Anda di halaman 1dari 12

Anatomi Paru-Paru

Paru-paru merupakan organ yang lunak, spongious dan elastis, berbentuk kerucut atau konus,
terletak dalam rongga toraks dan di atas diafragma, diselubungi oleh membran pleura. Setiap
paru mempunyai apeks (bagian atas paru) yang tumpul di kranial dan basis (dasar) yang
melekuk mengikuti lengkung diphragma di kaudal. Pembuluh darah paru, bronkus, saraf dan
pembuluh limfe memasuki tiap paru pada bagian hilus.

Paru-paru kanan mempunyai 3 lobus sedangkan paru-paru kiri 2 lobus. Lobus pada paru-paru
kanan adalah lobus superius, lobus medius, dan lobus inferius. Lobus medius/lobus inferius
dibatasi fissura horizontalis; lobus inferius dan medius dipisahkan fissura oblique. Lobus pada
paru-paru kiri adalah lobus superius dan lobus inferius yg dipisahkan oleh fissura oblique. Pada
paru-paru kiri ada bagian yang menonjol seperti lidah yang disebut lingula. Jumlah segmen pada
paru-paru sesuai dengan jumlah bronchus segmentalis, biasanya 10 di kiri dan 8-9 yang kanan.
Sejalan dgn percabangan bronchi segmentales menjadi cabang-cabang yg lebih kecil, segmenta
paru dibagi lagi menjadi subsegmen-subsegmen.
Etiologi Pneumonia

Pneumonia dapat disebabkan oleh berbagai macam mikroorganisme yaitu bakteri, virus,
jamur, protozoa, yang sebagian besar disebabkan oleh bakteri. Penyebab tersering pneumonia
adalah bakteri gram positif, Streptococcus pneumonia. Kuman penyebab pneumonia biasanya
berbeda sesuai dengan distribusi umur pasien, dan keadaan klinis terjadinya infeksi.
Virus penyebab tersering pneumonia adalah respiratory syncytial virus (RSV),
parainfluenza virus, influenza virus dan adenovirus. Secara umum bakteri yang berperan penting
dalam pneumonia adalah Streptococcus pneumonia, Haemophillus influenza, Staphylococcus
aureus, Streptococcus group B, serta kuman atipik klamidia dan mikoplasma.
Pada neonatus Streptococcus group B dan Listeriae monocytogenes merupakan penyebab
pneumonia paling banyak. Virus adalah penyebab terbanyak pneumonia pada usia prasekolah
dan berkurang dengan bertambahnya usia. Selain itu Streptococcus pneumoniae merupakan
penyebab paling utama pada pneumonia bakterial. Mycoplasma pneumoniae dan Chlamydia
pneumoniae merupakan penyebab yang sering didapatkan pada anak diatas 5 tahun.
Communityy-acquired acute pneumonia sering disebabkan oleh streptokokkus pneumonia atau
pneumokokkus, sedangkan pada Community-acquired atypical pneumonia penyebab umumnya
adalah Mycopalsma pneumonia. Staphylokokkus aureus dan batang gram negatif seperti
Enterobacteriaceae dan Pseudomonas, adalah isolat yang tersering ditemukan pada Hospital-
acquired pneumonia.

Umur Penyebab yang sering Penyebab yang jarang


Lahir-20 hari Bakteria Bakteria
 Escherichia colli  Group D streptococci
 Group B streptococci  Haemophillus influenzae
 Listeria monocytogenes  Streptococcus pneumoniae
 Ureaplasma urealyticum
Virus
 Cytomegalovirus
 Herpes simplex virus

3 minggu – Bakteria Bakteria


3 bulan  Clamydia trachomatis  Bordetella pertusis
 Streptococcus pneumoniae  Haemophillusinfluenza type B &
Virus non typeable
 Respiratory syncytial virus  Moxarella catarrhalis
 Influenza virus  Staphylococcus aureus
 Para influenza virus 1,2  Ureaplasma urealyticum
and 3 Virus
 Adenovirus  Cytomegalovirus

4 bulan – Bakteria Bakteria


5 tahun  Streptococcus pneumoniae Haemophillus influenza type B
 Clamydia pneumoniae  Moxarella catarrhalis
 Mycoplasma pneumoniae  Neisseria meningitis
Virus  Staphylococcus aureus
 Respiratory syncytial virus Virus
 Influenza virus  Varicella zoster virus
 Parainfluenza virus
 Rhinovirus
 Adenovirus
 Measles

