Anda di halaman 1dari 20

BAB 3

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Diabetes melitus

3.1.1 Definisi

Diabetes Melitus (DM) merupakan penyakit metabolik dengan

karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja

insulin atau keduanya (Lasker et al., 2010). Hiperglikemia kronis pada diabetes

melitus akan disertai dengan kerusakan, gangguan fungsi beberapa organ tubuh

khususnya mata, ginjal, saraf, jantung, dan pembuluh darah. Walaupun pada

diabetes melitus ditemukan gangguan metabolisme semua sumber makanan tubuh

kita, kelainan metabolisme yang paling utama ialah kelainan metabolisme

karbohidarat. Oleh karena itu diagnosis diabetes melitus selalu berdasarkan

tingginya kadar glukosa dalam plasma darah (Adam, 2006).

3.1.2 Epidemiologi

Kejadian DM Tipe 2 pada wanita lebih tinggi dari pada laki-laki. Wanita

lebih berisiko mengidap diabetes karena secara fisik wanita memiliki peluang

peningkatan indeks masa tubuh yang lebih besar. Hasil Riset Kesehatan Dasar

pada tahun 2008, menunjukan prevalensi DM di Indonesia membesar sampai

57%, pada tahun 2012 angka kejadian diabetes melitus didunia adalah sebanyak

371 juta jiwa, dimana proporsi kejadian diabetes melitus tipe 2 adalah 95% dari

populasi dunia yang menderita diabetes melitus dan hanya 5% dari jumlah

tersebut menderita diabetes melitus tipe 1 (Fatimah, 2015).


Tercatat pada tahun 2010, jumlah penderita diabetes di Indonesia

mencapai 8,4 juta dengan peningkatan sebanyak 230.000 pasien diabetes per

tahunnya. Kenaikan ini antara lain karena usia harapan hidup semakin meningkat,

diet kurang sehat, kegemukan, dan gaya hidup modern (Adam, 2011).

3.1.3 Etiologi

Penyebab diabetes melitus berbeda-beda tergantung pada jenis diabetes

melitusnya (Suyono, 2007).

Hiperglikemia pada diabetes melitus tipe 2 ini disebabkan oleh gangguan

sekresi insulin, resistensi insulin perifer, dan peningkatan produksi glukosa hepar.

Penyebab resistensi insulin pada diabetes melitus tipe 2 masih belum diketahui,

tetapi faktor-faktor risiko berikut berperan dalam proses terjadinya resistensi

insulin:

a) Usia (resistensi insulin cenderung meningkat pada usia diatas 65 tahun).

b) Obesitas, terutama yang bersifat sentral.

c) Kurangnya aktivitas fisik.

d) Faktor herediter.

e) Faktor etnik (golongan Hispanik serta penduduk asli Amerika tertentu

memiliki kemungkinan yang lebih besar untuk terjadinya diabetes melitus

tipe II dibandingkan dengan golongan Afro-Amerika).

3.1.4 Klasifikasi

Klasifikasi etiologi DM menurut American Diabetes Association 2010

(ADA 2010) dibagi menjadi 4 jenis, yaitu:


A. Diabetes Melitus Tipe 1 atau Insulin Dependent Diabetes Mellitus/IDDM

DM tipe 1 terjadi karena adanya destruksi sel beta pankreas karena sebab

autoimun. Pada DM tipe ini terdapat sedikit atau tidak sama sekali sekresi insulin

dapat ditentukan dengan level protein c-peptida yang jumlahnya sedikit atau tidak

terdeteksi sama sekali. Manifestasi klinik pertama dari penyakit ini adalah

ketoasidosis.

