Anda di halaman 1dari 7

RESUME MATERI 11

Nama : Devrita Irenike Mayade Chori


NIM : 201510230311237
Kelas : Psikologi D

1. Kelompok 1

Identitas Jurnal
Judul Jurnal Peran Dukungan Sosial dan Kecerdasan Emosi
Terhadap Kesejahteraan Subjektif Pada Remaja Awal
Nama Jurnal Jurnal Indigenous
Volume dan Halaman Vol. 1, No. 1, Halaman 12-22
Tahun 2016
Penulis Dhian Riskiana Putri

a. Kesejahteraan Subjektif

Istilah kesejahteraan subjektif identik dengan kebahagiaan (Diener, 2008), dan


terdengar lebih ilmiah (Eid dan Larsen, 2008). Penggunaan istilah kesejahteraan
subjektif sebagai sinonim dari kebahagiaan, keduanya digunakan secara bergantian
(Diener dan Biswas, 2011). Kesejahteraan subjektif adalah keseluruhan kepuasan
hidup dan kebahagiaan. Kepuasan hidup merupakan ukuran kognitif yang
melibatkan penjumlahan penilaian kepuasan hidup dari beberapa domain kehidupan
ataupun kepuasan hidup secara umum. Dapat dipahami bahwa kebahagiaan
merupakan bagian dari kesejahteraan subjektif.

b. Kesejahteraan Subjektif Remaja Awal


Remaja awal berusia sekitar 12-15 tahun berada pada periode transisi
perkembangan fisik, kognitif, sosial, dan emosi, (Santrock, 2007; Mönks, Knoers, dan
Haditono, 2004), serta transisi dari sekolah dasar menuju ke sekolah menengah
pertama (Schunk dan Meece, 2005; Hurlock, 2004), dihadapkan dengan banyak
perubahan dan tuntutan baru, sehingga remaja awal harus mampu menyesuaikan
diri dengan baik (Amstrong, 2011). Setiap aspek perkembangan remaja, baik fisik,
kognitif, sosial, dan emosi, satu sama lain saling mempengaruhi.
Kesejahteraan subjektif remaja juga terkait dengan masalah perkembangan
sosial dan emosi yang dialami, yaitu bahwa kecerdasan emosi remaja awal yang
masih labil disertai dengan interaksi sosial remaja awal yang semakin luas, sangat
mempengaruhi kesehatan dan kesejahteraan subjektif remaja (Ryff dan Singer,
2001). Bar-On (2010) menambahkan bahwa kecerdasan emosi dan interaksi sosial
saling terkait yang berfungsi mengarahkan individu pada pencapaian kesejahteraan
subjektif.

c. Hal-hal yang dapat Mempengaruhi Kesejahteraan Subjektif Individu

Kesejahteraan subjektif individu dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor,


diantaranya sikap optimisme, kepribadian ekstrovert, kecerdasan emosi, spiritualitas,
kontrol diri, dan dukungan sosial.
Kesejahteraan subjektif dipengaruhi oleh faktor internal (misalnyai:kepribadian,
temperamen, kecerdasan emosi, optimisme, dan harga diri), serta faktor eksternal
(misalnya: status ekonomi, dukungan sosial, pendidikan, budaya, dan hubungan
sosial). Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa kesejahteraan subjektif remaja
dalam penelitian ini dipengaruhi oleh kecerdasan emosi (faktor internal) dan
dukungan sosial (faktor eksternal).
Kecerdasan emosi dapat memepengaruhi kesejahteraan subjektif individu
karena terkait dengan penyesuaian psikologis dan berperan penting dalam
pencapaian kesejahteraan subjektif remaja. Faktor lain yang dapat mempengaruhi
kesejahteraan subjektif adalah dukungan sosial, sebagaimana hasil penelitian
Abbey, Abramis, dan Caplan (2005), bahwa dukungan sosial mampu meringankan
beban masalah yang dihadapi individu sehingga dapat lebih meningkatkan
kesejahteraan subjektif.