5 tahun – dewasa Bakteria Bakteria


 Clamydia pneumonia  Haemophillus influenza type B
 Mycoplasma pneumonia  Legionella species
 Streptococcus pneumoniae Staphylococcus aureus
Virus
 Adenovirus
 Epstein barr virus
 Influenza virus
 Parainfluenza virus
 Rhinovirus
 Respiratory syncytial virus
 Varicella zoster virus
Patofisiologi Pneumonia

Pneumonia yang dipicu oleh bakteri bisa menyerang siapa saja, dari bayi sampai usia

lanjut. Pecandu alcohol, pasien pasca operasi, orang-orang dengan gangguan penyakit pernapasan,

sedang terinfeksi virus atau menurun kekebalan tubuhnya , adalah yang paling berisiko.

Sebenarnya bakteri pneumonia itu ada dan hidup normal pada tenggorokan yang sehat.

Pada saat pertahanan tubuh menurun, misalnya karena penyakit, usia lanjut, dan malnutrisi, bakteri

pneumonia akan dengan cepat berkembang biak dan merusak organ paru-paru.

Kerusakan jaringan paru setelah kolonisasi suatu mikroorganisme paru banyak disebabkan

oleh reaksi imun dan peradangan yang dilakukan oleh pejamu. Selain itu, toksin-toksin yang

dikeluarkan oleh bakteri pada pneumonia bakterialis dapat secara langsung merusak sel-sel system

pernapasan bawah. Ada beberapa cara mikroorganisme mencapai permukaan:

1. Inokulasi langsung

2. Penyebaran melalui pembuluh darah

3. Inhalasi bahan aerosol

4. Kolonisasi dipermukaan mukosa

Dari keempat cara tersebut diatas yang terbanyak adalah cara kolonisasi. Secara inhalasi

terjadi pada infeksi virus, mikroorganisme atipikal, mikrobakteria atau jamur. Kebanyakan bakteri

dengan ukuran 0,5 – 2,0 nm melalui udara dapat mencapai bronkus terminal atau alveoli dan

selanjutnya terjadi proses infeksi. Bila terjadi kolonisasi pada saluran napas atas (hidung,

orofaring) kemudian terjadi aspirasi ke saluran napas bawah dan terjadi inokulasi mikroorganisme,

hal ini merupakan permulaan infeksi dari sebagian besar infeksi paru. Aspirasi dari sebagian kecil

sekret orofaring terjadi pada orang normal waktu tidur (50%) juga pada keadaan penurunan

kesadaran, peminum alkohol dan pemakai obat (drug abuse).


Basil yang masuk bersama sekret bronkus ke dalam alveoli menyebabkan reaksi radang

berupa edema seluruh alveoli disusul dengan infiltrasi sel-sel PMN dan diapedesis eritrosit

sehingga terjadi permulaan fagositosis sebelum terbentuknya antibodi.

Pneumonia bakterialis menimbulkan respon imun dan peradangan yang paling mencolok.

Jika terjadi infeksi, sebagian jaringan dari lobus paru-paru, ataupun seluruh lobus, bahkan sebagian

besar dari lima lobus paru-paru (tiga di paru-paru kanan, dan dua di paru-paru kiri) menjadi terisi

cairan. Dari jaringan paru-paru, infeksi dengan cepat menyebar ke seluruh tubuh melalui peredaran

darah. Bakteri pneumokokus adalah kuman yang paling umum sebagai penyebab pneumonia.

Terdapat empat stadium anatomic dari pneumonia terbagi atas:

1. Stadium Kongesti (4 – 12 jam pertama)

Disebut hiperemia, mengacu pada respon peradangan permulaan yang berlangsung pada

daerah baru yang terinfeksi. Hal ini ditandai dengan peningkatan aliran darah dan permeabilitas

kapiler di tempat infeksi. Hiperemia ini terjadi akibat pelepasan mediator-mediator peradangan

dari sel-sel mast setelah pengaktifan sel imun dan cedera jaringan. Mediator-mediator tersebut

mencakup histamin dan prostaglandin. Degranulasi sel mast juga mengaktifkan jalur komplemen.