B. Diabetes Melitus Tipe 2 atau Insulin Non-dependent Diabetes

Mellitus/NIDDM

Penderita DM tipe ini mengalami hiperinsulinemia tetapi insulin tidak bisa

membawa glukosa masuk ke dalam jaringan karena terjadi resistensi insulin yang

merupakan turunnya kemampuan insulin untuk merangsang pengambilan glukosa

oleh jaringan perifer dan untuk menghambat produksi glukosa oleh hati. Oleh

karena terjadinya resistensi insulin (reseptor insulin sudah tidak aktif karena

dianggap kadarnya masih tinggi dalam darah) akan mengakibatkan defisiensi

relatif insulin. Hal tersebut dapat mengakibatkan berkurangnya sekresi insulin

pada adanya glukosa bersama bahan sekresi insulin lain sehingga sel beta

pankreas akan mengalami desensitisasi terhadap adanya glukosa. Onset DM tipe

ini terjadi perlahan-lahan karena itu gejalanya asimtomatik. Adanya resistensi

yang terjadi perlahan-lahan akan mengakibatkan sensitivitas reseptor akan

glukosa berkurang. DM tipe ini sering terdiagnosis setelah terjadi komplikasi.

C. Diabetes Melitus Tipe Lain

DM tipe ini terjadi karena etiologi lain, misalnya pada defek genetik

fungsi sel beta, defek genetik kerja insulin, penyakit eksokrin pankreas, penyakit
metabolik endokrin lain, iatrogenik, infeksi virus, penyakit autoimun dan kelainan

genetik lain.

D. Diabetes Melitus Gestasional

DM tipe ini terjadi selama masa kehamilan, dimana intoleransi glukosa

didapati pertama kali pada masa kehamilan, biasanya pada trimester kedua dan

ketiga. DM gestasional berhubungan dengan meningkatnya komplikasi perinatal.

Penderita DM gestasional memiliki risiko lebih besar untuk menderita DM yang

menetap dalam jangka waktu 5-10 tahun setelah melahirkan.

Tabel 3.1 klasifikasi DM menurut ADA 2010


Klasifikasi Etiologi Diabetes Melitus
I Diabetes tipe 1 (Destruksi sel, umumnya mengarah kepada defisiensi insulin absolut)
a. Immune mediated
b. Idiopatik
II Diabetes tipe 2 diabetes (dari predominan insulin dengan defisiensi insulin relative hingga
predominan defek sekresi dengan resistensi insulin)
III Tipe lain
a. Defek genetik dari fungsi sel beta
b. Defek genetik kerja insulin
c. Penyakit eksokrin pankreas
d. Endokriopati
e. Imbas obat atau zat kimia
f. Infeksi
g. Jenis tidak umum dari diabetes yang diperantarai imun
h. Sindrom genetik lainnya yang kadang berhubungan dengan DM
IV Diabetes Melitus gestasional
Sumber: Ndraha (2014)

3.1.5 Patofisiologi

Diabetes Tipe 2 merupakan tipe diabetes yang lebih umum, lebih banyak

penderitanya dibandingkan dengan DM Tipe 1. Penderita DM Tipe 2 mencapai

90-95% dari keseluruhan populasi penderita diabetes, umumnya berusia di atas 45

tahun, tetapi akhir-akhir ini penderita DM Tipe 2 di kalangan remaja dan anak-
anak populasinya meningkat. Etiologi DM Tipe 2 merupakan multifaktor yang

belum sepenuhnya terungkap dengan jelas. Faktor genetik dan pengaruh

lingkungan cukup besar dalam menyebabkan terjadinya DM tipe 2, antara lain

obesitas, diet tinggi lemak dan rendah serat, serta kurang gerak badan. Obesitas

atau kegemukan merupakan salah satu faktor pradisposisi utama. Berbeda dengan

DM Tipe 1, pada penderita DM Tipe 2, terutama yang berada pada tahap awal,

umumnya dapat dideteksi jumlah insulin yang cukup di dalam darahnya,

disamping kadar glukosa yang juga tinggi. Jadi, awal patofisiologis DM Tipe 2

bukan disebabkan oleh kurangnya sekresi insulin, tetapi karena sel-sel sasaran

insulin gagal atau tak mampu merespon insulin secara normal. Keadaan ini lazim

disebut sebagai “Resistensi Insulin”. Resistensi insulin banyak terjadi di negara-

negara maju seperti Amerika Serikat, antara lain sebagai akibat dari obesitas, gaya

hidup kurang gerak (sedentary), dan penuaan. Disamping resistensi insulin, pada

penderita DM Tipe 2 dapat juga timbul gangguan sekresi insulin dan produksi

glukosa hepatik yang berlebihan. Namun demikian, tidak terjadi pengrusakan sel-

sel β Langerhans secara Autoimun sebagaimana yang terjadi pada DM Tipe 1.

