Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH STRUKTUR

FONOLOGI,MORFOLOGI,SINTAKSIS
DAN SEMANTIK BAHASA INDONESIA

Dosen:

Disusun oleh:

UMI KHULSUM (17310762)

FAKULTAS EKONOMI PERIODE MANAGEMENT

UNIVERSITAS ISLAM KALIMANTAN ARSYAD AL BANJARI

TAHUN AKADEMIK 2018

Struktur Fonologi Bahasa Indonesia

1. Pembuka
o Latar Belakang

Dalam kehidupan sehari-hari masih banyak masyarakat yang memakai bahasa Indonesia
tetapi tuturan atau ucapan daerahnya terbawa ke dalam tuturan bahasa Indonesia. Tidak
sedikit seseorang yang berbicara dalam bahasa Indonesia, tetapi dengan lafal atau intonasi
Jawa, Batak, Bugis, Sunda dan lain-lain. Hal ini dimungkinkan karena sebagian besar bangsa
Indonesia memposisikan bahasa Indonesia sebagai bahasa kedua. Sedangkan bahasa
pertamanya adalah bahasa daerah masing-masing. Bahasa Indonesia hanya digunakan dalam
komunikasi tertentu, seperti dalam kegiatan-kegiatan resmi.

Selain itu, dalam pembelajaran bahasa Indonesia khususnya di Sekolah Dasar, istilah yang
dikenal dan lazim digunakan guru adalah istilah “huruf” walaupun yang dimaksud adalah
“fonem”. Mengingat keduanya merupakan istilah yang berbeda, untuk efektifnya
pembelajaran, tentu perlu diadakan penyesuaian dalam segi penerapannya. Oleh karena itu,
untuk mencapai suatu ukuran lafal atau fonem baku dalam bahasa Indonesia, sudah
seharusnya lafal-lafal atau intonasi khas daerah itu dikurangi jika mungkin diusahakan
dihilangkan.

 Rumusan Masalah
o Apakah yang dimaksud dengan fonologi?
o Bagaimanakah membedakan ilmu-ilmu bahasa yang tercakup dalam fonologi?
o Bagaimanakah mengidentifikasi fonem-fonem bahasa Indonesia?
 Tujuan
o Untuk menjelaskan pengertian fonologi.
o Untuk membedakan ilmu-ilmu bahasa yang tercakup dalam fonologi.
o Untuk mengidentifikasi fonem-fonem bahasa Indonesia.

2. Pembahasan
o Pengertian Fonologi

Sebelum diuraikan mengenai fonologi, terlebih dahulu dibahas mengenai struktur. Struktur
adalah penyusunan atau penggabungan unsur-unsur bahasa menjadi suatu bahasa yang
berpola.

Secara etimologi kata fonologi berasal dari gabungan kata fon yang berarti ‘bunyi‘
dan logi yang berarti ‘ilmu’. Sebagai sebuah ilmu, fonologi lazim diartikan sebagai bagian
dari kajian linguistik yang mempelajari, membahas, membicarakan, dan menganalisis bunyi-
bunyi bahasa yang diproduksi oleh alat-alat ucap manusia.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1997) dinyatakan bahwa fonologi adalah bidang
dalam linguistik yang menyelidiki bunyi–bunyi bahasa menurut fungsinya. Menurut
Kridalaksana (2002) dalam kamus linguistik, fonologi adalah bidang dalam linguistik yang
menyelidiki bunyi-bunyi bahasa menurut fungsinya. Dengan demikian, fonologi adalah
sistem bunyi dalam bahasa Indonesia atau dapat juga dikatakan bahwa fonologi adalah ilmu
tentang bunyi bahasa.

 Ilmu-Ilmu yang Tercakup dalam Fonologi

Fonologi dalam tataran ilmu bahasa terdiri atas:

 Fonetik

Fonetik yaitu ilmu bahasa yang membahas tentang bunyi-bunyi ujaran yang dipakai dalam
tutur dan bagaimana bunyi itu dihasilkan oleh alat ucap. Menurut Samsuri (1994), fonetik
adalah studi tentang bunyi-bunyi ujar. Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
(1997), fonetik diartikan bidang linguistik tentang pengucapan (penghasilan) bunyi ujar atau
fonetik adalah sistem bunyi suatu bahasa. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa fonetik
adalah ilmu bahasa yang membahas bunyi-bunyi bahasa yang dihasilkan alat ucap manusia,
serta bagaimana bunyi itu dihasilkan. Chaer (2007) membagi urutan proses terjadinya bunyi
bahasa itu menjadi tiga jenis fonetik yaitu:

1. Fonetik artikulatoris

Fonetik artikulatoris disebut juga fonetik organis atau fonetik fisiologis, mempelajari
bagaimana mekanisme alat-alat bicara manusia bekerja dalam menghasilkan bunyi bahasa
serta bagaimana bunyi-bunyi itu diklasifikasikan. Pembahasannya antara lain meliputi
masalah alat-alat ucap yang digunakan dalam memproduksi dalam bahasa itu, mekanisme
arus udara yang digunakan dalam memproduksi bunyi bahasa, bagaimana bunyi bahasa itu
dibuat, mengenai klasifikasi bahasa yang dihasilkan serta apa kriteria yang digunakan,
mengenai silabel, dan juga mengenai unsur-unsur atau ciri-ciri supresegmental, seperti
tekanan, jeda, durasi dan nada.

1. Fonetik akustik

Fonetik akustik mempelajari bunyi bahasa sebagai peristiwa fisis atau fenomena alam.
Objeknya adalah bunyi bahasa ketika merambat di udara, antara lain membicarakan:
gelombang bunyi beserta frekuensi dan kecepatannya ketika merambat di udara, spektrum,
tekanan, dan intensitas bunyi. Juga mengenai skala desibel, resonansi, akustik produksi
bunyi, serta pengukuran akustik itu. Kajian fonetik akustik lebih mengarah kepada kajian
fisika daripada kajian linguistik, meskipun linguistik memiliki kepentingan didalamnya.