Komplemen bekerja sama dengan histamin dan prostaglandin untuk melemaskan otot polos

vaskuler paru dan peningkatan permeabilitas kapiler paru. Hal ini mengakibatkan perpindahan

eksudat plasma ke dalam ruang interstitium sehingga terjadi pembengkakan dan edema antar

kapiler dan alveolus. Penimbunan cairan di antara kapiler dan alveolus meningkatkan jarak yang

harus ditempuh oleh oksigen dan karbondioksida maka perpindahan gas ini dalam darah paling

berpengaruh dan sering mengakibatkan penurunan saturasi oksigen hemoglobin.

2. Stadium Hepatisasi Merah (48 jam selanjutnya)


Terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel darah merah, eksudat dan fibrin yang dihasilkan oleh

penjamu (host) sebagai bagian dari reaksi peradangan. Lobus yang terkena menjadi padat oleh

karena adanya penumpukan leukosit, eritrosit dan cairan, sehingga warna paru menjadi merah dan

pada perabaan seperti hepar, pada stadium ini udara alveoli tidak ada atau sangat minimal sehingga

anak akan bertambah sesak. Stadium ini berlangsung sangat singkat, yaitu selama 48 jam.

3. Stadium Hepatisasi Kelabu (Konsolidasi)

Terjadi sewaktu sel-sel darah putih mengkolonisasi daerah paru yang terinfeksi. Pada saat ini

endapan fibrin terakumulasi di seluruh daerah yang cedera dan terjadi fagositosis sisa-sisa sel.

Pada stadium ini eritrosit di alveoli mulai diresorbsi, lobus masih tetap padat karena berisi fibrin

dan leukosit, warna merah menjadi pucat kelabu dan kapiler darah tidak lagi mengalami kongesti.

4. Stadium Akhir (Resolusi)

Eksudat yang mengalami konsolidasi di antara rongga alveoli dicerna secara enzimatis yang

diserap kembali atau dibersihkan dengan batuk. Parenkim paru kembali menjadi penuh dengan

cairan dan basah sampai pulih mencapai keadaan normal.

Pemeriksaan Laboratorium

Pada pemeriksaan laboratorium terdapat peningkatan jumlah leukosit, biasanya


>10.000/ul kadang-kadang mencapai 30.000/ul, dan pada hitungan jenis leukosit terdapat
pergeseran ke kiri serta terjadi peningkatan LED. Untuk menentukan diagnosis etiologi diperlukan
pemeriksaan dahak, kultur darah dan serologi. Kultur darah dapat positif pada 20-25% penderita
yang tidak diobati. Anlalisa gas darah menunjukkan hipoksemia dan hiperkarbia, pada stadium
lanjut dapat terjadi asidosis respiratorik.

Pemeriksaan Bakteriologis

Bahan berasal dari sputum, darah, aspirasi nasotrakeal/transtrakeal, torakosintesis,

bronkoskopi, atau biopsi. Kuman yang predominan pada sputum disertai PMN yang kemungkinan

penyebab infeksi. 5
Pengambilan dahak dilakukan pagi hari. Pasien mula-mula kumur-kumur dengan akuades
biasa, setelah itu pasien diminta inspirasi dalam kemudian membatukkan dahaknya. Dahak
ditampung dalam botol steril dan ditutup rapat. Dahak segera dikirim ke labolatorium (tidak boleh
lebih dari 4 jam). Jika terjadi kesulitan mengeluarkan dahak, dapat dibantu nebulisasi dengan NaCl
3%. Kriteria dahak yang memenuhi syarat untuk pemeriksaan apusan langsung dan biarkan yaitu
bila ditemukan sel PMN > 25/lpk dan sel epitel < 10/lpk.

