Obyektif Presentasi:
Deskripsi: Wanita, 44 tahun mengeluhkan lemas anggota gerak sebelah kanan sejak + 1 hari yang lalu.
Tujuan: Mengetahui peran rehabilitasi medis pada pasien stroke/cerebrovascular accident (CVA)
Nama klinik: RSU ‘Aisyiyah dr. Sutomo Telp: Terdaftar sejak: 2018
1
1. Diagnosis/Gambaran Klinis:
Keluhan utama:
Wanita, 44 tahun mengeluhkan lemas anggota gerak sebelah kanan sejak + 1 hari yang lalu.
Riwayat Penyakit:
Pasien mengeluhkan lemas anggota gerak sebelah kanan sejak + 1 hari yang lalu saat hendak makan siang terjadi
mendadak. Keluhan lain: sulit menelan (+), mual (-), muntah (-), nyeri kepala (-), pelo (-), ngompol (-).
2. Riwayat Pengobatan:
Pasien belum minum obat apapun dan belum berobat kemanapun. Riwayat alergi obat ( -).
3. Riwayat kesehatan/Penyakit:
Riwayat penyakit jantung (-).
Pasien tidak tahu menderita diabetes melitus atau tidak, karena tidak pernah rutin kontrol cek gula darah, pasien cek gula
darah terakhir + 2 tahun yang lalu dengan hasil normal, cek gula darah sekarang 305 mg/dl.
Pasien menderita hipertensi sejak + 4 tahun yang lalu, tidak rutin minum obat dengan tensi yang paling tinggi 190/....
4. Riwayat keluarga:
Ibu kandung pasien dengan riwayat stroke (+), hipertensi (+), diabetes melitus (+).
5. Riwayat pekerjaan:
Pasien merupakan seorang ibu rumah tangga, hanya pada saat musim tanam dan panen pasien menjadi buruh tani.
6. Kondisi lingkungan sosial dan fisik:
Pasien sudah menikah, tinggal di rumah milik suami bersama dengan suami dan 2 anak pasien.
Daftar Pustaka:
1. PERDOSSI. Standar Pelayanan Medik (SPM).
2. Setyopranoto, Ismail. Stroke: Gejala dan Penatalaksanaan. CDK 185/Vol.38 no.4/Mei-Juni 2011 hlm 247-250.
3. Yulinda, Wina. 2009. Pengaruh Empat Minggu Terapi Latihan pada Kemampuan Motorik Penderita Stroke Iskemia di RSUP H. Adam Malik
Medan. Karya Tulis Ilmiah. Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara: Medan.
4. Sundah, A. B. M., Angliadi, E., Sengkey, L. Pengetahuan Masyarakat mengenai Penanganan Rehabilitasi Medik pada Penderita
Stroke di Kelurahan Pinaesaan Kecamatan Wenang Kota Manado. Jurnal e-Clinic (eCl), Volume 2, Nomor 3, November 2014.
5. Festy, Pipit. Peran Keluarga dalam Pelaksanaan Rehabilitasi Medik pada Pasien Stroke. Bagian Komuniasi Prodi DIII Keperawatan.
6. Wirawan, Rosiana Pradanasari. Rehabilitasi Stroke pada Pelayanan Kesehatan Primer. Majalah Kedokteran Indonesia, Volume: 59,
Nomor: 2, Pebruari 2009 hlm 61-71.
7. Purwanti, O. S. dan Maliya, A. Rehabilitasi Klien Pasca Stroke. Berita Ilmu Keperawatan ISSN 1979-2697, Vol . 1 No.1, Maret 2008 :
43-46.
2
8. Nuartha, A. A. B. N. dan Widiastuti, P. Sistem Skoring Diagnostik untuk Stroke: Skor Siriraj. CDK-233/vol. 42 no. 10, th. 2015 hlm
776-779.
9. Widyo, Kriswanto. Rehabilitasi & Klub Stroke. Filetype:pdf. Stroke Center RS Bethesda.
10. Aliwarga, Julius. Stroke Rehabilitation. Filetype:pdf.
Hasil Pembelajaran:
1. Definisi Stroke/Cerebrovascular Accident (CVA)
2. Epidemiologi Stroke/Cerebrovascular Accident (CVA)
3. Faktor Risiko Stroke/Cerebrovascular Accident (CVA)
4. Diagnosis Stroke/Cerebrovascular Accident (CVA)
5. Skor Siriraj
6. Tatalaksana Stroke/Cerebrovascular Accident (CVA)
7. Rehabilitasi Medis pada Pasien Stroke/Cerebrovascular Accident (CVA)
SUBJEKTIF
Keluhan utama:
Wanita, 44 tahun mengeluhkan lemas anggota gerak sebelah kanan sejak + 1 hari yang lalu
Riwayat Penyakit:
Pasien mengeluhkan lemas anggota gerak sebelah kanan sejak + 1 hari yang lalu saat hendak makan siang terjadi mendadak .
