Anda di halaman 1dari 26

LAPORAN KASUS

INTOKSIKASI HERBISIDA

PEMBIMBING:
dr. Maghdalena, Sp. PD

PENYUSUN:
dr. Kheluwis Sutiady

PROGRAM INTERNSHIP DOKTER INDONESIA


RSUD HASSANUDIN DAMRAH MANNA
LEMBAR PENGESAHAN

Diajukan untuk memenuhi tugas dan melengkapi salah satu syarat menempuh
Program Internship Dokter Indonesia

Nama : dr. Kheluwis Sutiady

Judul : Intoksikasi Herbisida

Pembimbing : dr. Maghdalena, Sp. PD

Telah diperiksa dan disahkan pada tanggal ...........................................................................

Pembimbing

dr. Maghdalena, Sp. PD


BAB I
LAPORAN KASUS

1.1 IDENTITAS PENDERITA


Nama : Ny. E
Umur : 20 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Manna
Pekerjaan : Pegawai
Agama : Islam
Tanggal MRS : 25-05-2018

1.2 ANAMNESIS
1. Keluhan Utama
Lemas setelah meminum racun
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Ps datang dengan keluhan lemas akibar terminum racun rumput ken-up, jumlah
kurang lebih sekitar 200cc, mual (+), muntah (+), nyeri telan (+) sejak ± 2 jam yang lalu.
BAK dan BAB dalam batas normal

3. Riwayat Penyakit Dahulu


Hipertensi (-) DM (-) Stroke (-) Ginjal (-) Kejang (-) Alergi (-) TBC (-)

4. Riwayat Penyakit Keluarga


Hanya penderita yang mengalami gejala seperti ini dalam keluarganya.
Hipertensi (-) DM (-) Stroke (-) Ginjal (-) Kejang (-) Alergi (-) TBC (-)
5. Riwayat Kebiasaan
Penderita adalah seorang pegawai. Pola makan penderita biasa 3 kali sehari dengan
variasi makanan beragam.

6. Riwayat Sosial Ekonomi


Biaya pengobatan ditanggung secara pribadi. Kesan sosial ekonomi menengah..

1.3 PEMERIKSAAN FISIK


Status Generalis
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos Mentis
Level kesadaran (GCS) : E: 3 V: 5 M: 6 = 14
Tanda vital : Tekanan darah = 120/80 mmHg
Nadi = 120 kali/menit
Pernapasan = 22 kali/menit
Suhu badan = 36,7 OC

Visual Analogue Scale (VAS) = 0


0 10

Kepala / leher
• Normosefal (+) Konjungtiva anemis (-/-), ikterik (-/-), sianosis (-), Pembengkakan
KGB (-/-) Trakea tepat di tengah (+)
Toraks
Jantung
• Inspeksi : Iktus kordis tidak tampak
• Palpasi : Iktus kordis teraba di ICS 5 linea midclavicula kiri
• Perkusi : Batas jantung kanan: ICS 4 linea parasternal kanan
Batas jantung kiri: ICS 5 linea midclavikula kiri
• Auskultasi : S1S2 reguler, bising jantung(-)
Paru
• Inspeksi : gerakan pernafasan simetris kiri = kanan
• Palpasi : stem fremitus kiri = kanan
• Perkusi : sonor kiri = kanan
• Auskultasi : suara pernafasan vesikuler, Ronkhi -/-, Wheezing -/-
Abdomen
• Inspeksi : Flat (+) distended (-)
• Palpasi : Supel (+), nyeri tekan epigastrium (+)
• Perkusi : Timpani (+) Asites (-)
• Auskultasi : Peristaltik usus (+) normal

Ekstremitas
• Akral hangat, sianosis (-), edema (-) pada kedua tungkai, CRT <2 detik.

1.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG


Pemeriksaan Laboratorium :
Hemoglobin : 11,1 gr/dl
Hematokrit : 15 %
Leukosit : 8.300 /uL
Eritorsit : 1,5 juta /uL
Trombosit : 312.000 /uL
MCV : 82 fl
MCH : 27 pg
MCHC : 32 g/dL
Gol darah : AB Rh +
Hitung Jenis Leukosit
Basofil :0
Eosinofil :0
Stab :0
Segmen : 25 %
Limfosit : 52 %
Monosit :7%
1.5 DIAGNOSIS KERJA
Intoksikasi Herbisida ( isopropilamina glifosat)
DIAGNOSIS BANDING
 Intoksikasi paraquat
 Intoksikasi organofosfat

1.6 PENATALAKSANAAN
Planning Diagnosis :
DLO, UR, CR
1) Terapi medikamentosa
Kumbah Lambung
IVFD Nacl 0,9% Loading 1L  30 tpm (makro)
Inj Esomax 1 vial / 24 jam
Nucral Syr 3 x C I
Fuller Earth 15% + Air 100cc 3 x 1 sdm
Catat UOP / 24 jam

1.7 PROGNOSIS
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad sanationam : bonam
Quo ad functionam : dubia ad bonam
1.8 FOLLOW UP
Senin, 26 Juni 2018 (Bangsal PDL 3)
S Lemas (-), Nyeri tenggorokan (-), mual (-), muntah (-)
O Kesadaran compos mentis
GCS : 15 (E4 V5 M6)
KU: Baik
TTV :
Nadi : 90 x / menit
Pernafasan : 26 x/menit
Suhu : 36oC
Ekstremitas : Akral hangat, pucat (+/+)
A Intoksikasi Herbisida
P - Boleh Pulang:
- Omeprazol 1 x 20 mg
- Nucral Syr 3 x C I
- Paracetamol 3 x 500 mg
BAB II
PENDAHULUAN