Dengan demikian defisiensi fungsi insulin pada penderita DM Tipe 2 hanya

bersifat relatif, tidak absolut. Oleh sebab itu dalam penanganannya umumnya

tidak memerlukan terapi pemberian insulin. Sel-sel β kelenjar pankreas

mensekresi insulin dalam dua fase. Fase pertama sekresi insulin terjadi segera

setelah stimulus atau rangsangan glukosa yang ditandai dengan meningkatnya

kadar glukosa darah, sedangkan sekresi fase kedua terjadi sekitar 20 menit

sesudahnya. Pada awal perkembangan DM Tipe 2, sel-sel β menunjukkan


gangguan pada sekresi insulin fase pertama, artinya sekresi insulin gagal

mengkompensasi resistensi insulin Apabila tidak ditangani dengan baik, pada

perkembangan penyakit selanjutnya penderita DM Tipe 2 akan mengalami

kerusakan sel-sel β pankreas yang terjadi secara progresif, yang seringkali akan

mengakibatkan defisiensi insulin, sehingga akhirnya penderita memerlukan

insulin eksogen. Penelitian mutakhir menunjukkan bahwa pada penderita DM

Tipe 2 umumnya ditemukan kedua faktor tersebut, yaitu resistensi insulin dan

defisiensi insulin (Suyono, 2004).

3.1.6 Gejala dan Tanda-Tanda Diabetes Melitus

Gejala dan tanda-tanda DM menurut Zahtamal et al., (2007) dapat

digolongkan menjadi gejala akut dan gejala kronik.

A. Gejala Akut Diabetes Melitus

Gejala penyakit DM dari satu penderita ke penderita lain bervariasi

bahkan,

mungkin tidak menunjukkan gejala apa pun sampai saat tertentu. Pada permulaan

gejala yang ditunjukkan meliputi serba banyak (poli), yaitu:

a. Banyak makan (poliphagia).

b. Banyak minum (polidipsia).

c. Banyak kencing (poliuria).

Gejala seperti banyak minum, banyak kencing, nafsu makan mulai

berkurang atau berat badan turun dengan cepat (turun 5-10 kg dalam waktu 2-4

minggu) akan timbul bila keadaan tersebut tidak segera diobati. Selain itu juga
muncul rasa mudah lelah dan bila tidak lekas diobati, akan timbul rasa mual,

bahkan penderita akan jatuh koma yang disebut dengan koma diabetik.

B. Gejala Kronik Diabetes Melitus

Gejala kronik yang sering dialami oleh penderita diabetes melitus antara

lain kesemutan, kulit terasa panas, atau seperti tertusuk-tusuk jarum, rasa tebal di

kulit, kram, capai, mudah mengantuk, mata kabur dan biasanya sering ganti

kacamata. Selain itu, muncul gatal di sekitar kemaluan terutama wanita,gigi

mudah goyah dan mudah lepas. Gejala lainnya bisa muncul kemampuan seksual

menurun bahkan impotensi dan para ibu hamil sering mengalami keguguran atau

kematian janin dalam kandungan, atau dengan bayi berat lahir lebih dari 4 kg.

3.1.7 Diagnosis

Diagnosis klinis DM ditegakkan bila ada gejala khas DM berupa poliuria,

polidipsia, polifagia dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan

penyebabnya. Jika terdapat gejala khas dan pemeriksaan Glukosa Darah Sewaktu

(GDS) ≥ 200 mg/dl diagnosis DM sudah dapat ditegakkan. Hasil pemeriksaan

Glukosa Darah Puasa (GDP) ≥ 126 mg/dl juga dapat digunakan untuk pedoman

diagnosis DM (Ndraha, 2014).