Keluhan lain: sulit menelan (+), mual (-), muntah (-), nyeri kepala (-), pelo (-). Pasien belum minum obat apapun dan belum berobat
kemanapun. Riwayat alergi obat (-). Riwayat penyakit jantung (-). Pasien tidak tahu menderita diabetes melitus atau tidak, karena
tidak pernah rutin kontrol cek gula darah, pasien cek gula darah terakhir + 2 tahun yang lalu dengan hasil normal, cek gula darah
sekarang 305 mg/dl. Pasien menderita hipertensi sejak + 4 tahun yang lalu, tidak rutin minum obat dengan tensi yang paling tinggi
190/.... Ibu kandung pasien dengan riwayat stroke (+), hipertensi (+), diabetes melitus (+). Pasien merupakan seorang ibu rumah tangg a,
hanya pada saat musim tanam dan panen pasien menjadi buruh tani. Pasien sudah menikah, tinggal di rumah milik suami bersama
dengan suami dan 2 anak pasien.
OBJEKTIF
Status Interna
Kesadaran : Compos Mentis, GCS 456
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Vital Sign : Tekanan darah: 230/110 mmHg, nadi: 90 kali/menit, laju pernafasan: 18 kali/menit, suhu aksila: 36,5 ºC
3
Status Gizi : Kesan overweigth
Status Generalis :
Kepala / Leher : Normochepal, sianosis ( - ) anemis ( -/- ), ikterik ( -/- ), pembesaran KGB ( - )
Thorax : Cor = S1 S2 tunggal, murmur ( - ) , gallop ( - )
: Pulmo = Simetris,Ves Ves Rhonki ( - ), Whezing ( - )
Ves Ves
Ves Ves
Abdomen : flat, supel, bising usus (+) normal, hepar/lien tidak teraba, nyeri tekan ( - ), traube’s space timpani
Ekstremitas : akral kering hangat (+), CRT < 2”, edema ( - ), sianosis ( - ), ikterik ( - )
Status Neurologis
GCS :456
Fungsi luhur : baik
Meningeal sign : kaku kuduk (-), kernig (-), brudzinski I-IV (-)
Nervus cranialis
Nervus III, IV, dan VI : pupil bulat isokor 3mm/3mm, refleks cahaya +/+, refleks kornea +/+
Nervus VII : parese UMN sinistra
Nervus XII : dbn
Motorik : Tonus n|n Kekuatan 1 | 5
n|n 4|5
Sensoris : dbn
Autonom : dbn
Refleks Fisiologis : Biceps +2/+2, Triceps +2/+2, Knee +2/+2, Achilles +2/+2
Refleks Patologis : Hoffman -/-, Tromner -/-, Babinski -/-, Chaddock -/-, Openheim -/-, Gordon -/-, Schaeffer -/-
Hasil Laboratorium
Nama Pemeriksaan Hasil Nilai Normal
DARAH LENGKAP
4
Trombosit 251000 150000-450000
KADAR LEMAK
ASSESSMENT
Susp. CVA infark trombosis
Hipertensi stage II
Diabetes melitus type II
PLANNING
- Diagnosis:
EKG, Chest X-Ray, CT Scan kepala, GDP, GD 2 jam PP, Serum Elektrolit
- Treatment:
5
- Oksigen 2 liter per menit via nasal canul
Konsul dr. Spesialis Saraf:
- Infus Ringer Laktat 20 tetes per menit
- Inj. Brainact (Citicoline) 1 gram 2 x 1 ampul (iv)
- Drip Neurosanbe 5000 (vit. B complex) 1 x 1 ampul (iv)
- Inj. Actrapid (Fast-Acting) Insulin 3 x 6 iu (sc)
- Per oral: Captopril 3 x 25 mg tablet
- Edukasi:
- Istirahat tirah baring
- Asupan diet rendah lemak dan rendah garam
- Hindari kelebihan berat badan dan kurang gerak
- Rutin kontrol kolesterol dan gula darah
- Rutin kontrol stroke untuk pencegahan stroke berulang dan rutin fisioterapi (rehabilitasi medik)
- Monitoring:
- Subyektif/keluhan
- Tanda-tanda vital
- Tanda-tanda peningkatan TIK
- GDS, profil lipid
PEMBAHASAN
Definisi
Stroke adalah suatu keadaan hilangnya sebagian atau seluruh fungsi neurologis (defisit neurologik fokal atau global) yang terjadi secara
mendadak, berlangsung lebih dari 24 jam atau menyebabkan kematian, yang semata-mata disebabkan oleh gangguan peredaran darah otak karena
berkurangnya suplai darah (stroke iskemik) atau pecahnya pembuluh darah secara spontan (stroke perdarahan).1,2,3,4,5 Stroke dengan defisit neurologik
yang terjadi tiba-tiba dapat disebabkan oleh iskemia atau perdarahan otak. Stroke iskemik disebabkan oleh oklusi fokal pembuluh darah otak yang
menyebabkan turunnya suplai oksigen dan glukosa ke bagian otak yang mengalami oklusi. Munculnya tanda dan gejala fokal atau global pada stroke
disebabkan oleh penurunan aliran darah otak. Oklusi dapat berupa trombus, embolus, atau tromboembolus, menyebabkan hipoksia sampai anoksia
pada salah satu daerah percabangan pembuluh darah di otak tersebut. Stroke hemoragik dapat berupa perdarahan intraserebral atau perdarahan