Racun adalah zat yang bekerja dalam tubuh secara kimiawi dan fisiologis yang pada
dosis toksik akan menyebabkan gangguan kesehatan hingga kematian. Ilmu yang
mempelajari sumber, sifat, serta efek racun, gejala dan pengobatan pada keracunan, serta
kelainan yang didapatkan pada korban yang meninggal disebut toksikologi. Pemeriksaanya
dilakukan untuk mengetahui jenis racun yang masuk dan menyebabkan kematian pada
seseorang. Racun dapat diperoleh dari berbagai sumber seperti tumbuh-tumbuhan, hewan,
mineral, atau dari alam bebas, rumah tangga, dan pertanian.1
Salah satu sumber keracunan tersering adalah dari bidang pertanian, yaitu penggunaan
pestisida. Pestisida adalah zat untuk membunuh atau mengendalikan hama. Penggunaan
pestisida yang tidak tepat dapat memberikan efek samping keracunan.2 Peningkatan
penggunaan bahan-bahan kimia dalam bidang agrikultur ini juga menyebabkan peningkatan
kejadian keracunan akibat bahan-bahan kimia tersebut.3 WHO memperkirakan setiap
tahunnya terjadi sekitar 25 juta kasus keracunan pestisida atau sekitar 68.493 kasus setiap
harinya. Menurut Badan POM RI, pada tahun 2014, terjadi sebanyak 710 kasus keracunan
pestisida di Indonesia.2 Negara berkembang dengan jumlah lahan pertanian dan pekerja
pertanian yang tinggi merupakan faktor resiko dalam keracunan herbisida mengingat
tingginya penggunaan herbisida tersebut. Herbisida adalah senyawa yang digunakan untuk
menekan atau memberantas tumbuhan menyebabkan penurunan hasil pertanian (gulma).3
Paraquat (gramoxone) adalah herbisida yang paling sering menyebabkan kasus
keracunan. Herbisida (terutama jenis paraquat) banyak terlibat dalam kasus bunuh diri,
pembunuhan, ataupun keracunan yang tak disengaja.3 Pengetahuan mengenai sifat, gejala,
dan hasil temuan pada pemeriksaan korban keracunan herbisida sangat diperlukan mengingat
banyaknya kasus kematian yang terjadi akibat keracunan pestisida terutama jenis herbisida
ini.
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Definisi
Herbisida adalah bahan kimia yang dapat menghambat pertumbuhan atau mematikan
tumbuhan. Herbisida mempengaruhi proses pembelahan sel, perkembangan jaringan,
pembentukan klorofil, respirasi, fotosintesis, metabolisme, pengikatan nitrogen, aktivitas
enzim dan sebagainya. Herbisida sangat diperlukan dalam bidang pertanian untuk
mempertahankan kelangsungan hidup tanaman terhadap gulma.4
Herbisida berasal dari senyawa kimia organik maupun anorganik atau berasal dari
metabolit hasil ekstraksi dari suatu organisme. Herbisida bersifat racun terhadap gulma atau
tumbuhan pengganggu, juga terhadap tanaman. Herbisida yang diaplikasikan dengan dosis
tinggi akan mematikan seluruh bagian tumbuhan. Namun pada dosis yang lebih rendah,
herbisida akan membunuh tumbuhan tertentu dan tidak merusak tumbuhan yang lainnya.
Keracunan herbisida adalah masuknya bahan kimia berupa herbisida yang dapat menghambat
pertumbuhan atau mematikan tumbuhan dan bersifat toksik pada tubuh. Keracunan dapat
terjadi secara sengaja terhisap (inhalasi), menelan, atau melalui kulit.4

3.2 Jenis Herbisida


1. Paraquat
Paraquat (methyl viologen), [C12H14N2]2+, dengan nama kimia 1,1’-dimetil-
4,4’-bipiridinum atau dalam bentuk paraquat dichloride [C12H14N2]Cl2 , merupakan
herbisida golongan bipiridil yang berefek toksik sangat tinggi. Paraquat dapat pula
ditemukan secara komersial sebagai garam methyl sulfat (C12H14N2•2CH3SO4).2,3
Paraquat adalah produk sintesis yang pertama kali dibuat pada tahun 1882 oleh
Weidel dan Russo. Pada tahun 1933, Michaelis dan Hill menemukan kandungan
redoks dan disebut senyawa metil viologen. Kandungan paraquat pertama kali
dijelaskan pada tahun 1958 dan mulai menjadi produk komersil pada tahun 1962.4,5
Paraquat mempunyaiciri berupa:3,4,5
a. berupa massa padat, tetapi biasanya dalam bentuk konsentrat 20-24%
b. berat molekul 257,2 D
c. pH 6,5 – 7,5 dalam bentuk larutan
d. titik didih pada 760 mmHg sekitar 175oC – 180oC.
e. berwarna kuning keputihan dan berbau seperti ammonia
f. sangat larut di dalam air, kurang larut dalam alkohol, dan tidak larut dalam
senyawa hidrokarbon
g. stabil dalam larutan asam atau netral dan tidak stabil dalam senyawa alkali
h. tidakaktif akibat paparan sinar ultraviolet
Paraquat yang digunakan lebih dari 120 negara bekerja secara non-selektif
menghancurkan jaringan tumbuhan dengan mengganggu / merusak membran sel.
Gramoxone larutan 20%, produk Syngenta, merupakan nama dagang dari paraquat
yang paling banyak dipakai.2,5

2. Diquat
Diquat, (C12H12N2) atau dalam bentuk diquat dibromide (1,1’-ethylene-2,2’-
dipyridylium-dibromida), C12H12N2Br2, merupakan herbisida non-selektif yang mirip
dengan analog paraquat tetapi memilki efek toksik yang berbedah.5
Diquat membentuk monohidrat dengan warna kristalin kekuningan.Tingkat
lebur antara 335oC dan 340oC.Diquat memiliki pH sekitar 5-7.Diquat sangat larut
dalam tanah, tidak diabsorbsi oleh tanaman, dan tidak didekomposisi secara metabolik
oleh tanaman.Namun, paparan sinar matahari dapat mendegradasi diquat dengan
cepat dan luas. Diquat tidak terakumulasi dalam makanan.5,6
3. Jenis Lain
Beberapa jenis herbisida lain berdasarkan mekanisme kerjanya pada tanaman
di antaranya:5
a. Menghambat proses fotosintesis, seperti anilides, uracils, benzimidazoles,
biscarmabates, pyridazinones, triazines, quinones, dan triazinones.
b. Menghambat sintesis asam amino, seperti glyphosate, sulfonilures, bialaphos,
dan imidazolinones.
c. Mengganggu membran sel, seperti p-nitrodiphenyl eter, n-phenylamides, dan
oxadiazoles.
d. Menghambat sintesis lipid, seperti asam alkali aryloxyphenoxy
e. Mengambat sintesis selulosa, seperti dichlobenil
f. Menghambat pembelahan sel, seperti fosfor amida dan dinitroanilin
g. Menghambat sintesis klorofil, seperti phiridazinones, fluoridone, dan
difluninone
h. Menghambat sintesis folat, seperti metil carbamate
i. Menghambat pertumbuhan tunas, seperti maetachlor
j. Mengatur perkembangan, seperti asam picolinic dan asam benzoic