2. Kelompok 2

Identitas Jurnal
Judul Jurnal Kesejahteraan Psikologis (Psychological Wellbeing) Siswa
yang Orangtuanya Bercerai (Studi Deskriptif yang
Dilakukan Pada Siswa Di SMK Negeri 26 Pembangunan
Jakarta)
Nama Jurnal Jurnal Bimbingan Konseling
Volume dan Halaman Volume 5 (1), Halaman 108-115
Tahun 2016
Penulis Tia Ramadhani, Djunaedi, Atiek Sismiati S

a. Definisi Kesejahteraan Psikologis


Menurut Aspinwall, kesejahteraan psikologis menggambarkan bagaimana
psikologis berfungsi dengan baik dan positif. Selanjutnya menurut Schultz
mendefinisikan kesejahteraan psikologis (psychological wellbeing) sebagai fungsi
positif individu, dimana fungsi positif individu merupakan arah atau tujuan yang
diusahakan untuk dicapai oleh individu yang sehat.
Sama halnya dengan yang diungkapkan oleh Ryff bahwa psychological
wellbeing tidak hanya terdiri dari efek positf, efek negatif, dan kepuasan hidup,
melainkan paling baik dipahami sebagai sebuah konstruk multidimensional yang
terdiri dari sikap hidup yang terkait dengan dimensi kesejahteraan psikologis
(psychological well-being) itu sendiri yaitu mampu merealisasikan potensi diri secara
kontinu, mampu membentuk hubungan yang hangat dengan orang lain, memiliki
kemandirian terhadap tekanan sosial, maupun menerima diri apa adanya, memiliki
arti dalam hidup, serta mampu mengontrol lingkungan eksternal.
Dari beberapa pendapat diatas maka dapat disimpulkan bahwa kesejahteraan
psikologis merupakan kondisi psikologis dari setiap individu yang berfungsi dengan
baik dan positif. Individu yang memiliki kesejahteraan psikologis memiliki sikap positif
terhadap diri sendiridan orang lain, memiliki tujuan yang berarti dalam hidupnya,
memiliki kemampuan mengatur lingkungan, menjalin hubungan yang positif dengan
orang lain dan berusaha untuk menggali dan mengem-bangkan diri semaksimal
mungkin.
b. Dimensi Kesejahteraan Psikologi
Ryff mendefinisikan konsep kesejahteraan psikologis dalam enam dimensi,
yakni:
1. Penerimaan Diri
Penerimaan diri adalah sikap positif terhadap diri sendiri dan masa lalu individu
yang bersangkutan. Menggambarkan evaluasi diri yang positif, kemampuan
mengakui aspek diri sendiri, dan kemampuan menerima positif dan negatif
kemampuan seseorang.
2. Hubungan yang Positif dengan Orang Lain
Dimensi hubungan positif dengan orang lain ini berkaitan dengan kemampuan
menjalin hubungan antar pribadi yang hangat dan saling mempercayai.
Menggambarkan orang yang terkatualisasi dirinya mempunyai perasaan empati
dan kasih sayang.
3. Otonomi
Dimensi otonomi merupakan kemampuan untuk menentukan nasib sendiri,
mandiri dan mengatur perilakunya sendiri. Dimensi ini meliputi independen dan
determinan diri, kemampuan individu mehan tekanan sosial, dan kemampuan
mengatur pelakunya dari dalam.
4. Penguasaan Lingkungan
Dimensi penguasaan lingkungan meliputi rasa penguasaan dan kompetensi serta
kemampuan memilih situasi dan lingkungan yang kondusif. Menekankan perlunya
keterlibatan dan dalam aktivitas di lingkungan, kemampuan untuk memanipulasi
dan mengendalikan lingkungan yang rumit.
5. Tujuan Hidup
Dimensi ini meliputi kesadaran akan tujuan dan makna hidup, serta arah dan
tujuan dalam hidup. Keyakinan-keyakinan yang memberi-kan perasaan pada
individu bahwa ada tujuan dan makna dalam hidupnya.
6. Pertumbuhan Pribadi
Dimensi ini merupakan kemampuan diri mengembangkan potensi dirinya untuk
tumbuh dan berkembang sebagai individu secara efektif pribadi meliputi kapasitas
tumbuh mengembangkan meliputi potensi, serta perubahan pribadi dari waktu ke
waktu mencerminkan pengetahuan diri, tumbuh dan efektivitas.