subrakhnoid.2
Epidemiologi
Survei Departemen Kesehatan RI pada 987.205 subjek dari 258.366 rumah tangga di 33 propinsi mendapatkan bahwa stroke merupakan
penyebab kematian utama pada usia > 45 tahun (15,4% dari seluruh kematian). Prevalensi stroke rata-rata adalah 0,8%, tertinggi 1,66% di Nangroe
Aceh Darussalam dan terendah 0,38% di Papua.2 Berdasarkan data WHO tahun 2002, lebih dari 5,47 juta orang meninggal karena stroke di dunia. Dari
data yang dikumpulkan oleh American Heart Association tahun 2004 setiap 3 menit satu orang meninggal akibat stroke.6 Stroke dan penyakit
serebrovaskuler adalah penyebab kematian utama kedua setelah jantung. Tercatat lebih dari 4,6 juta meninggal di seluruh dunia, dua dari tiga
kematian terjadi di negara sedang berkembang. Angka kejadian stroke di Indonesia meningkat dengan tajam. Bahkan, saat ini Indonesia merupakan
negara dengan jumlah penderita stroke terbesar di Asia.7 Dengan kemajuan teknologi, stroke lebih sering meninggalkan kecacatan dibandingkan
6
kematian. Stroke merupakan penyebab kecacatan kedua terbanyak di seluruh dunia pada individual di atas 60 tahun. Beban biaya yang ditimbulkan
akibat stroke sangat besar, selain bagi pasien dan keluarganya, juga bagi negara. Kondisi ini belum memperhitungkan beban psikososial bagi keluarga
yang merawatnya.6
Faktor Risiko
Faktor risiko timbulnya stroke dikelompokkan menjadi dua, yaitu:2,3,6
1. Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi
a. Umur
b. Jenis kelamin
c. Herediter/keturunan/genetik
d. Ras dan etnis
e. Geografi
2. Faktor risiko yang dapat dimodifikasi
a. Potensial bisa dikendalikan
i. Diabetes melitus
ii. Merokok
iii. Hipertensi
iv. Obesitas
v. Makanan yang tidak sehat: tinggi lemak, garam berlebihan, low fruit diet
b. Bisa dikendalikan
i. Penyakit Jantung
ii. Transient Ischemic Attack (TIA)
iii. Hipertrofi ventrikel kiri
iv. Fibrilasi atrium
v. Endokarditis
vi. Stenosis mitralis
vii. Infark jantung
Diagnosis
Diagnosis stroke ditegakkan berdasarkan, yaitu:
1. Anamnesis1,3
Defisit neurologis yang terjadi secara tiba-tiba, saat aktifitas/istirahat, kesadaran baik/terganggu, nyeri kepala/tidak, muntah/tidak, riwayat hipertensi
(faktor risiko stroke lainnya), lamanya (onset), serangan pertama/ulang. Defisit neurologis bisa berupa kelumpuhan anggota gerak sebelah badan,
mulut mencong atau bicara pelo, dan tidak dapat berkomunikasi dengan baik.
2. Pemeriksaan fisik1,2
Ada defisit neurologis, hipertensi/hipotensi/normotensi. Defisit neurologis bisa berupa hemidefisit motorik, hemidefisit sensorik, penurunan
kesadaran, kelumpuhan nervus fasialis (VII) dan hipoglosus (XII) yang bersifat sentral, gangguan fungsi luhur seperti kesulitan berbahasa (afasia)
dan gangguan fungsi intelektual (demensia), buta separuh lapangan pandang (hemianopsia), defisit batang otak.
3. Pemeriksaan penunjang
7
a. Pemeriksaan laboratorium1,3
Pemeriksaan darah rutin, gula darah sewaktu (GDS), fungsi ginjal (ureum, kreatinin, dan asam urat), fungsi hati (SGOT dan SGPT), protein
darah (albumin, globulin), hemostasis, profil lipid (kolesterol, trigliserida, HDL, LDL), homosistein, analisa gas darah dan elektrolit. Jika perlu
pemeriksaan cairan serebrospinal.
b. Pemeriksaan Neurokardiologi3
Dilakukan pemeriksaan elektrokardiografi (EKG) dan jika mengarah kepada kemungkinan adanya potential source of cardiac emboli dapat
dilakukan pemeriksaan echocardiography.
c. Pemeriksaan Radiologi1,3
i. CT Scan kepala segera memperlihatkan perdarahan intraserebral sedangkan infark-iskemia baru terlihat setelah 72 jam serangan jika
ukuran infark cukup besar dan hemisferik. CT Scan merupakan standar baku emas penegakan diagnosis stroke.
ii. Pemeriksaan foto toraks dapat memperlihatkan keadaan jantung apakah terdapat pembesaran ventrikel kiri yang merupakan tanda
hipertensi kronis dan adakah kelainan lain pada jantung. Selain itu, juga dapat mengidentifikasi kelainan paru-paru yang mempengaruhi
proses manajemen dan memperburuk prognosis.