Herbisida dapat diklasifikasikan berdasarkan:5

1. Cara Kerja
a. Herbisida kontak
Merupakan herbisida yang mampu mematikan langung jaringan
tumbuhan yang terkena. Herbisida jenis ini tidak mengalami translokasi dari
satu jaringan ke jaringan lain. Contoh herbisida kontak adalah paraquat.
b. Herbisida sistemik
Merupakan herbisida yang dapat diserap dan ditranslokasikan ke
seluruh bagian atau jaringan gulma. Contoh herbisida sistemik adalah 2,4-
dichlorophenoxyacetic acid (2,4 D) dan Glifosat.
2. Selektivitas
a. Herbisida Selektif
Merupakan herbisida yang mematikan jenis gulma tertentu. Contoh
herbisida selektif adalah 2,4 D
b. Herbisida Non-Selektif
Merupakan herbisida yang dapat mematikan hampir semua jenis gulma
yang terkena herbisida. Contoh herbisida non selektif adalah paraquat dan
glifosat.
3. Bahan
Herbisida berbahan aktif
a. Oksifluorfen
Ini termasuk herbisida pra-tumbuh. Merk dagangnya antara lain: Goal 240 EC,
Golma 240 EC, GoL ok 240 EC.
b. Isopropilamina glisofat
Merk dagangnya antara lain: Roundup 480 g/l, glisat 480 g/l, Bionasa 480 g/l,
Konup 480 g/l, Basmilang 480 g/l, Glibas 480 g/l.
c. Paraquat diklorida 276 g/l
Merk dagangnya: Gramoxon 276 g/l, Noxon 276 g/l, Bravoxone 276 g/l.
d. Shalatop butil, Penoksulam, Bispyribac-sodium
Merk dagangnya: Clincher 100 EC, Clipper 25 OD, Topshot 60 OD, Nominee
100 OF.
e. Tiobenkarb 400 g/l dan 2,4 D IBE 600 g/l
Merk dagangnya: Saturn – D 600 g/l
f. Mesotrin + Atrozin
Merk dagangnya: Calaris 550 sc.

3.3 Farmakokinetik
Penelitian pada tikus dan anjing menunjukkan absorpsi paraquat yang cepat tetapi
tidak sempurna melalui traktus gastrointestinal khususnya lambung, kira-kira kurang dari 5%
diabsorpsi.Informasi absorpsi paraquat melalui lambung pada manusia belum ada, tetapi bisa
diasumsikan hal itu dapat disamakan, namun masih perlu penilitian untuk mendukung hal
tersebut. Absorpsi melalui kulit yang tidak intak dapat terjadi, namun terbatas hanya sekitar
0,3% dari dosis terapan.4
Paraquat yang terabsorpsi didistribusikan ke semua organ dan jaringan melalui aliran
darah. Paru-paru merupakan organ selektif tempat terkumpulnya paraquat dari plasma
melalui suatu proses energi. House et al (1990) menemukan bahwa waktu paruh paraquat
sekitar 5 – 84 jam. Paraquat tidak dimetabolisme tetapi direduksi menjadi radikal bebas yang
tidak stabil, yang kemudian mengalami reoksidasi untuik membentuk kation dan
menghasilkan anion superoksid.4
Penelitian pada hewan menunjukkan paraquat diekskresi secara cepat oleh ginjal. Sekitar 80-
90% diekskresi dalam waktu 6 jam dan hampir 100% dalam 24 jam. Paraquat dapat
menyebabkan nekrosis tubular akut yang dapat memperlambat ekskresi lebih dari 10-20 hari.4

3.4 Patofisiologi
A. Paraquat

Ketika masuk dalam tubuh per oral dalam dosis yang adekuat, paraquat mempunyai
efek terhadap traktus gastrointestinal, ginjal, hepar, jantung, dan organ lainnya. Paru-paru
merupakan target organ utama dari paraquat dan efek toksik yang dihasilkan dapat
menyebabkan kematian walaupun toksisitas melalui inhalasi terbilang jarang.7
Mekanisme utama yang terjadi ialah paraquat menimbulkan stres oksidatif melalui
siklus redoks (reduksi oksidasi) sehingga membentuk radikal bebas yang dapat menyebabkan
kerusakan pada jaringan.Radikal bebas merupakan suatu kelompok bahan kimia baik berupa
atom atau molekul dengan reaksi jangka pendek yang memiliki satu atau lebih elektron
bebas.Atom atau molekul dengan elektron bebas ini dapat digunakan untuk menghasilkan
tenaga dan beberapa fungsi fisiologis di dalam tubuh.Namun oleh karena mempunyai tenaga
yang sangat tinggi, zat ini juga dapat merusak jaringan normal apabila jumlahnya terlalu
banyak. Radikal bebas yang terdiri atas unsur oksigen dikenal sebagai kelompok oksigen
reaktif (reactive oxigen species / ROS), seperti anion superoksida (O2-).7,8,9
Telah ditemukan bukti bahwa reaksi redoks merupakan reaksi utama yang
bertanggung jawab terhadap toksisitas paraquat.Kation paraquat dapat direduksi oleh
NADPH-dependent mikrosomal flavoprotein reductase menjadi bentuk radikal
tereduksi.Kemudian bereaksi dengan molekul oksigen membentuk kation paraquat dan ion
superoksida (O2-).Paraquat berlanjut ke dalam siklus dari bentuk teroksidasi ke bentuk
tereduksi dengan elektron dan oksigen. Paraquat menyebabkan kematian sel melalui lipid
peroksidase atau deplesi NADPH, seperti yang terjadi pada paru-paru.4,8 Edema paru akut dan
kerusakan paru-paru dini dapat terjadi dalam beberapa jam akibat paparan akut yang berat.
Kerusakan lanjut berupa fibrosis paru, penyebab kematian, yang kebanyakan terjadi 7-14 hari
setelah paparan.Pada pasien yang terpapar dalam konsentrasi yang sangat tinggi, beberapa di
antaranya meninggal lebih cepat (sekitar 48 jam) akibat kegagalan sirkulasi.7 Baik
pneumatosit tipe I maupun tipe II bergerak ke daerah akumulasi paraquat. Biotransformasi
dari paraquat di dalam sel-sel tersebut menyebabkan produksi radikal bebas sehingga terjadi
peroksidase lipid dan kerusakan sel. Cairan protein hemoragik dan leukosit menginfiltrasi
alveolus, setelah terjadi proliferasi fibroblast yang cepat.Terjadi penurunan progresif pada
tekanan parsial oksigen arteri dan kapasitas difusi CO2. Kerusakan berat pada pertukaran gas
tersebut menyebabkan proliferasi yang cepat dari jaringan ikat fibrous di dalam alveolus dan
pada akhirnya kematian akibat asfiksia dan anoksia jaringan.7
Kerusakan pada tubulus proksimal ginjal sering bersifat reversibel dibandingkan
kerusakan yang terjadi pada jaringan paru-paru.Namun, rusaknya fungsi ginjal menjadi
penting sebagai penentu pengeluaran racun dari paraquat.Sel tubulus normal secara aktif
mengekskresi paraquat melalui urin, secara efisien membersihkan racun dari dalam darah.
Keracunan diquat secara khas menyebabkan kerusakan yang lebih berat dibandingkan
paraquat.7

B. Diquat

Keracunan diquat terbilang kurang dibandingkan keracunan akibat paraquat sehingga


laporan (data) tentang keracunan diquat sangat sedikit. Secara sistemik diquat diabsorbsi
secara non-selektif pada jaringan paru, sebagaimana halnya paraquat, namun kerusakan paru-
paru oleh diquat lebih ringan.7
Penelitian pada hewan, diquat menyebabkan kerusakan ringan yang reversibel hanya
pada sel pneumatosit tipe I, tidak pada sel tipe II.Tidak ada fibrosis paru-paru yang progresif
seperti ditemukan pada keracunan paraquat.Namun, diquat memiliki efek toksik yang berat
pada SSP. Pada pemeriksaan laboratorium, tidak didapatkan efek langsung neurotoksik.
Terdapat kelainan patologis pada otak berupa infark brain batang otak dan juga pada pons.7

