beban belajar mereka relatif lebih sedikit bila
dibandingkan dengan kelas-kelas yang lebih atas.
Aritmetika adalah paling tepat dipandang sebagai suatu sistem berpikir kuantitatif.
Pandangan ini merupakan kriteria penilaian suatu sistem pengajaran matematika yang

2
memadai atau tidak. Jelas dari sudut pandanga ini, teori drill dalam pengajaran
aritmetika tidak memadai, sebab pengajaran melalui drill tidak menyediakan kegiatan
untuk berfikir secara kuantitatif. Agar siswa dapat berfikir secara kuantitatif ia harus
mengetahui maksud dari apa yang dipejarinya (mengerti), yang tidak pernah menjadi
perhatian dari sistem pengajaran aritmetika melalui drill (balapan).
Menurut teori drill ikatan antara stimulus (soal) dan respon (jawab) itu bisa dicapai oleh
siswa dengan latihan berupa ulangan (drill), atau dengan kata lain dengan latihan hapal
atau menghapal. Intisari pengajaran matematika dan perkembangan siswa menurut
teori drill adalah sebagai berikut:
Matematika (aritmatika) untuk tujuan pembelajaran (belajar mengajar) dianalisis
sebagai kumpulan fakta (unsur) yang berdiri sendiri dan tidak saling berkaitan.
Anak diharuskan untuk menguasai unsur-unsur yang banyak sekali tanpa
diperhatikan pengertiannya.Anak mempelajari unsur-unsur dalam bentuk seperti yang
akan digunakan nanti pada kesempatan lain.Anak akan mencapai tujuan ini secara
efektif dan efisien dengan melalui pengulangan atau drill.

Menurut teori makna, anak itu harus melihat makna dari apa yang dipelajarinya, dan
ini adalah isu utama pada pembelajaran matematika. Teori makna mengakui perlunya
drill dalam pembelajaran matematika, bahkan dianjurkan jika memang diperlukan. Jadi,
drill itu penting, tetapi drill dilakukan apabila suatu konsep, prinsip atau proses telah
dipahami dengan mengerti oleh para siswa.
dalam matematika.

Implikasi teori perkembangan kognitif Brownell dalam pembelajaran sebagai berikut:


Bahasa dan cara berfikir anak berbeda dengan orang dewasa. Oleh karena itu, guru
mengajar dengan menggunakan bahasa yang sesuai dengan cara berfikir anak.
Anak-anak akan belajar lebih baik apabila dapat menghadapi lingkungan dengan baik.
Guru harus membantu anak agar dapat berinteraksi dengan lingkungan sebaik-baiknya.
Bahan yang harus dipelajari anak hendaknya dirasakan baru tetapi tidak asing.
Berikan peluang agar anak belajar sesuai tahap perkembangannya.
Siswa hendaknya diberi peluang untuk saling berbicara dan diskusi dengan siswa lain.

Pengaplikasian teori kognitif Brownell dalam belajar bergantung pada akomodasi.


Kepada siswa harus diberikan suatu area yang belum diketahui agar ia dapat belajar,
karena ia tidak dapat belajar dari apa yang telah diketahui saja dengan adanya area
baru, siswa akan mengadakan usaha untuk dapat mengakomodasikan.
Dengan demikian, dalam teori bermakna yang dikembangkan oleh Brownell bahwa
pengajaran operasi hitung akan mudah dipahami oleh siswa apabila makna bilangan
dan operasinya diikutsertakan dalam proses operasi. Kita percaya bukan keputusan
mengajarkan matematika dengan bermakna saja yang dapat menyebabkan perubahan
dalam reformasi pendidikan, tetapi bagaimana cara kita menginterpretasikan istilah

3
pembelajaran matematika yang bermakna yang telah dan akan melanjutkan usaha
perbaikan dalam matematika.

1.3 Teori Pembelajaran Ausubel

David Ausubel (1963, 1977) mengemukakan teori pembelajaran yang mengatakan


manusia memperoleh ilmu kebanyakannya dalam bentuk pembelajaran resepsi dan
bukan daripadapembelajaran penemuan atau dikenali sebagai Model Pembelajaran
Ekspositori. Ausubeljuga mengemukakan pembelajaran lisan bermakna (meaningful
verbal learning), termasukpentingnya maklumat lisan, idea dan hubungan antara idea
yang dikenali sebagai KonsepPenyusunan Awal. Bagaimanapun, hafalan (rote
memorization) tidak dianggap sebagai pembelajaran bermakna.

1.Model Pembelajaran Ekspositori

Model pembelajaran ekspositori yang dikemukakan oleh Ausubel


menekankanpenerangan bahan pembelajaran oleh guru dalam bentuk fakta yang
tersusun dandijelaskan menurut urutan serta fakta yang lengkap. Ausubel menegaskan
pembelajaransepatutnya berkembang dalam bentuk deduktif daripada am kepada
spesifik ataudaripada prinsip kepada contoh (Woolfolk, 1998).

2. Penyusunan Awal

Penyusunan awal (advance organizer) telah diperkenalkan oleh Ausubel


untukmenyesuaikan skema pelajar dengan bahan pembelajaran, supaya pembelajaran
optimalberlaku. Salah satu strategi untuk memastikan wujudnya kesesuaian tersebut
ialahmemulakan pembelajaran berpandukan kepada “penyusunan awal”. Ia
merupakanstruktur yang menerangkan hubungan antara konsep-konsep yang hendak
disampaikanpada hari tersebut.

Fungsi penyusunan awal ialah untuk menjelaskan kepada guru dan pelajar
tentangperkara-perkara yang perlu difahami bagi sesuatu tajuk pelajaran. Penyusunan
awaljuga boleh menghubungkan konsep baru dengan konsep yang telah dipelajari.
Jaditerdapat tiga tujuan penggunaan penyusunan awal, iaitu memberi gambaran
tentangapa yang penting dalam pelajaran, menjelaskan hubungan antara konsep yang
akan dihuraikan dan menggerakkan minda pelajar untuk mengingat semula konsep
berkaitanyang telah dipelajari.

Prinsip pembelajaran dan pengajaran Ausubel boleh digunakan dalam pengajaran


dengan memberikan perhatian kepada dua perkara berikut:

Ausubel mencadangkan supaya guru menggunakan pembelajaran resepsi


(penerimaan)atau model pengajaran ekspositori kerana guru dapat menyampaikan
maklumat yanglengkap dalam susunan yang teratur seperti dalam kaedah kuliah.

4
Menggunakan penyusunan awal dalam pengajaran untuk menggalakkan
pelajarmengingat semula konsep yang telah dipelajari dan mengaitkannya dengan
konsepbaru yang akan dipelajari serta mengingatkan mereka tentang perkara-perkara
penting dalam sesuatu tajuk pelajaran.