iii. MRI kepala
Skor Siriraj
Skor Siriraj adalah salah satu sistem skoring yang telah dikembangkan sekitar tahun 1984-1985 di Rumah Sakit Siriraj, Universitas Mahidol,
Bangkok, Thailand, dan diterima secara luas dan digunakan di banyak rumah sakit di Thailand sejak tahun 1986. Skor Siriraj dibuat berdasarkan studi
atas 174 pasien stroke supratentorial (kecuali perdarahan subaraknoid) yang dirawat di Rumah Sakit Siriraj selama tahun 1984 hingga 1985 dengan
tujuan mengembangkan suatu alat diagnostik klinis stroke yang sederhana, reliable, dan aman, serta dapat digunakan di daerah yang tidak memiliki
fasilitas CT scan kepala. Nilai skor Siriraj lebih dari 1 (satu) mengindikasikan perdarahan intraserebral supratentorial, sedangkan nilai di bawah -1
(minus satu) mengindikasikan infark serebri. Nilai antara 1 dan -1 menunjukkan hasil belum jelas, sehingga membutuhkan CT scan kepala.8
Skor Siriraj versi sederhana = (2,5 x kesadaran) + (2 x muntah) + (2 x nyeri kepala) + (0,1 x tekanan darah diastolik) - (3 x atheroma) – 12
Tatalaksana
Penatalaksanaan Umum1
1. Umum: ditujukan terhadap fungsi vital: paru-paru, jantung, ginjal, keseimbangan elektrolit dan cairan, gizi, higiene.
2. Khusus: (i) pencegahan dan pengobatan komplikasi, (ii) rehabilitasi, dan (iii) pencegahan stroke : tindakan promotif, primer dan sekunder.
Penatalaksanaan Khusus1
1. Stroke iskemik/infark:
- Anti agregasi platelet : Aspirin, tiklopidin, klopidogrel, dipiridamol, cilostazol
- Trombolitik: rt-PA (harus memenuhi kriteria inklusi)
- Antikoagulan: heparin, LMWH, heparinoid (untuk stroke emboli)
- Neuroprotektan
2. Perdarahan subarakhnoid:
- Antivasospasme: Nimodipin
- Neuroprotektan
3. Perdarahan intraserebral :
Konservatif:
- Memperbaiki faal hemostasis (bila ada gangguan faal hemostasis)
- Mencegah / mengatasi vasospasme otak akibat perdarahan: Nimodipine
- Neuroprotektan
Operatif: dilakukan pada kasus yang indikatif/memungkinkan:
- Volume perdarahan lebih dari 30 cc atau diameter > 3 cm pada fossa posterior.
- Letak lobar dan kortikal dengan tanda-tanda peninggian TIK akut dan ancaman herniasi otak
- Perdarahan serebellum
- Hidrosefalus akibat perdarahan intraventrikel atau serebellum
- GCS > 7
Stadium hiperakut
Tindakan pada stadium ini dilakukan di Instalasi Rawat Darurat dan merupakan tindakan resusitasi serebro-kardio-pulmonal bertujuan agar
kerusakan jaringan otak tidak meluas. Pada stadium ini, pasien diberi oksigen 2 L/menit dan cairan kristaloid/koloid; hindari pemberian cairan dekstrosa
atau salin dalam H2O. Dilakukan pemeriksaan CT scan otak, elektrokardiografi, foto toraks, darah perifer lengkap dan jumlah trombosit, protrombin
time/INR, APTT, glukosa darah, kimia darah (termasuk elektrolit); jika hipoksia, dilakukan analisis gas darah. Tindakan lain di Instalasi Rawat Darurat
adalah memberikan dukungan mental kepada pasien serta memberikan penjelasan pada keluarganya agar tetap tenang.2
Stadium akut
9
Pada stadium ini, dilakukan penanganan faktor-faktor etiologik maupun penyulit. Juga dilakukan tindakan terapi fisik, okupasi, wicara dan
psikologis serta telaah sosial untuk membantu pemulihan pasien. Penjelasan dan edukasi kepada keluarga pasien perlu, menyangkut dampak stroke
terhadap pasien dan keluarga serta tata cara perawatan pasien yang dapat dilakukan keluarga.2
Stadium subakut
Tindakan medis dapat berupa terapi kognitif, tingkah laku, menelan, terapi wicara, dan bladder training (termasuk terapi fisik). Mengingat
perjalanan penyakit yang panjang, dibutuhkan penatalaksanaan khusus intensif pasca stroke di rumah sakit dengan tujuan kemandirian pasien,
mengerti, memahami dan melaksanakan program preventif primer dan sekunder.2
Terapi fase subakut:2
- Melanjutkan terapi sesuai kondisi akut sebelumnya,
- Penatalaksanaan komplikasi,
- Restorasi/rehabilitasi (sesuai kebutuhan pasien), yaitu fisioterapi, terapi wicara, terapi kognitif, dan terapi okupasi,
- Prevensi sekunder
- Edukasi keluarga dan discharge planning
Tujuan penatalaksanaan komprehensif pada kasus stroke akut adalah: (1) meminimalkan jumlah sel yang rusak melalui perbaikan jaringan
penumbra dan mencegah perdarahan lebih lanjut pada perdarahan intraserebral, (2) mencegah secara dini komplikasi neurologik maupun medik, dan
(3) mempercepat perbaikan fungsi neurologis secara keseluruhan. Jika secara keseluruhan dapat berhasil baik, prognosis pasien diharapkan akan
lebih baik.2
10
Setelah lesi otak menetap, pemulihan fungsional masih dapat terus terjadi sampai batas-batas tertentu terutama dalam 3-6 bulan pertama
setelah stroke. Hal itulah yang menjadi fokus utama rehabilitasi medis, yaitu untuk mengembalikan kemandirian pasien mencapai kemampuan
fungsional yang optimal. Proses pemulihan fungsional terjadi berdasarkan pada proses reorganisasi atau plastisitas otak melalui: 6
1. Proses Substitusi
Proses ini sangat tergantung pada stimuli eksternal yang diberikan melalui terapi latihan menggunakan berbagai metode terapi.