c. Faktor Kesejahteraan psikologis


Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kesejahteraan psikologis
(psychological well-being) seseorang menurut Ryff antara lain:
1. Faktor Demografis
Faktor demografis yang mempengaruhi kesejahteraan psikologis yaitu usia, jenis
kelamin, status sosial ekonomi, dan budaya.
2. Dukungan Sosial
Dukungan sosial sendiri diartikan sebagai rasa nyaman, perhatian, penghargaan,
atau pertolongan yang dipersepsikan oleh seorang individu yang didapat berbagai
sumber, diantaranya pasangan, keluarga, teman, rekan kerja, dokter, maupun
organisasi sosial
3. Evaluasi terhadap Pengalaman Hidup
Pengalaman hidup mencakup berbagai bidang kehidupan dalam berbagai periode
kehidupan. Evaluasi individu terhadap pengalaman hidupnya memiliki pengaruh
yang penting terhadap kesejahteraan psikologis.
4. Locus Of Control (LOC)
Locus Of Control didefinisikan sebagai suatu ukuran harapan umum seseorang
mengenai pengendalian terhadap penguatan yang mengikuti perilaku tertentu,
dapat memberikan peramalan terhadap kesejahteraan psikologis.

3. Kelompok 3

Identitas Jurnal
Judul Jurnal Children Wellbeing
Volume dan Halaman Vol. -, Halaman 20-32
Penulis Yeni Triwahyuningsih

Hasil Resume
Banyak peneliti mengakui bahwa kesejahteraan subjektif adalah beragam dan
mencakup evaluasi individu yang setidaknya terdiri dari tiga komponen kehidupan: (1)
penilaian kognitif kehidupan seseorang, (2) tingkat tepat afeksi negative (3) dan penilaian
afeksi emosi positif seseorang.
Komponen pertama melibatkan evaluasi kognitif masa lalu, sekarang, dan prospek
masa depan seseorang yang semuanya berkontribusi terhadap peringkat kepuasan
hidup seseorang. Komponen kedua menekankan bahwa kesejahteraan terdiri dari tingkat
yang tepat dari afeksi negatif. Dengan kata lain, psikolog positif tidak serta merta
menghapus segala afeksi negatif, dan tidak melihat ini sebagai penghapusan yang
menguntungkan. Menyadari nilai emosi negatif seperti kesedihan, penyesalan, rasa
bersalah, dan depresi penting bagi psikolog positif. Nilai ini memberi umpan balik untuk
belajar. Afeksi negatif juga menjadi motivasi untuk mengubah diri, memodifikasi
lingkungan, atau pindah ke lingkungan hidup yang baru. Komponen ketiga melibatkan
penilaian afektif dan umumnya hadir lebih berorientasi. Dalam hal ini termasuk
bagaimana seseorang merasakan mengenai komponen emosional sekitarnya atau
merasakan kondisi kebahagiaan saat ini dan atau kondisi kebahagiaan umum secara
keseluruhan.
Komponen subjective wellbeing dianggap multidimensi. Misalnya pada komponen
ketiga, penilaian afektif emosi positif seseorang adalah termasuk sejumlah emosi positif
dan pernyataan seperti kepuasan, sukacita, kesenangan, euforia, elevasi, dan
kebahagiaan. Jadi, masing-masing emosi positif dan pernyataan-pernyataannya dapat
dikonseptualisasikan sebagai multidimensional. Kebahagiaan, dapat digunakan sebagai
contoh multidimensi ini.

4. Kelompok 4

Identitas Jurnal
Judul Jurnal Peran Akhlak Terhadap Kebahagiaan Remaja Islam
Volume dan Halaman Vol. -, Halaman 15-27
Penulis Marcham Darokah, Ahmad Muhammad D.
a. Kebahagiaan
Penelitian ini terutama mengacu pada teori top down dan bottom up yang
menyatakan bahwa kebahagiaan dapat ditingkatkan dengan faktor eksternal dan
faktor internal (Diener dan Diener, 2003). Faktor eksternal adalah faktor-faktor dari
luar seperti pengetahuan, penghasilan, dan kedudukan. Faktor internal adalah faktor
yang berasal dari dalam individu seperti kepribadian, nilai hidup dan kepercayaan.
Dalam penelitian ini pengetahuan ajaran Islam sebagai faktor eksternal dan akhlak
yang berasal dari dalam diri individu sebagai faktor internal.

b. Faktor Eksterneal (Pengetahuan Ajaran Islam)