Untuk pasien tanpa gejala khas DM, hasil pemeriksaan glukosa darah

abnormal satu kali saja belum cukup kuat untuk menegakkan diagnosis DM.

Diperlukan investigasi lebih lanjut yaitu GDP ≥ 126 mg/dl, GDS ≥ 200 mg/dl

pada hari yang lain atau hasil Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO) ≥ 200 mg/dl.

Alur penegakkan diagnosis DM dapat dilihat pada skema di gambar 2.1.


3.1.8. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan diabetes mempunyai tujuan akhir untuk menurunkan

morbiditas dan mortalitas DM, yang secara spesifik ditujukan untuk mencapai 2

target utama, yaitu:

1. Menjaga agar kadar glukosa plasma berada dalam kisaran normal

2. Mencegah atau meminimalkan kemungkinan terjadinya komplikasi

diabetes.

The American Diabetes Association (ADA) merekomendasikan beberapa

parameter yang dapat digunakan untuk menilai keberhasilan penatalaksanaan

diabetes (Tabel 3.2).

Pendekatan dalam penatalaksanaan diabetes pada dasarnya ada dua, yang

pertama pendekatan tanpa obat dan yang kedua adalah pendekatan dengan obat.

Dalam penatalaksanaan DM, langkah pertama yang harus dilakukan adalah

penatalaksanaan tanpa obat berupa pengaturan diet dan olah raga. Apabila dengan

langkah pertama ini tujuan penatalaksanaan belum tercapai, dapat dikombinasikan

dengan langkah farmakologis berupa terapi insulin atau terapi obat hipoglikemik

oral, atau kombinasi keduanya (Depkes RI, 2005).


≥126 <126 ≥126
≥200 <200 ≥200

≥126
≥200

≥200

 Evaluasi status gizi  Nasihat umum


 Evaluasi penyulit DM  Perencanaan makan
 Evaluasi dan perencaaan  Latihan jasmani
makan sesuai kebutuuhan  Berat idaman
 Belum perlu obat penurun gkukosa

GDP = Glukosa Status Gizi


GDS = Glukosa Darah Sewaktu
GDPT = Glukosa Darah Puasa Terganggu
TGT = Toleransi Glukosa Terganggu

Gambar 3.1 Langkah diagnostik Diabetes Melitus (DM) dan gangguan toleransi glukosa
(GTG)(Ndraha,2014).
Tabel 3.2. Target Penatalaksanaan Diabetes
Parameter Kadar Ideal Yang Diharapkan
Kadar Glukosa Darah Puasa 80–120mg/dl
Kadar Glukosa Plasma Puasa 90–130mg/dl
Kadar Glukosa Darah Saat Tidur 100–140mg/dl
(Bedtime blood glucose)
Kadar Glukosa Plasma Saat Tidur 110–150mg/dl
(Bedtime plasma glucose)
Kadar Insulin <7 %
Kadar HBA1c <7mg/dl
Kadar kolestrol HDL >45mg/dl (pria)
Kadar kolestrol HDL >55mg/dl (wanita)
Kadar Trigliserida <200mg/dl
Tekanan darah <130/80mmHg
Sumber: Depkes RI (2005)

A. Intervensi Non-farmakologis

1. Edukasi

Tim kesehatan mendampingi pasien dalam perubahan perilaku sehat yang

memerlukan partisipasi aktif dari pasien dan keluarga pasien. Upaya edukasi

dilakukan secara komphrehensif dan berupaya meningkatkan motivasi pasien

untuk memiliki perilaku sehat (PERKENI, 2011).

Tujuan dari edukasi diabetes adalah mendukung usaha pasien penyandang

diabetes untuk mengerti perjalanan alami penyakitnya dan pengelolaannya,

mengenali masalah kesehatan/ komplikasi yang mungkin timbul secara dini/ saat

masih reversible, ketaatan perilaku pemantauan dan pengelolaan penyakit secara

mandiri, dan perubahan perilaku/kebiasaan kesehatan yang diperlukan (J, 2003).