1. Fonetik auditoris

Fonetik auditoris mempelajari bagaimana bunyi-bunyi bahasa itu diterima oleh telinga,
sehingga bunyi-bunyi itu didengar dan dapat dipahami. Dalam hal ini tentunya pambahasan
mengenai struktur dan fungsi alat dengar, yang disebut telinga itu bekerja. Bagaimana
mekanisme penerimaan bunyi bahasa itu, sehingga bisa dipahami. Oleh karena itu, kajian
fonetik auditoris lebih berkenaan dengan ilmu kedokteran, termasuk kajian neurologi.

Dari ketiga jenis fonetik tersebut yang paling berurusan dengan dunia lingusitik adalah
fonetik artikulatoris, sebab fonetik inilah yang berkenaan dengan masalah bagaimana bunyi-
bunyi bahasa itu dihasilkan atau diucapkan manusia. Sedangkan fonetik akustik lebih
berkenaan dengan bidang fisika yang dilakukan setelah bunyi-bunyi itu dihasilkan dan
sedang merambat di udara. Kajian mengenai frekuensi dan kecepatan gelombang bunyi
adalah kajian bidang fisika bukan bidang linguistik. Fonetik auditoris berkenaan dengan
bidang kedokteran daripada linguistik. Kajian mengenai struktur dan fungsi telinga jelas
merupakan bidang kedokteran.

 Fonemik

Fonemik adalah ilmu bahasa yang membahas bunyi-bunyi bahasa yang berfungsi sebagai
pembeda makna. Terkait dengan pengertian tersebut, fonemik dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia (1997) diartikan: (1) Bidang linguistik tentang sistem fonem. (2) Sistem fonem
suatu bahasa. (3) Prosedur untuk menentukan fonem suatu bahasa.

Jika dalam fonetik mempelajari berbagai macam bunyi yang dapat dihasilkan oleh alat-alat
ucap serta bagaimana tiap-tiap bunyi itu dilaksanakan, maka dalam fonemik mempelajari dan
menyelidiki kemungkinan-kemungkinan, bunyi ujaran yang manakah yang dapat mempunyai
fungsi untuk membedakan arti.

Chaer (2007) mengatakan bahwa fonemik mengkaji bunyi bahasa yang dapat atau berfungsi
membedakan makna kata. Misalnya bunyi [l], [a], [b] dan [u] dan [r], [a], [b] dan [u]. Jika
dibandingkan perbedaannya hanya pada bunyi yang pertama, yaitu bunyi [l] dan bunyi [r].
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kedua bunyi tersebut adalah fonem yang berbeda
dalam bahasa Indonesia, yaitu fonem /l/ dan fonem /r/.
Sebagai bidang yang berkosentrasi dalam deskripsi dan analisis bunyi-bunyi ujar, hasil kerja
fonologi berguna bahkan sering dimanfaatkan oleh cabang-cabang lingusitik yang lain,
misalnya morfologi, sintaksis, dan semantik.

1. Fonologi dalam cabang morfologi

Bidang morfologi yang kosentrasinya pada tataran struktur internal kata sering memanfaatkan
hasil studi fonologi, misalnya ketika menjelaskan morfem dasar {butuh} diucapkan secara
bervariasi antara [butUh] dan [bUtUh] serta diucapkan [butuhkan] setelah mendapat proses
morfologis dengan penambahan morfem sufiks {-kan}.

1. Fonologi dalam cabang sintaksis

Bidang sintaksis yang berkosentrasi pada tataran kalimat, ketika berhadapan dengan kalimat
kamu berdiri. (kalimat berita), kamu berdiri?(kalimat tanya), dan kamu berdiri! (kalimat
perintah) ketiga kalimat tersebut masing-masing terdiri dari dua kata yang sama tetapi
mempunyai maksud yang berbeda. Perbedaan tersebut dapat dijelaskan dengan
memanfaatkan hasil analisis fonologis, yaitu tentang intonasi, jedah dan tekanan pada kalimat
yang ternyata dapat membedakan maksud kalimat, terutama dalam bahasa Indonesia.

1. Fonologi dalam cabang semantik

Bidang semantik yang berkosentrasi pada persoalan makna kata pun memanfaatkan hasil
telaah fonologi. Misalnya dalam mengucapkan sebuah kata dapat divariasikan dan tidak.
Contoh kata [tahu], [tau], [teras] dan [t∂ras] akan bermakna lain. Sedangkan kata duduk dan
didik ketika diucapkan secara bervariasi [dudU?], [dUdU?], [didī?], [dīdī?] tidak
membedakan makna. Hasil analisis fonologislah yang membantunya.

 Fonem-Fonem Bahasa Indonesia


o Pengertian Fonem

Supriyadi (1992) berpendapat bahwa yang dimaksud fonem adalah satuan kebahasaan yang
terkecil. Santoso (2004) menyatakan bahwa fonem adalah setiap bunyi ujaran dalam satu
bahasa mempunyai fungsi membedakan arti. Bunyi ujaran yang membedakan arti ini disebut
fonem. Fonem tidak dapat berdiri sendiri karena belum mengandung arti. Dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia (1997) tertulis bahwa yang dimaksud fonem adalah satuan bunyi
terkecil yang mampu menunjukkan kontras makna. Misalnya /b/ dan /p/ adalah dua fonem
yang berbeda karenabara dan para beda maknanya. Contoh lain: mari, lari, dari, tari,
sari jika satu unsur diganti dengan unsur lain, maka akan membawa akibat yang besar yakni
perubahan makna.

