Labiopalatoskizis
Labiopalatoskizis
PENDAHULUAN
BAB 2
1
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 DEFINISI
Bibir sumbing dan celah palatum merupakan kelainan kongenital yang
paling sering ditemukan di daerah kepala dan leher. Insidens bibir sumbing
dengan atau tanpa celah palatum adalah 1 dari 2.000 kelahiran di Amerika Serikat.
Insidens bibir sumbing dengan atau tanpa celah palatum bervariasi berdasarkan
etnis, dari 1.000 kelahiran didapatkan pada etnis Indian 3,6, etnis Asia 2,1, etnis
kulit putih 1,0, dan etnis kulit hitam 0,41. Sebaliknya, insidens celah palatum
konstan pada semua etnis, yaitu 0,5 dari 1.000 kelahiran.3
Insidens berdasarkan jenis kelamin pria dan wanita adalah 2:1 untuk bibir
sumbing dengan atau tanpa celah palatum dan 1:2 untuk celah palatum saja.
Secara keseluruhan proporsi kelainan ini di Amerika Serikat: 45% celah lengkap
pada bibir, alveolus, dan palatum; 25% celah bibir, alveolus, atau keduanya; dan
30% celah palatum.3 Penelitian di Hawaii (1986-2003) membandingkan angka
kejadian bibir sumbing dan celah palatum dengan bibir sumbing saja yaitu sebesar
3,2% dan 1,0%.2,3 Insidens terbanyak pada orang Asia dan Amerika dibandingkan
orang kulit hitam.6
2.2 ETIOLOGI
Berbagai macam penyebab dikaitkan dengan kelainan bibir sumbing
dengan atau tanpa celah palatum. Palatoskisis ialah suatu saluran abnormal yang
melewati langit-langit mulut dan menuju ke saluran udara di hidung.
Pembentukan langit-langit mulut dimulai pada akhir minggu ke-5 gestasi. Pada
tahap ini, langit-langit mulut terdiri dari dua bagian, yaitu bagian anterior (primer)
dan posterior (sekunder). Prominens hidung medial membentuk segmen
intermaksilaris (premaksilaris) yang terdiri dari langit-langit primer dan gigi seri.
Langit-langit sekunder meluas ke foramen.2
2
yaitu sekat yang memisahkan rongga hidung dan rongga mulut. Berdasarkan
embriologi, palatum terbagi dua, yaitu palatum primer dan palatum sekunder.
Palatum primer meliputi bibir, alveolus, dan palatum durum (hard palate) yang
terletak pada bagian anterior dari foramen insisiva. Palatum sekunder dimulai dari
foramen insisiva kemudian meluas ke belakang meliputi palatum durum dan
palatum mole (soft palate). Palatoskisis terdapat pada palatum sekunder
sedangkan labioskisis pada palatum primer. Palatum durum dan palatum mole
bersama-sama membentuk atap rongga mulut dan lantai rongga hidung.4
Tabel.1 Sindrom dengan manifestasi klinis celah bibir atau celah palatum
3
4
2.3 DIAGNOSIS DAN KLASIFIKASI
Dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang menyeluruh, diagnosis
bibir sumbing dan celah palatum dapat ditegakkan. Keluhan-keluhan umum selain
keluhan estetik antara lain gangguan bersuara, berbicara dan berbahasa, gangguan
menyusu/makan, gangguan pertumbuhan wajah, pertumbuhan gigi, dan infeksi
pendengaran. Pada pemeriksaan fisik kepala dan leher, dapat ditemukan asimetri
wajah, gangguan perkembangan telinga, gangguan pendengaran, celah dan
anomaly septum, atresia koana, gangguan rongga mulut dan gigi, fonasi, dan