Edukasi pada penyandang diabetes meliputi pemantauan glukosa mandiri,

perawatan kaki, ketaatan pengunaan obat-obatan, berhenti merokok,

meningkatkan aktifitas fisik, dan mengurangi asupan kalori dan diet tinggi lemak

(Ndraha, 2014).
2. Pengaturan Diet

Diet yang baik merupakan kunci keberhasilan penatalaksanaan diabetes. Diet

yang dianjurkan adalah makanan dengan komposisi yang seimbang dalam hal

karbohidrat, protein dan lemak, sesuai dengan kecukupan gizi baik sebagai

berikut:

a. Karbohidrat : 60-70%

b. Protein : 10-15%

c. Lemak : 20-25%.

Jumlah kalori disesuaikan dengan pertumbuhan, status gizi, umur, stres akut

dan kegiatan fisik, yang pada dasarnya ditujukan untuk mencapai dan

mempertahankan berat badan ideal. Penurunan berat badan telah dibuktikan dapat

mengurangi resistensi insulin dan memperbaiki respons sel-sel β terhadap stimulus

glukosa. Dalam salah satu penelitian dilaporkan bahwa penurunan 5% berat badan

dapat mengurangi kadar HbA1c sebanyak 0,6% (HbA1c adalah salah satu

parameter status DM), dan setiap kilogram penurunan berat badan dihubungkan

dengan 3-4 bulan tambahan waktu harapan hidup. Selain jumlah kalori, pilihan

jenis bahan makanan juga sebaiknya diperhatikan. Masukan kolesterol tetap

diperlukan, namun jangan melebihi 300 mg per hari. Sumber lemak diupayakan

yang berasal dari bahan nabati, yang mengandung lebih banyak asam lemak tak

jenuh dibandingkan asam lemak jenuh. Sebagai sumber protein sebaiknya

diperoleh dari ikan, ayam (terutama daging dada), tahu dan tempe, karena tidak

banyak mengandung lemak. Masukan serat sangat penting bagi penderita diabetes,
diusahakan paling tidak 25 g per hari. Disamping akan menolong menghambat

penyerapan lemak, makanan berserat yang tidak dapat dicerna oleh tubuh juga

dapat membantu mengatasi rasa lapar yang kerap dirasakan penderita DM tanpa

risiko masukan kalori yang berlebih. Disamping itu makanan sumber serat seperti

sayur dan buah-buahan segar umumnya kaya akan vitamin dan mineral (Depkes

RI, 2005).

3. Olah Raga

Berolah raga secara teratur dapat menurunkan dan menjaga kadar gula darah

tetap normal. Saat ini ada dokter olah raga yang dapat dimintakan nasihatnya untuk

mengatur jenis dan porsi olah raga yang sesuai untuk penderita diabetes.

Prinsipnya, tidak perlu olah raga berat, olah raga ringan asal dilakukan secara

teratur akan sangat bagus pengaruhnya bagi kesehatan. Olahraga yang disarankan

adalah yang bersifat CRIPE (Continuous, Rhytmical, Interval, Progressive,

Endurance Training). Sedapat mungkin mencapai zona sasaran 75-85% denyut

nadi maksimal (220-umur), disesuaikan dengan kemampuan dan kondisi penderita.

Beberapa contoh olah raga yang disarankan, antara lain jalan atau lari pagi,

bersepeda, berenang, dan lain sebagainya. Olahraga aerobik ini paling tidak

dilakukan selama total 30-40 menit per hari didahului dengan pemanasan 5-10

menit dan diakhiri pendinginan antara 5-10 menit. Olah raga akan memperbanyak

jumlah dan meningkatkan aktivitas reseptor insulin dalam tubuh dan juga

meningkatkan penggunaan glukosa (Depkes RI, 2005).