Empat type belajar menurut Ausubel yaitu:

1. Belajar dengan penemuan yang bermakna

yaitu mengaitkan pengetahuan yang telah dimilikinya dengan materi pelajaran yang
dipelajari itu. Atau sebaliknya, siswa terlebih dahulu menmukan pengetahuannya dari
apa yang ia pelajari kemudian pengetahuan baru tersebut ia kaitkan dengan
pengetahuan yang sudah ada.

2. Belajar dengan penemuan yang tidak bermakna

yaitu pelajaran yang dipelajari ditemukan sendiri oleh siswa tanpa mengaitkan
pengetahuan yang telah dimilikinya, kemudian dia hafalkan.

3. Belajar menerima (ekspositori) yang bermakna

yaitu materi pelajaran yang telah tersusun secara logis disampaikan kepada siswa
sampai bentuk akhir, kemudian pengetahuan yang baru ia peroleh itu dikaitkan dengan
pengetahuan lain yang telah dimiliki.

4. Belajar menerima (ekspositori) yang tidak bermakna

yaitu materi pelajaran yang telah tersusun secara logis disampaikan kepada siswa
sampai bentuk akhir , kemudian pengetahuan yang baru ia peroleh itu dihafalkan tanpa
mengaitkannya dengan pengetahuan lain yang telah ia miliki.

Terdapat 8 langkah pembelajaran yang bisa dilakukan dalam menerapkan teori


belajar bermakna Ausubel, yaitu :
1. Menentukan tujuan pembelajaran
2. Mengukur kesiapan siswa
3. Memilih materi pembelajaran dan mengatur dalam penyajian konsep
4. Mengidentifikasi prinsif-prinsif yang harus dikuasai peserta didik dari materi
pembelajaran
5. Menyajikan suatu pandangan secara menyeluruh tentang apa yang seharusnya
dipelajari
6. Menggunakan “advance organizer” dengan cara memberikan rangkuman
dilanjutkan dengan keterkaitan antara materi.

5
7. Mengajar siswa dengan pemahaman konsep
8. Mengevaluasi hasil belajar (Prasetyo Irawan, 1996)

1.4 Teori Belajar Baruda


Baruda mengemukakan bahwa siswa belajar itu melalui meniru. Pengertian meniru
di sini bukan berarti menyontek, tetapi meniru hal-hal yang dilakukan oleh orang lain,
terutama guru. Jika tulisan guru baik, guru berbicara sopan santun dengan
menggunakan hahasa yang baik dan benar, tingkah laku yang terpuji, menerangkan
dengan jelas dan sistematik, maka siswa akan menirunya. Jika contoh-contoh yang
dilihatnya kurang baik ia pun menirunya. Dengan demikian guru harus menjadi manusia
model yang profesional. Teori social learning (belajar sosial), anak belajar dari meniru
hal-hal yang dilakukan oleh orang lain. Dengan demikian, lingkungan adalah faktor
penting yang mempengaruhi perilaku, meskipun proses kognitif juga tidak kalah
pentingnya manusia memiliki kemampuan untuk mengendalikan polanya sendiri

Tipe belajar menurut Robert M. Gagne


Manusia memilki beragam potensi, karakter, dan kebutuhan dalam belajar. Karena itu
banyak tipe-tipe belajar yang dilakukan manusia.

Gagne mencatat ada delapan tipe belajar :


1. Belajar isyarat (signal learning)
Menurut Gagne, ternyata tidak semua reaksi sepontan manusia terhadap stimulus
sebenarnya tidak menimbulkan respon.dalam konteks inilah signal learning terjadi.
Contohnya yaitu seorang guru yang memberikan isyarat kepada muridnya yang gaduh
dengan bahasa tubuh tangan diangkat kemudian diturunkan.

2. Belajar stimulus respon


Belajar tipe ini memberikan respon yang tepat terhadap stimulus yang diberikan. Reaksi
yang tepat diberikan penguatan (reinforcement) sehingga terbentuk perilaku tertentu
(shaping). Contohnya yaitu seorang guru memberikan suatu bentuk pertanyaan atau
gambaran tentang sesuatu yang kemudian ditanggapi oleh muridnya. Guru member
pertanyaan kemudian murid menjawab.

3. Belajar merantaikan (chaining)


Tipe ini merupakan belajar dengan membuat gerakan-gerakan motorik sehingga
akhirnya membentuk rangkaian gerak dalam urutan tertentu. Contohnya yaitu
pengajaran tari atau senam yang dari awal membutuhkan proses-proses dan tahapan
untuk mencapai tujuannya.

4. Belajar asosiasi verbal (verbal Association)

6
Tipe ini merupakan belajar menghubungkan suatu kata dengan suatu obyek yang
berupa benda, orang atau kejadian dan merangkaikan sejumlah kata dalam urutan yang
tepat. Contohnya yaitu Membuat langkah kerja dari suatu praktek dengan bntuan alat
atau objek tertentu. Membuat prosedur dari praktek kayu.

5. Belajar membedakan (discrimination)


Tipe belajar ini memberikan reaksi yang berbeda–beda pada stimulus yang mempunyai
kesamaan. Contohnya yaitu seorang guru memberikan sebuah bentuk pertanyaan
dalam berupa kata-kata atau benda yang mempunyai jawaban yang mempunyai banyak
versi tetapi masih dalam satu bagian dalam jawaban yang benar. Guru memberikan
sebuah bentuk (kubus) siswa menerka ada yang bilang berbentuk kotak, seperti kotak
kardus, kubus, dsb.

6. Belajar konsep (concept learning)


Belajar mengklsifikasikan stimulus, atau menempatkan obyek-obyek dalam kelompok
tertentu yang membentuk suatu konsep. (konsep : satuan arti yang mewakili kesamaan
ciri). Contohnya yaitu memahami sebuah prosedur dalam suatu praktek atau juga teori.
Memahami prosedur praktek uji bahan sebelum praktek, atau konsep dalam kuliah
mekanika teknik.

7. Belajar dalil (rule learning)


Tipe ini meruopakan tipe belajar untuk menghasilkan aturan atau kaidah yang terdiri
dari penggabungan beberapa konsep. Hubungan antara konsep biasanya dituangkan
dalam bentuk kalimat. Contohnya yaitu seorang guru memberikan hukuman kepada
siswa yang tidak mengerjakan tugas yang merupakan kewajiban siswa, dalam hal itu
hukuman diberikan supaya siswa tidak mengulangi kesalahannya.

