Diabetes Militus
Diabetes Militus
TINJAUAN PUSTAKA
3.1.1 Definisi
insulin atau keduanya (Lasker et al., 2010). Hiperglikemia kronis pada diabetes
melitus akan disertai dengan kerusakan, gangguan fungsi beberapa organ tubuh
khususnya mata, ginjal, saraf, jantung, dan pembuluh darah. Walaupun pada
3.1.2 Epidemiologi
Kejadian DM Tipe 2 pada wanita lebih tinggi dari pada laki-laki. Wanita
lebih berisiko mengidap diabetes karena secara fisik wanita memiliki peluang
peningkatan indeks masa tubuh yang lebih besar. Hasil Riset Kesehatan Dasar
57%, pada tahun 2012 angka kejadian diabetes melitus didunia adalah sebanyak
371 juta jiwa, dimana proporsi kejadian diabetes melitus tipe 2 adalah 95% dari
populasi dunia yang menderita diabetes melitus dan hanya 5% dari jumlah
mencapai 8,4 juta dengan peningkatan sebanyak 230.000 pasien diabetes per
tahunnya. Kenaikan ini antara lain karena usia harapan hidup semakin meningkat,
diet kurang sehat, kegemukan, dan gaya hidup modern (Adam, 2011).
3.1.3 Etiologi
sekresi insulin, resistensi insulin perifer, dan peningkatan produksi glukosa hepar.
Penyebab resistensi insulin pada diabetes melitus tipe 2 masih belum diketahui,
insulin:
d) Faktor herediter.
3.1.4 Klasifikasi
DM tipe 1 terjadi karena adanya destruksi sel beta pankreas karena sebab
autoimun. Pada DM tipe ini terdapat sedikit atau tidak sama sekali sekresi insulin
dapat ditentukan dengan level protein c-peptida yang jumlahnya sedikit atau tidak
terdeteksi sama sekali. Manifestasi klinik pertama dari penyakit ini adalah
ketoasidosis.
Mellitus/NIDDM
membawa glukosa masuk ke dalam jaringan karena terjadi resistensi insulin yang
oleh jaringan perifer dan untuk menghambat produksi glukosa oleh hati. Oleh
karena terjadinya resistensi insulin (reseptor insulin sudah tidak aktif karena
pada adanya glukosa bersama bahan sekresi insulin lain sehingga sel beta
DM tipe ini terjadi karena etiologi lain, misalnya pada defek genetik
fungsi sel beta, defek genetik kerja insulin, penyakit eksokrin pankreas, penyakit
metabolik endokrin lain, iatrogenik, infeksi virus, penyakit autoimun dan kelainan
genetik lain.
didapati pertama kali pada masa kehamilan, biasanya pada trimester kedua dan
3.1.5 Patofisiologi
Diabetes Tipe 2 merupakan tipe diabetes yang lebih umum, lebih banyak
tahun, tetapi akhir-akhir ini penderita DM Tipe 2 di kalangan remaja dan anak-
anak populasinya meningkat. Etiologi DM Tipe 2 merupakan multifaktor yang
obesitas, diet tinggi lemak dan rendah serat, serta kurang gerak badan. Obesitas
atau kegemukan merupakan salah satu faktor pradisposisi utama. Berbeda dengan
DM Tipe 1, pada penderita DM Tipe 2, terutama yang berada pada tahap awal,
disamping kadar glukosa yang juga tinggi. Jadi, awal patofisiologis DM Tipe 2
bukan disebabkan oleh kurangnya sekresi insulin, tetapi karena sel-sel sasaran
insulin gagal atau tak mampu merespon insulin secara normal. Keadaan ini lazim
negara maju seperti Amerika Serikat, antara lain sebagai akibat dari obesitas, gaya
hidup kurang gerak (sedentary), dan penuaan. Disamping resistensi insulin, pada
penderita DM Tipe 2 dapat juga timbul gangguan sekresi insulin dan produksi
glukosa hepatik yang berlebihan. Namun demikian, tidak terjadi pengrusakan sel-
bersifat relatif, tidak absolut. Oleh sebab itu dalam penanganannya umumnya
mensekresi insulin dalam dua fase. Fase pertama sekresi insulin terjadi segera
kadar glukosa darah, sedangkan sekresi fase kedua terjadi sekitar 20 menit
kerusakan sel-sel β pankreas yang terjadi secara progresif, yang seringkali akan
Tipe 2 umumnya ditemukan kedua faktor tersebut, yaitu resistensi insulin dan
bahkan,
mungkin tidak menunjukkan gejala apa pun sampai saat tertentu. Pada permulaan
berkurang atau berat badan turun dengan cepat (turun 5-10 kg dalam waktu 2-4
minggu) akan timbul bila keadaan tersebut tidak segera diobati. Selain itu juga
muncul rasa mudah lelah dan bila tidak lekas diobati, akan timbul rasa mual,
bahkan penderita akan jatuh koma yang disebut dengan koma diabetik.
