Anda di halaman 1dari 6

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pelayanan kefarmasian merupakan kegiatan yang bertujuan untuk

mengidentifikasi, mencegah, dan menyelesaikan masalah terkait obat. Pelayanan

kefarmasian di rumah sakit, salah satunya dalam bentuk pelayanan farmasi klinik

melalui pelayanan langsung yang diberikan Apoteker kepada pasien dalam rangka

meningkatkan outcome terapi dan meminimalkan risiko terjadinya efek samping

obat untuk tujuan keselamatan pasien (patient safety) sehingga kualitas hidup

pasien (quality of life) terjamin (Permenkes RI, 2014).

Hicks WE. (1994) dalam Zulfan dkk. (2015) menyatakan bahwa Evaluasi

Penggunaan Obat (EPO) merupakan proses penjaminan mutu penggunaan obat di

rumah sakit yang terstruktur, dilakukan terus menerus, diotorisasi oleh rumah

sakit, dan ditujukan untuk memastikan obat digunakan secara tepat, aman, dan

efektif. Evaluasi ini dilaksanakan dengan memperhatikan kriteria penggunaan

obat yang rasional yaitu tepat indikasi penyakit, tepat pemilihan obat, tepat dosis,

tepat penilaian kondisi pasien, dan waspada terhadap efek samping (Depkes RI,

2008). Adapun Evaluasi Penggunaan Obat (EPO) sebagai salah satu wujud dari

pelayanan farmasi klinik yang dilakukan dengan membandingkan pola

penggunaan obat pada periode waktu tertentu guna memberikan masukan untuk

perbaikan penggunaan obat setelahnya, baik secara kualitatif maupun kuantitatif

(Permenkes RI, 2014).


Antibiotik merupakan golongan obat yang paling banyak diresepkan di

rumah sakit, hal ini terkait dengan banyaknya penyakit yang disebabkan oleh

adanya infeksi bakteri. Di negara maju, 13-37% dari seluruh penderita yang

dirawat di rumah sakit mendapatkan antibiotik baik secara tunggal maupun

kombinasi, sedangkan di negara berkembang 30-80% penderita yang dirawat di

rumah sakit mendapat antibiotik. Pemilihan antibiotik untuk pengobatan

berdasarkan pada tingkat keparahan, tempat terjadinya infeksi, dan jenis

mikroorganisme yang menginfeksi (Depkes RI, 2007). Penggunaan antibiotik

yang tidak tepat dapat menimbulkan berbagai masalah, di antaranya pengobatan

akan lebih mahal, efek samping lebih toksik, meluasnya resistensi dan timbulnya

kejadian superinfeksi yang sulit diobati (AMRIN Study Group, 2005).

Salah satu penyakit yang diberikan terapi antibiotik adalah diare. Diare

merupakan peningkatan pengeluaran tinja dengan konsistensi lebih lunak atau

lebih cair dari biasanya, dan terjadi lebih dari 3 kali dalam 24 jam (Juffrie, 2009).

Menurut data WHO tahun 2013 setiap tahunnya terjadi kematian akibat diare

sebesar 760.000 jiwa dan lebih banyak terjadi pada anak berumur di bawah lima

tahun, sebesar 21% kematian pada anak-anak karena diare terjadi di negara

berkembang (Suparno, 2015). Di negara berkembang diare akut merupakan

penyebab utama morbiditas dan mortalitas pada anak. Penyakit yang menyerang

sistem pencernaan ini masih menjadi penyebab kematian bayi usia kurang 1-12

bulan terbanyak yaitu 42% dibanding pneumonia 24%, untuk golongan balita usia

1-4 tahun penyebab kematian karena diare 25,2% dibanding pneumonia 15,5%

(Juffrie, 2009).
Durasi diare sangat menentukan diagnosis, diare akut adalah diare yang

gejalanya pendek dan durasinya kurang dari 2 minggu, diare persistent jika

durasinya antara 2-4 minggu, dan diare kronis jika durasi lebih dari 4 minggu

(Agtini, 2011). Berdasarkan penyebabnya, diare diklasifikasikan menjadi dua,

yaitu diare infeksi mikroorganisme atau jasad renik seperti bakteri, virus, dan

parasit, serta diare non infeksi seperti faktor psikologis karena ketakutan atau

kecemasan (Maharani, 2012). Pada anak sebagian besar kasus penyebabnya

adalah infeksi akut intestinum yang disebabkan oleh virus, bakteri atau parasit,

akan tetapi berbagai penyakit lain juga dapat menyebabkan diare akut, termasuk

sindroma malabsorpsi (Juffrie, 2009).