3.5 Toksisitas
Gejala klinis yang timbul bergantung pada dosis atau konsentrasi racun yang pada
akhirnya menjadi dasar prognosis dari kasus keracunan paraquat:
 Dosis rendah, yaitu < 20 mg/kgBB (7,5 ml dalam konsentrasi 20%) tidak memberikan
gejala atau hanya gejala gastrointestinal yang muncul seperti muntah atau diare. 4,7
 Dosis sedang, yaitu 20-40 mg/kgBB (7,5-15 ml dalam konsentrasi 20%)
menyebabkan fibrosis jaringan paru yang masif dan bermanifestasi sebagai sesak
napas yang progresif yang dapat menyebabkan kematian antara 2-4 minggu setelah
masuknya racun. Gangguan ginjal dan hati dapat ditemukan. Sesak napas dapat
muncul setelah beberapa hari pada beberapa kasus berat. Fungsi ginjal biasanya dapat
kembali ke normal.7
 Dosis besar, yaitu > 40 mg/kgBB (> 15 ml dalam konsentrasi 20%) menyebabkan
kerusakan multi organ, tetapi lebih progresif. Sering disertai tanda khas berupa ulkus
pada orofaring. Gejala gastrointestinal sama seperti pada konsumsi racun dengan
dosis yang lebih rendah namun gejalanya lebih berat akibat dehidrasi. Gagal ginjal,
aritmia jantung, koma, kejang, perforasi oesofagus, dan koma kemudian diakhiri
dengan kematian yang dapat terjadi dalam 24-48 jam akibat gagal multi organ.4,7

Tertelannya paraquat dengan dosis yang sedang (20-40 mg/kgBB) dapat


menyebabkan kelainan morbiditas yang terdiri dari 3 tingkat, yaitu:4
a) Stage I : 1-5 hari. Efek korosif lokal seperti hemoptisis, ulserasi membran
mukosa, mual, diare, dan oligouria.
b) Stage II : dalam 2-8 hari didapatkan tanda-tanda kerusakan hati, ginjal, dan
jantung berupa ikterus, demam, takikardi, miokarditis, gangguan pernapasan,
sianosis, peningkatan BUN, kreatinin, alkali fosfatase, bilirubin, dan rendahnya
protrombin.
c) Stage III : dalam 3-14 hari terjadi fibrosis paru. Batuk, dispnea, takipnea, edema,
efusi pleura, atelektasis, penurunan tekanan O2 arteri yang menunjukkan
hipoksemia, peningkatan gradien tekanan O2 alveoli, dan kegagalan pernapasan.

3.6 Gejala Klinis

Paraquat
Gejala yang timbul bergantung pada jalur masuk paparan dan konsentrasi paraquat
dalam tipa produknya. Pada kasus tertelannya paraquat yang masif, dapat bermanifestasi
muntah, nyeri abdomen, diare, gagal ginjal dan hati, serta gagal jantung yang berkembang
pada 24 jam pertama. Kadang-kadang diakhiri dengan kematian akibat gagal jantung akut.4
Gejala dan tanda dini dari keracunan melalui melalui pencernaan di antaranya rasa
terbakar pada mulut, kerongkongan, dada, perut atas, akibat dari efek korosif paraquat
terhadap mukosa.Diare yang kadang-kadang dengan darah juga dapat terjadi.Muntah dan
diare dapat berujung hipovolemia. Pusing, sakit kepala, demam, mialgia, letargi, dan koma
adalah contoh lain dari gejala sistemik dan susunan saraf pusat (SSP). Pankreatitis dapat
menyebabkan nyeri abdomen berat.Proteinuria, hematuri, pyuria, dan azotemia menunjukkan
adanya kerusakan ginjal. Oligouria atau anuria mengindikasikan adanya nekrosis tubular
akut.4,7,8
Oleh karena ginjal merupakan organ yang mengeliminasi paraquat dari jaringan
tubuh, gagal ginjal dapat terjadi akibat terbentuknya konsentrasi tinggi, termasuk paru-paru.
Kelainan patologik ini dapat terjadi dalam beberapa jam pertama setela masuknya paraquat
yang melalui pencernaan. Asidosis metabolik dan hiperkalemia dapat terjadi akibat gagal
ginjal.4
Batuk, sesak napas, dan takipnea biasanya muncul 2-4 hari setelah tertelannya
paraquat, tetapi dapat muncul setelah 14 hari.Sianosis secara progresif dan sesak napas
menunjukkan adanya gangguan pertukaran oksigen pada paru yang rusak. Pada beberapa
kasus, batuk berdahak adalah gejala awal dan manifestasi terpenting dari kerusakan paru
akibat paraquat.7
Traktus gastrointestinal adalah tempat pertama atau keracunan fase I ke permukaan
mukosa melalui proses pencernaan dari zat tersebut. Keracunan ini bermanifestasi sebagai
edema dan nyeri akibat ulseratif pada mulut, faring, oesofagus, lambung, dan usus. Pada
derajat yang lebih tinggi, keracunan gastrointestinal yang lain berupa kerusakan sel-sel hati
yang menyebabkan peningkatan bilirubin dan enzim hati seperti AST, ALT, dan LDH.10
Gejala pada kulit biasanya terjadi pada pekerja tani akibat keracunan
paraquat.Khususnya dalam bentuk konsentrat, paraquat menyebabkan kerusakan lokal pada
jaringan yang terpapar dengan zat tersebut.Kerusakan lokal pada kulit berupa dermatitis
kontak. Kontak yang lama akan menyebabkan eritema, vesikel, erosi dan ulkus, dan
perubahan pada kuku. Walaupun absorbsi melalui kulit lambat, kulit yang erosif akan
mempertinggi tingkat absorbsinya.7
Keracunan fatal dilaporkan telah terjadi akibat kontaminasi paraquat yang lama, tetapi
hal ini terjadi hanya pada kulit yang tidak intak. Kontak yang lama pada kulit akan
menimbulkan pengikisan atau ulserasi, yang cukup untuk mempermudah absorpsi ke
sistemik. Kontak racun pada kuku dapat menyebabkan bintik putih atau pada kasusu berat
dapat terjadi atrofi kuku.7