8. Belajar memecahkan masalah (problem solving)


Tipe ini merupakan tipe belajar yang menggabungkan beberapa kaidah untuk
memecahkan masalah, sehingga terbentuk kaedah yang lebih tinggi (higher order rule).
Contohnya yaitu seorang guru memberikan kasus atau permasalahan kepada siswa-
siswanya untuk memancing otak mereka mencari jawaban atau penyelesaian dari
masalah tersebut.

Selain delapan jenis belajar, Gagne juga membuat semacam sistematika jenis belajar.
Menurutnyasistematika tersebut mengelompokkan hasil-hasil belajar yang mempunyai
ciri-ciri sama

dalam satu katagori. Kelima hal tersebut adalah :

1. keterampilan intelektual : kemampuan seseorang untuk berinteraksi dengan

7
lingkungannya dengan menggunakan symbol huruf, angka, kata atau gambar.

2. informasi verbal : seseorang belajar menyatakan atau menceritakan suatu fakta atau
suatu peristiwa secara lisan atau tertulis, termasuk dengan cara menggambar.

3. strategi kognitif : kemampuan seseorang untuk mengatur proses belajarnya sendiri,


mengingat dan berfikir.

4. keterampilan motorik : seseorang belajar melakukan gerakan secara teratur dalam


urutan tertentu (organized motor act). Ciri khasnya adalah otomatisme yaitu gerakan
berlangsung secara teratur dan berjalan dengan lancar dan luwes.

5. sikap keadaan mental yang mempengaruhi seseorang untuk melakukan pilihan-


pilihan dalam bertindak.

1.5 TEORI VAN HIELE

Van Hiele (dalam Ismail, 1998) menyatakan bahwa terdapat 5 tahap pemahaman
geometri, yaitu:2.Tahap Pengenalan3.Tahap Analisis4.Tahap Pengurutan5.Tahap
Deduksi6.Tahap Keakuratan

Tahap Pengenalan• Pada tahap ini siswa hanya baru mengenal bangun-bangun
geometri seperti bola, kubus, segitiga, persegi dan bangun-bangun geometri lainnya.
Seandainya kita hadapkan dengan sejumlah bangun-bangun geornetri, anak dapat
memilih dan menunjukkan bentuk segitiga.Pada tahap pengenalan anak belum dapat
menyebutkan sifat-sifat dari bangun-bangun geometri yang dikenalnya sifat-sifat dari
bangun-bangun geometri yang dikenalnya itu.

1.Tahap Analisis

Pada tahap ini anak sudah dapat memahami sifat-sifat dari bangun-bangun
geometri. Pada tahap ini anak sudah mengenal sifat-sifat bangun geometri, seperti pada
sebuah kubus banyak sisinya ada 6 buah, sedangkan banyak rusuknya ada 12.• Anak
pada tahap analisis belum mampu mengetahui hubungan yang terkait antara suatu
bangun geometri dengan bangun geometri lainnya.

2.Tahap Pengurutan

8
Pada tahap ini pemahaman siswa terhadap geometri lebih meningkat lagi dari
sebelumnya yang hanya mengenal bangun- bangun geometri beserta sifat-sifatnya,
maka pada tahap ini anak sudah mampu mengetahui hubungan yang terkait antara
suatu bangun geometri dengan bangun geometri lainnya. Anak yang berada pada tahap
ini sudah memahami pengurutan bangun-bangun geometri.

3.Tahap Deduksi

Pada tahap ini anak sudah dapat memahami deduksi, yaitu mengambil kesimpulan
secara deduktif. Pengambilan kesimpulan secara deduktif yaitu penarikan kesimpulan
dari hal- hal yang bersifat khusus. Seperti kita ketahui bahwa matematika adalah ilmu
deduktif. Matematika, dikatakan sebagai ilmu deduktif karena pengambilan
kesimpulan, membuktikan teorema dan lain-lain dilakukan dengan cara deduktif..Anak
pada tahap ini telah mengerti pentingnya peranan unsur-unsur yang tidak didefinisikan,
di samping unsur-unsur yang didefinisikan, aksioma atau problem, dan teorema. Anak
pada tahap ini belum memahami kegunaan dari suatu sistem deduktif. Oleh karena itu,
anak pada tahap ini belum dapat menjawab pertanyaan “mengapa sesuatu itu disajikan
teorema atau dalil.”

4.Tahap Keakuratan

Pada tahap ini anak sudah memahami betapa pentingnya ketepatan dari prinsip-
prinsip dasar yang melandasi suatu pembuktian. Anak pada tahap ini sudah memahami
mengapa sesuatu itu dijadikan postulat atau dalil.• Tahap keakuratan merupakan tahap
tertinggi dalam memahami geometri. Pada tahap ini memerlukan tahap berpikir yang
kompleks dan rumit.

Model Pembelajaran Van Hiele

Teori van Hiele pertama kali dikembangkan oleh Pierre Marie van Hiele dan Dina van
Hiele-Geldof dalam disertasi yang terpisah di Universitas Utrecht pada tahun 1957.
Teori ini menjelaskan mengenai perkembangan berpikir siswa dalam belajar geometri.
Dalam teori tersebut, mereka ber-pendapat bahwa dalam mempelajari geometri para
siswa mengalami per-kembangan kemampuan berpikir melalui tahap-tahap tertentu.
Teori pem-belajaran van Hiele telah diakui secara internasional.

Beberapa penelitian yang telah dilakukan membuktikan bahwa pembel-ajaran dengan


teori van Hiele memberikan dampak yang positif dalam pembelajaran geometri.
Susiswo (http://abdussakir.wordpress.com) me-nyimpulkan pembelajaran model van
Hiele lebih baik diterapkan pada pembelajaran geometri. Senk
(http:/abdussakir.wordpress.com) menyata-kan, “prestasi siswa SMU dalam menulis
pembuktian geometri berkaitan secara positif dengan teori van Hiele.” Husnaeni

9
(http://abdussakir.word-press.com) menyatakan bahwa penerapan model van Hiele
efektif untuk peningkatan penguasaan konsep siswa.