 Evaluasi terhadap kehidupan merupakan aspek penting dalam beragama. Banyak
ajaran Islam yang memerintahkan individu untuk selalu mengevaluasi
kehidupannya di masa lalu, sehingga akan menumbuhkan rasa syukur. Hal ini
searah dengan teori bottom up yang menyatakan bahwa kondisi individu dapat
meningkatkan kepuasan hidup atau kebahagiaannya.
 Individu yang memperoleh pengetahuan yang dianggap manfaat dan mengarah
untuk mencapai cita-citanya akan meningkatkan kepuasannya.
 Menurut teori bottom up, pengetahuan (grade) dapat mempengaruhi afek individu
(Crocker et al., 2003). Banyaknya individu yang membaca kitab Al-Qur’an, doa-
doa yang terkandung di dalamnya, dan membaca kisah- kisahnya menunjukkan
bahwa Al-Qur’an membawa perasaan positif bagi pembacanya. Membaca dan
memahami, dan mengulang- ulang ucapan yang mengandung kata-kata hikmah
dapat meningkatkan kebahagiaan
 Kegiatan lain yang secara teori dan temuan empiris berperan meningkatkan
kepuasan hidup adalah membantu fakir miskin, kawan yang berada dalam
kesulitan, bekerja bakti untuk masyarakat sekitar, dan menjenguk orang sakit

c. Faktor Internal (Akhlak)


 Akhlak lain yang pernah diteliti dalam psikologi terlihat mampu meningkatkan
kepuasan hidup individu adalah mempererat tali silaturrahim karena dapat
meningkatkan kohesivitas dan dukungan sosial. Dalam ajaran moral Islam,
individu tidak diperkenankan untuk memutuskan hubungan antar keluarga, saling
membelakangi, dan meremehkan orang lain
 Kegiatan tersebut dilihat sebagai pengaruh sosial yang memberi kontribusi bagi
peningkatan kebahagiaan para remaja. Ini berarti bahwa peningkatan
kebahagiaan remaja dapat dimotivasi oleh faktor-faktor sosial, maka dapat
disimpulkan bahwa terdapat pengaruh positif akhlak remaja dengan kebahagiaan
remaja.

d. Peran Pengetahuan Islam terhadap Kebahagiaan


 Pengetahuan ajaran Islam memiliki peran terhadap kepuasan hidup remaja,
karena dengan pengetahuan mereka memiliki kemampuan berargumentasi, untuk
dapat menghindarkan diri dari afek negatif, seperti putus asa, malas, dan tidak
bersemangat.
 Penelitian ini searah dengan hasil percobaan Musrel yang menunjukkan bahwa skor
yang diberikan terhadap siswa apabila dilakukan dengan adil (dengan
memperhatikan daya beda) dapat meningkatkan kepuasan individu. Perlakuan yang
adil membuat individu merasa senang dan kepuasan hidup akan meningkat.

e. Peran Akhlak terhadap Kebahagiaan


 Dimensi akhlak yang berhubungan dengan kerabat sesuai dengan hasil survei
yang dilakukan Myers (2003) yang menanyakan kepada ribuan responden
tentang penyebab individu merasa bahagia. Kebanyakan responden menjawab
bahwa yang peristiwa yang paling sering membuat mereka bahagia adalah
hubungan yang har monis dan memuaskan dengan keluarga
 Dimensi hubungan dengan syukur terhadap sesama manusia dalam penelitian ini
mengungkap bahwa syukur merupakan faktor kebahagiaan yang dilupakan.
Akhlak keagamaan dalam Islam merupakan perwujudan rasa syukur terhadap
Tuhan. Pengetahuan ajaran Islam remaja telah mengajarkan individu untuk selalu
menghitung atau menyebut nikmat baik yang besar maupun yang kecil. Misalnya
remaja sesudah salat diminta atau diwajibkan untuk duduk membaca dzikr.
 Aspek lain, selain syukur, yang diukur dalam nilai ajaran Islam pada penelitian ini
adalah memberi maaf. Hasil penelitian menunjukkan bahwa memberi maaf
meningkatkan kepuasan hidup dan afek