menelan.3,4,6,14
Banyak sistem terminologi dan klasifikasi telah diajukan, namun hanya
beberapa saja yang diterima secara klinis. Perkembangan embriologi bibir dan
palatum menjadi dasar beberapa klasifikasi deformitas bibir sumbing dan celah
palatum yang telah diterima luas. Foramen insisivus membagi palatum menjadi
palatum primer dan palatum sekunder (Gambar 1). Palatum primer terdiri dari
premaksila, bibir, ujung hidung, kolumela, dan foramen insisivus sebagai bagian
posteriornya. Palatum sekunder terbentuk setelah selesainya pembentukan
palatum primer dan memanjang dari foramen insisivus di anterior ke uvula di
posterior.1,13
5
Gambar 1 Perkembangan embriologi bibir dan palatum
Klasifi kasi Veau untuk bibir sumbing dan celah palatum (Gambar 2),
dikembangkan pada tahun 1931, merupakan klasifi kasi sederhana namun kurang
terperinci. Kelompok 1 hanya terdiri dari celah palatum mole saja, kelompok 2
terdiri dari celah palatum mole dan palatum durum yang mencapai ke foramen
insisivus, kelompok 3 terdiri dari celah alveolar yang lengkap pada satu sisi saja
yang juga secara umum mengikutsertakan bibir, dan kelompok 4 terdiri dari celah
alveolar pada dua sisi, yang sering dikaitkan dengan bibir sumbing kedua sisi. 13
Klasifikasi kedua merupakan klasifi kasi yang lebih detail namun masih berdasar
pada perkembangan embriologi.
Celah bibir/bibir sumbing diklasifi kasikan menjadi unilateral dan
bilateral, dan lebih lanjut sebagai lengkap atau tidak lengkap. Bibir sumbing
lengkap merupakan celah yang mencapai seluruh ketebalan vertikal dari bibir atas
dan terkadang berkaitan dengan celah alveolar. Bibir sumbing tidak lengkap
terdiri dari hanya sebagian saja ketebalan vertikal dari bibir, dengan bermacam-
macam jenis ketebalan jaringan yang masih tersisa, dapat berupa peregangan otot
sederhana dengan bagian kulit yang meliputinya atau sebagai pita tipis kulit yang
menyeberangi bagian celah tersebut. Simonart’s Band merupakan istilah untuk
menyebut suatu jaringan dari bibir dalam berbagai ukuran yang menghubungkan
celah tersebut. Walaupun Simonart’s Band biasanya hanya terdiri dari kulit,
gambaran histologis menunjukkan terkadang juga terdiri dari serat-serat otot.3
6
Gambar 2 Klasifikasi Veau13
Tidak terdapat sistem terminologi dan klasifi kasi yang secara universal
dapat diterima bersama, tetapi ada skema klasifi kasi yang diterapkan oleh
departemen bedah otolaringologi-kepala dan leher Universitas Iowa (Gambar 3).
Bibir sumbing dibagi menjadi unilateral kiri atau kanan, atau bilateral (kelompok
I), dapat juga lengkap (dengan ekstensi mencapai dasar hidung) atau tidak
7
lengkap. Bibir sumbing saja dapat terjadi, namun celah yang terjadi pada daerah
alveolus selalu dikaitkan dengan bibir sumbing. Celah pada palatum dapat dibagi
menjadi primer (terlibatnya anterior foramen insisivum, kelompok IV) atau
sekunder (terlibatnya posterior dari foramen insisivum, kelompok II), dan
kelompok III yaitu pasien dengan bibir sumbing dan celah palatum.
