Tonsilitis
DISUSUN OLEH :
dr. Suci Sukmawati
Dokter Pendamping :
dr. Hj Sumarmi
KABUPATEN KUNINGAN
2018
BAB I
1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penyakit telinga, hidung, dan tenggorok (THT) sudah banyak terjadi di
masyarakat.Untuk dapat mengetahui tentang penyakit telinga, hidung, dan tenggorok (THT)
ini khususnya pada penyakit tenggorokan tentunya seorang dokter harus lebih dahulu
mengetahui embriologi, anatomi dan fisiologi dari masing-masing organ tersebut. Dengan
diketahuinya fisiologis organ tersebut, dapat membantu mendiagnosis keluhan yang terjadi
terutama pada penyakit tenggorok. Dengan demikian dapat membantu dilakukannya tata
laksana yang komprehensif dan terpadu sesuai dengan kompetensi kedokteran umum.
B. Tujuan
Tujuan umum dari laporan kasus ini adalah untuk dapat lebih mendalami dan
memahami atas kasus – kasus tentang tonsillitis. Tujuan khususnya adalah sebagai
pemenuhan tugas kepaniteraan stase THT.
BAB II
LAPORAN KASUS
2
A. Identitas Pasien
Nama : An Muhammad Aufar Fadli
Jenis kelamin : Laki-laki
Umur : 7 tahun
Alamat : Hanjawar 04/02 Cikondang
No RM : 00026088
Tanggal berobat : 17/10/2018
B. Anamnesis
1. Keluhan utama: Nyeri menelan sejak ± 2 minggu
6. Riwayat pengobatan:
Sebelumnya pasien pernah berobat ke dokter umum untuk mengurangi
keluhannya namun sampai saat ini belum ada perbaikan.
7. Riwayat psikososial:
Pasien sering sekali mengkonsumsi makanan yang pedas, asam, gorengan, dan
es disekolahnya
C. Pemeriksaan Fisik
3
Tanda Vital
Tekanan darah : 110/70 mmHg
Penafasan : 20 x/menit
Nadi : 80 x/menit
Suhu : 37,5 0C
Status Generalis
E. Resume
Laki – laki berusia 7 tahun dengan keluhan odinofagia (+) sejak 2 minggu. tidur
mendengkur (+),nafsu makan menurun, sering mengalami batuk, pilek dan febris. Gemar
makan pedas, asam, gorengan, dan es.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan Tonsil TIIB / TIIB, kripta melebar (+)/(+).
F. Diagnosis Banding
1. Tonsillitis akut
2. Tumor tonsil sinistra
G. Diagnosa Kerja
1. Tonsillitis akut
H. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan darah lengkap
2. Foto thoraks
I. Penatalaksanaan
1. Medikamentosa
Cefadroxil syr 3 x 2 cth
Sanmol tablet 3x1 prn
Ambroxol tab 3x1 prn
2. Non-medikamentosa
Menjaga kebersihan mulut dan gigi
Hindari konsumsi makanan pedas dan minuman dingin
Edukasi pasien tentang penyakitnya dan pilihan untuk cauterisasi faring
Istirahat yang cukup
Makanan 4 sehat 5 sempurna
5
3. Rencana tindakan
Tonsillektomi Diseksi
J. Prognosis
1. Quo ad vitam : ad bonam
2. Quo ad functionam : ad bonam
6
BAB III
ANATOMI DAN TINJAUAN PUSTAKA
Gambar 1. Potongan sagital rongga hidung, rongga mulut, faring, dan laring. 3
Faring adalah suatu kantong fibromuskuler yang bentuknya seperti corong, yang besar
di bagian atas dan sempit di bagian bawah. Kantong ini mulai dari dasar tengkorak terus
menyambung ke esofagus setinggi vertebra servikal ke-6. Ke atas, faring berhubungan
dengan rongga hidung melalui koana, ke depan berhubungan dengan rongga mulut melalui
ismus orofaring, sedangkan dengan laring di bawah berhubungan melalui aditus laring dan ke
7
bawah berhubungan dengan esofagus. Panjang dinding posterior faring pada orang dewasa
kurang lebih 14 cm; bagian ini merupakan bagian dinding faring yang terpamnjang. Dinding
faring dibentuk oleh (dari dalam ke luar) selaput lendir, fasia faringobasiler, pembungkus
otot, dan sebagian fasia bukofaringeal. Faring terbagi atas nasofaring, orofaring, dan
laringofaring (hipofaring).
Unsur-unsur faring meliputi mukosa, palut lendir (mucous blanket) dan otot. 4,5
1. Mukosa
Bentuk mukosa faring bervariasi, tergantung pada letaknya. Pada nasofraing karena
fungsinya untuk saluran respirasi, maka mukosanya bersilia, sedamng epitelnya torak berlapis
yang mengandung sel goblet. Di bagian bawahnya, yaitu orofaring dan laringofaring, karena
fungsinya untuk saluran cerna, epitelnya berlapis gepeng dan tidak bersilia.
Di sepanjang faring dapat ditemukan banyak sel jaringan limfoid yang terletak dalam
rangkaian jaringan ikat yang termasuk dalam sistem retikuloendotelial. Oleh karena itu faring
dapat disebut juga daerah pertahanan tubuh terdepan.
2. Palut lendir (mucous blanket)
Daerah nasofaring dilalui oleh udara pernapasan yang diisap melalui hidung. Di
bagian atas, nasofaring ditutupi oleh palut lendir yang terletak di atas silia dan bergerak
sesuai dengan arah gerak silia ke belakang. Palut lendir ini mengandung enzim lysozyme
yang penting untuk proteksi.
3. Otot
Otot-otot faring tersusun dalam lapisan melingkar (sirkular) dan memanjang
(longitudinal). Otot-otot yang sirkular terdiri dari m.konstriktor faring superior, media, dan
inferior. Otot-otot ini terletak di sebelah luar. Otot-otot ini berbentuk kipas dengan tiap bagian
bawahnya menutup sebagian otot bagian atasnya dari belakang. Di sebelah depan, otot-otot
ini bertemu satu sama lain dan di belakang bertemu pada jaringan ikat yang disebut “rafe
faring” (raphe pharyngis). Kerja otot konstriktor untuk mengecilkan lumen faring. Otot-otot
ini dipersarafai oleh n.vagus (n.X).
Otot-otot yang longitudinal adalah m.stilofaring dan m.palatofaring. Letak otot-otot
ini di sebelah dalam. M.stilofaring gunanya untuk melebarkan faring dan menarik laring,
sedangkan m.palatofaring mempertemukan ismus orofaring dan menaikkan bagian bawah
faring dan laring. Jadi kedua otot ini bekerja sebagai elevator. Kerja kedua otot itu penting
sewaktu menelan. M.stilofaring dipersarafi oleh n.IX sedangkan m.palatofaring dipersarafi
oleh n.X.