Teori van hiele memiliki tiga aspek, yaitu adanya tahap-tahap perkem-bangan berpikir
geometri, karakteristik teori van Hiele dan perpindahan dari level satu ke level
berikutnya. Menurut teori, ada lima tahap perkembangan berpikir geometri yaitu:
Level 0: (Recognition) Siswa dapat menyebutkan nama sebuah gambar dan mengenal
bangun-bangun secara menyeluruh.
Level 1: (analysis) Siswa dapat mengidentifikasi sifat-sifat dari suatu bangun.
Level 2: (Order) Siswa dapat menghubungkan sifat-sifat suatu bangun tetapi belum
dapat menggunakan penalaran matematik deduktif.
Level 3: (Deduction) Siswa mengerti secara signifikan dari penalaran deduktif dan dapat
memahami postulat, teorema dan aksioma aksioma.
Level 4: (Rigour) Siswa memahami sesuatu penalaran deduksi secara abstrak. Pada
tingkat ini, siswa memahami bahwa dimungkinkan adanya lebih dari satu geometri
selain geometri euclid.
Usiskin (1982: 4)

 Usiskin (1982: 5) juga menyebutkan: “Karakteristik Teori van Hiele, yaitu (1) tahap-
tahap tersebut bersifat hierarki dan berurutan, (2) konsep yang dipahami secara implisit
pada suatu tahap akan dipahami secara ekplisit pada tahap berikutnya (3) setiap tahap
mempunyai kosakata dan sistem relasi sendiri-sendiri. (4) mismacth, yakni jika
seseorang berada pada suatu tahap dan tahap pembelajaran berada pada tahap yang
berbeda. Secara khusus yakni jika guru, bahan pembelajaran, isi, kosakata dan lainnya
berada pada tahap yang lebih tinggi daripada tahap berpikir siswa.”

 Setiap tahap dalam teori van Hiele, menunjukkan karakteristik proses berpikir siswa
dalam belajar geometri dan pemahamannya dalam konteks geometri. Kualitas
pengetahuan siswa tidak ditentukan oleh akumulasi pengetahuannya, tetapi lebih
ditentukan oleh proses berpikir yang diguna-kan. Tahap-tahap berpikir van Hiele akan
dilalui siswa secara berurutan. Dengan demikian, siswa harus melewati suatu tahap
dengan matang se-belum menuju tahap berikutnya. Kecepatan berpindah dari suatu
tahap ke tahap berikutnya lebih banyak bergantung pada isi dan metode pembelajar-an
daripada umur dan kematangan. Dengan demikian, guru harus menye-diakan
pengalaman belajar yang cocok dengan tahap berpikir siswa.

Crowley (http://abdussakir.wordpress.com) menyatakan: “Untuk meningkatkan suatu


tahap berpikir ke tahap berpikir yang lebih tinggi Van Hiele mengajukan pembelajaran
yang melibatkan 5 fase (langkah), yaitu; informasi (information), orientasi langsung
(directed-orientation), penjelasan (explanation), orientasi bebas (free orientation), dan

10
integrasi (integration).”

geometri diperhatikan berdasarkan pe-nampakan fisik sebagai suatu keseluruhan. Aktivitas


untuk tahap ini an-tara lain sebagai berikut.

1).Melibatkan penggunaan
model fisik yang dapat digunakan siswa untuk manipulasi, mewarna, melipat dan
mengkonstruk bangun geometri.
2).Melibatkan kegiatan memilih, suatu gambar sederhana, dalam kum-pulan potongan
bangun, atau alat peraga yang lain, dalam berbagai orientasi, melibatkan obyek-obyek fisik
lain di dalam kelas, rumah, atau tempat lain
3).Membuat bangun dengan menjiplak gambar pada kertas bergaris, menggambar bangun,
dan mengkonstruk bangun. Dan mendeksripsi-kan bangun-bangun geometri dan
mengkonstruk secara verbal menggunakan bahasa baku atau tidak baku, misalnya kubus
“seperti pintu atau kotak.”.
4).Mengerjakan masalah Contohnya sebagai berikut.

Fase 1 : Informasi (information)


Pada awal fase ini, guru dan siswa menggunakan tanya jawab dan kegiatan tentang obyek-
obyek yang dipelajari pada tahap berpikir yang bersangkut-an. Guru mengajukan
pertanyaan kepada siswa sambil melakukan obser-vasi untuk mengetahui kemampuan
awal yang dimiliki siswa dalam mengenai topik yang dibahas. Hal ini juga berguna
menentukan langkah pembelajaran apa yang seharusnya yang akan diambil.
Fase 2 : Orientasi langsung (directed orientation)
Siswa menggali topik yang dipelajari melalui alat-alat yang dengan cermat disiapkan guru.
Aktifitas ini akan berangsur-angsur menampakkan kepada siswa struktur yang memberi
ciri-ciri untuk tahap berpikir ini. Jadi, alat ataupun bahan harus dirancang dengan baik
sehingga dapat mendatangkan repon khusus.
Fase 3 : Penjelasan (explication)
Berdasarkan pengalaman sebelumnya, siswa menyatakan pandangan yang muncul
mengenai struktur yang diobservasi. Di samping itu untuk guru membantu siswa
menggunakan bahasa yang tepat dan akurat untuk menjelaskan mengenai apa yang baru
diamati.
Fase 4 : Orientasi bebas (free orientation)
Siswa mengahadapi tugas-tugas yang lebih komplek berupa tugas yang memerlukan
banyak langkah, tugas-tugas yang dilengkapi dengan banyak cara penyelesaiaan atau
jawaban (open-ended). Mereka memperoleh pe-ngalaman dalam menemukan cara
mereka sendiri, maupun dalam me-nyelesaikan tugas-tugas.
Fase 5 : Integrasi (Integration)
Siswa meninjau kembali dan meringkas apa yang telah dipelajari.

11
Berikut ini adalah penjelasan mengenai aktivitas-aktivitas yang dapat digunakan untuk tiga
tahap pertama, yaitu tahap 0 sampai tahap 2 menurut Crowley dan Walle (http://
abdussakir.wordpress.com).

1. Aktivitas Tahap 0 (Visualisasi)


Pada tahap 0 ini, bangun-bangun geometri yang dapat dipecahkan dengan me-nyusun,
mengukur, dan menghitung.

2. Aktivitas Tahap 1 (Analisis)


Pada tahap 1 ini siswa diharapkan dapat mengungkapkan sifat-sifat bangun geometri.
Aktivitas untuk tahap ini antara lain sebagai berikut.
1).Menggunakan model-model pada tahap 0, terutama pada model-model yang dapat
digunakan untuk mengeksplorasi bebagai sifat bangun.
2).Membandingkan bangun-bangun berdasarkan karakteristik sifat-sifat-nya.
3).Mengidentifikasi dan menggambar bangun yang diberikan secara verbal atau diberikan
sifat-sifatnya secara tertulis.
4).Mengidentifikasi sifat-sifat yang dapat digunakan untuk mencirikan atau
mengkontraskan kelas-kelas bangun yang berbeda.
5).Menemukan sifat objek yang tidak dikenal.
6).Menyelesaikan masalah geometri yang dapat mengarahkan untuk mengetahui dan
menemukan sifat-sifat suatu gambar, relasi geometri, atau pendekatan berdasar wawasan.