Pada umumnya antibiotika dapat digunakan sebagai terapi lini pertama

penanganan kasus diare persistent dan tidak diperlukan pada semua diare akut

karena sebagian besar diare akut disebabkan oleh infeksi rotavirus yang sifatnya

self limited dan tidak dapat dibunuh dengan antibiotika. Hanya sebagian kecil (10

– 20%) yang disebabkan oleh bakteri patogen seperti Shigella, Vibrio cholera,

Salmonella, Camphylobacter jejuni, Enterotoksigenik, Eschericia coli, dan

sebagainya (Juffrie, 2009). Hal seperti inilah yang mendasari agar pemberian

terapi antibiotik harus dilakukan oleh tenaga medis profesional dan mengikuti

strategi peresepan antibiotik, serta harus dilakukan monitoring dan regulasi

penggunaan antibiotik untuk meningkatkan penggunaan antibiotik secara rasional.

Berdasarkan penelitian Risha dan Akroman (2013) mengenai rasionalitas

terapi antibiotik pada pasien diare akut anak usia 1-4 tahun di Rumah Sakit “X”

Semarang Tahun 2013 didapatkan hasil 10% termasuk dalam kategori terapi

antibiotik rasional dan 90% dinilai tidak rasional. Antibiotik yang digunakan dari
54 sampel pasien yaitu cefarin® (42%), sefotaksim (24%), goforan® (17%),

simexim® (15%), dan amoksisilin (2%).

Dalam penelitian Kristina dkk. (2017) mengenai kajian penggunaan antibiotik

pada pasien diare akut di bangsal rawat inap anak kota Surabaya periode 21 April

– 21 Juli 2015 didapatkan hasil bahwa sebagian besar (93,02%) pasien anak usia

1 bulan sampai 5 tahun dengan diare akut dalam penelitian ini mendapatkan

antibiotik selama menjalani perawatan di rumah sakit, namun hal tersebut tidak

memperpendek lama tinggal di rumah sakit, penggunaan antibiotik juga

berkontribusi cukup besar terhadap total biaya terapi pasien. Sebesar 45,49% dari

total biaya terapi dipergunakan untuk pembiayaan antibiotik.

Penelitian lainnya oleh Nabilah (2016) mengenai identifikasi Drug Related

Problems (DRPs) diare akut infeksi pada pasien pediatri di instalasi rawat inap

Rumah Sakit “X” di kota Tangerang Selatan periode Januari-Desember 2015 yang

didapatkan hasil bahwa penggunaan obat diare akut karena infeksi pada anak yang

paling banyak digunakan adalah probiotik digunakan sebesar 15,44%,

penggunaan suplemen zinc sebesar 15,05%, dan total dari penggunaan antibiotik

untuk mengatasi diare yang disebabkan infeksi adalah sebesar 14,2% dengan

antibiotik yang paling banyak digunakan untuk mengobati infeksi karena bakteri

yaitu ceftriaxone sebesar 10,03% dan metronidazol sebesar 1,93%. Jenis DRPs

yang paling banyak terjadi adalah interaksi obat sebesar 31,18%, diikuti dosis obat

melebihi dosis terapi sebesar 30,10%, dosis obat kurang dari dosis terapi sebesar

18,27%, obat tanpa indikasi sebesar 9,67%, indikasi tanpa obat sebesar 8,60%,

dan ketidaktepatan pemilihan obat sebesar 2,15%. Oleh karena itu, peneliti ingin

mengevaluasi penggunaan antibiotik pada pasien diare akut usia kurang dari 5
tahun di instalasi rawat inap RSI Siti Khadijah Palembang yang merupakan salah

satu rumah sakit swasta dengan tipe kelas B di kota Palembang.


1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:

Bagaimana evaluasi penggunaan antibiotik pada pasien diare akut usia kurang dari

5 tahun di instalasi rawat inap RSI Siti Khadijah Palembang pada tahun 2018

dengan parameter tepat indikasi penyakit, tepat pemilihan obat, tepat dosis, tepat

penilaian kondisi pasien, dan waspada efek samping?

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui evaluasi penggunaan antibiotik

pada pasien diare akut kurang dari 5 tahun di instalasi rawat inap RSI Siti

Khadijah Palembang pada tahun 2018 dengan parameter tepat indikasi penyakit,

tepat pemilihan obat, tepat dosis, tepat penilaian kondisi pasien, dan waspada efek

samping.

1.3 Manfaat Penelitian

Penelitian ini bermanfaat untuk menambah pengetahuan dan informasi bagi

masyarakat mengenai penggunaan obat antibiotik yang rasional pada pasien diare

akut dan hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi farmasis

dan praktisi kesehatan lainnya dalam meningkatkan ketepatan pemberian obat

antibiotik pada pasien diare akut.

Anda mungkin juga menyukai