Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

Labioskizis, yang umum dikenal dalam masyarakat sebagai bibir


sumbing/celah bibir, dengan atau tanpa celah langit-langit/ palatum (palatoskizis)
adalah malformasi wajah yang umum di masyarakat, terjadi hampir pada 1 dari
1
700 kelahiran di dunia. Pada populasi prenatal, banyak janin dengan
labiopalatoskizis dan palatoskizis memiliki kelainan kromosom atau kelainan lain
yang membuatnya tidak mampu bertahan hidup. Dengan demikian, insidens
labiopalatoskizis dan palatoskizis pada populasi prenatal lebih besar dibandingkan
dengan populasi postnatal. 2
Anak dengan labioskizis, labiopalatoskizis, atau palatoskizis dapat
memiliki beberapa hendaya fisik yang disebabkan oleh kelainan lain yang
biasanya menyertai, atau akibat komplikasi kelainan wajah. Aspek psikologis
sering terganggu, bukan hanya individu yang memiliki kelainan, namun juga
orang tua dan keluarganya. 3,4.
Di Indonesia, kelainan ini cukup sering dijumpai, walaupun tidak banyak
data yang mendukung. Jumlah penderita bibir sumbing dan celah palatum yang
tidak tertangani di Indonesia mencapai 5.000-6.000 kasus pertahun 5 , diperkirakan
akan bertambah 6.000-7.000 kasus per tahun. Namun karena berbagai kendala,
jumlah penderita yang bisa dioperasi jauh dari ideal, hanya sekitar 1.000-1.500
pasien per tahun yang mendapat kesempatan menjalani operasi. Beberapa
kendalanya adalah minimnya tenaga dokter, kurangnya informasi masyarakat
tentang pengobatannya, dan mahalnya biaya operasi. 5

BAB 2

1
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI
Bibir sumbing dan celah palatum merupakan kelainan kongenital yang
paling sering ditemukan di daerah kepala dan leher. Insidens bibir sumbing
dengan atau tanpa celah palatum adalah 1 dari 2.000 kelahiran di Amerika Serikat.
Insidens bibir sumbing dengan atau tanpa celah palatum bervariasi berdasarkan
etnis, dari 1.000 kelahiran didapatkan pada etnis Indian 3,6, etnis Asia 2,1, etnis
kulit putih 1,0, dan etnis kulit hitam 0,41. Sebaliknya, insidens celah palatum
konstan pada semua etnis, yaitu 0,5 dari 1.000 kelahiran.3
Insidens berdasarkan jenis kelamin pria dan wanita adalah 2:1 untuk bibir
sumbing dengan atau tanpa celah palatum dan 1:2 untuk celah palatum saja.
Secara keseluruhan proporsi kelainan ini di Amerika Serikat: 45% celah lengkap
pada bibir, alveolus, dan palatum; 25% celah bibir, alveolus, atau keduanya; dan
30% celah palatum.3 Penelitian di Hawaii (1986-2003) membandingkan angka
kejadian bibir sumbing dan celah palatum dengan bibir sumbing saja yaitu sebesar
3,2% dan 1,0%.2,3 Insidens terbanyak pada orang Asia dan Amerika dibandingkan
orang kulit hitam.6

2.2 ETIOLOGI
Berbagai macam penyebab dikaitkan dengan kelainan bibir sumbing
dengan atau tanpa celah palatum. Palatoskisis ialah suatu saluran abnormal yang
melewati langit-langit mulut dan menuju ke saluran udara di hidung.
Pembentukan langit-langit mulut dimulai pada akhir minggu ke-5 gestasi. Pada
tahap ini, langit-langit mulut terdiri dari dua bagian, yaitu bagian anterior (primer)
dan posterior (sekunder). Prominens hidung medial membentuk segmen
intermaksilaris (premaksilaris) yang terdiri dari langit-langit primer dan gigi seri.
Langit-langit sekunder meluas ke foramen.2

2
yaitu sekat yang memisahkan rongga hidung dan rongga mulut. Berdasarkan
embriologi, palatum terbagi dua, yaitu palatum primer dan palatum sekunder.
Palatum primer meliputi bibir, alveolus, dan palatum durum (hard palate) yang
terletak pada bagian anterior dari foramen insisiva. Palatum sekunder dimulai dari
foramen insisiva kemudian meluas ke belakang meliputi palatum durum dan
palatum mole (soft palate). Palatoskisis terdapat pada palatum sekunder
sedangkan labioskisis pada palatum primer. Palatum durum dan palatum mole
bersama-sama membentuk atap rongga mulut dan lantai rongga hidung.4