Pemberian Antibiotik

 Penisilin sensitif Streptococcus pneumonia (PSSP)


 Penisilin resisten Streptococcus pneumoniae (PRSP)
 Pseudomonas aeruginosa
 Methicillin resistent Staphylococcus aureus (MRSA)
 Hemophilus influenzae
 Legionella
 Mycoplasma pneumoniae
 Chlamydia pneumoniae
Terapi Suportif Umum

Terapi Sulih (switch therapy)


ETIOLOGI BRONKIEKTASIS

Etiologi bronkiektasis sampai sekarang masih belum jelas. Namun diduga bronkiektasis dapat
timbul secara kongenital maupun didapat. 6

a. Kelainan kongenital
Dalam hal ini, bronkiektasis terjadi sejak individu masih dalam kandungan. Faktor
genetik atau faktor pertumbuhan dan perkembangan memegang peranan penting.
Bronkiektasis yang timbul kongenital biasanya mengenai hampir seluruh cabang bronkus
pada satu atau kedua bronkus. Selain itu, bronkiektasis kongenital biasanya menyertai
penyakit-penyakit kongenital seperti Fibrosis kistik, Sindroma Kertagener, William
Campbell syndrome, Mounier-Kuhn syndrome, dll.

b. Kelainan didapat
Bronkiektasis sering merupakan kelainan didapat dan kebanyakan merupakan
proses berikut:

 Infeksi
o Campak
o Pertusis
o Infeksi adenovirus
o Infeksi bakteri contohnya Klebsiella, Staphylococcus atau Pseudomonas.
o Influenza
o Tuberkulosa
o Infeksi mikoplasma
 Penyumbatan bronkus
o Benda asing yang terisap
o Pembesaran kelenjar getah bening
o Tumor paru
o Sumbatan oleh lendir
 Cedera penghirupan
o Cedera karena asap, gas atau partikel beracun
o Menghirup getah lambung dan partikel makanan
 Kelainan imunologik
o Sindroma kekurangan imunoglobulin
o Disfungsi sel darah putih
o Defisiensi komplemen
o Infeksi HIV
o Kelainan autoimun atau hiperimun tertentu seperti artritis rematoid, kolitis
ulcerativa
 Keadaan lain
o Penyalahgunaan obat (misalnya heroin)

DIAGNOSIS
1. Gambaran Klinis
o Manifestasi klasik dari bronkiektasis adalah batuk dan produksi sputum harian
yang mukopurulen sering berlangsung bulanan sampai tahunan. Sputum yang
bercampur darah atau hemoptisis dapat menjadi akibat dari kerusakan jalan
nafas dengan infeksi akut.
o Variasi yang jarang dari bronkiektasis kering yakni hemoptisis episodik dengan
sedikit atau tanpa produksi sputum. Bronkiektasis kering biasanya merupakan
sekuele (gejala sisa) dari tuberculosis dan biasanya ditemukan pada lobus atas.
o Gejala spesifik yang jarang ditemukan antara lain dyspnea, nyeri dada pleuritik,
wheezing, demam, mudah lelah dan berat badan menurun. Pasien relatif
mengalami episode berulang dari bronkitis atau infeksi paru, yang merupakan
eksaserbasi dari bronkiektasis dan sering membutuhkan antibiotik. Infeksi
bakteri yang akut ini sering diperberat dengan onsetnya oleh peningkatan
produksi sputum yang berlebihan, peningkatan kekentalan sputum, dan kadang-
kadang disertai dengan sputum yang berbau.
o Batuk kronik yang produktif merupakan gejala yang menonjol. Terjadi hampir
90% pasien. Beberapa pasien hanya menghasilkan sputum dengan infeksi
saluran pernafasan atas yang akut. Tetapi sebaliknya, pasien-pasien itu
mengalami infeksi yang diam. Sputum yang dihasilkan dapat berbagai macam,
tergantung berat ringannya penyakit dan ada tidaknya infeksi sekunder. Sputum
dapat berupa mukoid, mukopurulen, kental dan purulen. Jika terjadi infeksi
berulang, sputum menjadi purulen dengan bau yang tidak sedap. Dahulu,
jumlah total sputum harian digunakan untuk membagi karakteristik berat
ringannya bronkiektasis. Sputum yang kurang dari 10 ml digolongkan sebagai
bronkiektasis ringan, sputum dengan jumlah 10-150 ml perhari digolongkan
sebagai bronkiektasis moderat dan sputum lebih dari 150 ml digolongkan
sebagai bronkiektasis berat. Namun sekarang, berat ringannya bronkiektasis
dikalsifikasikan berdasarkan temuan radiologis. Pada pasien fibrosis kistik,
volume sputum pada umumnya lebih banyak dibanding penyakit penyebab
bronkiektasis lainnya.
o Hemoptisis terjadi pada 56-92% pasien dengan bronkiektasis. Homoptisis
mungkin terjadi masif dan berbahaya bila terjadi perdarahan pada arteri
bronkial. hemoptisis biasanya terjadi pada bronkiektasis kering, walaupun
angka kejadian dari bronkiektasis tipe ini jarang ditemukan.
o Dyspnea terjadi pada kurang lebih 72% pasien bronkiektasis tapi bukan
merupakan temuan yang universal. Biasanya terjadi pada pasien dengan
bronkiektasis luas yang terlihat pada gambaran radiologisnya.
o Wheezing sering dilaporkan dan mungkin akibat obstruksi jalan nafas yang
diikuti oleh destruksi dari cabang bronkus. Seperti dyspnea, ini juga mungkin
merupakan kondisi yang mengiringi, seperti asma.
o Nyeri dada pleuritik kadang-kadang ditemukan, terjadi pada 46% pasien pada
sekali observasi. Paling sering merupakan akibat sekunder pada batuk kronik,
tetapi juga terjadi pada eksaserbasi akut.
o Penurunan berat badan sering terjadi pada pasien dengan bronkiektasi yang
berat. Hal ini terjadi sekunder akibat peningkatan kebutuhan kalori berkaitan
dengan peningkatan kerja pada batuk dan pembersihan sekret pada jalan nafas.
Namun, pada umumnya semua penyakit kronik disertai dengan penurunan berat
badan.
o Demam biasanya terjadi akibat infeksi yang berulang.
PENGOBATAN
Pengobatan pasien bronkiektasis terdiri atas 2 kelompok, yaitu :