Jadi dapat disimpulkan bahwa fonem adalah satuan bunyi bahasa terkecil yang bersifat
fungsional, artinya satuan memiliki fungsi untuk membedakan makna. Fonem tidak dapat
berdiri sendiri karena belum mengandung arti.

 Perbedaan Fonem dan Huruf

Dalam bidang linguistik, huruf sering diistilahkan dengan grafem. Fonem adalah satuan
bunyi bahasa yang terkecil yang dapat membedakan arti. Sedangkan huruf (grafem) adalah
gambaran dari bunyi (fonem), dengan kata lain, huruf adalah lambang fonem. Dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia (1997) bahwa huruf adalah tanda aksara dalam tata tulis yang
merupakan anggota abjad yang melambangkan bunyi bahasa.

Untuk memahami struktur fonem, dan perbedaan antara fonem dan huruf (grafem) perhatikan
contoh yang tertera dalam tabel berikut.

Susunan Jumlah Susunan Jumlah Kata yang


Fonem Fonem Huruf Huruf Terbentuk
/adik/ 4 Adik 4 Adik
/iɳat/ 4 Ingat 5 Ingat
/pantay/ 5 Pantai 6 Pantai

Perhatikan struktur fonologis dari contoh kata dasar berikut.

1. Nyanyi

nyanyi

nya nyi

ny a ny i

1. Syukur

syukur

syu kur

sy u k u r

 Sistem Fonologi dan Alat Ucap

Dalam bahasa Indonesia, secara resmi ada 32 buah fonem, yang terdiri atas: (a) fonem vokal
6 buah (a, i. u, e, ∂, dan o), (b) fonem diftong 3 buah, dan (c) fonem konsonan 23 buah (p, t,
c, k, b, d, j, g, m, n, n, η, s, h, r, l,w, dan z).

Bentuk-bentuk fonem suatu bahasa yang dihasilkan oleh alat ucap manusia dibahas dalam
bidang fonetik. Terkait dengan hal itu, Samsuri (1994) menyatakan secara fonetis bahasa
dapat dipelajari secara teoritis dengan tiga cara, yaitu:

1. Bagaimana bunyi-bunyi itu dihasilkan oleh alat ucap manusia


2. Bagaimana arus bunyi yang telah keluar dari rongga mulut dan /atau rongga hidung si
pembicara merupakan gelombang-gelombang bunyi udara
3. Bagaimana bunyi itu diinderakan melalui alat pendengaran dan syaraf si pendengar

Cara pertama disebut fisiologis atau artikuler, yang kedua disebut akustis dan yang ketiga
auditoris.
Dalam bahasan struktur fonologis cara pertamalah yang paling mudah, praktis, dapat
diberikan bukti-bukti datanya. Hampir semua gerakan alat-alat ucap itu dapat kita periksa,
paru-paru, sekat rongga dada, tenggorokan, lidah dan bibir.

Alat ucap dibagi menjadi dua macam:

1. Artikulator; adalah alat-alat yang dapat digerakkan/ digeser ketika bunyi diucapkan
2. Titik Artikulasi; adalah titik atau daerah pada bagian alat ucap yang dapat disentuh
atau didekati

Untuk mengetahui alat ucap yang digunakan dalam pembentukan bahasa, perhatikan bagan
berikut.

Fonem-fonem yang dihasilkan karena gerakan organ-organ bicara terhadap aliran udara dari
paru-paru sewaktu seseorang mengucapkannya. Jika bunyi ujaran yang keluar dari paru-paru
tidak mendapat halangan, maka bunyi atau fonem yang dihasilkan adalah vokal. Selanjutnya
jika bunyi ujaran ketika udara keluar dari paru-paru mendapat halangan, maka terjadilah
bunyi konsonan.

 Jenis-jenis Fonem

1. Fonem vokal

Nama-nama fonem vokal yang ada dalam bahasa Indonesia adalah:

1. /i/ vokal depan, tinggi, tak bundar


2. /e/ vokal depan, sedang, atas, tak bundar
3. /a/ vokal depan, rendah, tak bundar
4. /∂/ vokal tengah, sedang, tak bundar
5. /u/ vokal belakang, atas, bundar
6. /o/ vokal belakang, atas, bundar

Fonem vokal yang dihasilkan tergantung dari hal berikut.

1. Tinggi rendahnya posisi lidah

Berdasarkan tinggi rendahnya posisi lidah bunyi-bunyi vokal dapat dibedakan atas:

 vokal tinggi atas, seperti bunyi [i] dan [u]


 vokal tinggi bawah, seperti bunyi [I] dan [U]
 vokal sedang atas, seperti bunyi [e] dan [o]
 vokal sedang bawah, seperti bunyi [ɛ] dan [[‫ﬤ‬
 vokal sedang tengah, seperti bunyi [∂]
 vokal rendah, seperti bunyi [a]

1. Maju mundurnya lidah

Berdasarkan maju mundurnya lidah bunyi vokal dapat dibedakan atas:


 vokal depan, seperti bunyi [i], [e], dan [a]
 vokal tengah, seperti bunyi [∂]
 vokal belakang, seperti bunyi [u] dan [o]

Berkenaan dengan penentuan bunyi vokal berdasarkan posisi lidah ada konsep yang disebut
vokal kardinal (Jones 1958:18), yang berguna untuk membandingkan vokal-vokal suatu
bahasa di antara bahasa-bahasa lain. Konsep vokal kardinal ini menjelaskan adanya posisi
lidah tertinggi, terendah, dan terdepan dalam memproduksi bunyi vokal itu. Bunyi vokal [i]
diucapkan dengan meninggikan lidah depan setinggi mungkin tanpa menyebabkan terjadinya
konsonan geseran. Vokal [a] diucapkan dengan merendahkan pangkal lidah sebawah
mungkin. Vokal [u] diucapkan dengan menaikkan pangkal lidah setinggi mungkin.