Kelainan bibir sumbing dan celah palatum dapat berhubungan dengan


malformasi atau sindrom tertentu yang dikenal dengan kelainan sindromik (Tabel
1), bila kelainan ini tidak berhubungan dengan malformasi atau sindrom tertentu
disebut kelainan nonsindromik.7-13. Sekitar 70% kasus merupakan kelainan
nonsindromik dan 30% kasus kelainan sindromik, dengan kasus terbanyak
sindrom van der Wounde6,13

Tabel.1 Sindrom dengan manifestasi klinis celah bibir atau celah palatum

3
4
2.3 DIAGNOSIS DAN KLASIFIKASI
Dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang menyeluruh, diagnosis
bibir sumbing dan celah palatum dapat ditegakkan. Keluhan-keluhan umum selain
keluhan estetik antara lain gangguan bersuara, berbicara dan berbahasa, gangguan
menyusu/makan, gangguan pertumbuhan wajah, pertumbuhan gigi, dan infeksi
pendengaran. Pada pemeriksaan fisik kepala dan leher, dapat ditemukan asimetri
wajah, gangguan perkembangan telinga, gangguan pendengaran, celah dan
anomaly septum, atresia koana, gangguan rongga mulut dan gigi, fonasi, dan
menelan.3,4,6,14
Banyak sistem terminologi dan klasifikasi telah diajukan, namun hanya
beberapa saja yang diterima secara klinis. Perkembangan embriologi bibir dan
palatum menjadi dasar beberapa klasifikasi deformitas bibir sumbing dan celah
palatum yang telah diterima luas. Foramen insisivus membagi palatum menjadi
palatum primer dan palatum sekunder (Gambar 1). Palatum primer terdiri dari
premaksila, bibir, ujung hidung, kolumela, dan foramen insisivus sebagai bagian
posteriornya. Palatum sekunder terbentuk setelah selesainya pembentukan
palatum primer dan memanjang dari foramen insisivus di anterior ke uvula di
posterior.1,13

5
Gambar 1 Perkembangan embriologi bibir dan palatum

Klasifi kasi Veau untuk bibir sumbing dan celah palatum (Gambar 2),
dikembangkan pada tahun 1931, merupakan klasifi kasi sederhana namun kurang
terperinci. Kelompok 1 hanya terdiri dari celah palatum mole saja, kelompok 2
terdiri dari celah palatum mole dan palatum durum yang mencapai ke foramen
insisivus, kelompok 3 terdiri dari celah alveolar yang lengkap pada satu sisi saja
yang juga secara umum mengikutsertakan bibir, dan kelompok 4 terdiri dari celah
alveolar pada dua sisi, yang sering dikaitkan dengan bibir sumbing kedua sisi. 13
Klasifikasi kedua merupakan klasifi kasi yang lebih detail namun masih berdasar
pada perkembangan embriologi.
Celah bibir/bibir sumbing diklasifi kasikan menjadi unilateral dan
bilateral, dan lebih lanjut sebagai lengkap atau tidak lengkap. Bibir sumbing
lengkap merupakan celah yang mencapai seluruh ketebalan vertikal dari bibir atas
dan terkadang berkaitan dengan celah alveolar. Bibir sumbing tidak lengkap
terdiri dari hanya sebagian saja ketebalan vertikal dari bibir, dengan bermacam-
macam jenis ketebalan jaringan yang masih tersisa, dapat berupa peregangan otot
sederhana dengan bagian kulit yang meliputinya atau sebagai pita tipis kulit yang
menyeberangi bagian celah tersebut. Simonart’s Band merupakan istilah untuk
menyebut suatu jaringan dari bibir dalam berbagai ukuran yang menghubungkan
celah tersebut. Walaupun Simonart’s Band biasanya hanya terdiri dari kulit,
gambaran histologis menunjukkan terkadang juga terdiri dari serat-serat otot.3