Gejala kronik yang sering dialami oleh penderita diabetes melitus antara
lain kesemutan, kulit terasa panas, atau seperti tertusuk-tusuk jarum, rasa tebal di
kulit, kram, capai, mudah mengantuk, mata kabur dan biasanya sering ganti
mudah goyah dan mudah lepas. Gejala lainnya bisa muncul kemampuan seksual
menurun bahkan impotensi dan para ibu hamil sering mengalami keguguran atau
kematian janin dalam kandungan, atau dengan bayi berat lahir lebih dari 4 kg.
3.1.7 Diagnosis
polidipsia, polifagia dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan
penyebabnya. Jika terdapat gejala khas dan pemeriksaan Glukosa Darah Sewaktu
Glukosa Darah Puasa (GDP) ≥ 126 mg/dl juga dapat digunakan untuk pedoman
Untuk pasien tanpa gejala khas DM, hasil pemeriksaan glukosa darah
abnormal satu kali saja belum cukup kuat untuk menegakkan diagnosis DM.
Diperlukan investigasi lebih lanjut yaitu GDP ≥ 126 mg/dl, GDS ≥ 200 mg/dl
pada hari yang lain atau hasil Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO) ≥ 200 mg/dl.
morbiditas dan mortalitas DM, yang secara spesifik ditujukan untuk mencapai 2
diabetes.
pertama pendekatan tanpa obat dan yang kedua adalah pendekatan dengan obat.
penatalaksanaan tanpa obat berupa pengaturan diet dan olah raga. Apabila dengan
dengan langkah farmakologis berupa terapi insulin atau terapi obat hipoglikemik
≥126
≥200
≥200
Gambar 3.1 Langkah diagnostik Diabetes Melitus (DM) dan gangguan toleransi glukosa
(GTG)(Ndraha,2014).
Tabel 3.2. Target Penatalaksanaan Diabetes
Parameter Kadar Ideal Yang Diharapkan
Kadar Glukosa Darah Puasa 80–120mg/dl
Kadar Glukosa Plasma Puasa 90–130mg/dl
Kadar Glukosa Darah Saat Tidur 100–140mg/dl
(Bedtime blood glucose)
Kadar Glukosa Plasma Saat Tidur 110–150mg/dl
(Bedtime plasma glucose)
Kadar Insulin <7 %
Kadar HBA1c <7mg/dl
Kadar kolestrol HDL >45mg/dl (pria)
Kadar kolestrol HDL >55mg/dl (wanita)
Kadar Trigliserida <200mg/dl
Tekanan darah <130/80mmHg
Sumber: Depkes RI (2005)
A. Intervensi Non-farmakologis
1. Edukasi
memerlukan partisipasi aktif dari pasien dan keluarga pasien. Upaya edukasi
mengenali masalah kesehatan/ komplikasi yang mungkin timbul secara dini/ saat
meningkatkan aktifitas fisik, dan mengurangi asupan kalori dan diet tinggi lemak
(Ndraha, 2014).