8
Pada palatum mole terdapat lima pasang otot yang dijadikan satu dalam satu sarung
fasia dari mukosa yaitu m.levator veli palatini, m.tensor veli palatini, m.palatoglosus,
m.palatofaring, dan m.azigos uvula.
1. M.levator veli palatini membentuk sebagian besar palatum mole dan kerjanya untuk
menyempitkan ismus faring dan memperlebar ostium tuba Eustachius. Otot ini
dipersarafi oleh n.X.
2. M.tensor veli palatini membentuk tenda palatum mole dan kerjanya untuk
mengencangkan bagian anterior palatum mole dan membuka tuba Eustachius. Otot ini
dipersarafi oleh n.X.
3. M.palatoglosus membentuk arkus anterior faring dan kerjanya menyempitkan ismus
faring. Otot ini dipersarafi oleh n.X.
4. M.palatofaring membentuk arkus posterior faring. Otot ini dipersarafi oleh n.X.
5. M.azigos uvula merupakan otot yang kecil, kerjanya memperpendek dan menaikkan
uvula ke belakang atas. Otot ini dipersarafi oleh n.X.
6
Gambar 2. Rongga mulut.
Pendarahan
Faring mendapat darah dari beberapa sumber dan kadang-kadang tidak beraturan.
Yang utama berasal dari cabang a.karotis eksterna (cabang faring asendens dan cabang
fausial) serta dari cabang a.maksila interna yakni cabang palatina superior.
Persarafan
Persarafan motorik dan sensorik daerah faring berasal dari pleksus daring yang
ekstensif. Plesksus ini dibentuk oleh cabang faring dari n.vagus, cabang dari n.glososfaring
dan serabut simpatis. Cabang faring dari n.vagus berisi serabut motorik. Dari pleksus faring
9
yang ekstensif ini keluar cabang-cabang untuk otot-otot faring kecuali m.stilofaring yang
dipersarafi langsung oleh cabang n.glosofaring (n.IX).
Kelenjar getah bening
Aliran limfa dari dinding faring dapat melalui 3 saluran, yakni superior, media, dan
inferior. Saluran limfa superior mengalir ke kelenjar getah bening retrofaring dan kelenjar
getah bening servikal dalam atas. Saluran limfa media mengalir ke kelenjar getah bening
jugulo-digastrik dan kelenjar servikal dalam atas, sedangkan saluran limfa inferior mengalir
ke kelenjar getah bening dalam bawah.
Pembagian faring
10
dan v.jugularis interna, bagian petrosus os.temporalis dan foramen laserum, dan
muara tuba Eustachius.
2. Orofaring
Orofaring disebut juga mesofaring, dengan batas atanya adalah palatum mole,
batas bawah adalah tepi atas epiglotis, ke depan adalah rongga mulut, sedangkan ke
belakang adalah vertebra servikal.
Struktur yang terdapat di rongga orofaring adalah dinding posterio faring,
tonsil palatina, fosa tonsil serta arkus faring anterior dan posterior, uvula, tonsil
lingual, dan foramen sekum.
Fosa tonsil
Fosa tonsil dibatasi oleh arkus faring anterior dan posterior. Batas lateralnya
adalah m.konstriktor faring superior. Pada batas atas yang disebut kutub atas (upper
pole) terdapat suatu ruang kecil yang dinamanakan fosa supratonsil. Fosa ini berisi
jaringan ikat jarang dan biasanya merupakan tempat nanah memecah ke luar bila
terjadi abses. Fosa tonsil diliputi oleh fasia yang merupakan bagian dari fasia
bukofaring, dan disebut kapsul yang sebenarnya bukan merupakan kapsul yang
sebenarnya.
Tonsil
11
Gambar 4. Cincin Waldeyer. 8
Tonsil adalah massa yang terdiri dari jaringan limfoid dan ditunjang oleh
jaringan ikat dengan kriptus di dalamnya.
Terdapat 3 macam tonsil yaitu tonsil faringeal (adenoid), tonsil palatina, dan
tonsil lingual yang ketiga0tiganya membentuk lingkaran yang disebut cincin
Waldeyer. Tonsil palatina yang biasanya disebut tonsil saja terletak di dalam fosa
tonsil. Pada kutub atas tonsil seringkali ditemukan celah intratonsil yang merupakan
sisa kantong faring yang kedua. Kutub bawah tonsil biasanya melekat pada dasar
lidah. Permukaan medial tonsil bentuknya beraneka ragam dan mempunyai celah
yang disebut kriptus. Di dalam kriptus biasanya ditemukan leukosit, limfosit, epitel
yang terlepas, bakteri, dan sisa makanan. Permukaan lateral tonsil melekat pada fasia
faring yang sering juga disebut kapsul tonsil. Kapsul ini tidak melekat erat pada otot
farings sehingga mudah dilakukan diseksi pada tonsilektomi. Tonsil mendapat darah
dari a.palatina minor, a.palatina asendens, cabang tonsil a.maksila eksterna, a.faring
asendens, dan a.lingualis dorsal. Tonsil lingual terletak di dasar lidah dan dibagi
menjadi dua oleh ligamentum glosoepiglotika. Di garis tengah, di sebelah anterior
massa ini terdapat foramen sekum pada apeks, yaitu sudut yang terbentuk oleh papila
sirkumvalata. Tempat ini kadang-kadang menunjukkan penjalaran duktus tiroglosus
dan secara klinik merupakan tempat penting bila ada massa tiroid lingual (lingual
thyroid) atau kista duktus tiroglosus.
3. Laringofaring (hipofaring)
Batas laringofaring di sebelah superior adalah tepi atas epiglotis, batas anterior
ialah laring, batas inferior ialah esofagus, serta batas posterior adalah vertebra
servikal. Bila laringofaring diperiksa dengan kaca tenggorok pada pemeriksaan laring
12
tidak langsung atau dengan laringoskop pada pemeriksaan laring langsung, maka
struktur pertama yang tampak di bawah dasar lidah adalah valekula. Bagian ini
merupakan dua buah cekungan yang dibentuk oleh ligamentum glosoepiglotika
medial dan ligamentum glosoepiglotika lateral pada tiap sisi. Valekula disebut juga
“kantong pil” (pill’s pocket), sebab pada beberapa orang, kadang-kadang bila menelan
pil akan tersangkut disitu.
Di bawah valekula terdapat epiglotis. Pada bayi epiglotis ini berbentuk omega
dan pada perkembangannya akan lebih melebar, meskipun kadang-kadang bentuk
infantil (bentuk omega) ini tetap sampai dewasa. Dalam perkembangannya, epiglotis
ini dapat menjadi demikian lebar dan tipisnya sehingga pada pemeriksaan
laringoskopi tidak langsung tampak menutupi pita suara. Epiglotis berfungsi juga
untuk melindungi (proteksi) glotis ketika menelan minuman atau bolus makanan,
pada saat bolus tersebut menuju ke sinus piriformis dan ke esofagus.