1. Struktur

Struktur pada bunyi vokal adalah jarak antara lidah dengan langit-langit keras (palatum).
Maka, berdasarkan strikturnya bunyi vokal dapat dibedakan menjadi:

 Vokal tertutup (close vowels) yaitu vokal yang dibentuk dengan lidah diangkat
setinggi mungkin mendekati langit-langit. Vokal tertutup antara lain [i], [u].
 Vokal semi tertutup (half-close) yaitu vokal yang dibentuk dengan lidah diangkat
dalam ketinggian sepertiga di bawah tertutup atau dua per tiga di atas vokal terbuka.
Vokal semi tertutup antara lain [e], [∂], dan [o].
 Vokal semi terbuka (half-open) yaitu vokal yang dibentuk dengan lidah diangkat
dalam ketinggian sepertiga di atas terbuka atau dua per tiga di bawah vokal tertutup.
Vokal semi terbuka antara lain [ɛ] dan [‫]ﬤ‬.
 Vokal terbuka (open vowels) yaitu vokal yang dibentuk dengan lidah dalam posisi
serendah mungkin. Vokal terbuka adalah [a].

1. Bentuk mulut

Berdasarkan bentuk mulut sewaktu bunyi vokal itu diproduksi dapat dibedakan:

 Vokal bundar, yaitu vokal yang diucapkan dengan bentuk mulut membundar. Dalam
hal ini ada yang bundar terbuka seperti bunyi [‫]ﬤ‬, dan yang bundar tertutup seperti
bunyi [o] dan bunyi [u].
 Vokal tak bundar, yaitu vokal yang diucapkan dengan bentuk mulut tidak
membundar, melainkan terbentang melebar, seperti bunyi [i], bunyi [e], dan bunyi [ɛ].
 Vokal netral, yaitu vokal yang diucapkan dengan bentuk mulut tidak bundar dan tidak
melebar, seperti bunyi [a]

Berdasarkan keempat kriteria diatas, maka nama-nama vokal dapat disebutkan sebagai
berikut:

[i] adalah vokal depan, tinggi (atas), tak bundar, tertutup.

[I] adalah vokal depan, tinggi (bawah), tak bundar, tertutup.

[u] adalah vokal belakang, tinggi (atas), bundar, tertutup.

[U] adalah vokal belakang, tinggi (bawah), bundar, tertutup.


[e] adalah vokal depan, sedang (atas), tak bundar, semi tertutup.

[ɛ] adalah vokal depan, sedang (bawah), tak bundar, semi terbuka.

[∂] adalah vokal tengah, sedang, tak bundar, semi tertutup.

[o] adalah vokal belakang, sedang (atas), bundar, semi tertutup.

[‫ ]ﬤ‬adalah vokal belakang, sedang (bawah), bundar, semi terbuka.

[a] adalah vokal belakang, rendah, netral, terbuka.

2. Fonem Diftong

Fonem diftong yang ada dalam bahasa Indonesia adalah fonem diftong /ay/, diftong /aw/, dan
diftong /oy/. Ketiganya dapat dibuktikan dengan pasangan minimal.

/ay/ gulai x gula (gulay x gula)

/aw/ pulau x pula (pulaw x pula)

/oi/ sekoi x seka (s∂koy x seka)

Adapun klasifikasi diftong adalah sebagai berikut:

1. Diftong naik, terjadi jika vokal yang kedua diucapkan dengan posisi lidah menjadi
lebih tinggi daripada yang pertama.

Contoh:

[ai] <gulai>

[au] <pulau>

[oi] <sekoi>

[∂i] <esei>

1. Diftong turun, terjadi bila vokal kedua diucapkan dengan posisi lebih rendah daripada
yang pertama. Dalam bahasa Jawa ada diftong turun contohnya:

[ua] pada kata <muarem> ‘sangat puas’

[uo] pada kata <luoro> ‘sangat sakit’

[uɛ] pada kata <uelek> ‘sangat jelek’

1. Diftong memusat, terjadi bila vokal kedua diacu oleh sebuah atau lebih vokal yang
lebih tinggi, dan juga diacu oleh sebuah atau lebih vokal yang lebih rendah. Dalam
bahasa Inggris ada diftong [oα] seperti pada kata <more> dan kata <floor>. Ucapan
kata <more> adalah [mo∂] dan ucapan kata <floor> adalah [flo∂].
2. Fonem Konsonan

Nama-nama fonem konsonan bahasa Indonesia adalah

/b/ konsonan bilabial, hambat, bersuara

/p/ konsonan bilabial, hambat, tak bersuara

/m/ konsonan bilabial, nasal

/w/ konsonan bilabial, semi vokal

/f/ konsonan labiodentals, geseran, tak bersuara

/d/ konaonan apikoalveolar, hambat, bersuara

/t/ konsonan apikoaveolar, hambat, tak bersuara

/n/ konsonan apikoaveolar, nasal

/t/ konsonan apikoaveolar, sampingan

/r/ konsonan apikoaveolar, getar

/z/ konsonan laminoalveolar, geseran, bersuara

/s/ konsonan laminoalveolar, geseran, tak bersuara

/∫/ konsonan laminopalatal, geseran, bersuara

/ñ/ konsonan laminopalatal, nasal

/j/ konsonan laminopalatal, paduan, bersuara

/c/ konsonan laminopalatal, paduan, tak bersuara

/y/ konsonan laminopalatal, semivokal

/g/ konsonan dorsevelar, hambat, bersuara

/k/ konsonan dorsevelar, hambat, tak bersuara

/ŋ/ konsonan dorsevelar, nasal

/x/ konsonan dorsevelar, geseran, bersuara

/h/ konsonan laringal, geseran, bersuara


/?/ konsonan glotal, hambat

Fonem konsonan dapat digolongkan berdasarkan 4 kriteria yakni:

1. Tempat artikulasi, yaitu tempat terjadinya bunyi konsonan, atau tempat bertemunya
artikulator aktif dan artikulator pasif. Tempat artikulasi disebut juga titik artikulasi.
Sebagai contoh bunyi [p] terjadi pada kedua belah bibir (bibir atas dan bibir bawah),
sehingga tempat artikulasinya disebut bilabial. Contoh lain bunyi [d] artikulator
aktifnya adalah ujung lidah (apeksi) dan artikulator pasifnya adalah gigi atas
(dentum), sehingga tempat artikulasinya disebut apikondental.
2. Cara artikulasi yaitu bagaimana tindakan atau perlakuan terhadap arus udara yang
baru keluar dari glotis dalam menghasilkan bunyi konsonan itu. Misalnya, bunyi [p]
dengan cara mula-mula arus udara dihambat pada kedua belah bibir, lalu tiba-tiba
diletupkan dengan keras. Maka bunyi [p] itu disebut bunyi hambat atau bunyi letup.
Contoh lain bunyi [h] dihasilkan dengan cara arus udara digeserkn di laring (tempat
artikulasinya). Maka, bunyi [h] disebut bunyi geseran atau frikatif.
3. Bergetar tidaknya pita suara, yaitu jika pita suara dalam proses pembunyian itu turut
bergetar atau tidak. Bila pita suara itu turut bergetar maka disebut bunyi bersuara. Jika
pita suara tidak turut bergetar, maka bunyi itu disebut bunyi tak bersuara. Bergetarnya
pita suara adalah karena glotis (celah pita suara) terbuka sedikit, dan tidak bergetarnya
pita suara karena glotis terbuka agak lebar.
4. Striktur, yaitu hubungan posisi antara artikulator aktif dan artikulator pasif.
Umpamanya dalam memproduksi bunyi [p] hubungan artikulator aktif dan artikulator
pasif, mula-mula rapat lalu secar tiba-tiba dilepas. Dalam memproduksi bunyi [w]
artikulator aktif dan artikulator pasif hubungannya renggang dan melebar.

3. Penutup
o Simpulan
o Saran
o Daftar Pustaka
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Secara etimologi kata morfologi berasal dari kata morf yang berarti ‘bentuk’ dan logi yang
berarti ‘ilmu’. Jadi secara harafiah morfologi berarti ilmu yang mempelajari bentuk. Dalam
kajian biologi, mofologi merujuk pada ilmu yang mempelajari bentuk sel-sel tumbuhan atau
jasad-jasad hidup. Namun dalam kajian linguistik, morfologi merujuk pada ilmu yang
mempelajari bentuk bahasa.

Banyak yang tidak mengetahui bahwa kata terdiri dari morfem. Dan banyak juga yang tidak
mengetahui proses terbentuknya kata. Morfem dan kata sekilas terlihat sama. Bahkan orang
awam jauh lebih akrab dengan kata dan tidak mengetahui tentang morfem. Sehingga banyak
pula yang tidak mampu membedakan makna dari setiap kata. Banyak kata yang memiliki
kemiripan dan seringkali terjadi kesalahan penggunaan karena kemiripan tersebut. Padahal
sebenarnya setiap kata punya perbedaan jika dikaji secara mendalam dan dianalisis morfem
serta proses morfologisnya.

Ilmu morfologi akan menjelaskan tentang bagaimana sebuah morfem bisa berubah menjadi
kata setelah melewati proses morfologis. Nantinya akan didapatkan kejelasan mengapa
terjadi keteraturan afiks. Oleh sebab itu, mempelajadi morfologi sangat penting bagi orang
yang akan fokus di bidang bahasa. Karena, kita akan mampu membedakan kata-kata yang
kelihatannya hampir mirip. Kita juga akan mampu memilih kata yang tepat sesuai dengan apa
yang ingin kita ungkapkan. Tulisan kita juga akan lebih bagus dan tidak bermakna ambigu.
Kita juga bisa menilai tulisan serta kalimat yang di ucapkan orang lain jika kita memahami
morfologi.

B. Rumusan Masalah

1. Apa konsep morfologi?

2. Apa konsep morfem?

3. Apa konsep kata?

C. Tujuan

1. Mengetahui konsep morfologi.

2. Mengetahui konsep morfem.

3. Mengetahui konsep kata.


D. Manfaat

1. Menambah pengetahuan mengenai linguistik.

2. Menambah pengetahuan mengenai morfologi.

3. Meningkatkan kemampuan berbahasa.

4. Mampu menganalisa perbedaan kata.

BAB II

PEMBAHASAN

A. Morfologi

1. Konsep Morfologi

Chaer (2008: 2) menjelaskan, secara etimologi kata morfologi berasal dari kata morf yang
berarti ‘bentuk’ dan logi yang berarti ‘ilmu’. Jadi secara harafiah morfologi berarti ilmu yang
mempelajari bentuk. Dalam kajian biologi, mofologi merujuk pada ilmu yang mempelajari
bentuk sel-sel tumbuhan atau jasad-jasad hidup. Namun dalam kajian linguistik, morfologi
merujuk pada ilmu yang mempelajari bentuk bahasa.