6
Gambar 2 Klasifikasi Veau13

Celah palatum diklasifikasikan sebagai unilateral atau bilateral, dan


perluasannya lebih lanjut sebagai lengkap atau tidak lengkap. Celah palatum ini
diklasifi kasikan tergantung dari lokasinya terhadap foramen insisivus. Celah
palatum primer terjadi pada bagian anterior foramen insisivus, dan celah palatum
sekunder terjadi pada bagian posterior dari foramen insisivus. Celah unilateral
palatum sekunder didefinisikan sebagai celah yang prosesus palatum maksila pada
satu sisi bergabung dengan septum nasi. Celah bilateral lengkap palatum sekunder
tidak memiliki titik penyatuan maksila dan septum nasi. Celah lengkap seluruh
palatum melibatkan baik palatum primer dan juga sekunder, dan melibatkan salah
satu sisi atau kedua sisi arkus alveolar, biasanya melibatkan juga bibir sumbing.
Celah tidak lengkap palatum biasanya hanya melibatkan palatum sekunder saja
dan memiliki tingkat keparahan yang beragam.3

Tidak terdapat sistem terminologi dan klasifi kasi yang secara universal
dapat diterima bersama, tetapi ada skema klasifi kasi yang diterapkan oleh
departemen bedah otolaringologi-kepala dan leher Universitas Iowa (Gambar 3).
Bibir sumbing dibagi menjadi unilateral kiri atau kanan, atau bilateral (kelompok
I), dapat juga lengkap (dengan ekstensi mencapai dasar hidung) atau tidak

7
lengkap. Bibir sumbing saja dapat terjadi, namun celah yang terjadi pada daerah
alveolus selalu dikaitkan dengan bibir sumbing. Celah pada palatum dapat dibagi
menjadi primer (terlibatnya anterior foramen insisivum, kelompok IV) atau
sekunder (terlibatnya posterior dari foramen insisivum, kelompok II), dan
kelompok III yaitu pasien dengan bibir sumbing dan celah palatum.

Gambar 3 Klasifikasi Universitas lowa3

2.4 PENATALAKSANAAN
Masalah ini melibatkan anak dan orang tua, bersifat kompleks,
bervariasi, dan membutuhkan penanganan yang lama. Penanganan anak

8
kelainan celah bibir dengan atau tanpa celah palatum dan kelainan celah palatum
memerlukan kerjasama tim, seperti bagian anak, THT, bedah, gigi, ortopedi, ahli
rehabilitasi suara dan pendengaran, dan beberapa bidang lain seperti bedah saraf,
mata, prostodontik, perawat, dan psikolog.3,4,6,13

Prioritas medis utama adalah memberikan makanan dan nutrisi yang


cukup. Bayi dengan bibir sumbing biasanya tidak mengalami masalah dalam
pemberian air susu ibu ataupun minum dari botol, akan tetapi bayi dengan bibir
sumbing dan palatum atau celah palatum akan bermasalah. Jika sumbing lebar,
bayi akan sulit menyusu, lelah dan menelan banyak udara dibutuhkan
preemienipple. Posisi tegak saat minum susu juga mengurangi risiko regurgitasi.
Pada bayi dengan sumbing lebar, penggunaan protesis palatum membantu
pemberian makanan dan minuman.3,4

Selain tatalaksana tersebut, operasi rekonstruksi wajah dapat dilakukan


untuk memperbaiki fungsi organ hidung, gigi, dan mulut, perkembangan
berbicara, serta memperbaiki estetika wajah. Operasi meliputi perlekatan bibir,
rekonstruksi bibir sumbing, dan rekonstruksi celah palatum. 3,4,13

2.4.1 PERLEKATAN BIBIR


Pada bayi dengan bibir sumbing lebar, perlekatan ini berguna membantu
mempersempit celah, sebelum dilakukan rekonstruksi bibir. Pada umumnya
dilakukan dengan taping menggunakan plester hipoalergik yang dilekatkan antar
pipi melewati celah bibir. Plester ini digunakan 24 jam dan diganti setiap hari atau
jika basah akibat pemberian makan atau minum. Apabila plester tidak efektif,
dapat dilakukan operasi perlekatan bibir untuk mengubah sumbing sempurna
menjadi sumbing sebagian agar mengurangi tegangan saat dilakukan operasi
rekonstruksi bibir. Operasi perlekatan bibir dapat dilakukan pada bayi usia 2
sampai 4 minggu. Semakin tua usia bayi maka operasi perlekatan bibir akan