Nervus laring superior berjalan di bawah dasar sinus piriformis pada tiap sisi
laringofaring. Hal ini penting untuk diketahui pada pemberian analgesia lokal di
faring dan laring pada tindakan laringoskopi langsung.
Fasia servikalis terdiri dari lapisan jaringan ikat fibrous yang membungkus organ,
otot, saraf dan pembuluh darah serta membagi leher menjadi beberapa ruang potensial. Fasia
servikalis terbagi menjadi 2 bagian yaitu fasia servikalis superfisialis dan fasia servikalis
profunda.
Fasia servikalis superfisialis terletak tepat dibawah kulit leher berjalan dari
perlekatannya di prosesus zigomatikus pada bagian superior dan berjalan ke bawah ke arah
13
toraks dan aksila yang terdiri dari jaringan lemak subkutan. Ruang antara fasia servikalis
superfisialis dan fasia servikalis profunda berisi kelenjar limfe superfisial, saraf dan
pembuluh darah termasuk vena jugularis eksterna.
Fasia servikalis profunda terdiri dari 3 lapisan yaitu : 9,10,11
1. Lapisan superfisial
Lapisan ini membungkus leher secara lengkap, dimulai dari dasar tengkorak sampai
daerah toraks dan aksila. Pada bagian anterior menyebar ke daerah wajah dan melekat pada
klavikula serta membungkus m. sternokleidomastoideus, m.trapezius, m. masseter, kelenjar
parotis dan submaksila. Lapisan ini disebut juga lapisan eksternal, investing layer , lapisan
pembungkus dan lapisan anterior.
2. Lapisan media
Lapisan ini dibagi atas 2 divisi yaitu divisi muskular dan viscera. Divisi muskular
terletak dibawah lapisan superfisial fasia servikalis profunda dan membungkus m.
sternohioid, m. sternotiroid, m. tirohioid dan m. omohioid. Dibagian superior melekat pada os
hioid dan kartilago tiroid serta dibagian inferior melekat pada sternum, klavikula dan skapula.
Divisi viscera membungkus organ – organ anterior leher yaitu kelenjar tiroid, trakea dan
esofagus. Disebelah posterosuperior berawal dari dasar tengkorak bagian posterior sampai ke
esofagus sedangkan bagian anterosuperior melekat pada kartilago tiroid dan os hioid. Lapisan
ini berjalan ke bawah sampai ke toraks, menutupi trakea dan esofagus serta bersatu dengan
perikardium. Fasia bukkofaringeal adalah bagian dari divisi viscera yang berada pada bagian
posterior faring dan menutupi m. konstriktor dan m. buccinator.
3. Lapisan profunda
Lapisan ini dibagi menjadi 2 divisi yaitu divisi alar dan prevertebra. Divisi alar
terletak diantara lapisan media fasia servikalis profunda dan divisi prevertebra, yang berjalan
dari dasar tengkorak sampai vertebra torakal II dan bersatu dengan divisi viscera lapisan
media fasia servikalis profunda. Divisi alar melengkapi bagian posterolateral ruang
retrofaring dan merupakan dinding anterior dari danger space.
Divisi prevertebra berada pada bagian anterior korpus vertebra dan ke lateral meluas
ke prosesus tranversus serta menutupi otot-otot didaerah tersebut. Berjalan dari dasar
tengkorak sampai ke os koksigeus serta merupakan dinding posterior dari danger space dan
dinding anterior dari korpus vertebra. Ketiga lapisan fasia servikalis profunda ini membentuk
selubung karotis ( carotid sheath ) yang berjalan dari dasar tengkorak melalui ruang
faringomaksilaris sampai ke toraks.
14
Ruang faringeal
Ada dua ruang yang berhubungan dengan faring yang secara klinik mempunyai arti
penting, yaitu ruang retrofaring, dan ruang parafaring. 4,5
1. Ruang retrofaring (retropharyngeal space)
Dinding anterior ruang ini adalah dinding belakang faring yang terdiri dari
mukosa faring, fasia faringobasilaris, dan otot-otot faring. Ruang ini berisi jaringan
ikat jarang dan fasia prevertebralis. Serat-serat jaringan ikat di garis tengah
mengikatnya pada vertebra.
Ruang retrofaring terdapat pada bagian posterior dari faring, yang dibatasi
oleh :
- anterior : fasia bukkofaringeal ( divisi viscera lapisan media fasia servikalis
profunda ) yang mengelilingi faring, trakea, esofagus dan tiroid
- posterior : divisi alar lapisan profunda fasia servikalis profunda
- lateral : selubung karotis ( carotid sheath ) dan daerah parafaring (fosa
faringomaksila).
Daerah ini meluas mulai dari dasar tengkorak sampai ke mediastinum setinggi
bifurkasio trakea ( vertebra torakal I atau II ) dimana divisi viscera dan alar bersatu.
Abses retrofaring sering ditemukan pada bayi atau anak. Kejadiannya ialah karena di
ruang retrofaring terdapat kelenjar-kelenjar limfa. Daerah retrofaring terbagi menjadi
2 daerah yang terpisah di bagian lateral oleh midline raphe . Tiap – tiap bagian
mengandung 2 – 5 buah kelenjar limfe retrofaring yang biasanya menghilang setelah
berumur 4 – 5 tahun. Kelenjar ini menampung aliran limfe dari rongga hidung, sinus
paranasal, nasofaring, faring, tuba Eustakius dan telinga tengah. Pada peradangan
kelenjar limfa itu, dapat terjadi supurasi, yang bilamana pecah, nanahnya akan
tertumpah di dalam ruang retrofaring. Daerah ini disebut juga dengan ruang
retroviscera, retroesofagus dan ruang viscera posterior.
2. Ruang parafaring (fosa faringomaksila : pharyngomaxillary fossa)
Ruang ini berbentuk kerucut dengan dasarnya yang terletak pada dasar
tengkorak dekat foramen jugularis dan puncaknya pada kornu mayus os hioid. Ruang
ini dibatasi di bagian dalam oleh m.konstriktor faring superior, batas luarnya adalah
ramus asendens mandibula yang melekat dengan m.pterigoideus interna dan bagian
posterior kelenjar parotis.
Fosa ini dibagi menjadi dua bagian yang tidak sama besarnya oleh os stiloid
dengan otot yang melekat padanya. Bagian anterior (prestiloid) adalah bagian yang
15
lebih luas dan dapat mengalami proses supuratif sebagai akibat tonsil yang meradang,
beberapa bentuk mastoiditis atau petrositis, atau dari karies dentis.