2. Pengaturan Diet
yang dianjurkan adalah makanan dengan komposisi yang seimbang dalam hal
karbohidrat, protein dan lemak, sesuai dengan kecukupan gizi baik sebagai
berikut:
a. Karbohidrat : 60-70%
b. Protein : 10-15%
c. Lemak : 20-25%.
Jumlah kalori disesuaikan dengan pertumbuhan, status gizi, umur, stres akut
dan kegiatan fisik, yang pada dasarnya ditujukan untuk mencapai dan
mempertahankan berat badan ideal. Penurunan berat badan telah dibuktikan dapat
glukosa. Dalam salah satu penelitian dilaporkan bahwa penurunan 5% berat badan
dapat mengurangi kadar HbA1c sebanyak 0,6% (HbA1c adalah salah satu
parameter status DM), dan setiap kilogram penurunan berat badan dihubungkan
dengan 3-4 bulan tambahan waktu harapan hidup. Selain jumlah kalori, pilihan
diperlukan, namun jangan melebihi 300 mg per hari. Sumber lemak diupayakan
yang berasal dari bahan nabati, yang mengandung lebih banyak asam lemak tak
diperoleh dari ikan, ayam (terutama daging dada), tahu dan tempe, karena tidak
banyak mengandung lemak. Masukan serat sangat penting bagi penderita diabetes,
diusahakan paling tidak 25 g per hari. Disamping akan menolong menghambat
penyerapan lemak, makanan berserat yang tidak dapat dicerna oleh tubuh juga
dapat membantu mengatasi rasa lapar yang kerap dirasakan penderita DM tanpa
risiko masukan kalori yang berlebih. Disamping itu makanan sumber serat seperti
sayur dan buah-buahan segar umumnya kaya akan vitamin dan mineral (Depkes
RI, 2005).
3. Olah Raga
Berolah raga secara teratur dapat menurunkan dan menjaga kadar gula darah
tetap normal. Saat ini ada dokter olah raga yang dapat dimintakan nasihatnya untuk
mengatur jenis dan porsi olah raga yang sesuai untuk penderita diabetes.
Prinsipnya, tidak perlu olah raga berat, olah raga ringan asal dilakukan secara
teratur akan sangat bagus pengaruhnya bagi kesehatan. Olahraga yang disarankan
Beberapa contoh olah raga yang disarankan, antara lain jalan atau lari pagi,
bersepeda, berenang, dan lain sebagainya. Olahraga aerobik ini paling tidak
dilakukan selama total 30-40 menit per hari didahului dengan pemanasan 5-10
menit dan diakhiri pendinginan antara 5-10 menit. Olah raga akan memperbanyak
jumlah dan meningkatkan aktivitas reseptor insulin dalam tubuh dan juga
2010):
1. Golongan sulfonilurea
glikuidon dan tolbutamid. Golongan obat ini bekerja dengan menstimulasi sel
beta pankreas untuk melepaskan insulin yang tersimpan, dan karena itu obat
2. Golongan biguanid
obat yang cara kerjanya terutama menurunkan kadar glukosa darah dengan
menderita obesitas.
Obat golongan ini adalah repaglinid. Mekanisme aksi dan profil efek
samping repaglinid hamir sama dengan sulfonylurea. Agen ini memiliki onset
yang cepat dan diberikan saat makan, dua hingga empat kali sehari.
Repaglinid bisa sebagai pengganti bagi pasien yang alergi obat golongan
Obat golongan ini adalah akarbosa dan miglitol. Obat ini bekerja secara
5. Golongan tiazolidindion
dengan mengaktifkan gen-gen tertentu yang terlibat dalam sintesa lemak dan
Sitagliptin dan vildagliptin merupakan contoh dari obat ini. Obat ini bekerja
yang diindikasikan sebagai terapi tambahan pada diet dan olahraga untuk
A. Komplikasi Akut
Tiga kondisi darurat yang berhubungan dengan deviasi kadar glukosa plasma
normal pada klien diabetes mellitus yaitu pertama Diabetik ketoasidosis (DKA) yang
dehidrasi berat, dan tidak ada ketosis, lalu yang ketiga adalah hipoglikemia terjadi
a) Diabetik Ketoasidosis
Komplikasi ini terjadi pada klien diabetes melitus tipe II. Diagnosis
HHNK dibuat jika kadar glukosa plasma lebih besar dari 800 mg/dL, dan nilai
osmolalitas lebih besar dari 350 mOsm, serta pada komplikasi ini tidak terjadi
urine pada lansia menurun, sehingga kemungkinan terjadi dehidrasi lebih besar.