Pengertian morfologi menurut para ahli adalah sebagai berikut:

a. J. W. M. Verhaar

Morfologi adalah bidang linguistik yang mempelajari susunan bagian-bagian kata secara
gramatikal.

b. Ramlan (1978: 2)

Morfologi adalah bagian dari ilmu bahasa yang membicarakan atau mempelajari seluk beluk
struktur kata serta pengaruh perubahan-perubahan struktur kata terhadap golongan dan arti
kata.

c. Nida (1974: 1)

Morfologi adalah suatu kajian tentang morfem-morfem dan penyusunan morfem dalam
rangka pembentukan kata.
d. Crystal (1980: 232-233)

Morfologi adalah cabang tata bahasa yang menelaah struktur kata atau bentuk kata, utamanya
melalui penggunaan morfem.

e. Bauer (1983: 33)

Morfologi membahas struktur internal bentuk kata.

f. Rusmanji (1993: 2)

Morfologi mencakup kata, bagian-bagiannya, dan prosesnya.

g. O’Grady dan Dobrovolsky (1989: 89-90)

Morfologi adalah komponen kata bahasa generatif transformasional (TGT) yang


membicarakan tentang struktur internal kata, khususnya kata kompleks.

Jadi, pengertian morfologi adalah ilmu yang mengkaji proses berubahnya morfem menjadi
kata sesuai dengan penggunaannya dalam gramatika atau penuturan.

Morfologi tidak hanya membahas bentuk bahasa. Morfologi membicarakan masalah bentuk-
bentuk dan pembentukan kata, beserta unsur pembentuk kata yaitu morfem. Proses
pembentukan kata disebut dengan proses morfologis. Proses morfologis tersebut seperti
afiksasi, reduplikasi, dan komposisi.

2. Objek Kajian Morfologi

Objek kajian morfologi menurut Chaer (2008: 7) adalah satuan-satuan morfologi, proses-
proses morfologi, dan alat-alat dalam proses morfologi itu.

Satuan-satuan morfologi adalah sebagai berikut:

1) Morfem (akar atau afiks).

2) Kata.

Lalu, proses morfologi meliputi:

1) Dasar (bentuk dasar).

2) Alat pembentuk (afiks, duplikasi, komposisi, akronimisasi, dan konversi).

3) Makna gramatikal.
3. Tujuan dan Manfaat Morfologi

Tujuan mempelajari morfologi adalah agar kita mampu menjelaskan bentuk-bentuk bahasa
dan proses pembentukan bahasa yang dibentuk dari berbagai kondisi morfem.

Adapun manfaat mempelajari morfologi adalah agar kita mampu memilih bentuk bahasa
yang tepat untuk mengungkapkan pikiran secara tepat.

B. Morfem

1. Konsep Morfem

Menurut Chaer (2012: 146), morfem adalah satuan gramatikal terkecil yang mempunyai
makna. Artinya, morfem tidak bisa dipecah lagi. Kalaupun bisa dipecah, ia tidak akan
memiliki makna. Morfem bukan merupakan satuan dalam sintaksis, dan tidak semua morfem
memiliki makna secara filosofis.

Definisi morfem menurut para ahli adalah sebagai berikut:

a. Ramlan (1983: 26)

Morfem ialah satuan gramatik yang paling kecil yang tidak mempunyai satuan lain selain
unsurnya.

b. Alwasilah (1983: 10)

Morfem ialah satuan bentuk terkecil yang mempunyai arti.

c. Sitindoan (1984: 64)

Morfem ialah kesatuan gramatik yang terkecil yang mengandung arti, yang tidak mempunyai
kesamaan baik dalam bentuk maupun dalam arti dengan bentuk-bentuk yang lain.

d. Bloch dan Trager dalam Prawirasumantri (1985: 127)

Morfem yaitu semua bentuk baik bebas maupun terikat yang tidak dapat dibagi ke dalam
bentuk terkecil yang mempunyai arti.

e. Samsuri (1982: 170)

Morfem adalah komposit bentuk pengertian terkecil yang sama atau mirip yang berulang.
f. Bloomfield (1933: 161)

A linguistic from wich bears no partial phonetic-semantic resemblance to any other form, is a
simple form or morpheme. Artinya, satu bentuk lingual yang sebagiannya tidak mirip dengan
bentuk lain mana pun secara bunyi maupun arti adalah bentuk tunggal atau morfem.

Jadi, pengertian morfem adalah satuan gramatik terkecil dalam morfologi yang memiliki
makna, dan nantinya akan menjadi bahan pembentuk kata.

Untuk menentukan sebuah satuan bentuk adalah morfem atau tidak, kita harus
membandingkan bentuk tersebut dengan kehadirannya dalam bentuk-bentuk lain. Kita juga
harus benar-benar mengetahui makna dari bentuk tersebut. Ciri atau identitas morfem adalah
kesamaan arti atau kesamaan bentuk. Morfem yang dipakai berulang-ulang bisa memiliki arti
yang sama. Dua atau beberapa morfem yang memiliki bentuk sama, bisa memiliki arti yang
berbeda.

Dalam studi morfologi, suatu satuan bentuk yang berstatus sebagai morfem biasanya
dilambangkan dengan mengapitnya di antara kurung kurawal. Contohnya ({ke} + {dua}).

2. Alomorf

Robins (1992: 238) menjabarkan, agar kesejajaran dengan fonem dan alofon menjadi lebih
jelas, beberapa linguis memakai istilah morfem hanya untuk mengacu pada kelas bentuk yang
relevan secara gramatikal yang berada dalam distribusi komplementer atau dalam variasi
bebas dalam lingkungan tertentu, dan menyebut bentuk-bentuk yang berbeda tersebut morf
atau alomorf.

Menurut Chaer (2012: 150), alomorf adalah bentuk-bentuk realisasi dari morfem yang sama,
atau perwujudan konkret (di dalam penuturan) dari sebuah morfem.