Pencapaian hasilnya sangat tergantung pada intaknya jaringan kognitif, visual dan proprioseptif, yang membantu terbentuknya proses belajar dan
plastisitas otak.
2. Proses Kompensasi
Proses ini membantu menyeimbangkan keinginan aktivitas fungsional pasien dan kemampuan fungsi pasien yang masih ada. Hasil
dicapai melalui latihan berulang-ulang untuk suatu fungsi tertentu, pemberian alat bantu dan atau ortosis, perubahan perilaku, atau perubahan
lingkungan.
Pemilihan jenis intervensi rehabilitasi didasarkan pada pertimbangan beratnya gejala-sisa stroke, fase stroke saat terapi, penyakit penyerta
dan atau komplikasi medis, serta berbagai faktor terkait lainnya seperti usia pasien, motivasi, serta dukungan dan ekonomi keluarga. Sebagai contoh
pasien usia lanjut, penderita PPOK yang mendapat stroke akibat oklusi total a.cerebri media tentu tidak mungkin diberikan program rehabilitasi
substitusi agar ia dapat berjalan dan mandiri penuh dalam aktivitas sehari-harinya, rehabilitasi kompensasi tentu lebih tepat untuknya. 6
13
kembali. Sebenarnya sirkuit hanya akan terbentuk bila ada “kebutuhan” akan gerak tersebut. Bila ekstremitas yang sakit tidak pernah digerakkan
sama sekali, presentasinya di otak akan mengecil dan terlupakan.
2. Terapi latihan gerak yang diberikan sebaiknya adalah gerak fungsional daripada gerak tanpa ada tujuan tertentu. Gerak fungsional misalnya
gerakan meraih, memegang dan membawa gelas ke mulut. Gerak fungsional mengikutsertakan dan mengaktifkan bagian-bagian dari otak, baik
area lesi maupun area otak normal lainnya, menstimulasi sirkuit baru yang dibutuhkan. Melatih gerak seperti menekuk dan meluruskan (fleksi-
ekstensi) siku lengan yang lemah menstimulasi area lesi saja. Apabila akhirnya lengan tersebut bergerak, tidak begitu saja bisa digunakan untuk
gerak fungsional, namun tetap memerlukan terapi latihan agar terbentuk sirkuit yang baru.
3. Sedapat mungkin bantu dan arahkan pasien untuk melakukan gerak fungsional yang normal, jangan biarkan menggunakan gerak abnormal. Gerak
normal artinya sama dengan gerak pada sisi sehat. Bila sisi yang terkena masih terlalu lemah, berikan bantuan “tenaga” secukupnya dimana
pasien masih menggunakan ototnya secara “aktif”. Bantuan yang berlebihan membuat pasien tidak menggunakan otot yang akan dilatih (otot
bergerak pasif). Bantuan tenaga yang kurang menyebabkan pasien mengerahkan tenaga secara berlebihan dan mengikutsertakan otot-otot lain. Ini
akan memperkuat gerakan ikutan ataupun pola sinergis yang memang sudah ada dan seharusnya dihindari. Besarnya bantuan “tenaga” yang
diberikan harus disesuaikan dengan kemajuan pemulihan pasien.
4. Gerak fungsional dapat dilatih apabila stabilitas batang tubuh sudah tercapai, yaitu dalam posisi duduk dan berdiri. Stabilitas duduk dibedakan
dalam stabilitas duduk statik dan dinamik. Stabilitas duduk statik tercapai apabila pasien telah mampu mempertahankan duduk tegak tidak
bersandar tanpa berpegangan dalam kurun waktu tertentu tanpa jatuh/miring ke salah satu sisi. Stabilitas duduk dinamik tercapai apabila pasien
dapat mempertahankan posisi duduk sementara batang tubuh doyong ke arah depan, belakang, ke sisi kiri atau kanan dan atau dapat bertahan
tanpa jatuh/miring ke salah satu sisi sementara lengan meraih ke atas, bawah, atau samping untuk suatu aktivitas. Latihan stabilitas batang tubuh
selanjutnya yaitu stabilitas berdiri statik dan dinamik. Hasil latihan ini memungkinkan pasien mampu melakukan aktivitas dalam posisi berdiri.
Kemampuan fungsional optimal dicapai apabila pasien juga mampu melakukan aktivitas sambil berjalan.