B. Intervensi Farmakologis

Antidiabetika oral terbagi menjadi beberapa golongan yaitu (BPOM RI,

2010):

1. Golongan sulfonilurea

Obat golongan ini adalah klorpropamid, glikazid, glibenklamid, glipizid,

glikuidon dan tolbutamid. Golongan obat ini bekerja dengan menstimulasi sel

beta pankreas untuk melepaskan insulin yang tersimpan, dan karena itu obat

golongan ini hanya bermanfaat pada pasien yang masih mempunyai

kemampuan untuk mensekresi insulin.

2. Golongan biguanid

Obat golongan ini adalah metformin hidroklorida. Metformin merupakan

obat yang cara kerjanya terutama menurunkan kadar glukosa darah dengan

menekan produksi glukosa yang diproduksi hati dan mengurangi resistensi

insulin. Metformin bias digunakan sebagai monoterapi atau kombinasi

dengan sulfonylurea. Metformin tidak menyebabkan hipoglikemi atau

penambahan berat, jadi sangat baik digunakan pada pasien DM yang

menderita obesitas.

3. Golongan analog meglitinid

Obat golongan ini adalah repaglinid. Mekanisme aksi dan profil efek

samping repaglinid hamir sama dengan sulfonylurea. Agen ini memiliki onset

yang cepat dan diberikan saat makan, dua hingga empat kali sehari.

Repaglinid bisa sebagai pengganti bagi pasien yang alergi obat golongan

sulfonilurea. Obat ini bias digunakan monoterapi atau kombinasi dengan


metformin. Harus diberikan hati-hati pada pasien lansia dan pasien dengan

gangguan hati dan ginjal.

4. Golongan penghambat alfa glukosidase

Obat golongan ini adalah akarbosa dan miglitol. Obat ini bekerja secara

kompetitif menghambat kerja enzim glukosidase alfa di dalam saluran cerna.

Enzi mini berfungsi mengahambat proses metabolisme dan penyerapan

glukosa sehingga dapat menurunkan kadar glukosa dalam darah yang

meningkat setelah makan.

5. Golongan tiazolidindion

Tiazolidindion/TDZ/glitazon berfungsi memperbaiki sensitivitas insulin

dengan mengaktifkan gen-gen tertentu yang terlibat dalam sintesa lemak dan

metabolisme karbohidrat. Tiazolidindion tidak menyebabkan hipoglikemi

jika digunakan sebagai terapi tunggal, meskipun mereka seringkali diberikan

secara kombinasi dengan sulfonilurea, insulin, atau metformin. Pioglitazone

merupakan contoh dari obat ini.

6. Golongan penghambat dipeptidil peptidase tipe 4

Sitagliptin dan vildagliptin merupakan contoh dari obat ini. Obat ini bekerja

dengan menghambat dipeptidil peptidase tipe 4. Obat merupaka obat baru

yang diindikasikan sebagai terapi tambahan pada diet dan olahraga untuk

meningkatkan control kadar gula darah pada pasien DM tipe 2.


3.1.9 Komplikasi

A. Komplikasi Akut

Tiga kondisi darurat yang berhubungan dengan deviasi kadar glukosa plasma

normal pada klien diabetes mellitus yaitu pertama Diabetik ketoasidosis (DKA) yang

dihubungkan dengan defisiensi insulin dan ketosis, kedua adalah Hiperglikemik

Hiperosmolar Non Ketotik (HHNK) dihubungkan dengan defisiensi insulin,

dehidrasi berat, dan tidak ada ketosis, lalu yang ketiga adalah hipoglikemia terjadi

pada kondisi insulin yang berlebihan.

a) Diabetik Ketoasidosis

Diagnosis laboratorium pada diabetik ketoasidosis (DKA) menurut

Soewondo (2009) didasarkan pada:

a. Nilai serum glukosa lebih dari 250 mg/dL

b. pH arteri kurang dari 7,35

c. Nilai bikarbonat (HCO3-) rendah

d. Anion gap yang tinggi

e. Keton serum positif

b) Hiperglikemik Hiperosmolar Nonketotik Koma (HHNK)