Bagian yang lebih sempit di bagian posterior (post stiloid) berisi a.karotis
interna, v.jugularis interna, n.vagus, yang dibungkus dalam suatu sarung yang disebut
selubung karotis (carotid sheath). Bagian ini dipisahkan dari ruang retrofaring oleh
suatu lapisan fasia yang tipis.
16
Gambar 6. Penampang sagital leher memperlihatkan posisi spatium retropharyngeum dan
submandibularis.11
17
Gambar 8. Potongan koronal ruang parafaring.13
18
Gambar 9. Potongan sagital faring menunjukkan ruang retrofaring, danger space, dan
prevertebral space.14
Ruang submandibula
Ruang submandibula terdiri dari ruang sublingual dan ruang submaksila. Ruang
sublingual dipisahkan dari ruang submaksila oleh otot milohioid.
Ruang submaksila selanjutnya dibagi lagi atas ruang submental dan ruang submaksila
(lateral) oleh otot digastrikus anterior.
Ruang mandibular dibatasi pada bagian lateral oleh garis inferior dari badan mandibula,
medial oleh perut anterior musculus digastricus, posterior oleh ligament stylohyoid dan perut
posterior dari musculus digastricus, superior oleh musculus mylohyoid dan hyoglossus, dan
inferior oleh lapisan superficial dari deep servikal fascia. Ruang ini mengandung glandula
saliva sub mandibular dan sub mandibular lymphanodes.
Namun ada pembagian lain yang tidak menyertakan ruang sublingual ke dalam ruang
submandibula, dan membagi ruang submandibula atas ruang submental dan ruang submaksila
saja.
19
Gambar 10. Ruang sublingual dan ruang submandibula yang dibagi oleh m.mylohyoideus.15
20
Pada saat berbicara dan menelan terjadi gerakan terpadu dari otot-otot palatum dan
faring. Gerakan ini antara lain berupa pendekatan palatum mole ke arah dinding belakang
faring. Gerakan penutupan ini terjadi sangat cepat dan melibatkan mula-mula
m.salfingofaring dan m.palatofaring, kemudian m.levator veli palatini bersama-sama
m.konstriktor faring superior. Pada gerakan penutupan nasofaring m.levator veli palatini
menarik palatum mole ke atas belakang hampir mengenai dinding posterior faring. Jarak
yang tersisa ini diisi oleh tonjolan (fold of) Passavant pada dinding belakang faring yang
terjadi akibat 2 macam mekanisme, yaitu pengangkatan faring sebagai hasil gerakan
m.palatofaring (bersama m.salfingofaring) dan oleh kontraksi aktif m.konstriktor faring
superior. Mungkin kedua gerakan ini bekerja tidak pada waktu yang bersamaan.
Ada yang berpendapat bahwa tonjolan Passavant ini menetap pada periode fonasi,
tetapi ada pula pendapat yang mengatakan tonjolan ini timbul dan hilang secara cepat
bersamaan dengan gerakan palatum.
A. Anatomi Tonsil1,2
Tonsil atau yang lebih sering dikenal dengan amandel adalah massa yang terdiri dari
jaringan limfoid dan ditunjang oleh jaringan ikat dengan kriptus didalamnya, bagian
organ tubuh yang berbentuk bulat lonjong melekat pada kanan dan kiri tenggorok.
Terdapat 3 macam tonsil yaitu tonsil faringal (adenoid), tonsil palatina, dan tonsil lingual
yang membentuk lingkaran yang disebut cincin Waldeyer. Tonsil terletak dalam sinus
tonsilaris diantara kedua pilar fausium dan berasal dari invaginasi hipoblas di tempat ini.
Tonsil palatina yang biasanya disebut tonsil saja terletak didalam fosa tonsil.
Fosa tonsil dibatasi oleh arkus faring anterior dan arkus faring posterior. Arkus faring
anterior dibentuk oleh muskulus palatoglosus yang kerjanya menyempitkan ismus faring,
otot ini dipersarafi oleh nervus vagus (N.X). Sedangkan arkus faring posterior dibentuk
oleh muskulus palatofaring, otot ini juga dipersarafi oleh nervus vagus (N.X). Batas
lateral fosa tonsil adalah muskulus konstriktor faring superior. Pada batas atas yang
disebut kutub atas (upper pole) terdapat suatu ruang kecil yang dinamakan fosa supra
tonsil. Fosa ini berisi jaringan ikat jarang dan biasanya merupakan tempat nanah
memecah keluar bila terjadi abses. Fosa tonsil diliputi oleh fasia yang merupakan bagian
dari fasia bukofaring, dan disebut kapsul yang sebenarnya bukan merupakan kapsul yang
sebenarnya.
21
Gambar 1. Cincin Waldeyer
Pada kutub atas tonsil seringkali ditemukan celah intratonsil yang merupakan sisa
kantong faring yang kedua. Kutub bawah tonsil biasanya melekat pada dasar lidah.
Permukaan medial tonsil bentuknya beraneka ragam dan mempunyai celah yang disebut
kriptus. Epitel yang melapisi tonsil adalah epitel skuamosa yang juga meliputi kriptus.
Didalam kriptus biasanya ditemukan leukosit, limfosit, epitel yang terlepas, bakteri
dan sisa makanan. Permukaan lateral tonsil melekat pada fasia faring yang sering juga
disebut kapsul tonsil. Kapsul ini tidak melekat erat pada otot faring, sehingga mudah
dilakukan diseksi pada tonsilektomi. Tonsil mendapat darah dari arteri palatina minor,
arteri palatina asendens, cabang tonsil arteri maksila eksterna, arteri faring asendens dan
arteri lingualis dorsal.
Tonsil lingual terletak didasar lidah dan dibagi menjadi 2 oleh ligamentum
glosoepiglotika. Digaris tengah, disebelah anterior massa ini terdapat foramen sekum
pada apeks, yaitu sudut yang terbentuk oleh papila sirkumvalata. Tempat ini kadang-
kadang menunjukkan penjalaran duktus tiroglosus dan secara klinik merupakan tempat
penting bila ada massa tiroid lingual (lingual thyroid) atau kista duktus tiroglossus.
Tonsil diperdarahi oleh beberapa cabang pembuluh darah, yaitu:
- A. Palatina Ascenden, cabang A. Fasialis, memperdarahi daerah postero-inferior
- A. Tonsilaris, cabang A. Fasialis, memperdarahi daerah antero-inferior
- A. Lingualis Dorsalis, cabang A. Maksilaris Interna, memperdarahi daerah antero-
media
- A. Faringeal Ascenden, cabang A. Karotis Eksterna, memperdarahi daerah
postero-superior
22
- A. Palatida Descenden dan cabangnya, A. Palatina Mayor dan A. Palatina Minor,
memperdarahi daerah antero-superior
Daerah vena dialirkan melalui pleksus venosus perikapsular ke V. Lingualis
dan pleksus venosus faringeal, yang kemudian bermuara ke V. Jugularis Interna.