Singkatnya, alomorf adalah variasi dari suatu morfem.

Alomorf dan morf perlu dibedakan. Morf adalah nama untuk suatu bentuk yang belum
diketahui statusnya. Sedangkan alomorf adalah nama untuk suatu bentuk yang sudah
diketahui statusnya.

Distribusi alomorf secara fonolologis dapat diramalkan, namun ada pula yang yang tidak
dapat dijabarkan.

3. Klasifikasi Morfem

Chaer (2012: 151) mengklasifikasikan morfem sebagai berikut:

a. Morfem Bebas dan Morfem Terikat


Morfem bebas adalah morfem yang dapat muncul dalam penuturan tanpa perlu digabungkan
dengan morfem lain.

Morfem terikat adalah morfem yang harus digabung dengan morfem lain dalam penuturan.
Morfem terikat tidak dapat muncul tanpa proses morfologi, seperti afiksasi, reduplikasi, dan
komposisi. Dalam morfem terikat, dikenal juga istilah morfem unik. Yaitu morfem yang
hanya bisa muncul dengan pasangan tertentu.

Morfem yang sulit dianalisis apakah morfem bebas atau terikat disebut klitika. Klitika adalah
bentuk-bentuk singkat yang biasanya terdiri dari satu silabel, secara fonologis tidak mendapat
tekanan. Kemunculannya selalu terikat dengan bentuk lain, namun dapat dipisahkan.

b. Morfem Utuh dan Morfem Terbagi

Pembedaan morfem utuh dan morfem terbagi berdasarkan bentuk formal yang dimilikinya:
apakah satu kesatuan yang utuh atau dua bagian yang terpisah karena disisipi morfem lain.

Semua konfiks termasuk dalam morfem terbagi. Konfiks adalah imbuhan yang berada di
awal dan di akhir morfem dasar.

Infiks dapat mengubah morfem utuh menjadi morfem terbagi. Infiks adalah imbuhan yang
berada di tengah morfem dasar.

c. Morfem Segmental dan Suprasegmental

Morfem segmental adalah morfem yang dibentuk oleh fonem-fonem segmental. Yaitu semua
morfem yang berwujud bunyi.

Morfem suprasegmental adalah morfem yang dibentuk dari unsur-unsur suprasegmental


seperti tekanan, nada, durasi, dan sebagainya.

Morfem yang dibentuk dari unsur segmental dan suprasegmental disebut morfem segmental-
suprasegmental. Morfem yang dinyatakan dengan unsur segmental yang sama, namun
maknanya dibedakan oleh unsur suprasegmental.

d. Morfem Beralomorf Zero

Yaitu morfem yang salah satu alomorfnya tidak berwujud bunyi segmental maupun
suprasegmental, melainkan berupa kekosongan. Morfem beralomorf zero dilambangkan
dengan 0.

Morfem beralomorf zero merupakan salah satu alomorf dari morfem penanda jamak dan
penanda masa lampau, dalam bahasa Inggris.
e. Morfem Bermakna Leksikal dan Morfem Tidak Bermakna Leksikal

Morfem bermakna leksikal adalah morfem yang secara inheren telah memiliki makna pada
dirinya sendiri, tanpa perlu berproses dengan morfem lain. Morfem ini memiliki kedudukan
yang otonom dalam pertuturan.

Morfem tak bermakna leksikal adalah morfem yang tidak memiliki makna apa-apa jika ia
berdiri sendiri. Morfem ini harus melalui proses morfologi untuk memperoleh makna.

Ada beberapa persoalan dalam menentukan morfem bermakna leksikal atau tidak. Contohnya
seperti morfem {juang}, {henti}, dan {gaul}. Secara semantik morfem tersebut bermakna
leksikal, namun secara gramatikal tidak.

Morfem-morfem yang dalam gramatika berkategori preposisi dan konjungsi (bukan afiks)
juga memiliki makna. Namun kebebasannya dalam penuturan terbatas, meskipun tidak
seketat morfem afiks. Kedua jenis morfem ini tidak terlibat dalam morfologi, yang terlibat
adalah morfem afiks.

C. Kata

1. Konsep Kata

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), terdapat empat pengertian kata yaitu sebagai
berikut:

a. Elemen terkecil dalam sebuah bahasa yang diucapkan maupun ditulis untuk
menunjukkan perasaan dan emosi seseorang dalam berbahasa.

b. Konversi.

c. Kombinasi atas beberapa morfem.

d. Unit bahasa yang dapat berdiri sendiri yang terdiri dari satu atau lebih morfem.

Robins (1992: 228) mengatakan, kata adalah penggalan-penggalan yang berupa satuan dalam
gramatika formal.

Jadi, dapat disimpulkan bahwa kata adalah satuan gramatikal yang dapat berdiri sendiri,
terdiri atas morfem, dan memiliki arti.

Menurut Chaer (2008: 63), konsep kata meliputi dua hal. Pertama, setiap kata mempunyai
susunan fonem yang urutannya tetap dan tidak dapat berubah, serta tidak dapat diselipi atau
disela oleh fonem lain. Kedua, setiap kata mempunyai kebebasan berpindah tempat di dalam
kalimat atau tempatnya dapat diisi atau digantikan oleh kata lain, atau juga dapat dipisahkan
dari kata lainnya.

Pada konsep kedua, terdapat permasalahan. Karena kebebasan berpindah setiap kata tidak
sama. Ada yang bebas berpindah, namun ada pula yang terikan dengan satuannya yang lebih
besar di dalam kalimat.

Berdasarkan pemahaman saya, pengertian kata adalah morfem yang telah melalui proses
morfologis dan memiliki makna.