5. Persiapkan pasien dalam kondisi prima untuk melakukan terapi latihan. Gerak fungsional yang dilatih akan memberikan hasil maksimal apabila
pasien siap secara fisik dan mental. Secara fisik harus diperhatikan kelenturan otot-otot, lingkup gerak semua persendian tidak ada yang terbatas,
dan tidak ada nyeri pada pergerakan. Secara mental pasien mempunyai motivasi dan pemahaman akan tujuan dan hasil yang akan dicapai
dengan terapi latihan tersebut. Kondisi medis juga menjadi salah satu pertimbangan. Tekanan darah dan denyut nadi sebelum dan sesudah latihan
perlu dimonitor. Lama latihan tergantung pada stamina pasien. Terapi latihan yang sebaiknya adalah latihan yang tidak sangat melelahkan, durasi
tidak terlalu lama (umumnya sekitar 45-60 menit) namun dengan pengulangan sesering mungkin.
6. Hasil terapi latihan yang diharapkan akan optimal bila ditunjang oleh kemampuan fungsi kognitif, persepsi dan semua modalitas sensoris yang
utuh. Rehabilitasi fisik dan rehabilitasi fungsi kognitif tidak dapat dipisah-pisahkan. Mengembalikan kemampuan fisik seseorang harus melalui
kemampuan kognitif, karena rehabilitasi pada prinsipnya adalah suatu proses belajar, yaitu belajar untuk mampu kembali melakukan suatu aktivitas
fungsional dengan segala keterbatasan yang ada.
Intervensi rehabilitasi pada stroke fase subakut ditujukan untuk:6
1. Mencegah timbulnya komplikasi akibat tirah baring.
2. Menyiapkan/mempertahankan kondisi yang memungkinkan pemulihan fungsional yang paling optimal.
3. Mengembalikan kemandirian dalam melakukan aktivitas sehari-hari.
4. Mengembalikan kebugaran fisik dan mental.
Mencegah Komplikasi Akibat Tirah Baring6
Pasien yang pulang ke rumah sebelum mencapai kemampuan duduk stabil serta mulai belajar berdiri dan jalan, cenderung akan lebih lama
masa tirah baringnya di rumah. Keluarga seringkali “memanjakan” pasien dengan membantu secara berlebihan dan menjadikan pasien terbaring pasif
14
“menunggu kondisi menjadi lebih baik, dan gerak menjadi lebih mudah”. Akan tetapi tirah baring lama menyebabkan pasien bertambah lemah, lebih
cepat lelah karena stamina makin rendah, gerak semakin bertambah berat karena semua anggota gerak menjadi kaku dan timbul komplikasi-komplikasi
lain. Keluarga dan pasien harus disadarkan bahwa tirah baring berkelanjutan akan lebih banyak membawa dampak buruk dari pada baik.
Selain itu pemulihan fungsional mempunyai “periode emas” yang terbatas waktunya; stimulasi yang diberikan pada 3 bulan pertama akan lebih
memberikan hasil dibandingkan fase kronis, dan tentu tidak boleh disia-siakan. Pasien harus diberikan motivasi untuk selalu aktif melakukan aktivitas
sesuai dengan kemampuan yang ada. Terapi latihan diprogramkan dengan durasi dan frekuensi latihan secara bertahap ditingkatkan.
Menyiapkan/mempertahankan kondisi yang memungkinkan pemulihan fungsional yang paling optimal6
Berbagai komplikasi dapat timbul setelah stroke yang dapat membatasi pemulihan kemampuan fungsional yang seharusnya dapat dicapai.
Karena kondisi tersebut sebagian besar dapat dicegah, maka meningkatkan pemahaman keluarga dan pasien sangat penting dan krusial.
1. Mencegah pemendekan otot dan kontraktur sendi
Fungsi otot bergerak (berkontraksi) memendek dan memanjang. Bila otot diam pada satu posisi tertentu dalam waktu lama kelenturannya
akan hilang. Otot akan kaku pada posisi tersebut, sulit dan memerlukan tenaga lebih besar untuk kontraksi memendek ataupun memanjang.
Demikian pula berlaku pada sendi, yang akan menjadi kering dan kaku. Kedua kondisi ini membuat pasien yang karena kelumpuhannya sudah sulit
bergerak menjadi tambah tidak mungkin bergerak. Latihan mencapai lingkup gerak penuh pada semua persendian disertai latihan regangan otot
sedikitnya 2 kali per hari diperlukan.
2. Mencegah spastisitas dan pola gerak sinergis berlebihan
Setelah stroke akan terbentuk spastisitas dan pola gerak khas yaitu pola sinergis fleksor atau ekstensor. Pada umumnya, akan terbentuk
pola sinergis fleksor pada ekstremitas atas sedangkan pada ekstremitas bawah pola sinergis ekstensor. Spastisitas dan pola gerak sinergis tidak
dapat dihilangkan akan tetapi perlu dikontrol agar tidak berlebihan dan mengganggu gerak fungsional yang akan dilatih. Pemberian posisi yang
tepat sebagai antisipasi sudah harus dimulai sejak awal dan diterapkan dalam seluruh aktivitas. Posisi antisipasi adalah posisi sebaliknya dari pola
gerak yang akan timbul. Pada ekstremitas atas misalnya, cenderung timbul spastisitas fleksor, maka lengan diupayakan selalu dalam posisi
ekstensi apabila tidak sedang latihan. Pasien diberikan motivasi secara sadar menggunakan posisi antisipasi pada saat tidur, duduk serta berdiri
dan bergerak. Pasien seringkali lebih memilih posisi yang menyenangkan baginya. Posisi yang menyenangkan dan terasa nyaman belum tentu
merupakan posisi yang baik untuknya.