Pembuluh darah vena tonsil berjalan dari palatum, menyilang bagian lateral kapsula
dan selanjutnya menembus dinding faring.
Tonsil tidak mempunyai sistem limfatik aferen. Aliran limfe dari parenkim
tonsil ditampung pada ujung pembuluh limfe eferen yang terletak pada trabekula yang
kemudian membentuk pleksus pada permukaan luar tonsil dan berjalan menembus M.
konstrikstor faringeus superior, selanjutnya menembus fasia bukofaringeus dan
akhirnya menuju kelenjar servikalis profunda yang terletak sepanjang pembuluh darah
besar leher, dibelakang dan di bawah arkus mandibula. Kemudian aliran limfe ini
dilanjutkan ke nodulus limfatikus daerah dada, untuk selanjutnya bermuara ke duktus
toraksikus.
23
Gambar 3. Aliran limfe tonsil
Inervasi tonsil terutama melalui N. palatina mayor dan minor (cabang N. V2)
dan N. lingualis (cabang N. IX). Nyeri pada tonsilitis sering menjalar ke telinga, hal
ini terjadi karena N. IX juga mempersarafi membran timpani dan mukosa telinga
tengah melalui Jacobson’s nerve.
24
Organisme-organisme patogen yang terdapat pada flora normal tonsil dan
faring tidak menimbulkan peradangan, karena pada daerah ini terdapat mekanisme
pertahanan dan hubungan timbal balik antara berbagai jenis organisme.
B. Tonsilitis 1,2,3
Tonsillitis sendiri adalah inflamasi pada tonsila palatine yang disebabkan oleh infeki
virus atau bakteri. Saat bakteri dan virus masuk ke dalam tubuh melalui hidung atau mulut,
tonsil berfungsi sebagai filter/penyaring menyelimuti organisme yang berbahaya tersebut
dengan sel-sel darah putih. Hal ini akan memicu sistem kekebalan tubuh untuk membentuk
antibody terhadap infeksi yang akan datang. Tetapi bila tonsil sudah tidak dapat menahan
infeksi dari bakteri atau virus tersebut maka akan timbul tonsillitis. Dalam beberapa kasus
ditemukan 3 macam tonsillitis, yaitu tonsillitis akut, tonsillitis membranosa, dan tonsillitis
kronis.
1. Tonsilitis akut2,3
a. Etiologi
Radang akut tonsil dapat disebabkan kuman grup A streptokokus β
hemolitikus, pneumokokus, streptokokus viridan, dan streptokokus pyogenes.
Hemofilus influenzae merupakan penyebab tonsilitis akut supuratif.
b. Patofisiologi
Penularan penyakit ini terjadi melalui droplet. Kuman menginfiltrasi lapisan
epitel, kemudian bila kuman ini mengikis maka jaringan limfoid superficial bereaksi,
terjadi pembendungan radang dengan infiltrasi leukosit polimorfonuklear sehingga
terbentuk detritus. Detritus ini merupakan kumpulan leukosit, bakteri yang mati dan
epitel yang terlepas. Secara klinis detritus ini mengisi kriptus tonsil dan tampak
sebagai bercak kuning.
Bentuk tonsilitis akut dengan detritus yang jelas disebut tonsilitis folikularis.
Bila bercak-bercak detritus ini menjadi satu, membentuk alur-alur maka akan terjadi
25
tonsilitis lakunaris. Bercak detritus ini dapat melebar sehingga terbentuk membran
semu (pseudomembrane) yang menutupi tonsil.
Gambar 4. Tonsilitis akut
c. Manifestasi klinik
Gejala dan tanda-tanda yang ditemukan dalam tonsillitis akut ini meliputi
demam dengan suhu tubuh yang tinggi, nyeri tenggorok dan nyeri sewaktu menelan,
nafas yang berbau, rasa lesu, rasa nyeri di persendian, tidak nafsu makan, dan rasa
nyeri di telinga (otalgia). Rasa nyeri ditelinga ini karena nyeri alih (referred pain)
melalui saraf n.glosofaringius (n.IX).
Pada pemeriksaan juga akan nampak tonsil membengkak, hiperemis, dan terdapat
detritus berbentuk folikel, lacuna atau tertutup oleh membrane semu. Kelenjar
submandibula membengkak dan nyeri tekan.
d. Komplikasi
Otitis media akut (pada anak-anak), abses peritonsil, abses parafaring,
toksemia, septicemia, bronchitis, nefritis akut, miokarditis, dan arthritis.
e. Pemeriksaan
1) Tes Laboratorium
Tes laboratorium ini digunakan untuk menentukan apakah bakteri yang
ada dalam tubuh pasien merupkan bakteri grup A, karena grup ini disertai dengan
demam reumatik, glomerulonefritis.
2) Pemeriksaan penunjang
Kultur dan uji resistensi bila diperlukan.
3) Terapi
Dengan menggunakan antibiotic spectrum lebar dan sulfonamide, antipiretik,
dan obat kumur yang mengandung desinfektan.
f. Perawatan
Perawatan yang dilakukan pada penderita tonsillitis biasanya dengan perawatan sendiri dan
dengan menggunakan antibiotic.Tindakan operasi hanya dilakukan jika sudah mencapai
tonsillitis yang tidak dapat ditangani sendiri.
1) Perawatan sendiri
26
Apabila penderita tonsillitis diserang karena virus sebaiknya biarkan virus itu hilang
dengan sendirinya.Selama satu atau dua minggu sebaiknya penderita banyak istirahat,
minum minuman hangat.
2) Antibiotik
Jika tonsillitis disebabkan oleh bakteri maka antibiotic yang akan berperan dalam proses
penyembuhan. Antibiotic oral perlu dimakan selama setidaknya 10 hari.
3) Tindakan operasi
Tonsillectomy biasanya dilakukan jika pasien mengalami tonsillitis selama tujuh kali atau
lebih dalam setahun, pasien mengalami tonsillitis lima kali atau lebih dalam dua tahun,
tonsil membengkak dan berakibat sulit bernafas, adanya abses.
a. Tonsilitis difteri
Etiologi
Penyebab penyakit ini adalah kuman Corynebacterium diphteriae yaitu suatu bakteri
gram positif pleomorfikpenghuni saluran pernapasan atas yang dapat menimbulkan
abnormalitas toksik yang dapat mematikan bila terinfeksi bakteriofag.
Patofisiologi
27
Bakteri masuk melalui mukosa lalu melekat serta berkembang biak pada permukaan
mukosa saluran pernapasan atas dan mulai memproduksi toksin yang merembes ke
sekeliling lalu selanjutnya menyebar ke seluruh tubuh melalu pembuluh darah dan limfe.