3. Aktivitas Tahap 2 (Deduksi Informal)


Pada tahap 2 ini siswa diharapkan mampu mempelajari keterkaitan antara sifat-sifat dan
bangun geometri yang dibentuk. Aktivitas siswa untuk tahap ini antara lain sebagai berikut.
1. Mempelajari hubungan yang telah dibuat pada tahap 1, dan membuat implikasi.
2. Mengidentifikasi sifat yang perlu dan cukup untuk kondisi bangun.
3. Membuat dan menggunakan definisi dengan bahasanya sendiri.
4. Mengikuti argumen-argumen informal dan menyajikan argumen informal.
5. Mengikuti argumen deduktif, mungkin dengan menyisipkan langkah-langkah yang
kurang.
6. Melibatkan kerjasama dan diskusi yang mengarah pada pernyataan dan konversnya.
7. Menyelesaikan masalah yang menekankan pada pentingnya sifat-sifat gambar dan
saling keterkaitannya.

Aktivitas pembelajaran untuk pengenalan konsep-konsep geometri di tingkat SMA dapat


dimulai dari tahap 0, tahap 1 sampai tahap 3. Seperti yang dijelaskan oleh Burger and
Shaughnessy (dalam Genz, 2006:1) bahwa tingkat berpikir siswa SMA bisa mencapai tahap
deduksi formal. Namun karena mempertimbangkan materi SMK yang tingkat kesulitannya
sama dengan materi SMP maka, penelitian ini membatasi tahap pemikiran geometri sampai

12
pada tahap 2. Hal ini juga didukung oleh pada pendapat Walle
(http://abdussakir.wordpress.com) bahwa sebagian besar siswa sekolah menengah umum
hanya dapat berada pada tahap 0 sampai tahap 2.

1.6 JOHN DEWEY

APLIKASI TEORI KOGNITIF JOHN DEWEY PADA PEMBELAJARAN SISWA


Teori kognitif John Dewey dapat diaplikasikan dalam pembelajaran siswa khususnya
pada pembelajaran kognitif. Pembelajaran kognitif menekankan pada keaktifan siswa
dalam berpikir untuk memecahkan masalah dengan cara merekonstruksi masalah
dengan pengetahuan dan pengalaman yang telah didapat. Hal ini tentunya akan melatih
siswa untuk berpikir secara rasional dalam memecahkan masalah. Proses pembelajaran
kognitif harus dilakukan secara berkelanjutan agar ada perkembangan dalam
kemampuan berpikir siswa.
Sugihartono dkk, (2007) menjelaskan misi dari pemerolehan pengetahuan melalui
strategi pembelajaran kognitif adalah kemampuan memperoleh, menganalisis, dan
mengolah informasi dengan cermat serta kemampuan pemecahan masalah. Dalam hal
ini siswa dituntut untuk menjalani proses pembelajaran yang bersifat intensif agar siswa
memiliki kemampuan untuk memperoleh informasi hingga memperoleh kemampuan
memecahkan masalah. Berdasarkan pandangan kognitif tentang bagaimana
pengetahuan diperoleh atau dibentuk, belajar merupakan proses aktif dari pembelajar
untuk membangun pengetahuannya (Sugihartono dkk, 2007).
Teori kognitif merupakan landasan pokok bagi pembelajaran siswa karena teori ini
mengutamakan kemampuan siswa secara verbal. Tujuan pendidikan menurut teori
belajar kognitif adalah (Sugihartono dkk, 2007):
Menghasilkan individu atau anak yang memiliki kemampuan berfikir untuk
menyelesaikan setiap persoalan yang dihadapi.
Kurikulum dirancang sedemikian rupa sehingga terjadi situasi yang memungkinkan
pengetahuan dan keterampilan dapat direkonstruksi oleh peserta didik. Selain itu,
latihan memecahkan masalah seringkali dilakukan melalui belajar kelompok dengan
menganalisis masalah dalam kehidupan sehari-hari.
Peserta didik diharapkan selalu aktif dan dapat menemukan cara belajar yang sesuai
bagi dirinya. Guru berfungsi sebagai mediator, fasilitator, dan teman yang membuat
situasi menjadi kondusif untuk terjadinya konstruksi pengetahuan pada diri peserta
didik.
Dari penjelasan tersebut dapat dikatakan bahwa pendidikan kognitif lebih mengarah
pada kemandirian siswa dengan kata lain guru hanya menjadi mediator atau
menyampaikan materi pendidikan. Dengan cara tersebut maka kemampuan siswa
menjadi lebih berkembang sehingga kualitas pendidikan yang dimiliki oleh siswa
tersebut menjadi lebih baik. Salah satu metode pembelajaran kognitif yang paling tepat

13
untuk diaplikasikan pada pembelajaran siswa adalah model CBSA atau cara belajar
siswa aktif. Cara ini dianggap paling efektiv untuk pengembangan kognisi siswa.
Dalam upaya mengimplementasikan teori belajar konstruktivisme, Tyler (1996: 20
dalam Sugihartono dkk, 2007) mengajukan beberapa saran yang berkaitan dengan
rancangan pembelajaran, sebagai berikut:
Memberi kesempatan kepada siswa untuk mengemukakan gagasannya dengan
bahasa sendiri
Memberi kesempatan kepada siswa untuk berfikir tentang pengalamannya sehingga
menjadi lebih kreatif dan imajinatif
Memberi kesempatan kepada siswa untuk mencoba gagasan baru
Memberi pengalaman yang berhubungan dengan gagasan yang telah dimiliki siswa
Mendorong siswa untuk memikirkan perubahan gagasan mereka
Menciptakan lingkungan belajar yang kondusif.
Beberapa contoh untuk pembelajaran kognitif antara lain pembelajaran melalui
penelitian ilmiah dan hasil penelitian tersebut didiskusikan di dalam forum diskusi.
Manfaat lain dari kegiatan diskusi ilmiah tersebut adalah melatih siswa berpikir objekif
yang secara tidak langsung berhubungan dengan gejala kognitif.