15
Kontraktur sendi dan spastisitas juga dapat menimbulkan nyeri saat otot digerakkan. Pencegahan merupakan upaya utama daripada
mengobati yang telah terjadi. Edukasi untuk mencapai pemahaman mengenai pemberian posisi yang tepat, cara membantu pasien dalam transfer
atau aktivitas sehari-hari serta cara berlatihan oleh karena itu sangat penting diberikan pada pasien dan keluarganya.
Terapi Latihan untuk Kemandirian dalam Melakukan Aktivitas Sehari-hari6
Mengembalikan kemandirian dalam melakukan aktivitas sehari-hari setelah stroke merupakan fokus utama rehabilitasi stroke fase subakut.
Terapi latihan dan remediasi yang diberikan merupakan paduan latihan sederhana dan latihan spesifik menggunakan berbagai metode terapi dan
melibatkan berbagai disiplin ilmu. Menentukan jenis, metode pendekatan, waktu pemberian, frekuensi dan intensitas terapi yang tepat harus
disesuaikan dengan kondisi medis pasien. Selain itu terapi latihan fungsional baru efektif apabila terpenuhi beberapa kondisi yaitu:
1. Tidak ada nyeri, keterbatasan gerak sendi atau pemendekan otot. Apabila ada, maka kondisi tersebut perlu diatasi terlebih dahulu.
2. Pasien memahami tujuan dan hasil yang akan dicapai melalui latihan yang diberikan. Kesulitan pemahaman terjadi pada pasien afasia sensorik
dan gangguan kognitif. Pemberian stimulasi untuk kemampuan pemahamanan bahasa dan persepsi pasien diintegrasikan ke dalam terapi latihan.
Gangguan Komunikasi6
Kemampuan manusia berkomunikasi satu sama lain melibatkan bermacam-macam fungsi, yang utama adalah kemampuan berbahasa dan
berbicara. Gangguan fungsi bahasa disebut sebagai afasia sedangkan gangguan fungsi bicara disebut disartria.
Pasien afasia harus diajak berbicara dengan suara biasa afasia bukan gangguan pendengaran, jadi tidak perlu berteriak keras. Selain itu,
jangan terlalu cepat dan dengan kalimat pendek yang mengandung satu informasi saja dalam setiap kalimat. Akan lebih bermanfaat apabila stimulasi
auditori (bahasa verbal) yang diberikan secara simultan dengan stimulasi visual (bahasa tulisan atau gambar-gambar). Pasien afasia jangan diajarkan
mengeja huruf, karena akan membuat pasien frustasi. Mengeja merupakan fungsi hemisfer kiri yang justru terganggu. Stimulasi melalui lagu,
menyanyikan dan menyuarakan syair lagu yang sudah pasien kenal sebelum sakit akan lebih bermanfaat.
Terapi latihan pasien disartria diberikan sesuai dengan penyebabnya, antara lain untuk memperbaiki kontrol pernapasan, meningkatkan
kelenturan dan penguatan organ bicara dan artikulasi termasuk otot wajah, otot leher dan otot pernapasan.
Gangguan Fungsi Miksi dan Defekasi6
Gangguan miksi yang terjadi pada stroke umumnya adalah uninhibited bladder yang menimbulkan inkontinensia urin. Walaupun pasien
kelihatannya mampu miksi, namun harus tetap dievaluasi apakah urin keluar tuntas, artinya residu sisa dalam kandung kemih setelah miksi kurang dari
50-80 ml. Sisa urin yang terlalu banyak akan menyebabkan timbulnya infeksi kandung kemih.
Pasien inkontinensia karena uninhibited bladder dapat diatasi dengan manajemen waktu berkemih. Catat waktu serta jumlah minum dan urine
pada voiding diary selama minimal 3 hari berturut-turut. Berdasarkan voiding diary tersebut dapat ditentukan kapan pasien setiap kali harus berkemih
dengan pengaturan minum yang sesuai. Apabila frekuensi miksi terlalu sering, obat seperti antikolinergik dapat membantu, namun hati-hati dengan
risiko timbulnya retensio urin.
Gangguan defekasi pada stroke fase subakut pada umumnya adalah konstipasi akibat immobilisasi. Perlu diingat bahwa diare yang timbul
kemudian selain gastroenteritis juga bisa disebabkan oleh adanya skibala, terutama bila didahului oleh obstipasi lama sebelumnya. Sarankan pasien
untuk banyak bergerak aktif, berikan cukup cairan (sekitar 40 ml/kgBB ditambah 500 ml air/cairan bila tidak ada kontraindikasi), serta makan makanan
berserat tinggi. Bila perlu obat laksatif dapat diberikan.
Gangguan Berjalan6
Ambulasi jalan merupakan suatu aktivitas kompleks yang memerlukan tidak hanya kekuatan otot ekstremitas bawah saja, tetapi juga
kemampuan kognitif, persepsi, keseimbangan dan koordinasi. Terapi latihan menuju ambulasi jalan perlu diberikan bertahap, dimulai dari kemampuan
mempertahankan posisi duduk statik dan dinamik, keseimbangan berdiri statik dan dinamik kemudian latihan berjalan. Dalam latihan berdiri perlu selalu
diperhatikan bahwa panggul harus pada posisi ekstensi 0º, lutut mengunci pada posisi ekstensi 0º sedangkan pergelangan kaki dalam posisi netral 90º.