9
menimbulkan jaringan parut sampai dewasa, walaupun telah dilakukan
rekonstruksi bibir. 3,13

2.4.1.1 PERLEKATAN BIBIR UNILATERAL


Menggunakan Millard rotation, metode ini dimulai dengan langkah
pertama yaitu menentukan area operasi. Kemudian membuat flap segiempat di
mukosa vermilion di celah medial dan lateral, lalu menyatukan kedua mukosa.
Penyatuan mukosa itu dilakukan dengan benang jahit yang dapat diserap di bibir
dalam, setelah itu menjahit dengan benang yang tidak dapat diserap melewati
kartilago septum di sisi tidak bercelah melewati muskulus orbicularis oris, lalu
kembali ke kartilago septum. Kemudian dengan benang yang dapat diserap,
menjahit di bagian otot bibir medial dan lateral dengan teknik interrupted
(Gambar 5). 3,13

Gambar 5 Perlekatan bibir unilateral3 dan bibir bilateral3

2.4.1.2 PERLEKATAN BIBIR BILATERAL


Metode ini sama dengan operasi unilateral, hanya berbeda penggunaan
teknik menjahit dengan teknik horizontal mattress (Gambar 5). 3

2.4.2 REKONSTRUKSI BIBIR SUMBING

10
Jika tidak dilakukan perlekatan bibir sebelumnya, rekonstruksi ini
dilakukan pada bayi usia 8-12 minggu. Di Amerika, para dokter bedah
menggunakan rule of ten untuk rekonstruksi bibir dengan kiriteria bayi setidaknya
usia 10 minggu, berat 10 pon, dan hemoglobin 10 gram/dL. 3,4,6,13

2.4.2.1 REKONSTRUKSI BIBIR SUMBING UNILATERAL


Sebelum operasi, operator menentukan dasar ala nasal, ujung vermilion,
bagian tengah vermilion, dan panjang filtrum di bagian yang sumbing. Melakukan
insisi di bagian yang sumbing dan daerah yang akan direkonstruksi, kemudian
menjahit lapis demi lapis mulai dari muskulus orbikularis oris, lapisan mukosa,
lapisan kulit, dan kartilago di ala nasi (Gambar 6). 3,4,13

Gambar 6 Rekonstruksi bibir sumbing unilateral3

2.4.2.2 REKONSTRUKSI BIBIR SUMBING BILATERAL

11
Prinsip operasi ini sama dengan operasi unilateral. Setelah itu membuat
insisi untuk filtrum dan ala nasi dari prolabium, melonggarkan tegangan muskulus
orbicularis oris, dan menjahit lapis demi lapis mulai dari otot, mukosa, kulit,
filtrum, dan ala nasi (Gambar 7). 3,4,13

Gambar 7 Rekonstruksi celah palatum unilateral

2.4.3 REKONSTRUKSI CELAH PALATUM


Rekonstruksi ini bertujuan membantu perkembangan berbicara, mencegah
kemungkinan gangguan pertumbungan maksilofasial, dan gangguan oklusi.
Secara umum, rekonstruksi ini dilakukan pada bayi usia 8-12 bulan. 3,4,6,13

2.4.3.1 REKONSTRUKSI CELAH PALATUM UNILATERAL


Operasi ini dimulai dengan menentukan daerah operasi di tepi celah
palatum pada teknik Bardach two-fl ap. Melakukan insisi celah di palatum durum
1-2 mm di lateral tepi celah, insisi 1 cm di posterior tuberositas maksila dan
mengarah ke anterior, kemudian bersatu dengan insisi di medial. Setelah insisi
dilakukan, lapisan submukoperiosteum bilateral dibuka untuk mengidentifi kasi
foramen palatina tempat keluar arteri palatine mayor. Kemudian tepi posterior
palatum durum diidentifi kasi dan memotong serat otot dan mukosa, dan
mukoperiosteum nasal dipisahkan dan tepinya dijahit satu sama lain. Selanjutnya

12
otot velar dijahit dengan horizontal mattress dan akhirnya melekatkan
mukoperiosteal oral (Gambar 8). 3,4,6,13