A. KONSEP BELAJAR DAN TEORI PEMBELAJARAN KOGNITIF JOHN DEWEY


Setiap orang telah mempunyai pengalaman dan pengetahuan di dalam dirinya
serta pengalaman dan pengetahuan ini tertata dalam bentuk struktur kognitif
(Sugihartono dkk, 2007: 105). Pengalaman dan pengetahuan tersebut diperoleh melalui
proses penginderaan yang selanjutnya akan masuk ke dalam memori serta tersusun
dalam struktur kognitif. Pada tahap selanjutnya pengalaman dan pengetahuan yang
telah tersusun secara kognitif tersebut akan bekerja secara psikomotorik untuk
pemecahan masalah bagi siswa.
Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa faktor kognitif berasal dari
pengalaman dan pengetahuan yang dimiliki oleh siswa. Menurut teori ini, proses belajar
akan berjalan dengan baik bila materi pelajaran yang baru beradaptasi
(bersinambungan) secara tepat dan serasi dengan struktur kognitif yang telah dimiliki
siswa (Sugihartono dkk , 2007:105). Dari pengertian tersebut dapat diambil kesimpulan
bahwa proses belajar harus dilakukan secara terus-menerus agar berjalan dengan baik.
proses belajar yang berkesinambungan akan lebih memiliki manfaat bagi siswa seperti
siswa akan lebih banyak memiliki alternatif pemecahan masalah sehingga masalah yang
dihadapi akan terselesaikan dengan cara yang efisien.
Teori pembelajaran kognitif dapat dibagi menjadi dua aliran yakni teori gestalt
dan konstruktivistik. Sugihartono dkk. (2007) dalam kutipannya menjelaskan konsep
penting dalam psikologi gestalt adalah insight yaitu pengamatan atau pemahaman
mendadak terhadap hubungan-hubungan antarbagian di dalam suatu situasi
permasalahan. Pengamatan atau pemahaman yang secara mendadak tersebut sering

14
diartikan sebagai ide atau gagasan yang secara tidak sengaja muncul di dalam memori
kita. Meskipun mendadak pengamatan atau pemahaman tersebut didapat terlebih
dahulu melalui proses berpikir. Hal semacam ini bersifat insidental.
Sugihartono dkk. (2007) menjelaskan perbedaan antara teori gestalt dengan
konstruktivistik terletak pada permasalahan yakni pada gestalt permasalahan yang
dimunculkan berasal dari pancingan eksternal sedangkan pada konstruktivistik
permasalahan muncul dibangun dari pengetahuan yang direkonstruksi oleh siswa
sendiri. Penjelasan dari teori konstruktivistik tersebut adalah permasalahan yang
muncul dari dalam diri siswa itu sendiri atau dapat dikatakan sebagai faktor internal.
Faktor internal tersebut yang akhirnya memunculkan suatu permasalahan. Teori
konstruktivistik dipelopori oleh seorang psikolog asal Amerika Serikat yakni John
Dewey.
John Dewey mengemukakan bahwa belajar tergantung pada pengalaman dan
minat siswa sendiri dan topik dalam kurikulum seharusnya saling terintegrasi bukan
terpisah atau tidak mempunyai kaitan satu sama lain (Sugihartono dkk, 2007:108).
Apabila belajar siswa tergantung pada pengalaman dan minat siswa maka suasana
belajar siswa akan menjadi lebih menyenangkan dan hal ini akan mendorong siswa
untuk berfikir proaktif dan mampu mencari pemecahan masalah, di samping itu
kurikulum yang diajarkan harus saling terintegrasi agar pembelajaran dapat berjalan
dengan baik dan memiliki hasil maksimal.
John Dewey dalam bukunya Democracy and Education (1950: 89-90, dalam Dwi
Siswoyo dkk, 2011), pendidikan adalah rekonstruksi atau reorganisasi pengalaman yang
menambah makna pengalaman, dan yang menambah kemampuan untuk mengarahkan
pengalaman selanjutnya. Seperti telah diuraikan di muka bahwa dalam teori
konstruktivisme disebutkan bahwa permasalahan muncul dibangun dari rekonstruksi
yang dilakukan oleh siswa sendiri, hal ini dapat dikatakan bahwa dalam pendidikan ada
keterkaitan antara siswa dengan permasalahan yang dihadapi dan siswa tersebut yang
merekonstruksi lewat pengetahuan yang dimiliki. Selain itu dari teori kognitif yang
menegaskan pengalaman sebagai landasan pembelajaran juga sangat relevan.
John Dewey tidak hanya mengembangkan teori konstruktivistik yang terangkum
dalam teori kognitif tetapi juga mengembangkan teori perkembangan moral peserta
didik. John Dewey membagi perkembangan moral anak menjadi tiga tahapan, yaitu
tahap premoral atau preconventional, tahap conventional, dan tahap autonomous (Dwi
Siswoyo dkk, 2011). Selanjutnya John Dewey (Dwi Siswoyo dkk, 2011) menjelaskan
beberapa tahapan yang dikemukakan, yaitu:
- Tahap premoral. Tingkah laku seseorang didorong oleh desakan yang bersifat fisikal
atau sosial.
- Tahap convention. Seseorang mulai bisa menerima nilai dengan sedikit kritis
berdasarkan kepada kriteria kelompoknya.

15
- Tahap autonomous. Seseorang sudah mulai bisa berbuat atau bertingkah laku sesuai
dengan akal pikiran dan pertimbangan dirinya sendiri, tidak sepenuhnya menerima
kriteria kelompoknya.
Teori perkembangan moral peserta didik sangat berhubungan dengan teori
pembelajaran kognitif. Hal ini dapat dilihat dalam teori perkembangan moral peserta
didik, seseorang mengalami beberapa tahap dalam bertingkah laku di lingkungan sosial
atau kelompoknya dan hal ini akan membawa pengalaman dan memberi pengetahuan
pada siswa tersebut. Teori kognitif pada dasarnya membahas faktor-faktor kognisi yang
berhubungan dengan jiwa atau kondisi psikologi seseorang. Definisi dari kognisi yaitu
suatu proses atau upaya manusia dalam mengenal berbagai macam stimulus atau
informasi yang masuk ke dalam alat inderanya, menyimpan, menghubung-hubungkan,
menganalisis, dan memecahkan suatu masalah berdasar stimulus atau informasi
tersebut (Sugihartono dkk, 2007).
Pengertian tersebut mengandung arti bahwa gejala kognisi sering dikaitkan
dengan proses belajar seseorang yang didapat dari pengamatan termasuk pengalaman
dan melalui alat indera hingga pada akhirnya dapat digunakan untuk memecahkan
masalah. Sugihartono dkk (2007) menjelaskan yang termasuk gejala pengenalan adalah
penginderaan dan persepsi, asosiasi, memori, berpikir, dan intelegensi. Salah satu
faktor-faktor kognitif yang paling berpengaruh terhadap proses pembelajaran
seseorang adalah berpikir.
Salah satu bentuk berpikir adalah reasoning. Reasoning adalah bentuk berpikir di
mana kemungkinan-kemungkinan pemecahan ditimbang-timbang secara simbolis
(Dimyati, 1990). Reasoning itu adalah serangkaian langkah yang berurutan dan langkah-
langkah itu antara lain (John Dewey, 1990 dalam Dimyati, 1990):
- Maladjusment. Orang yang dimotovir menghadapi suatu rintangan (menghadapi
problem).
- Diagnosis. Orang itu melokalisir sumber problimnya dan mempertimbangkan
strukturnya. Langkah ini menyangkut kemampuan analisis untuk mengabstraksi dan
membentuk konsep.
- Hipotesis. Orang itu membuat satu atau lebih dugaan. Langkah ini menyangkut
imajinasi kreatif.
- Deduksi. Orang itu berusaha menentukan bahwa dugaannya itu akan benar. Langkah
ini menyangkut logika dan pengalaman.
- Verifikasi. Orang itu mengecek langkah keempat dengan fakta-fakta yang ada. Langkah
ini menyangkut sampling dan eksperimen.

