Anda di halaman 1dari 31

BAB 1

LANDASAN TEORI

1.1 ENTOMOLOGI FORENSIK

Dalam entomologi forensik, serangga yang sering kali ditemukan terdiri

atas 2 famili antara lain: (FSI 07, 2007).

1. Famili Lalat

1.1 Famili Calliphoridae : Blow Flies

1.2. Famili Sarcophagidae: Flesh Flies

1.3.Famili Muscidae: Muscid Flies

1.4.Famili Piophilidae: Skipper Flies

1.5.Famili Scathophagidae: Dung Flies

1.6.Famili Sepsidae: Black Scavenger Flies

1.7.Famili Sphaeroceridae: Small Dung Flies dan Minute Dung Flies

1.8.Famili Stratiomyidae: Soldier Flies

1.9. Famili Phoridae: Humpbacked Flies or Scuttle Flies

1.10.Famili Psychodidae: Moth Flies, Sand Flies dan Owl Midges

2. Famili Kumbang

2.1. Famili Silphidae: Carrion Beetles

2.2. Famili Dermestidae: Skin Beetles, Leather Beetles, Hide Beetles, Carpet

Beetles and Larder Beetles.

2.3. Famili Staphylinidae: Rove Beetles

2.4. Famili Histeridae: Clown Beetles

2.5. Famili Cleridae: Checkered Beetles

2.6. Famili Trogidae: Hide Beetles

1
2.7. Famili Scarabaeidae: Scarab Beetles

2.8. Famili Nitidulidae: Sap Beetles

Siklus Hidup Serangga

Setiap jenis serangga yang berkembang biak pada mayat, menggambarkan

tahapan waktu dari mulai meninggalnya korban. Ibaratnya jam yang dapat dilacak

dan diketahui, kapan titik nolnya. Dengan begitu perkiraan waktu kematian dapat

ditegakkan dengan akurat, dalam kisaran ketepatan beberapa jam. Dua jenis

serangga yang pertama mendatangi mayat adalah blow flies (Calliphoridae) dan

flesh flies (Sarcophagidae).

 Siklus Hidup Lalat

Blow flies mendatangi mayat dengan hanya melalui bau walaupun dari

jarak jauh sekitar beberapa menit sehingga beberapa jam setelah kematian.

Tetapi blow flies tidak mendatangi mayat yang sudah mengalami mumifikasi

dan pengeringan. Blow flies pada tahap awal, sekitar 23 jam, telur menetas

menjadi larva berupa belatung yang kerjanya hanya makan. Sekitar 27 jam

kemudian, belatung memasuki tahapan kedua dan mulai menyiapkan diri untuk

menjadi kempompong. Belatung tahapan kedua ini umurnya sekitar 50 jam,

setelah itu memasuki tahapan ketiga, dengan kesiapan menjadi kepompong

bertambah matang. Tahapan ketiga ini umurnya sekitar 72 jam. Tahapan

selanjutnya belatung menjadi kepompong. Pada tahapan ini diperlukan waktu

sekitar 273 jam untuk menetas menjadi lalat.

Seekor lalat dewasa di sekitar mayat korban pembunuhan, dipastikan

sudah berumur sekitar 500 jam. Jadi, jika dalam penelitian ditemukan belatung

2
pada fase akhir tahap ketiga misalnya, berarti korban sudah meninggal sekitar

160 jam atau sekitar seminggu. Dengan mengetahui identitas lainnya dari

korban, maka dapat dilacak dimana seminggu lalu terakhir kali korban berada,

bersama siapa atau melakukan apa. Jika semua daging pada mayat telah

dimakan belatung, penelitian kerangka manusia dari sudut ilmu entomologi

forensik masih dapat dilakukan. Para pakar mengatakan, semua proses kegiatan

serangga atau binatang lainnya pasti meninggalkan jejak. Misalnya cangkang

kepompong dan kulit luar lainnya. Dengan meneliti sisa-sisa serangga tadi,

para pakar entomologi forensik masih dapat menentukan umur kerangka yang

bersangkutan.