 Pengobatan konservatif

o Pengelolaan umum, meliputi


a. Menciptakan lingkungan yang baik dan tepat bagi pasien
b. Memperbaiki drainase sekret bronkus
c. Mengontrol infeksi saluran napas, misalnya dengan pemberian antibiotik.

o Pengelolaan khusus
a. Kemoterapi pada bronkiektasis
b. Drainase sekret dengan bronkoskopi

o Pengobatan simtomatik

a. Pengobatan obstruksi bronkus, misalnya dengan obat bronkodilator.


b. Pengobatan hipoksia, dengan pemberaian oksigen.
c. Pengobatan Hemoptisis misalnya dengan obat-obat hemostatik.
d. Pengobatan demam, dengan pemberian antibiotik dan antipiretik.

 Pengobatan Pembedahan

Tujuan pembedahan adalah untuk mengangkat (reseksi) segmen atau lobus yang
terkena. Indikasinya pada pasien bronkiektasis yang terbatas dan resektabel, yang tidak
berespon terhadap tindakan-tindakan konservatif yang adekuat, selain itu juga pada
pasien bronkiektasis terbatas, tetapi sering mengalami infeksi berulang atau hemoptisis
yang berasal dari daerah tersebut. Pasien dengan hemoptisis masif seperti ini mutlak
perlu tindakan operasi.
DAFTAR PUSTAKA

Dahlan, Z. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Pulmonologi. Pusat Penerbitan Departemen
Ilmu Penyakit Dalam Fakultas kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.

Price SA, Wilson LM. 2005. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, Edisi 6,
Volume 2: Penerbit EGC. Jakarta.

Aru W, Bambang, Idrus A, Marcellus, Siti S, ed. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Edisi
4. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen IPD RSCM; 2007.

O’Regan AW, Berman JS. Baum’s Textbook of Pulmonary Disease 7th Edition. Editor James
D. Crapo, MD. Lippincott Williams & Walkins. Philadelphia. 2004. hal 255-274.

Wilson LM. Patofisiologi (Proses-Proses Penyakit) Edisi enam. Editor Hartanto Huriawati,
dkk. EGC. Jakarta 2006. hal 737-740

Alsagaff H, Mukty A. Bronkiektasis, Dasar-dasar Ilmu Penyakit Paru, Airlangga University


Press. Surabaya. 2006. hal 256-261

Rahmatullah P. Bronkiektasis, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi Ketiga. Editor
Slamet Suyono. Balai Penerbit FKUI. Jakarta. 2001. hal 861-871.

Sutton D. Textbook of Radiology and Imaging volume 1. Churchill livingstone. Tottenham.


2003. hal 45, 163, 164 & 168.

Anda mungkin juga menyukai