B. APLIKASI TEORI KOGNITIF JOHN DEWEY PADA PEMBELAJARAN SISWA


Teori kognitif John Dewey dapat diaplikasikan dalam pembelajaran siswa
khususnya pada pembelajaran kognitif. Pembelajaran kognitif menekankan pada
keaktifan siswa dalam berpikir untuk memecahkan masalah dengan cara
merekonstruksi masalah dengan pengetahuan dan pengalaman yang telah didapat. Hal

16
ini tentunya akan melatih siswa untuk berpikir secara rasional dalam memecahkan
masalah. Proses pembelajaran kognitif harus dilakukan secara berkelanjutan agar ada
perkembangan dalam kemampuan berpikir siswa.
Sugihartono dkk, (2007) menjelaskan misi dari pemerolehan pengetahuan melalui
strategi pembelajaran kognitif adalah kemampuan memperoleh, menganalisis, dan
mengolah informasi dengan cermat serta kemampuan pemecahan masalah. Dalam hal
ini siswa dituntut untuk menjalani proses pembelajaran yang bersifat intensif agar siswa
memiliki kemampuan untuk memperoleh informasi hingga memperoleh kemampuan
memecahkan masalah. Berdasarkan pandangan kognitif tentang bagaimana
pengetahuan diperoleh atau dibentuk, belajar merupakan proses aktif dari pembelajar
untuk membangun pengetahuannya (Sugihartono dkk, 2007).
Teori kognitif merupakan landasan pokok bagi pembelajaran siswa karena teori ini
mengutamakan kemampuan siswa secara verbal. Tujuan pendidikan menurut teori
belajar kognitif adalah (Sugihartono dkk, 2007):
- Menghasilkan individu atau anak yang memiliki kemampuan berfikir untuk
menyelesaikan setiap persoalan yang dihadapi.
- Kurikulum dirancang sedemikian rupa sehingga terjadi situasi yang memungkinkan
pengetahuan dan keterampilan dapat direkonstruksi oleh peserta didik. Selain itu,
latihan memecahkan masalah seringkali dilakukan melalui belajar kelompok dengan
menganalisis masalah dalam kehidupan sehari-hari.
- Peserta didik diharapkan selalu aktif dan dapat menemukan cara belajar yang sesuai
bagi dirinya. Guru berfungsi sebagai mediator, fasilitator, dan teman yang membuat
situasi menjadi kondusif untuk terjadinya konstruksi pengetahuan pada diri peserta
didik.
Dari penjelasan tersebut dapat dikatakan bahwa pendidikan kognitif lebih
mengarah pada kemandirian siswa dengan kata lain guru hanya menjadi mediator atau
menyampaikan materi pendidikan. Dengan cara tersebut maka kemampuan siswa
menjadi lebih berkembang sehingga kualitas pendidikan yang dimiliki oleh siswa
tersebut menjadi lebih baik. Salah satu metode pembelajaran kognitif yang paling tepat
untuk diaplikasikan pada pembelajaran siswa adalah model CBSA atau cara belajar
siswa aktif. Cara ini dianggap paling efektiv untuk pengembangan kognisi siswa.
Dalam upaya mengimplementasikan teori belajar konstruktivisme, Tyler (1996: 20
dalam Sugihartono dkk, 2007) mengajukan beberapa saran yang berkaitan dengan
rancangan pembelajaran, sebagai berikut:
- Memberi kesempatan kepada siswa untuk mengemukakan gagasannya dengan bahasa
sendiri
- Memberi kesempatan kepada siswa untuk berfikir tentang pengalamannya sehingga
menjadi lebih kreatif dan imajinatif
- Memberi kesempatan kepada siswa untuk mencoba gagasan baru
- Memberi pengalaman yang berhubungan dengan gagasan yang telah dimiliki siswa
- Mendorong siswa untuk memikirkan perubahan gagasan mereka

17
- Menciptakan lingkungan belajar yang kondusif.
Beberapa contoh untuk pembelajaran kognitif antara lain pembelajaran melalui
penelitian ilmiah dan hasil penelitian tersebut didiskusikan di dalam forum diskusi.
Manfaat lain dari kegiatan diskusi ilmiah tersebut adalah melatih siswa berpikir objekif
yang secara tidak langsung berhubungan dengan gejala kognitif.

1.7 TEORI PELAZIMAN KLASIK IVAN PAVLOV

Berdasarkan hukum perkaitan ini, Pavlov mencadangkan bahawa proses asas


pembelajaran ialah pembentukan perkaitan antara RANGSANGAN (R) dan sesuatu
GERAK BALAS (G). Pavlov cuba membuktikan teori pembelajaran ini dengan
menjalankan kajian ke atas anjing. Dia dapati bahawa apabila anjing melihat bekas
dengan makanan, air liur haiwan itu keluar. Dia membuat kesimpulan bahawa anjing
tersebut telah 'belajar' mengaitkan bekas makanan yang dilihat dengan makanan yang
akan diberikan kelak. Pavlov melanjutkan kajiannya dengan menguji hipotesis bahawa
sesuatu organisme boleh diajar bertindak dengan pemberian sesuatu rangsangan.

Contoh : apabila kita melihat rumah yang besar dan cantik, kita akan membuat andaian,
rumah yang besar dan cantik itu milik seseorang yang kaya. Andaian ini dilakukan
bergantung kepada pengalaman yang pernah kita lalui.

18
19
20
Kesimpulan kajian Pavlov ialah :

Penguasaan(Acquisition)

Penguasaan atau bagaimana organisme mempelajari sesuatu gerakbalas atau respons


baru berlaku berperingkat-peringkat. Lebih kerap organisma mencuba,lebih kukuh
penguasaan berkenaan.

Generalisasi(Generalisation)
Pavlov menggunakan bunyi loceng yang berlainan nada,tetapi anjing masih
mengeluarkan air liur.Ini menunjukkan bahawa organisme telah terlazim dengan
dikemukakan sesuatu rangsangan tak terlazim(RTT) juga akan menghasilkan gerak balas
terlazim (GT=air liur) walaupun rangsangan itu berlainan atau hampir sama.