Kondisi seperti miokardial infark tersembunyi, sepsis, pankreatitis, dan
(Soewondo, 2006).
c) Hipoglikemia iatrogenik
dari aturan yang ditentukan, berat badan turun, setelah berolahraga, setelah
melahirkan, sembuh dari sakit, makan obat yang mempunyai sifat serupa.
mg/dL. Tanda klinis pada setiap orang bervariasi dan berbeda-beda, tanda-tanda
menghitung sederhana.
atau tangan.
4. Stadium gangguan otak berat : koma (tidak sadar) dengan atau tanpa
kejang.
B. Komplikasi Kronik
a) Komplikasi Makrovaskuler
Komplikasi atau penyulit makrovaskuler pada klien diabetes melitus ini
b) Komplikasi Mikrovaskuler
oleh gangguan sekresi insulin, resistensi insulin perifer, dan peningkatan produksi
glukosa hepar. Gejala seperti banyak minum, banyak kencing, nafsu makan mulai
berkurang atau berat badan turun dengan cepat (turun 5-10 kg dalam waktu 2-4
minggu) akan timbul bila keadaan tersebut tidak segera diobati. Selain itu juga
muncul rasa mudah lelah dan bila tidak lekas diobati, akan timbul rasa mual,
bahkan penderita akan jatuh koma yang disebut dengan koma diabetik. Gejala
kronik yang sering dialami oleh penderita diabetes melitus antara lain kesemutan,
kulit terasa panas, atau seperti tertusuk-tusuk jarum, rasa tebal di kulit, kram,
capai, mudah mengantuk, mata kabur dan biasanya sering ganti kacamata. Selain
itu, muncul gatal di sekitar kemaluan terutama wanita,gigi mudah goyah dan
mudah lepas. Gejala lainnya bisa muncul kemampuan seksual menurun bahkan
impotensi dan para ibu hamil sering mengalami keguguran atau kematian janin
dalam kandungan, atau dengan bayi berat lahir lebih dari 4 kg.
DAFTAR PUSTAKA
Adam, John MF, 2011, ‘Hubungan antara obesitas dan diabetes mellitus tipe 2’,
Artikel ilmu penyakit dalam Fakultas Kedokteran Universitas Hasanudin,
Makassar.
Adam, John MF, 2006, ‘Klasifikasi dan Kriteria Diagnosis Diabetes Melitus yang
Baru’, Cermin Dunia Kedokteran, Vol. 127, hal. 37-40.
Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia, 2010, ‘Info POM
Antidiabetika Oral’, Vol. XI, No.5, hal. 3-5.
Lasker, SP, McLachlan, CS, Wong, L, Ali, SMK & Jelinek, HF 2010, ‘Discovery,
Treatment and Management of diabetes’, Journal of Diabetology, Vol. 1,
No. 1, hal 1-8.
Lasker, SP, McLachlan, CS, Wong, L, Ali, SMK & Jelinek, HF 2010, ‘Discovery,
Treatment and Management of diabetes’, Journal of Diabetology, Vol. 1,
No. 1, hal 1-8..
Shahab Alwi, 2006, Komplikasi Kronik DM, Penyakit Jantung Koroner, dalam
Buku Ajar Ilmu Penyakt Dalam jilid 3,edk 5, Interna publishing, Jakarta.
Soemadji DW, 2006, Hipoglikemia Iatrogenik, dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Edisi IV: Aru W. Sudoyo, Bambang Setiyohadi, Idrus Alwi,
Marcellus Simadibrata K, Siti Setiati. Jakarta: Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. H. 1870.