Agar lebih mudah memahami hubungan antara morfologi, morfem, dan kata, perhatikanlah
bagan berikut:

Kata dan morfem adalah dua hal yang berbeda. Morfem adalah unsur pembentuk kata.
Morfem adalah input untuk proses morfologis. Sedangkan kata adalah hasil dari proses
tersebut.

2. Klasifikasi Kata

Chaer (2008: 65) mengklasifikasikan kata menjadi kelas terbuka dan kelas tertutup. Kelas
terbuka adalah kelas yang keanggotaannya dapat bertambah atau berkurang sewaktu-waktu
berkenaan dengan perkembangan sosial budaya yang terjadi dalam masyarakat penutur suatu
bahasa. Kelas tertutup adalah kelas yang keanggotannya terbatas dan tidak tampak
kemungkinan untuk bertambah atau berkurang.

a. Kelas terbuka

1) Nomina atau kata benda

Ciri-ciri nomina, yaitu:

a) Tidak didahului oleh adverbia negasi tidak.

b) Tidak didahului oleh adverbia derajat agak.

c) Tidak didahului oleh adverbia keharusan wajib.

d) Didahului oleh adverbia yang menyatakan jumlah.

2) Verba atau kata kerja

Ciri-ciri verba, yaitu:

a) Didampingi oleh adverbia negasi tidak dan tanpa.

b) Didampingi oleh semua adverbia frekuensi seperti sering, jarang, kadang-kadang.


c) Tidak dapat didampingi oleh kata bilangan dengan penggolongannya. Namun dapat
didampingi oleh semua adverbia jumlah.

d) Tidak dapat didampingi oleh semua adverbia derajat.

e) Dapat didampingi oleh semua adverbia kala (tenses).

f) Dapat didampingi oleh semua adverbia keselesaian.

g) Dapat didampingi oleh semua adverbia keharusan.

h) Dapat didampingi oleh semua anggota adverbia kepastian.

3) Ajektifa atau kata keadaan

Ciri-ciri ajektifa, yaitu:

a) Tidak dapat didampingi oleh adverbia frekuensi sering, jarang, dan kadang-kadang.

b) Tidak dapat didampingi oleh adverbia jumlah.

c) Dapat didampingi oleh semua adverbia derajat.

d) Dapat didampingi oleh adverbia kepastian pasti, tentu, mungkin, dan barangkali.

e) Tidak dapat diberi adverbia kala hendak dan mau.

b. Kelas Tertutup

1) Adverbia atau kata keterangan

Ciri-ciri adverbia, yaitu:

a) Berprefiks se- seperti sejumlah, sebagian, seberapa, dan semoga

b) Berprefiks se- dengan reduplikasi, seperti sekali-kali, semena-mena.

c) Berkonfiks se-nya, seperti sebaiknya, seharusnya, sesungguhnya dan sebisanya.

d) Berkonfiks se-nya disertai reduplikasi seperti selambat-lambatnya, secepat-cepatnya,


dan sedapat-dapatnya.

2) Pronomina atau kata ganti

Pronomina dibedakan atas empat macam, yaitu:

a) Pronomina persona atau kata ganti diri


b) Pronomina demontrativa atau kata ganti penunjuk

c) Pronomina intogativa atau kata ganti tanya

d) Pronomina tak tentu

3) Numeralia atau kata bilangan

Numeralia dibedakan atas dua macam, yaitu:

a) Kata bilangan utama

b) Kata bilangan genap

Selain itu ada pula kata bantu bilangan, yaitu kata penghubung antara kata bilangan dengan
nominanya.

4) Preposisi atau kata depan

Preposisi adalah kata-kata yang digunakan untuk merangkaikan nomina dengan verba di
dalam satu klausa.

5) Konjungsi atau kata penghubung

Konjungsi dilihat dari tingkat kedudukannya dibedakan atas dua macam, yaitu:

a) Konjungsi koordinatif

b) Konjungsi subordinatif

Sedangkan dilihat dari luas jangkauannya dibedakan juga atas dua macam, yaitu:

a) Konjungsi intrakalimat

b) Konjungsi antarkalimat

3. Perbedaan Kata dan Morfem

Morfem adalah satuan gramatikal terkecil dalam morfologi yang memiliki makna. Sedangkan
Kata adalah satuan gramatikal terbesar dalam morfologi yang juga memiliki makna. Morfem
tidak bisa dipecah, sedangkan kata bisa dipecah menjadi dua morfem atau lebih.

Kata dan Morfem adalah dua hal yang berbeda, namun kaitannya sangat erat satu sama lain.
BAB III

KESIMPULAN

Berdasarkan uraian pada bab dua, dapat kita tarik kesimpulan bahwa morfologi, morfem, dan
kata adalah tiga hal yang tidak dapat dipisahkan. Ketiganya memiliki hubungan erat karena
saling terhubung satu sama lain.

Morfem dibutuhkan untuk membentuk kata, sedangkan morfologi dibutuhkan untuk


mengetahui proses pembentukan kata tersebut.

Bentuk bahasa yang belum melalui proses morfologis disebut morfem, sedangkan yang sudah
melalui proses morfologis disebut kata. Dalam morfologi, morfem adalah satuan gramatikal
terkecil, sedangkan kata adalah satuan gramatikal terbesar, dan keduanya memiliki makna.

Kata diklasifikasikan menjadi kelas terbuka dan kelas tertutup. Pada kelas terbuka,
keanggotaan kata bisa berubah. Yang termasuk dalam kelas terbuka adalah verba, nomina,
dan ajektifa. Sedangkan yang termasuk dalam kelas tertutup adalah adverbia, pronomina,
numeralia, preposisi, konjungsi, artikula, interjeksi dan partikel.

Anda mungkin juga menyukai