Toksin ini merupakan suatu protein yang mempunyai 2 fragmen yaitu aminoterminal
sebagai fragmen A dan fragmen B, carboxyterminal yang disatukan melalui ikatan
disulfide.
Manifestasi klinis
Tonsillitis difteri ini lebih sering terjadi pada anak-anak pada usia 2-5 tahun.
Penularan melalui udara, benda atau makanan, dan uang terkontaminasai dengan masa
inkubasi 2-7 hari. Gambaran klinik dibagi dalam 3 golongan yaitu:
1. Gejala umum dari penyaki ini adalah terjadi kenaikan suhu subfebris, nyeri menelan,
nyeri kepala, tidak nafsu makan, badan lemah, dan nadi lambat.
2. Gejala local berupa nyeri tenggorok, tonsil membengkak ditutupi bercak putih kotor
makin lama makin meluas dan menyatu membentuk membran semu. Membran ini
melekat erat pada dasar dan bila diangkat akan timbul pendarahan. Jika menutupi
laring akan menimbulkan serak dan stridor inspirasi, bila menghebat akan terjadi
sesak nafas. Bila infeksi tidak terbendung, kelenjar limfa leher akan membengkak
menyerupai leher sapi (bull neck).
3. Gejala eksotoksin akan menimbulkan kerusakan jaringan tubuh yaitu pada jantung
berupa miokarditis sampai decompensation cordis, mengenai saraf kranial
menyebabkan kelumpuhan otot palatum dan otot-otot pernapasan, dan pada ginjal
menimbulkan albuminoria.
Diagnosis
Diagnosis tonsillitis difteri harus dibuat berdasarkan pemeriksaan klinis karena
penundaan pengobatan akan membahayakan jiwa penderita. Pemeriksaan preparat
langsung diidentifikasi secara fluorescent antibody technique yang memerlukan seorang
ahli. Diagnosis pasti dengan isolasi C, diphteriae dengan pembiakan pada media Loffler
dilanjutkan tes toksinogenesitas secara vivo dan vitro. Cara PCR (Polymerase Chain
Reaction) dapat membantu menegakkan diagnosis tapi pemeriksaan ini mahal dan masih
memerlukan pengawasan lebih lanjut untuk menggunakan secara luas.
Pemeriksaan
1) Tes Laboratorium
28
Dilakukan dengan cara preparat langsung kuman(dari permukaan bawah
membrane semu). Medium transport yang dapat dipakai adalah agar Mac conkey atau
Loffler.
2) Tes Schick (tes kerentanan terhadap difteria)
3) Terapi
Anti difteri serum diberikan segera tanpa menunggu hasil kultur dengan dosis 20.000-
100.000 unit tergantung dari umur dan beratnya penyakit itu.
Pengobatan
Tujuan dari pengobatan penderita diphtheria adalah menginaktivasi toksin yang belum
terikat secepatnya, mencegah dan mengusahakan agar penyulit yang terjadi minimal,
mengeliminasi C.diphteria untuk mencegah penularan serta mengobati infeksi penyerta
dan penyulit diphtheria. Secara umum dapat dilakukan dengan cara istirahat selama
kurang lebih 2 minggu serta pemberian cairan.
Secara khusus dapat dilakukakan dengan pemberian :
1) Antitoksin : serum anti diphtheria (ADS)
2) Anti microbial : untuk menghentikan produksi toksin, yaitu penisilin prokain 50.000-
100.000 KI/BB/hari selama 7-10 hari, bila alergi diberikan eritromisin 40 mg/kg/hari.
3) Kortikosteroid : diberikan kepada penderita dengan gejala obstruksi saluran nafas
bagian atas dan bila terdapat penyulit miokardiopati toksik.
4) Pengobatan penyulit : untuk menjaga agar hemodinamika penderita tetap baik oleh
karena penyulit yang disebabkan oleh toksin umumnya reversible.
5) Pengobatan carrier : ditujukan bagi penderita yang tidak mempunyai keluhan.
Komplikasi
Laryngitis difteri, miokarditis, kelumpuhan otot palatum mole, kelumpuhan otot mata,
otot faring laring sehingga suara parau, kelumpuhan otot pernapasan, dan albuminuria.
Pencegahan
Untuk mencegah penyakit ini dapat dilakukan dengan menjaga kebersihan pada diri
anak serta memberikan penyuluhan tentang penyakit ini pada anak-anak. Selain itu juga
diberikan imunisasi yang terdiri dari imunisasi DPT dan pengobatan carrier.
Tes kekebalan
1) Kekebalan aktif diperoleh dengan cara inapparent infection dan imunisasi dengan
toksoid diphtheria.
29
2) Kekebalan pasif diperoleh secara transplasental dari ibu yang kebal terhadap
diphtheria (sampai 6 bulan) dan suntikan antitoksin (2-3 minggu).
b. Tonsillitis septic
Penyebab dari tonsillitis ini adalah Streptokokus hemolitikus yang terdapat dalam
susu sapi sehingga dapat timbul epidemic. Oleh karena itu perlu adanya pasteurisasi sebelum
mengkonsumsi susu sapi tersebut.
c. Angina Plaut Vincent 3,4,5
Etiologi
Penyakit ini disebabkan karena kurangnya hygiene mulut, defisiensi vitamin C serta
kuman spirilum dan basil fusi form.
Manifestasi klinis
Penyakit ini biasanya ditandai dengan demam sampai 39o celcius, nyeri kepala, badan
lemah, dan terkadang terdapat gangguan pencernaan. Rasa nyeri di mulut, hipersalivasi, gigi,
dan gusi berdarah.
Pemeriksaan
Mukosa mulut dan faring hiperemis, tampak membrane putih keabuan di atas tonsil,
uvula, dinding faring, gusi serta prosesus alveolaris, mulut berbau dan kelenjar submanibula
membesar.
Pengobatan
Memperbaiki hygiene mulut, antibiotika spectrum lebar selama 1 minggu, juga
pemberian vitamin C dan B kompleks.
3. Tonsilitis kronis
Etiologi
Bakteri penyebab tonsillitis kronis sama halnya dengan tonsillitis akut , namun
terkadang bakteri berubah menjadi bakteri golongan Gram negatif.
Faktor predisposisi
Hygiene mulut yang buruk, pengobatan tonsillitis akut yang tidak adekuat,
rangsangan kronik karena rokok maupun makanan.
30
Patofisiologi
Karena proses radang berulang maka epitel mukosa dan jarinagn limfoid terkikis,
sehingga pada proses penyembuhan jaringan limfoid diganti dengan jaringan parut. Jaringan
ini akan mengerut sehingga ruang antara kelompok melebar yang akan diisi oleh detritus,
proses ini meluas hingga menembus kapsul dan akhirnya timbul perlekatan dengan jaringan
sekitar fosa tonsilaris.
Pemeriksaan
1) Terapi
Terapi mulut (terapi lokal) ditujukan kepada hygiene mulut dengan berkumur atau obat
isap.