Diquat
Pada kasus keracunan diquat, tanda klinis dari keracunan saraf sangat penting, di
antaranya cemas, iritabilitas, lemas, disorientasi, dan berkurangnya refleks. Efek neurologis
dapat berlanjut ke koma dan menyebabkan kematian pada pasien.7
Gejala dini dari keracunan melalui saluran pencernaan pada umumnya sama dengan
paraquat. Akibat sifat korosif terhadap jaringan memberikan gejala di antaranya rasa terbakar
pada mulut, kerongkongan, dada dan perut, mual dan muntah, dan diare. Jika dosisnya kecil,
gejala-gejalatersebut dapat muncul setelah 1-2 hari .darah dapat muncul pada muntahan dan
feses.7
Ginjal merupakan organ sekresi utama untuk mengeliminasi diquat yang ada dalam
tubuh.Oleh karena itu, kerusakan ginjal merupakan tanda penting dari keracunan.Proteinuria,
hematuri, dan pyuria dapat berkembang ke gagal ginjal dan azotemia.Peningkatan dari serum
alkali fosfatase, AST, ALT, dan LDH menunjukkan kerusakan pada hati. Ikterus dapat muncul
kemudian.7
Jika pasien selamat dalam beberapa jam atau hari, dapat terjadi kegagalan sirkulasi akibat
dehidrasi. Hipotensi dan takikardi dapat terjadi yang pada akhirnya berakibat syok dan
kematian.7

3.7 Diagnosis Intoksikasi


Usaha untuk membuat diagnosis toksikologi khusus hanya memperlambat
penggunaan tindakan suporitif yang merupakan bentuk dasar (“ABCD”) pada pengobatan
keracunan.Pertama, saluran napas (A) harus dibersihkan dan muntah atau beberapa gangguan
lain dan, bila diperlukan, suatu alat yang mengalirkan napas melalui oral atau dengan
memasukkan pipa endotrakea. Pada kebanyakan pasien, penempatan pada posisi sederhana
dalam posisi dekubitus lateral cukup untuk menggerakkan lidah yang kaku (flaccid) keluar
dan saluran napas. Pernapasan (B) yang adekuat harus diuji dengan mengobservasi dan
mengukur gas darah arteri.Pada, pasien dengan insufisiensi pernapasan harus dilakukan
intubasi dan ventilasi mekanik.Sirkulasi (C) yang cukup harus diuji dengan mengukur denyut
nadi, tekanan darah, urin yang keluar, dan evaluasi perfusi perifer. Alat untuk intravena harus
dipasang dan darah diambil untuk penentuan serum glukosa dan untuk pemeriksaan rutin
lainnya.11
Setelah dilakukan intervensi awal yang esensial, dapat dimulai evaluasi yang terinci
untuk membuat diagnosis spesifik.Hal ini meliputi pengumpulan riwayat yang ada dan
melakukan pemeriksaan fisik singkat yang berorientasi pada toksikologi. Penyebab koma
lainnya atau kejang seperti trauma pada kepala, meningitis, atau kelainan metabolisme harus
dicari dan diobati.12
a) Riwayat: Pernyataan tentang jumlah dan jenis obat yang ditelan dalam kedaruratan
toksik mungkin tidak dapat dipercayai begitu saja. Bahkan anggota keluarga, polisi,
dan pemadam kebakaran atau personil paramedis harus ditanyai tintuk
menggambarkan lingkungan di mana kedaruratan toksik ditemukan dan semua alat
suntik, botol-botol kosong, produk rumah tangga, atau obat-obat bebas di sekitar
pasien yang kemungkinan dapat meracuni pasien harus dibawa ke ruang gawat
darurat.
b) Pemeriksaan Fisik: Pemeriksaan yang cepat harus dilakukan dengan penekanan pada
daerah yang paling mungkin memberikan petunjuk ke arah diagnosis toksikologi. Hal
ini termasuk tanda-tanda vital, mata dan mulut, kulit, abdomen, dan sistem saraf.
c) Tanda-tanda vital: Evaluasi dengan teliti tanda-tanda vital (tekanan darah, denyut
nadi, pernapasan, dan suhu tubuh) merupakan hal yang esensial dalam kedaruratan
toksikologi. Hipertensi dan takikardia adalah khas pada obat-obat amfetamin, kokain,
fensiklidin, nikotin, dan antimuskarinik. Hipotensi dan bradikardia, merupakan
gambaran karakteristik dan tákar lajak narkotika, kionidin, sedatif-hipnotik dan beta
bloker.Takikardia dan hipotensi sering terjadi dengan antidepresan trisiklik,
fenotiazin, dan teofihin. Pernapasan yang cepat adalah khas pada amfetamin dan
simpatomimetik lainnya, salisilat, karbon monoksida dan toksin lain yang
menghasilkan asidosis metabolik. Hipertermia dapat disebabkan karena obat-obat
simpatomimetik, antimuskarinik.salisilat dan obat-obat yang menimbulkan kejang
atau kekakuan otot. Hipotermia dapat disebabkan oleh takar lajak yang berat dengan
obat narkotik, fenotiazin, dan obat sedatif, terutama jika disertai dengan pemaparan
pada lingkungan yang dingin atau infus intravena pada suhu kamar.
d) Mata: Mata merupakan sumber informasi toksikologi yang berharga. Konstriksi pupil
(miosis) adalah khas utituk keracunan narkotika, klonidin, fenotiazin, insektisida
organofosfat dan penghambat kolinesterase lainnya, serta korna yang dalatn akibat
obat sedatif. Dilatasi pupil (midriasis) umumnya terdapat pada amfetamin, kokain,
LSD, atropin, dan obat antirnuskarinik lain. Nistagmus riorizontal dicirikan pada
keracunan dengan fenitoin, alkohol, barbiturat, dan obat seclatit lain. Adanya
nistagmus horizontal dan vertikal memberi kesan yang kuat keracunan
fensiklidin.Ptosis dan oftalmoplegia merupakan gambaran karakteristik dari
botulinum.
e) Mulut: Mulut dapat memperlihatkan tanda-tanda luka bakar akibat zat-zat
korosif.atau jelaga dan inhalasi asap. Bau yang kaas dan alkohol, pe(arut hidrokarbon.
Paraldehid.atau amonia mungkin perlu dicatat. Keracunan dengan sianida dapat
dikenali oleh beberapa pemeiriksa sebagai bau seperti bitter almonds.Arsen dan
organofosfat telah dilaporkan menghasilkan bau seperti bau bawang putih.
f) Kulit: Kulit sering tampak merah, panas, dan kering pada keracunan dengan atropin
dan antim.uskarinik lain. Keringat yang herlebihan diternukan pada keracunan dengan
organofosfat, nikotin, dan ohat-obat simpatomimetik.Sianosis dapat disehabkan oleh
hipoksemia atau methemoglohinemia. Ikterus dapat memheri kesan adanya nekrosis
hati akilat keracunan asetaminofen atau jamur A manila phailoides.
g) Abdomen: Pemeriksaan abdomen dapat menunjukkan ileus, yang khas pada
keracunan dengan antimuskarinik, narkotik, dan obat sedatif.Bunyi usus yang
hiperaktif, kramp perut, dan diare adalah urnum terjadi pada keracunan dengan
organofosfat, besi, arsen, teofihin, dan A.phalloides.
h) Sistem saraf: Pemeriksaan neurologik yang teliti adalah esensial.Kejang fokal atau
defisit motorik lebih menggambarkan lesi struktural (seperti perdarahan intrakranial
akibat trauma) daripada ensefalopati toksik atau metabolik.Nistagmus, disartria, dan
ataksia adalah khas pada keracunan fenitoin, alkohol, barbiturat, dan keracunan
sedatif lainnya.Kekakuan dan hiperaktivitas otot umum ditemukan pada metakualon,
haloperidol, fensiklidin (PCP), dan obat-obat simpatomimetik.Kejang sering
disehabkan oleh takar lajak antidepresan trisiktik, teotilin, isoniazid, dan
fenotiazin.Koma ringan tanpa refleks dan bahkan EEG isoelektrik mungkin terlihat
pada koma yang dalam karena obat narkotika dan sedatif-hipnotik, dan mungkin
menyerupai kematian otak.