Gambar 8 Rekonstruksi palatum unilateral 3

2.4.3.2 REKONSTRUKSI CELAH PALATUM BILATERAL


Prosedur ini dapat dilakukan dengan beberapa teknik, seperti teknik
Bardach two-fl ap (Gambar 9) dengan prosedur sama dengan unilateral.
Kemudian pada teknik Wardill-Kilner/ V-Y advancement (Gambar 10),
membuat flap mukoperiosteal berbentuk Y oral di ujung palatum sekunder, dan
melakukan prosedur seperti teknik Bardach two-fl ap. Teknik Furlow (Gambar 11)
menggunakan prosedur berbeda,yaitu Z-plasti, dengan membuat fl ap mukosa oral
dan fl ap otot, kemudian dijahit tumpang tindih dengan membentuk huruf Z. 3,4,13

13
Gambar 9 Rekonstruksi palatum bilateral bardach two-flap3

Gambar 10 Rekonstruksi palatum bilateral wadill-kilner dan palatum bilateral


furlow3

BAB 3

14
KESIMPULAN

Labiopalatoskizis merupakan suatu kelainan kongenital akibat proses


pembentukan bibir dan palatum tidak sempurna pada janin, dapat berupa kelainan
sindromik dan nonsindromik. Penanganan Labiopalatoskizis memerlukan kerja
sama tim dari berbagai keahlian. Saat ini berbagai teknik operasi dapat dilakukan
mulai dari perlekatan bibir unilateral dan bilateral, rekonstruksi bibir sumbing
unilateral dan bilateral, dan rekonstruksi celah palatum unilateral dan bilateral.

DAFTAR PUSTAKA

15
1. Sadler TW. Langman’s Medical Embryology, 10 th ed. Philadelphia: Lippincott
Williams and Wilkins; 2006.
2. Benacerraf BR, Mulliken JB. Fetal Cleft Lip and Palate: Sonographic
Diagnosis and Postnatal Outcome. Plast Reconstr Surg. 1993; 92:1045-51.
3. Bailey BJ, Johnson JT, Newlands SD. Head & Surgery-Otolaygology 4 th ed.
Philadelphia: Lippincot Williams & Wilkins; 2006.
4. Wyszynski DF. Cleft Lip & Palate: From Origin to Treatment, 1 st ed. USA:
Oxford University Press; 2002.
5. Kompas. 6.000 Penderita Bibir Sumbing Tidak Tertangani. Kompas.com.
[online]. 2009. [cited 1 Agustus 2013]. Available from: http://kesehatan
.kompas.com/read/2009/07/13/10043881/6.000.Penderita.Bibir.Sumbing.Tida
k.Tertangani.
6. Kliegman RM, Behrman RE, Jenson HB, Stanton BF. Nelson Textbook of
Pediatrics. 18th ed. Philadelphia: Elsevier Inc; 2007.
7. Rennie JM. Roberton’s Textbook of Neonatology, 4 th ed. USA: Churchill
Livingstone; 2005.
8. Honkala H. The Molecular Basis of Hydrolethalus Syndrome. Helsinki:
National Institute for Health and Welfare; 2009.
9. Kuo JS, Casey SO, Thompson L, Truwit CL. Pallister-Hall Syndrome: Clinical
and MR Features. Am J Neuroradiol. 1999;20:1839-41.
10. Pazarbasi A, Demirhan O, Suleymanova-Karahan D, Tabtemir D, Tunc E,
Gumurdulu D. Prenatal Diagnosis of Translocation 13;13 Patau Syndrome:
Clinical Features of Two Cases. Balkan Journal of Medical Genetics.
2008;11:69-74.
11. Khan GQ, Hassan G, Tak SI, Kundal DC. Smith-Lemli-Opitz Syndrome. JK
Sci. 2003;5:129-30.
12. Beiraqhi S, Nath SK, Gaines M, Mandhyan DD, Hutchings D, Ratnamala U,
et al. Autosomal Dominant Nonsyndromic Cleft Lip and Palate: Signifi cant
Evidence of Linkage at 18q21.1. Am J Hum Genet. 2007;81:180-8.

16
13. Cummings CW, Flint PW, Haughey BH, Robbins KT, Thomas JR, Harker LA,
et al. Cummings Otolaryngology Head and Neck Surgery, 4 th ed.
Philadelphia: Mosby Inc; 2005.
14. Kirschner RE, LaRossa D. Syndromic and Other Congenital Anomalies of The
Head and Neck. Otolaryngol Clin North Am. 2000;33:1191-215.

17

Anda mungkin juga menyukai