2.4 PENATALAKSANAAN
Masalah ini melibatkan anak dan orang tua, bersifat kompleks,
bervariasi, dan membutuhkan penanganan yang lama. Penanganan anak
8
kelainan celah bibir dengan atau tanpa celah palatum dan kelainan celah palatum
memerlukan kerjasama tim, seperti bagian anak, THT, bedah, gigi, ortopedi, ahli
rehabilitasi suara dan pendengaran, dan beberapa bidang lain seperti bedah saraf,
mata, prostodontik, perawat, dan psikolog.3,4,6,13
9
menimbulkan jaringan parut sampai dewasa, walaupun telah dilakukan
rekonstruksi bibir. 3,13
10
Jika tidak dilakukan perlekatan bibir sebelumnya, rekonstruksi ini
dilakukan pada bayi usia 8-12 minggu. Di Amerika, para dokter bedah
menggunakan rule of ten untuk rekonstruksi bibir dengan kiriteria bayi setidaknya
usia 10 minggu, berat 10 pon, dan hemoglobin 10 gram/dL. 3,4,6,13
11
Prinsip operasi ini sama dengan operasi unilateral. Setelah itu membuat
insisi untuk filtrum dan ala nasi dari prolabium, melonggarkan tegangan muskulus
orbicularis oris, dan menjahit lapis demi lapis mulai dari otot, mukosa, kulit,
filtrum, dan ala nasi (Gambar 7). 3,4,13
12
otot velar dijahit dengan horizontal mattress dan akhirnya melekatkan
mukoperiosteal oral (Gambar 8). 3,4,6,13
13
Gambar 9 Rekonstruksi palatum bilateral bardach two-flap3
BAB 3
14
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
15
1. Sadler TW. Langman’s Medical Embryology, 10 th ed. Philadelphia: Lippincott
Williams and Wilkins; 2006.
2. Benacerraf BR, Mulliken JB. Fetal Cleft Lip and Palate: Sonographic
Diagnosis and Postnatal Outcome. Plast Reconstr Surg. 1993; 92:1045-51.
3. Bailey BJ, Johnson JT, Newlands SD. Head & Surgery-Otolaygology 4 th ed.
Philadelphia: Lippincot Williams & Wilkins; 2006.
4. Wyszynski DF. Cleft Lip & Palate: From Origin to Treatment, 1 st ed. USA:
Oxford University Press; 2002.
5. Kompas. 6.000 Penderita Bibir Sumbing Tidak Tertangani. Kompas.com.
[online]. 2009. [cited 1 Agustus 2013]. Available from: http://kesehatan
.kompas.com/read/2009/07/13/10043881/6.000.Penderita.Bibir.Sumbing.Tida
k.Tertangani.
6. Kliegman RM, Behrman RE, Jenson HB, Stanton BF. Nelson Textbook of
Pediatrics. 18th ed. Philadelphia: Elsevier Inc; 2007.
7. Rennie JM. Roberton’s Textbook of Neonatology, 4 th ed. USA: Churchill
Livingstone; 2005.
8. Honkala H. The Molecular Basis of Hydrolethalus Syndrome. Helsinki:
National Institute for Health and Welfare; 2009.
9. Kuo JS, Casey SO, Thompson L, Truwit CL. Pallister-Hall Syndrome: Clinical
and MR Features. Am J Neuroradiol. 1999;20:1839-41.
10. Pazarbasi A, Demirhan O, Suleymanova-Karahan D, Tabtemir D, Tunc E,
Gumurdulu D. Prenatal Diagnosis of Translocation 13;13 Patau Syndrome:
Clinical Features of Two Cases. Balkan Journal of Medical Genetics.
2008;11:69-74.
11. Khan GQ, Hassan G, Tak SI, Kundal DC. Smith-Lemli-Opitz Syndrome. JK
Sci. 2003;5:129-30.
12. Beiraqhi S, Nath SK, Gaines M, Mandhyan DD, Hutchings D, Ratnamala U,
et al. Autosomal Dominant Nonsyndromic Cleft Lip and Palate: Signifi cant
Evidence of Linkage at 18q21.1. Am J Hum Genet. 2007;81:180-8.
16
13. Cummings CW, Flint PW, Haughey BH, Robbins KT, Thomas JR, Harker LA,
et al. Cummings Otolaryngology Head and Neck Surgery, 4 th ed.
Philadelphia: Mosby Inc; 2005.
14. Kirschner RE, LaRossa D. Syndromic and Other Congenital Anomalies of The
Head and Neck. Otolaryngol Clin North Am. 2000;33:1191-215.
17