Terapi radikal dengan tonsilektomi bila terjadi infeksi yang berulang atau kronik, gejala
sumbatan serta curiga neoplasma.
2) Faktor penunjang
Kultur dan uji resistensi kuman dari sedian apus tonsil.
32
beberapa rumah sakit masih tetap dikerjakan. Di Indonesia, terutama di
daerah masih lazim dilkukan cara ini dibandingkan cara diseksi.
Kepustakaan lama menyebutkan beberapa keuntungan teknik ini yaitu
cepat, komplikasi anestesi kecil, biaya kecil.
2. Diseksi
Kebanyakan tonsilektomi saat ini dilakukan dengan metode
diseksi.Hanya sedikit ahli THT yang secara rutin melakukan tonsilektomi
dengan teknik Sluder. Di negara-negara Barat, terutama sejak para pakar
bedah mengenal anestesi umum dengan endotrakeal pada posisi Rose yang
mempergunakan alat pembuka mulut Davis, mereka lebih banyak
mengerjakan tonsilektomi dengan cara diseksi. Cara ini juga banyak
digunakan pada pasien anak.
Walaupun telah ada modifikasi teknik dan penemuan peralatan dengan
desain yang lebih baik untuk tonsilektomi, prinsip dasar teknik
tonsilektomi tidak berubah.Pasien menjalani anestesi umum (general
endotracheal anesthesia). Teknik operasi meliputi: memegang tonsil,
membawanya ke garis tengah, insisi membran mukosa, mencari kapsul
tonsil, mengangkat dasar tonsil dan mengangkatnya dari fossa dengan
manipulasi hati-hati. Lalu dilakukan hemostasis dengan elektokauter atau
ikatan. Selanjutnya dilakukan irigasi pada daerah tersebut dengan salin.
Bagian penting selama tindakan adalah memposisikan pasien dengan
benar dengan mouth gag pada tempatnya. Lampu kepala digunakan oleh
ahli bedah dan harus diposisikan serta dicek fungsinya sebelum tindakan
dimulai.Mouth gag diselipkan dan bilah diposisikan sehingga pipa
endotrakeal terfiksasi aman diantara lidah dan bilah. Mouth gag paling
baik ditempatkan dengan cara membuka mulut menggunakan jempol dan 2
jari pertama tangan kiri, untuk mempertahankan pipa endotrakeal tetap di
garis tengah lidah. Mouth gag diselipkan dan didorong ke inferior dengan
hati-hati agar ujung bilah tidak mengenai palatum superior sampai tonsil
karena dapat menyebabkan perdarahan. Saat bilah telah berada diposisinya
dan pipa endotrakeal dan lidah di tengah, wire bail untuk gigi atas
dikaitkan ke gigi dan mouth gag dibuka.Tindakan ini harus dilakukan
dengan visualisasi langsung untuk menghindarkan kerusakan mukosa
33
orofaringeal akibat ujung bilah. Setelah mouth gagdibuka dilakukan
pemeriksaan secara hati-hati untuk mengetahui apakah pipa endotrakeal
terlindungi adekuat, bibir tidak terjepit, sebagian besar dasar lidah ditutupi
oleh bilah dan kutub superior dan inferior tonsil terlihat. Kepala di
ekstensikan dan mouth gag dielevasikan. Sebelum memulai operasi,
harus dilakukan inspeksi tonsil, fosa tonsilar dan palatum durum dan
molle.
Mouth gagyang dipakai sebaiknya dengan bilah yang mempunyai alur
garis tengah untuk tempat pipa endotrakeal (ring blade). Bilah mouth gag
tersedia dalam beberapa ukuran. Anak dan dewasa (khususnya wanita)
menggunakan bilah no. 3 dan laki-laki dewasa memerlukan bilah no.
4.Bilah no. 2 jarang digunakan kecuali pada anak yang kecil.Intubasi nasal
trakea lebih tepat dilakukan dan sering digunakan oleh banyak ahli bedah
bila tidak dilakukan adenoidektomi.
Gambar 7 Tonsilektomi
4. Radiofrekuensi
Pada teknik radiofrekuensi, elektroda disisipkan langsung ke jaringan.
Densitas baru di sekitar ujung elektroda cukup tinggi untuk membuat
kerusakan bagian jaringan melalui pembentukan panas. Selama periode 4-
6 minggu, daerah jaringan yang rusak mengecil dan total volume jaringan
berkurang. Pengurangan jaringan juga dapat terjadi bila energi
radiofrekuensi diberikan pada medium penghantar seperti larutan
salin.Partikel yang terionisasi pada daerah ini dapat menerima cukup
energi untuk memecah ikatan kimia di jaringan. Karena proses ini terjadi
pada suhu rendah (40° C - 70° C), mungkin lebih sedikit jaringan sekitar
yang rusak.
Alat radiofrekuensi yang paling banyak tersedia yaitu alat Bovie,
Elmed Surgitron system (bekerja pada frekuensi 3,8 MHz), the Somnus
somnoplasty system (bekerja pada 460 kHz), the ArthroCare coblation
system dan Argon plasma coagulators. Dengan alat ini, jaringan tonsil
dapat dibuang seluruhnya, ablasi sebagian atau berkurang
volumenya.Penggunaan teknik radiofrekuensi dapat menurunkan
morbiditas tonsilektomi.Namun masih diperlukan studi yang lebih besar
dengan desain yang baik untuk mengevaluasi keuntungan dan analisa
biaya dari teknik ini.
5. Skalpel harmonik
35
Skalpel harmonik menggunakan teknologi ultrasonik untuk memotong
dan mengkoagulasikan jaringan dengan kerusakan jaringan
minimal.Teknik ini menggunakan suhu yang lebih rendah dibandingkan
elektrokauter dan laser. Dengan elektrokauter atau laser, pemotongan dan
koagulasi terjadi bila temperatur sel cukup tinggi untuk tekanan gas dapat
memecah sel tersebut (biasanya 150° C – 400° C), sedangkan dengan
skalpel harmonik temperatur disebabkan oleh friksi jauh lebih rendah
(biasanya 50° C - 100° C). Sistem skalpel harmonik terdiri atas generator
110 Volt, handpiece dengan kabel penyambung, pisau bedah dan pedal
kaki.
Alatnya memiliki 2 mekanisme memotong yaitu oleh pisau tajam yang
bergetar dengan frekuensi 55,5 kHz sejauh lebih dari 80 µm (paling
penting), dan hasil dari pergerakan maju mundur yang cepat dari ujung
pemotong saat kontak dengan jaringan yang menyebabkan peningkatan
dan penurunan tekanan jaringan internal, sehingga menyebabkan
fragmentasi berongga dan pemisahan jaringan. Koagulasi muncul ketika
energi mekanik ditransfer kejaringan, memecah ikatan hidrogen tersier
menjadi protein denaturasi dan melalui pembentukan panas dari friksi
jaringan internal akibat vibrasi frekuensi tinggi.