Komplikasi ini terjadi pada klien diabetes melitus tipe II. Diagnosis

HHNK dibuat jika kadar glukosa plasma lebih besar dari 800 mg/dL, dan nilai

osmolalitas lebih besar dari 350 mOsm, serta pada komplikasi ini tidak terjadi

ketosis. Lansia dengan diabetes melitus lebih beresiko tinggi terjadinya

komplikasi ini, karena persepsi rasa haus dan kemampuan mengkonsentrasikan

urine pada lansia menurun, sehingga kemungkinan terjadi dehidrasi lebih besar.
Kondisi seperti miokardial infark tersembunyi, sepsis, pankreatitis, dan

strok serta obat-obatan seperti glukokortikoid, diuretik, phenytoin sodium, dilantin

sodium, β blocker, dan kalsium channel blocker dapat mempresipitasikan HHNK

(Soewondo, 2006).

c) Hipoglikemia iatrogenik

Hipoglikemia merupakan keadaan klinik gangguan saraf yang disebabkan

oleh penurunan glukosa darah. Penyebab hipoglikemia meliputi makan kurang

dari aturan yang ditentukan, berat badan turun, setelah berolahraga, setelah

melahirkan, sembuh dari sakit, makan obat yang mempunyai sifat serupa.

Tanda hipoglikemia terjadi jika kadar glukosa plasma kurang dari 50

mg/dL. Tanda klinis pada setiap orang bervariasi dan berbeda-beda, tanda-tanda

klinis umumnya menurut Soemadji (2006) meliputi:

1. Stadium parasimpatik : lapar, mual, tekanan darah turun.

2. Stadium gangguan otak ringan : lemah, lesu, sulit bicara, kesulitan

menghitung sederhana.

3. Stadium simpatik : keringat dingin pada muka terutama di hidung, bibir,

atau tangan.

4. Stadium gangguan otak berat : koma (tidak sadar) dengan atau tanpa

kejang.

B. Komplikasi Kronik

a) Komplikasi Makrovaskuler
Komplikasi atau penyulit makrovaskuler pada klien diabetes melitus ini

meliputi penyakit kardiovaskuler, penyakit vaskuler perifer, dan penyakit

serebrovaskuler (Shahab, 2006).

b) Komplikasi Mikrovaskuler

Komplikasi mikrovaskuler ini hanya dapat ditemukan pada klien diabetes

melitus, kelainan mikrovaskuler ini ditandai dengan penebalan membran basalis

pembuluh kapiler yang disebabkan serangkaian reaksi biokimia akibat

peningkatan glukosa darah. Kelainan mikrovaskuler yang umum terjadi meliputi

retinopati diabetik, nefropati diabetik, dan neuropati diabetik.


BAB 4
KESIMPULAN

Diabetes Melitus (DM) merupakan penyakit metabolik dengan

karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja

insulin atau keduanya. Hiperglikemia pada diabetes melitus tipe 2 disebabkan

oleh gangguan sekresi insulin, resistensi insulin perifer, dan peningkatan produksi

glukosa hepar. Gejala seperti banyak minum, banyak kencing, nafsu makan mulai

berkurang atau berat badan turun dengan cepat (turun 5-10 kg dalam waktu 2-4

minggu) akan timbul bila keadaan tersebut tidak segera diobati. Selain itu juga

muncul rasa mudah lelah dan bila tidak lekas diobati, akan timbul rasa mual,

bahkan penderita akan jatuh koma yang disebut dengan koma diabetik. Gejala

kronik yang sering dialami oleh penderita diabetes melitus antara lain kesemutan,

kulit terasa panas, atau seperti tertusuk-tusuk jarum, rasa tebal di kulit, kram,

capai, mudah mengantuk, mata kabur dan biasanya sering ganti kacamata. Selain

itu, muncul gatal di sekitar kemaluan terutama wanita,gigi mudah goyah dan

mudah lepas. Gejala lainnya bisa muncul kemampuan seksual menurun bahkan

impotensi dan para ibu hamil sering mengalami keguguran atau kematian janin

dalam kandungan, atau dengan bayi berat lahir lebih dari 4 kg.
DAFTAR PUSTAKA

Adam, John MF, 2011, ‘Hubungan antara obesitas dan diabetes mellitus tipe 2’,
Artikel ilmu penyakit dalam Fakultas Kedokteran Universitas Hasanudin,
Makassar.