16
Pastikan berat badan tertumpu juga pada tungkai sisi yang sakit. Paralel bar yaitu palang dari besi, kayu atau bambu yang dipasang sejajar merupakan
tempat latihan jalan yang paling baik. Letakan kaca setinggi tubuh di depan paralel bar agar pasien dapat melihat sendiri postur berdiri serta jalannya
dan melakukan koreksi secara aktif. Apabila jalan sudah cukup stabil di dalam paralel bar, maka latihan jalan dapat dilanjutkan dengan memakai tripod,
yaitu tongkat yang ujung bawahnya bercabang tiga. Untuk memperbaiki stabilitas jalan, tidak jarang diperlukan perespon splint kaki (dynamic foot
orthosis) atau sepatu khusus.
Gangguan Melakukan Aktivitas Sehari-hari6
Pasien yang telah kembali ke rumah seharusnya dimotivasi untuk mengerjakan semampunya aktivitas perawatan dirinya sendiri. Apabila sisi
kanan yang terkena, pasien dapat diajarkan untuk menggunakan tangan kirinya untuk semua aktivitas. Pastikan juga tangan yang sakit diikutsertakan
dalam semua kegiatan. Semakin cepat dibiarkan melakukannya sendiri, semakin cepat pula pasien menjadi mandiri. Hanya aktivitas yang dapat
menimbulkan risiko jatuh atau membahayakan pasien sendiri yang perlu ditolong oleh keluarga.
Mengembalikan Kebugaran Fisik dan Mental6
Pasien stroke seringkali mengeluh cepat lelah. Ia selalu berupaya untuk sedikit bergerak dan lebih banyak istirahat. Keluarga seringkali
membenarkan perilaku seperti itu, menganggap biasa karena pasien baru pulang rawat dan mengharapkan kondisi seperti ini akan bertambah baik.
Kenyataannya pasien akan semakin cepat lelah bahkan untuk aktivitas yang kecil sekalipun, seperti misalnya duduk beberapa menit di kursi roda. Hal
tersebut disebabkan oleh endurans pasien menjadi rendah karena immobilisasi lama. Selain itu, adanya kelemahan otot menyebabkan tenaga yang
diperlukan untuk bergerak lebih besar dari biasanya. Kedua kondisi tersebut menyebabkan pasien menjadi cepat lelah.
Terapi yang terbaik adalah biasakan pasien sejak awal aktif semampunya. Pasien jangan dibiarkan istirahat berkepanjangan. Pasien
dianjurkan agar sering duduk, bukan duduk di tempat tidur melainkan duduk di kursi di luar kamar tidur. Waktu aktif dan istirahat dijadwalkan secara
proporsional sesuai dengan kondisi pasien. Pasien dimotivasi untuk selalu makan di kamar makan bersama keluarga dan dibiarkan untuk mengambil
makananan pilihannya sendiri. Pasien selalu dilibatkan dalam aktivitas keluarga bahkan bagi pasien dengan afasia. Pasien diajak berlatih yang
bertargetkan hasil misalnya melempar bola masuk ke keranjang, bowling kecil, main catur atau halma.
Kegiatan tersebut awalnya mungkin hanya sebentar, namun bila dilakukan sesering mungkin akan memperbaiki/meningkatkan endurans
pasien. Latihan endurans dengan beban ringan selanjutnya dapat dimulai misalnya dengan latihan mengayuh sepeda statik atau menggunakan
theraband atau karet ban dalam bekas.
Suasana hati yang murung juga membuat pasien merasa cepat lelah dan bosan. Berikan sedikit demi sedikit peran dan tanggung jawab serta
ungkapkan selalu bahwa peran serta pasien sangat dibutuhkan oleh keluarga. Dengan demikian pasien akan merasa dirinya masih berharga dan
berguna bagi orang lain.
Rehabilitasi Stroke Fase Kronis6
Program latihan untuk stroke fase kronis tidak banyak berbeda dengan fase sebelumnya. Hanya dalam fase ini sirkuit-sirkuit gerak/aktivitas
sudah terbentuk, membuat pembentukan sirkuit baru menjadi lebih sulit dan lambat. Hasil latihan masih tetap dapat berkembang bila ditujukan untuk
memperlancar sirkuit yang telah terbentuk sebelumnya, membuat gerakan semakin baik dan penggunaan tenaga semakin efisien. Latihan endurans
dan penguatan otot secara bertahap terus ditingkatkan, sampai pasien dapat mencapai aktivitas aktif yang optimal.
Tergantung pada beratnya stroke, hasil luaran rehabilitasi dapat mencapai berbagai tingkat seperti (a) Mandiri penuh dan kembali ke tempat
kerja seperti sebelum sakit, (b) Mandiri penuh dan bekerja namun alih pekerjaan yang lebih ringan sesuai kondisi, (c) Mandiri penuh namun tidak
bekerja, (d) Aktivitas sehari-hari perlu bantuan minimal dari orang lain, atau (e) Aktivitas sehari-hari sebagian besar atau sepenuhnya dibantu orang
lain.
17