Prosedur Laboratorium dan Rontgen


Uji Laboratoriurn rutin yang bermanfaat dalam diagnosis toksikologi adalah sebagai
berikut:1
1. Gas Darah Arteri:
Hipoventilasi akan menyebabkan peningkatan PCO2 (hiperkapnia). PO2 dapat rendah
dengan aspirasi pneumonia atau obat-obat yang menginduksi edema paru. Oksigenisasi
jaringan .yang kurang akibat hipoksia, hipotensi. atau keracunan sianida akan
menghasilkan asidosis metabolik. PO2 hanya mengukur oksigen yang larut dalam plasma
dan bukan merupakan total oksigen dalam darah. karena itu pada keracunan karbon
monoksida mungkin PO2 tampak normal meskipun ada defisiensi oksihemoelobin yang
nyata dalam darah.

2. Elektrolit:
Natrium, Kalium, klorida, dan bikarbonat harus diukur. Anion gap dihitung dengan
mengurangi anion dan kation-kation:
Anion gap = (NA+ +K+) - (HCO3- + CI-)
Dalam keadaan normal, Anion gap tidak lebih besar dari 12- 16 meq/L. Anion gap
yang Iebih besar dari yang diperkirakan, disebabkan oleh adanya anion yang tidak terukur
yang menyertai asidosis metabolik.Sebagai contoh, hal ini disebabkan oleh ketoasidosis
diahetik, gagal ginjal, atau asidosis laktat yang diinduksi obat syok yang dapat
menginduksi asidosis metabolik dengan peningkatan Anion gap, termasuk aspirin,
metanol, etilen glikol.isoniazid, dan besi.
Perubahan dalam tingkat kadar serum kalium dapat membahayakan karena ini dapat
menyebabkan aritmia jantung. Obat yang dapat menyebabkan hiperkalemia meskipun
dengan fungsi ginjal normal termasuk kalium sendiri, penghambat adrenoseptor-beta,
glikosicia digitalis, fluorida, dan litium.Obat-obat yang berkaitan dengan hipokalemia
termasuk barium, agonis beta-adrenoseptor.kafein. teofihin, diuretik, dan toluen.

Jenis Peningkatan Anion Gap Obat


Asidosis Metabolik Metanol, etilen glikol, salisilat
Asidosis Laktat Kejang apa saja yang diinduksi oleh
obat, besi, fenformin, hipoksia
Ketoasidoss Etanol
Catatan: Anion gap normal yang dhtung dan (Na+ + K+) - (HCO3- + Cl-) adalah 12-
16 meg/L; dihitung dari (Na+) - (HCO3 + CI-) nilainya adalah 8-12 meg/L.

3. Uji Fungsi Ginjal:


Beberapa toksin mempunyai efek nefrotoksik; dalam kasus lain, gagal ginjal
merupakan akihat syok, koagulasi intravaskular yang menyebar (disseminated
irrtravascular coagulation, DTC), atau mioglohinuria. Tingkat kadar nitrogen urea darah
dan kreatinin harus diukur dan dilakukan urinalisis.

4. Osmolalitas Serum:
Perhitungan osmolalitas serum terutama bergantung pada natrium serum, glukosa
serum serta nitrogen urea darah dan dapat diperkirakan dan rumus berikut:
2 x NA + (BUN/3) + (Glukosa/18)

Nilai normal perhitungan ini adalah 280-290 mosm/kg. Etanol dan alkohol lainnya
dapat menyumbang secara bermakna terhadap pengukuran osmolalitas serum, tetapi
karena alkohol ini tidak termasuk dalam perhitungan, menyebabkan suatu osmolar gap:

Osmolargap = Osmolalitas yang diukur - Osmolalitas yang dihitung

5. Elektrokardiogram:
Pelebaran lama kompleks QRS yang lebih besar dari 0,1 detik adalah khas untuk takar
lajak antidepresan trisiktik dan kuinidin.

6. Gambaran Rontgen:
foto polos abdomen mungkin berguna, karena beberapa tablet, khususnya besi dan
kalium, dapat berbentuk radiopaque. Foto toraks dapat menunjukkan pneumonia aspirasi,
pneumonia hidrokarbon, atau edema paru.11

3.8 Penatalaksanaan

KUMBAH LAMBUNG
Perkumpulan toksikologi Amerika dan Eropa berpendapat bahwa kumbah lambung
dapat mengeluarkan banyak racun dari lambung, dan hanya dapat dilakukan pada racun yang
belum terserap di dalam usus halus; sehingga tindakan ini tidak lagi dianjurkan sebagai
prosedur rutin. Selain itu, patut dicatat bahwa kumbah lambung seringkali menghambat
penggunaan arang aktif (activated charcoal/AC), yang mana pemberian arang aktif
kemungkinan besar justru lebih dapat memberikan manfaat dan dapat mengurangi resiko
yang tidak diinginkan.

ARANG AKTIF
Activated charcoal (AC) atau arang aktif hingga saat ini masih menjadi lini pertama
untuk keracunan akut. Karena memiliki permukaan yang luas dan struktur berpori maka agen
ini sangat efektif dalam menyerap banyak racun dengan beberapa pengecualian seperti unsur
logam, pestisida, alkohol, asam kuat dan basa kuat, serta sianida. Agen ini harus diberikan
pada semua pasien yang datang dalam jangka waktu 1 jam setelah masuknya substansi
toksin; agen ini tidak boleh diberikan pada pasien yang dalam kondisi penurunan kesadaran
(kecuali jika jalan napasnya telah terlindungi). Panduan internasional merekomendasikan
pemberian AC dalam waktu 1 jam, sehingga merupakan hal yang vital untuk segera
menentukan apakah seseorang sedang mengalami overdosis serius sehingga AC dapat
langsung diberikan tanpa menunda. Setelah 1 jam, agen ini dapat tetap efektif untuk kasus
overdosis zat yang memperlambat pengosongan lambung (seperti opioid, antikolinergik,
antidepresan trisiklik), namun hal ini tergantung kondisi klinis pasien dan jumlah zat yang
dimakan.
Pengulangan dosis AC dapat meningkatkan eliminasi beberapa jenis obat dengan cara
mengganggu proses sirkulasi entero-enterika dan enterohepatika. Tindakan ini dapat
dipertimbangkan pada pasien yang mengkonsumsi sediaan salisilat lepas lambat; karena pada
kasus seperti ini, AC hanya mengurangi absorpsi bukannya meningkatkan eliminasi. AC
diberikan dalam dosis 50 gram pada orang dewasa dan 1 g/kg (maksimal 50 gram) pada
anak-anak. AC merupakan penyebab tersering muntah sehingga kita dapat
mempertimbangkan pemberian antiemetik sebelum memulai terapi AC. Beberapa dosis AC
dapat menyebabkan konstipasi sehingga kita dapat memberikan laksatif untuk pasien dalam
dosis yang tepat. Pengulangan dosis dapat dilakukan dalam interval 4 jam hingga secara
klinis kondisi pasien telah berhenti. Pemberian absorben berupa Fuller's Earth (calcium
montmorillonite) dan Bentonite (sodium montmorillonite) juga dapat dianjurkan untuk
membantu menyerap racun yang ada di saluran pencernaan.