Skalpel harmonik memiliki beberapa keuntungan dibanding teknik
bedah lain, yaitu: Dibandingkan dengan elektrokauter atau laser, kerusakan
akibat panas minimal karena proses pemotongan dan koagulasi terjadi
pada temperatur lebih rendah dan charring, desiccation (pengeringan) dan
asap juga lebih sedikit. Tidak seperti elektrokauter, skalpel harmonik tidak
memiliki energi listrik yang ditransfer ke atau melalui pasien, sehingga
tidak ada strayenergy (energi yang tersasar) yang dapat menyebabkan
shock atau luka bakar. Dibandingkan teknik skalpel, lapangan bedah
terlihat jelas karena lebih sedikit perdarahan, perdarahan pasca operasi
juga minimal. Dibandingkan dengan teknik diseksi standar dan
elektrokauter, teknik ini mengurangi nyeri pascaoperasi.Teknik ini juga
menguntungkan bagi pasien terutama yang tidak bisa mentoleransi
kehilangan darah seperti pada anak-anak, pasien dengan anemia atau
defisiensi faktor VIII dan pasien yang mendapatkan terapi antikoagulan.
36
6. Coblation
Teknik coblation juga dikenal dengan namaplasma-mediated tonsillar
ablation, ionised field tonsillar ablation; radiofrequency tonsillar ablation;
bipolar radiofrequency ablation; cold tonsillar ablation.
Teknik ini menggunakan bipolar electrical probe untuk menghasilkan
listrik radiofrekuensi (radiofrequency electrical) baru melalui larutan
natrium klorida. Keadaan ini akan menghasilkan aliran ion sodium yang
dapat merusak jaringan sekitar. Coblationprobe memanaskan jaringan
sekitar lebih rendah dibandingkan probe diatermi standar (suhu 60° C (45 -
85° C) dibanding lebih dari 100° C).
National Institute for clinical excellence menyatakan bahwa efikasi
teknik coblationsama dengan teknik tonsilektomi standar tetapi teknik ini
bermakna mengurangi rasa nyeri, tetapi komplikasi utama adalah
perdarahan.
37
diperlukan studi dengan desain yang baik untuk menilai keuntungan teknik
ini.
8. Laser (CO2-KTP)
Laser tonsil ablation (LTA) menggunakan CO2 atau KTP (Potassium
Titanyl Phospote) untuk menguapkan dan mengangkat jaringan
tonsil.Teknik ini mengurangi volume tonsil dan menghilangkan “recesses‟
pada tonsil yang meyebabkan infeksi kronik dan rekuren.
LTA dilakukan selama 15-20 menit dan dapat dilakukan di poliklinik
dengan anestesi lokal.Dengan teknik ini nyeri pascaoperasi minimal,
morbiditas menurun dan kebutuhan analgesia pascaoperasi
berkurang.Tekhnik ini direkomendasikan untuk tonsilitis kronik dan
rekuren, sore throat kronik, halitosis berat atau obstruksi jalan nafas yang
disebabkan pembesaran tonsil.
38
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Tonsilitis akut adalah radang akut yang disebabkan oleh kuman Streptococcus
beta hemolyticus, Streptococcus viridians, Streptococcus pyogenes, Pneumococcus,
Haemophylus influenzae dan Staphylococcus, dapat juga disebabkan oleh
virus.Tonsilitis kronik merupakan hasil dari serangan tonsillitis akut yang berulang.
Terdapat beberapa jenis tonsiitis, yaitu tonsilitis akut, tonsilitis foliularis, tonsilitis
lakunaris, tonsilitis membranosa, dan tonsilitis kronis.
Kuman-kuman penyebab menginfiltrasi lapisan epitel dan terjadi reaksi
jaringan limfoid superfisial.Terdapat pembendungan radang dengan infiltrasi leukosit
polimorfonuklear. Proses ini tampak sebagau detritus pada korpus tonsil. Detritus
merupakan kumpulan leukosit, bakteri dan epitel yang terlepas, suatu tonsillitis akut
dengan detritus disebut tonsillitis folikularis, bila bercak detritus berdekatan menjadi
satu maka terjadi tonsillitis lakunaris.
Manifestasi klinik tonsillitis akut berupa sakit tenggorokan, sakit saat
menelan, muntah.Tonsil bengkak, panas, gatal, sakit pada otot dan sendi, nyeri pada
seluruh badan, sakit kepala dan sakit pada telinga.Pada tonsilitis dapat mengakibatkan
kekambuhan sakit tenggorokan dan keluar nanah pada lekukan tonsil.
Komplikasi dapat berupa abses peritonsil, otitis media akut, mastioditis,
laryngitis, sinusitis, rinitis, endokarditis bakterialis, arthritis reumatoid, GNAPS dan
lain-lain.
Penatalaksanaan tonsilitis akut dapat diberikan obat-obat simpotamatis dan
antibiotik (penisilin V atau eritromisin).Sedangkan tonsilitis kronis dapat diberikan
amosisilin + asam klavulanat atau klindamisin).
Terdapat dua indikasi tonsilektomi, yaitu indikasi yang bersifat realtif dan
absolut.Sedangkan terdapat 8 buah metode tonsilektomi.
39
B. Saran
Tonsilitis seringkali diremehkan oleh penderita maupun orangtua dari anak
yang menderita. Sebagai dokter, maka perlu diberikan penjelasan tentang penyakit,
komplikasi, serta pilihan terapi baik dengan obat maupun tindakan pembedahan.
Dokter juga harus memberikan informasi tentang hal-hal yang dapat menyebabkan
kambuhnya penyakit ini.
40
DAFTAR PUSTAKA
1. Brodsky L, Poje C. Tonsillitis, tonsillectomy, and adenoidectomy. Dalam: Bailey
BJ, Johnson JT, Newlands SD, editor (penyunting). Head and Neck Surgery
Otolaryngology. Philadelpia: Lippincott Williams & Wilkins, 2006;4(1):1183-98.
2. Adams GL, Lawrence RB, Peter AH. BOIES Buku Ajar Penyakit THT
(terjemahan). Edisi Ke-6. Jakarta: EGC;1997. hlm.337-40.
3. Amarudin T, Anton C. Kajian manfaat tonsilektomi. Cermin Dunia Kedokteran.
2007;155:61-8.
4. Soepardi EA. Buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung tenggorok kepala & leher.
Edisi Ke-6. Jakarta: Balai Penerbit FKUI;.2007.hlm. 223-25.
5. Khan AR, Khan SA, Arif AU, Waheed R. Analysis of ENT diseases at Khyber
teaching hospital, Peshawar. J. Med. Sci. 2013;21(1):7-9.
41