Adam, John MF, 2006, ‘Klasifikasi dan Kriteria Diagnosis Diabetes Melitus yang
Baru’, Cermin Dunia Kedokteran, Vol. 127, hal. 37-40.

American Diabetes Association. 2014. Diagnosis and Classification of Diabetes


Mellitus. Diabetes Care. vol. 37. h.581 – 590; http://care.diabetesjour
nals.org/ content/37/Supplement_1/S81.full.pdf+html

American Diabetes Association. 2015. Classification and Diagnosis of Diabetes.


Diabetes Care. vol. 38. h. S8 – S16. DOI: 10.2337/dc15-S005.

Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia, 2010, ‘Info POM
Antidiabetika Oral’, Vol. XI, No.5, hal. 3-5.

Chaudhary, B., Mukhopadhyay, K. 2012. ‘Syzygium cumini (L.) Skeels: A


potential source of nutraceuticals’. International Journal of Pharmacy and
Biologycal Science. vol. 2(1). h. 46 – 53. eISSN: 2230 – 7605.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia (Depkes RI) 2005, ‘Pharmaceutical


Care Untuk Penyakit Diabetes Mellitus’.
Fatimah RN, 2015, ‘Diabetes Melitus Tipe 2’, J MAJORITY Vol. 4, no. 5 hal.39.

Kurniawan, I. 2010. ‘Diabetes Mellitus Tipe 2 pada Usia Lanjut’. Majalah


Kedokteran Indonesia. vol. 60(12).

Lasker, SP, McLachlan, CS, Wong, L, Ali, SMK & Jelinek, HF 2010, ‘Discovery,
Treatment and Management of diabetes’, Journal of Diabetology, Vol. 1,
No. 1, hal 1-8.

Lasker, SP, McLachlan, CS, Wong, L, Ali, SMK & Jelinek, HF 2010, ‘Discovery,
Treatment and Management of diabetes’, Journal of Diabetology, Vol. 1,
No. 1, hal 1-8..

Ndraha S, 2014, ‘Diabetes Melitus Tipe 2 Dan Tatalaksana Terkini’,


MEDICINUS Leading article Vol. 27, No.2, hal. 9-16. Departemen
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Krida Wacana Jakarta.
Purnamasari, D. 2014. ‘Diagnosis dan Klasifikasi Diabetes Melitus’. dalam Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam. ed. 6. eds. S Siti et al. vol. 2. Interna Publishing.
Jakarta. ISBN 987-602-8907-50-7.

Shahab Alwi, 2006, Komplikasi Kronik DM, Penyakit Jantung Koroner, dalam
Buku Ajar Ilmu Penyakt Dalam jilid 3,edk 5, Interna publishing, Jakarta.

Soemadji DW, 2006, Hipoglikemia Iatrogenik, dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Edisi IV: Aru W. Sudoyo, Bambang Setiyohadi, Idrus Alwi,
Marcellus Simadibrata K, Siti Setiati. Jakarta: Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. H. 1870.

Soewondo P, 2009, Ketoasidosis Diabetik, dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit


Dalam. Edisi V: Aru W. Sudoyo, Bambang Setiyohadi, Idrus Alwi,
Marcellus Simadibrata K, Siti Setiati. Jakarta: Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia, hal, 1908.

Suyono, S 2007, ‘Patofisiologi diabetes mellitus’, dalam Soegondo S et al (eds)


Penatalaksanaan Diabetes Mellitus Terpadu, Penertbit FKUI, Jakarta.

Zahtamal, FC, Suyanto & Restuastuti T, 2007, ‘Faktor-faktor risiko pasien


diabetes melitus’, jurnal berita kedokteran masyarakat, vol. 23, No. 3, hal
142-147.

Anda mungkin juga menyukai