IRIGASI SELURUH USUS


Ini merupakan salah satu metode dekontaminasi usus yang diindikasikan untuk racun-
racun tertentu. Irigasi seluruh usus melibatkan proses pemberian polyethylene glycol yang
tidak dapat diserap sehingga menyebabkan tinja menjadi encer dan mengurangi absorpsi obat
karena secara fisik tinja yang encer dapat keluar lebih cepat melalui traktus gastrointestinal.
Sediaan polyethylene glycol sering digunakan di bangsal bedahh untuk “persiapan
usus” sebelum operasi. Zat ini kemungkinan besar dapat berperan dalam mengeluarkan obat-
obatan yang sudah ada di usus besar, yang tidak lagi dapat diserap oleh AC. Indikasi
pemberian agen ini adalah konsumsi zat besi atau lithium dalam jumlah banyak, konsumsi
paket/kondom berisi obat (seperti pada kuri narkoba yang membawa obat di usus besarnya)
dan konsumsi obat-obatan lepas lambat dalam jumlah banyak (seperti theophylline atau
calcium channel blocker).

MENINGKATKAN ELIMINASI OBAT


Pada kebanyakan pasien yang datang akibat overdosis, teknik dekontaminasi usus dan
penanganan suportif merupakan hal yang sangat dibutuhkan. Namun pada beberapa jenis
keracunan akut, kita perlu melakukan sejumlah tindakan untuk meningkatkan eliminasi.

ALKALINISASI URIN
Alkalinisasi urin (sebelumnya disebut juga dengan diuresis alkaline yang dipaksa)
dapat berguna untuk beberapa jenis keracunan seperti:
- Salisilat
- Fenobarbital (dengan disertai pemberian dosis AC berulang)
- Chlorpropamide
- Methotraxate
Natrium bikarbonat 8.4% yang diberikan secara intravena dengan cara infus
(perkumpulan toksikologi Amerika dan Eropa merekomendasikan dosis 225 mL selama 1 jam
pada orang dewasa) untuk mencapai pH urin yang mencapai 7.5-8.5. Istilah ‘alkalinisasi urin’
digunakan untuk menekankan bahwa manipulasi pH urin merupakan tujuan utama terapinya;
istilah ‘diuresis alkalin yang dipaksa’ dan ‘diuresis alkalin’ tidak boleh lagi digunakan.
Menurut perkumpulan internasional, tindakan ini dapat dipertimbangkan sebagai terapi
pilihan untuk keracunan salisilat sedang dan berat. Namun kita harus hati-hati saat
melakukannya untuk memastikan bahwa kadar kalium tidak mengalami penurunan secara
cepat, dan pH urin harus diperiksa tiap 30 menit.

TEKNIK EKSTRAKORPOREAL
Ada beberapa jenis teknik ekstrakorporeal yang berpotensi untuk digunakan
membantu mengeluarkan obat-obatan dari tubuh pasien yang keracunan, sekaligus untuk
mengoreksi abnormalitas metabolik dan biokimiawi yang diakibatkan oleh keracunan.Teknik
seperti plasmafaresis, hemodialisis, hemofiltrasi, hemodiafiltrasi dan hemoperfusi. Hanya
sedikit data yang mendukung bahwa tindakan-tindakan ini dapat membersihkan obat dan
tidak mungkin untuk melakukan ekstrapolasi dari satu sistem ke sistem lain. Saat ini, kita
hanya dapat bergantung pada pengetahuan mengenai metode dan kinetika obat-obatan.
Teknik ekstrakorporeal harus dipertimbangkan hanya jika terdapat tanda-tanda klinis
atau penanda bahwa telah terjadi toksisitas berat, kegagalan dalam merespon penanganan
suportif serta jenis keracunan obat yang dapat berpotensi untuk dikeluarkan.Gangguan dalam
rute eliminasi normal juga dapat mempengaruhi pengambilan keputusan. Penggunaan teknik
ekstrakorporeal biasanya hanya dapat berguna jika total pembersihan obat dari tubuh
meningkat hingga sekurang-kurangnya 30%. Hemoperfusi jarang dilakukan di unit
penanganan intensif (ICU) dan hemodialisis intermiten seringkali hanya dilakukan di unit
ginjal.Sebagai konsekuensinya, penggunaan hemofiltrasi berkelanjutan, dengan atau tanpa
dialisis, dengan menggunakan kecepatan filtrasi yang lebih besar dari 50-100 mL/kg per jam
merupakan teknik yang cukup efektif jika pasien memang membutuhkan teknik
ekstrakorporeal.
Kelompok multidisiplin internasional yang disebut EXTRIP (EXtracorpoperal
Treatments In Poisoning) saat ini sedang melakukan peninjauan terhadap peranan eliminasi
ekstrakorporeal dan akan segera menerbitkan beberapa panduan untuk keracunan yang mana
eliminasi ekstrakorporeal dapat digunakan atau dipertimbangkan.

TERAPI EMULSI LIPID


Intravenous lipid emulsion (ILE) saat ini diketahui sebagai salah satu penatalaksanaan
yang efektif untuk kolaps kardiovaskuler yang terinduksi oleh anestetik lokal. Mekanisme
terapi ini belum jelas, namun nampaknya terapi ini dapat membentuk semacam keran lipid,
yang dapat membantu menangkap obat-obatan dari jaringan target, atau sebagai substrat
energi untuk myokadium yang mengalami renjatan. Berdasarkan hipotesis keran lipid, ILE
dapat dipertimbangkan sebagai salah satu penatalaksanaan potensial untuk keracunan akut
berat yang disebabkan oleh obat-obatan lipofilik.
Ada beberapa bukti dari model hewan dan kasus manusia mengenai penggunaan ILE
pada kasus toksisitas anestetik lokal; ada banyak laporan kasus mengenai penggunaan ILE
pada keracunan jenis lain, namun penggunaannya belum direkomendasikan secara rutin.Saat
ini ILE hanya tersedia di ruang gawat darurat dan unit penanganan intensif lainnya.Belum
ada dosis regimen yang optimal untuk ILE, namun sudah jelas bahwa ILE merupakan salah
satu antidote yang sangat kuat dalam beberapa tahun terakhir. Ada beberapa laporan
mengenai rekurensi toksisitas setelah pemberian dosis awal ILE, begitu juga dengan beberapa
komplikasi seperti pankreatitis.