5. Kelompok 5

Identitas Jurnal
Judul Jurnal Penyesuaian Perkawinan, Subjective Well Being dan
Konflik Perkawinan
Nama Jurnal Persona, Jurnal Psikologi Indonesia
Volume dan Halaman Vol. 5, No. 01, hal 1 - 14
Tahun 2016
Penulis Dessy Christina, Andik Matulessy

a. Definisi Subjective Wellbeing


Schwartz & Strack (dalam Hida, 2013), mendefinisikan subjective well-being
adalah suatu keadaan seorang individu mempersepsi dan mengevaluasi segala hal
yang terjadi didalam kehidupan mereka, baik evaluasi kognitif maupun evaluasi
afektif (dalam (Diener.et.al, dalam Hida, 2013).
Subjective well-being adalah bagaimana seseorang mengevaluasi kehidupan
yang dijalani. Hal ini berhubungan dengan kepuasan hidup dan kepuasan
perkawinan, pengalaman yang berhubungan dengan depresi dan kecemasan, serta
mood atau suasana hati dan emosi yang positif (Diener, Suh & Oishi, dalam Hida,
2013). Ini artinya subjective well-being merupakan evaluasi diri mengenai kehidupan
yang dijalani yang mencakup aspek kognitif yaitu evaluasi tentang kepuasan hidup
yang dirasakan dan aspek afektif berupa afeksi positif dan afeksi negatif.
Snyder dan Lopez juga menjelaskan bahwa kebahagiaan (happiness) atau
subjective well-being (subjective wellbeing) merupakan suatu keadaan yang di
dalamnya terdapat fungsi kognitif dan afektif. Fungsi kognitif yaitu adanya suatu
evaluasi oleh individu termasuk dalam membuat suatu keputusan tentang kepuasan
dan keutuhan hidup. Fungsi afektif terdiri dari reaksi emosi yang bisa dalam bentuk
positif ataupun negatif.
Diener (dalam Hida, 2013) juga memiliki pendapat yang maknanya kurang lebih
sama, bahwa subjective well-being dan happiness terdiri oleh dua komponen yaitu
afektif dan kognitif. Dijelaskan lebih lanjut bahwa yang dimaksudkan sebagai
komponen kognitif merupakan seberapa sering seseorang melaporkan pengalaman-
pengalaman dari afeksi positif dan negatif yang dirasakan, sedangkan komponen
negatif terdiri dari evaluasi dan pembuatan keputusan atas kepuasan hidup
seseorang.

b. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Subjective Wellbeing


Beberapa faktor yang mempengaruhi SWB menurut Diener, Kashdan, dan
Kahneman & Krueger (2006) adalah temperamen; faktor biososial atau demografik;
faktor psikososial; dan faktor budaya. Diener, Suh & Oishi (dalam Hida, 2013),
Kahneman dan Krueger (2006), serta Schmidt dan Welsh (2010), menyatakan
bahwa subjective Well-Being terdiri atas tiga buah komponen umum. Ketiga
komponen tersebut merupakan faktor global dari variabel-variabel yang saling
berinterelasi, yaitu:
1. Afek positif (Pleasant Affect)
Merupakan afek yang meliputi emosi positif yang dialami oleh setiap individu
dalam menjalani kehidupannya. Afek ini dapat terdiri alas emosi-emosi spesifik
seperti sukacita, kasih sayang, harga diri dan sebagainya. Subjective well-being
juga terdiri atas afeksi-afeksi positif. Pengalaman afektif dapat menentukan emosi
yang muncul.
2. Afek negatif (Unpleasant Affect)
Merupakan afek yang meliputi emosi negatif yang dialami oleh setiap individu
dalam menjalani kehidupannya. Afek ini terdiri atas emosi-emosi spesifik seperti
rasa malu, rasa bersalah, kesedihan, kemarahan, kecemasan, dan sebagainya.
Afeksi negatif merupakan kebalikan dari reaksi emosi positif. Reaksi-reaksi emosi
negatif terlihat dalam bentuk ketakutan, rasa bermusuhan, rasa bersalah, dan
kesedihan (Watson, dalam Hida, 2013). Rasa bermusuhan secara lebih kompleks
terwujud dalam bentuk perilaku mudah tersinggung, marah, muak, jijik dan benci.
3. Kepuasan hidup (Life Satisfaction)
Merupakan kepuasan atas berbagai area kehidupan. Area kehidupan antara lain
area rekreasi, cinta, perkawinan , persahabatan, kekeluargaan dan sebagainya.
Subjective wellbeing seperti yang telah dijelaskan mempunyai hubungan yang
erat dengan kepuasan hidup (life satisfaction).

Anda mungkin juga menyukai