Diskriminasi (Discrimination)
Pavlov mendapati bahawa apabila dia menukar nada bunyi loceng,anjing masih
mengeluarkan air liur.Apabila nada jauh berbeza daripada bunyi asal,anjing itu tidak
mengeluarkan air liur. Ini menunjukkan bahawa organisme berkenaan dapat
membezakan atau mendiskriminasi antara rangsangan yang dikemukakan dan memilih
untuk tidak bertindak atau bergerak balas.

Penghapusan (Extinction)
Sekiranya sesuatu rangsangan terlazim(loceng) tidak diikuti dengan rangsangan tak
terlazim (makanan),lama-kelamaan organisme itu tidak akan bertindak balas.Gerak
balas berperingkat-peringkat terhapus.

21
IMPLIKASI TEORI PELAZIMAN KLASIK KE ATAS PENGAJARAN
DAN PEMBELAJARAN

Menurut teori pelaziman klasik, cara pembelajaran yang sesuai ialah menggunakan
ransangan tak terlazim dikaitkan dengan ransangan terlazim. Hal ini dibuktikan oleh
Pavlov dan Watson melalui kajian yang mereka jalankan iaitu Eksperimen Little Albert
dan eksperimen ke atas anjing. Eksperimen-eksperimen tersebut secara ringkasnya
menekankan bahawa, peneguhan atau keselesaan kepada responden pada awalnya.
Kemudian, setelah responden terbiasa dengan keadaan tersebut, penghapusan akan
dijalankan.

Melalui teori yang dikemukakan oleh kedua- dua tokoh tersebut, dapatlah digunakan
oleh para pendidik dalam pengajaran dan pembelajaran. Antara implikasi teori tersebut
dalam P&P ialah :

 gerak balas positif (perhatian dan penglibatan murid- murid dalam P&P) dapat dipupuk
melalui pelaziman klasik. Selain daripada itu juga, ia perlu berkaitan dengan
pengetahuan sedia ada murid- murid untuk memudahkan proses P&P. Contohnya, jika
seorang guru ingin mengajarkan perkataan “bola” kepada murid, pastikan murid
mampu menyebut perkataan tersebut terlebih dahulu apabila ditunjukkan sebiji bola
kearahnya. Kemudian, tunjukkan kad perkataan bola disertakan dengan sebiji bola
untuk mendapat gerak balas murid tersebut. Aktiviti tersebut diulang beberapa kali
sehinggalah murid mampu menyebut perkataan buku apabila ditunjukkan kad
perkataan kepadanya.
 Guru perlu memberikan latihan yang cukup untuk mengukuhkan ransangan terlazim
dengan gerak balas terlazim. Contohnya, memberikan penyelesaian masalah matematik
dengan kerap kali. Seterusnya, gunakan peneguhan sekunder untuk mengekalkan gerak
balas terlazim yang menunjukkan fenomena proses penghapusan iaitu gunakan
ransangan baru bagi memotivasikan murid semasa aktiviti pembelajaran. Sebagai
contoh, jika sebelum ini guru memberikan gula- gula, pada suatu hari guru memberikan
pensel sebagai peneguhan. Malah, guru perlu membantu murid memulihkan ingatan

22
dengan memberikan masa rehat yang cukup sehingga segala gangguan pembelajaran
yang sedia ada dihilangkan.
 Dalam pembelajaran, penghapusan boleh berlaku jika peneguhan tidak diberikan. Ini
bermakna, sekiranya sesuatu tingkahlaku tidak diperkukuhkan melalui ganjaran,
tingkahlaku itu mungkin akan terhapus begitu sahaja. Konsep pemulihan serta-merta
juga dapat membantu seseorang guru meningkatkan keberkesanan pembelajaran.

23
BAB III
PENUTUP
1.8 Kesimpulan
Strategi pembelajaran adalah siasat atau kiat yang sengaja direncanakan oleh guru,
berkenaan dengan segala persiapan pembelajaran agar pelaksanaan pembelajaran berjalan
dengan lancar, dan tujuan yang berupa hasil belajar dapat tercapai secara optimal. Strategi
belajar adalah strategi siswa dalam mempelajari konsep-konsep matematika dan dalam
menyelesaikan soal-soalnya. Sedangkan strategi mengajar adalah strategi yang
dipergunakan guru dalam mengolah materi matematika untuk pengajaran.
Metode pembelajaran adalah cara menyajikan materi yang masih bersifat umum.
Misalnya seorang guru menyajikan materi dengan penyampaian yang didominasi cara lisan,
lalu sekali-sekali ada Tanya jawab. Model pembelajaran dimaksudkan sebagai pola interaksi
siswa dengan guru didalam kelas yang menyangkut strategi, pendekatan, metode dan teknik
pembelajaran yang diterapkan dalam pelaksanaan kegiatan belajar-mengajar. Bagi guru
matematika yang mempelajari bagian ini akan sangat berguna dalam meningkatkan
kemampuan dirinya sebagai guru matematika yang professional, karena dengan menguasai
materi serta aplikasinya akan meningkat pula wawasan kemampuan untuk melaksanakan
kegiatan pembelajaran matematika di dalam kelas.
Tidak hanya tingkat kedalaman konsep yang diberikan pada siswa yang harus
disesuaikan dengan tingkat kemampuannya, cara penyampaian materi pun demikiann pula.
Guru harus mengetahui tingkat perkembangan mental anak dan bagaimana pengajaran
yang harus dilakukan sesuai dengan tahap-tahap perkembangan tersebut. Pembelajaran
yang tidak memperhatikan tahap perkembangan mental siswa besar kemungkinan akan
mengakibatkan siswa mengalami kesulitan, karena apa yang disajikan pada siswa tidak
sesuai dengan kemampuannya dalam menyerap materi yang diberikan. Beberapa teori
belajar dalam psikologi diaplikaskan dalam pendidikan, dan diungkapkan bagaimana
implikasinya dalam pembelajaran matematika. Setelah mempelajari bagian ini diharapkan
mahasiswa memiliki sejumlah kemampuan tertentu. Kemampuan ini, sebagai tujuan
mempelajari bagian ini mahasiswa dapat memahami teori psikologi pembelajaran serta
mampu menerapkannya dalam pelaksanaan pembelajaran matematika.

24
Daftar Pustaka

http://thabilkharisma.blogspot.com/2012/01/teori-belajar-arthur-william-

brownell.html

http://wikapadia/teorimengajar.html

http://.blogspot.com/2002/teori-belajar-arthur.html

http://sma.belajar.com/2010/06/021/teori-belajar.html

http://wikapadia/caramengajar teori.html

http://thabilkharisma.blogspot.com

25

Anda mungkin juga menyukai