TERAPI SUPORTIF YANG BERKELANJUTAN


Pasien yang meracuni dri sendiri tidak selalu menimbulkan empati pada tim medis
yang menerimanya di rumah sakit, namun pasien-pasien seperti ini memiliki tantangan medis
tersendiri, selain karena mereka menimbulkan penyakit pada diri sendiri. Beberapa tindakan
khusus untuk pasien seperti ini akan dijelaskan nanti, namun penanganan suportif umum
yang baik pada pasien tak stabil yang tak sadarkan diri harus tetap dilanjutkan. Hal ini
termasuk pemantauan dan pemberian dukungan organ jika dibutuhkan, begitu juga dengan
upaya menyeimbangkan cairan, koreksi elektrolit, memulai dukungan nutrisi, dan melakukan
penatalaksanaan terhadap infeksi nosokomial.
Meskipun pada awalnya pasien-pasien ini mengalami gangguan fisiologis yang
signifikan, secara umum luaran pasien-pasien ini biasanya baik.
BAB IV
KESIMPULAN

Salah satu sumber keracunan tersering adalah dari bidang pertanian, yaitu penggunaan
pestisida. Pestisida adalah zat untuk membunuh atau mengendalikan hama. Penggunaan
pestisida yang tidak tepat dapat memberikan efek samping keracunan. Keracunan dapat
terjadi secara sengaja terhisap (inhalasi), menelan, atau melalui kulit.
Gejala klinis yang timbul bergantung pada dosis atau konsentrasi racun yang pada
akhirnya menjadi dasar prognosis dari kasus keracunan paraquat. Dosis rendah, yaitu < 20
mg/kgBB (7,5 ml dalam konsentrasi 20%) tidak memberikan gejala atau hanya gejala
gastrointestinal yang muncul seperti muntah atau diare. Dosis sedang, yaitu 20-40 mg/kgBB
(7,5-15 ml dalam konsentrasi 20%) menyebabkan fibrosis jaringan paru yang masif dan
bermanifestasi sebagai sesak napas yang progresif yang dapat menyebabkan kematian antara
2-4 minggu setelah masuknya racun. Gangguan ginjal dan hati dapat ditemukan. Sesak napas
dapat muncul setelah beberapa hari pada beberapa kasus berat. Fungsi ginjal biasanya dapat
kembali ke normal. Dosis besar, yaitu > 40 mg/kgBB (> 15 ml dalam konsentrasi 20%)
menyebabkan kerusakan multi organ, tetapi lebih progresif. Sering disertai tanda khas berupa
ulkus pada orofaring. Gejala gastrointestinal sama seperti pada konsumsi racun dengan dosis
yang lebih rendah namun gejalanya lebih berat akibat dehidrasi. Gagal ginjal, aritmia jantung,
koma, kejang, perforasi oesofagus, dan koma kemudian diakhiri dengan kematian yang dapat
terjadi dalam 24-48 jam akibat gagal multi organ.
Tatalaksana yang dapat dilakukan adalah dilakukannya kumbah lambung serta dapat
diberikan arang aktif. Perkumpulan toksikologi Amerika dan Eropa berpendapat bahwa
kumbah lambung dapat mengeluarkan banyak racun dari lambung, dan hanya dapat
dilakukan pada racun yang belum terserap di dalam usus halus; sehingga tindakan ini tidak
lagi dianjurkan sebagai prosedur rutin. Activated charcoal (AC) atau arang aktif hingga saat
ini masih menjadi lini pertama untuk keracunan akut. Karena memiliki permukaan yang luas
dan struktur berpori maka agen ini sangat efektif dalam menyerap banyak racun.
DAFTAR PUSTAKA

1. Bagian Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Toksikologi.


Dalam: Bagian Kedokteran Forensik FK UI. Ilmu Kedokteran Forensik edisi 2. Jakarta:
Bagian Kedokteran Forensik FKUI; 1997. Hal. 71-86.
2. Raini, Mariana. Kajian: Toksikologi pestisida dan penangan akibat keracunan pestisida.
Media Litbang Kesehatan, 2008; 17:10-18.
3. Aggrawal, Anil. Agrochemical Poisoning. Dalam: Tsokos, M. Forensic Pathology Reviews,
Vol. 4. Totowa: Humana Press Inc; 2005. Hal.280-91.
4. Dad, R. J. Sembodo. 2010. Gulma dan Pengelolaannya. Penerbit Graha Ilmu, Yogyakarta,
Indonesia.
5. Wahyudi T, Panggabean TR, Pujiyanto. Kakao: Manajemen Agribisnis.Penebar Swadaya
2008; 1:177-178
6. Zein U, Purba A, Ginting Y, dan Pandjaitan T.B. Beberapa Aspek Keracunan di Bagian
Penyakit Dalam Rumah Sakit H. Adam Malik, Medan. Available from :
http://www.idi.or.id/mki/racun.htm
7. Mishra AK, Pandey AB. Paraquat. Available from : http://www.panap.net/ uploads/
media/paraquat_monograph_PAN_AP.pdf
8. Anonym. NIOSH Pocket Guide to Chemical Hazards-Paraquat. Available from :
http://www.cdc.gov/niosh/nmam/1910425.html
9. Ashton C, Leahy N. Paraquat. Available from : http://www.intox.org/databank/
documents/ chemical/paraquat/pim399.htm
10. Bronstein AC. Herbicides. In : Dart RC, Ed. Medical Toxicology. 3rd ed. Philadelphia:
Lippincot Williams and Wilkins, 2004: 1515-24
11. Anonym. Diquat in Drinking-water. Available from : http://www.who.int
12. Anonym. Paraquat. Available from : http://www.panap.net/uploads/media/rmpp_ ch12.pdf
13. Day BJ et al. A Mechanism of Paraquat Toxicity Involving Nitric Oxide Synthase. Available
from : http://www.pnas.com
14. Anonym. Free Radical Introduction.
15. Wesseling C et al. Paraquat in Developing Countries. Available from :
http://www.una.ac/paraquat_in_developing_countries_pdf
16. Davidson, Israel, & John Bernard Henry, 1976. Clinical Diagnosis by Laboratory Methods,
WB. Saunders Co. London.
17. Darsono L, 2002. Diagnosis dan Terapi Intoksikasi. JKM. 2:1.
18. Textbook of Sky and Flying Glasses . For General Convenience David M Wood dan
Duncan LA Wyncoll

Anda mungkin juga menyukai