Gambar 1. Blow flies (Chrysomya rufifacies) merupakan spesies pertama

yang ditemukan dalam tahap dekomposisi dan seringkali muncul beberapa

menit setelah kematian

3
Gambar 2. Siklus hidup lalat

Tabel 2. Siklus Hidup lalat mayat (Black carrion fly) dari telur hingga menjadi

lalat dewasa

Tahap perkembangan Tahap perkembangan Durasi waktu (jam) Keterangan

awal akhir

Telur Larva 26 Lalat akan bertelur pada

tubuh mayat, biasanya di

daerah lubang hidung, mata

dan anus

Larva 1 Larva 2 95.5 Pada tahap larva awal,

ukurannya pada kisaran 2.37

mm dan berkembang sampai

4
dengan 5.47 mm

Larva 2 Larva 3 128 Tahap larva ketiga mencapai

ukuran 14.8 mm

Larva 3 Pupae 372

Pupae Lalat dewasa 518 Total durasi waktu dari telur

hingga menjadi lalat dewasa

adalah 21.6 hari

Serangga yang hinggap pada suatu mayat memiliki rangkaian urutan yang

tergantung pada tahapan dekomposisi.Hal inilah yang disebut insect succesion

atau faunal succesion.Seorang entomolog forensik mempelajari hal ini sebagai

metode yang membantu dalam mengungkap suatu penyelidikan.Entomolog

forensik bekerja pada suatu badan investigasi dan bertugas dalam menentukan

waktu kematian seseorang yang dikenal sebagai Post Mortem Interval (PMI).

Faktor lingkungan yang mempengaruhi faunal succesionmencakup : cuaca

(suhu), paparan sinar matahari, apakah tubuh mayat ditemukan di dalam ruangan,

tergantung atau terbakar juga mempengaruhi faunal succesion (FSE 07, 2007).

1.2 PERKIRAAN SAAT KEMATIAN

Perkiraan saat kematian dalam suatu kasus forensik adalah hal yang

penting, sehingga hampir selalu dicantumkan dalam sebuah kesimpulan autopsi

forensik. Dalam ilmu kedokteran, memperkirakan saat kematian tidak dapat

dilakukan dengan satu metode saja, gabungan dari dua atau lebih metode akan

memberikan hasil perkiraan yang lebih akurat dengan rentang bias yang lebih

5
kecil. Beberapa metode yang lazim digunakan dalam membuat perkiraan saat

kematian adalah pengukuran penurunan suhu tubuh, interpretasi lebam dan kaku

mayat, interpretasi proses dekomposisi, pengukuran perubahan kimia pada

vitreous, interpretasi isi dan pengosongan lambung serta interpretasi aktivitas

serangga (entomologi forensik) (Idries,2008). Entomologi forensik mengevaluasi

aktivitas serangga dengan berbagai teknik untuk membantu memperkirakan saat

kematian dan menentukan apakah jaringan tubuh atau mayat telah dipindah dari

satu lokasi ke lokasi lain. (DiMaio,2002).

Serangga yang tertarik pada mayat, secara umum dapat dikategorikan

menjadi tiga kelompok : pertama, spesies nekrofagus, yang memakan jaringan

tubuh mayat; kedua kelompok predator dan parasit, yang memakan serangga

nekrofagus dan kelompok ketiga adalah kelompok spesies omnivora yang

memakan baik jaringan tubuh mayat maupun serangga yang lain. Dari tiga

kelompok ini, kelompok spesies nekrofagus adalah kelompok spesies yang paling

penting dalam membantu membuat perkiraan saat kematian. Bergantung pada

waktu dan spesies dari serangga, serangga dapat mendatangi, makan dan

berkembang biak segera setelah kematian. Sejalan dengan proses pembusukan,

beberapa gelombang generasi serangga dapat menetap pada tubuh mayat.

Berbagai faktor seperti derajat pembusukan, penguburan, terendam dalam air,

proses mumifikasi dan kondisi geografi dapat menentukan kecepatan kerusakan

tubuh mayat, dan berapa banyak jenis serangga serta berapa generasi serangga

yang dapat ditemukan (DiMaio,2002).

Lalat adalah serangga yang paling umum diasosiasikan dengan

pembusukan. Lalat cenderung menempatkan telurnya dalam orifisium tubuh atau

6
pada luka terbuka. Kecenderungan ini kemudian akan mengakibatkan berubahnya

bentuk luka atau bahkan hancurnya daerah sekitar luka. Telur lalat umumnya

terdeposit pada mayat segera setelah kematian pada siang hari. Bila mayat tidak

dipindahkan dan hanya telur yang ditemukan pada mayat, maka dapat

diasumsikan bahwa waktu kematian berkisar antara satu sampai dua hari. Angka

ini sedikit bervariasi, tergantung pada suhu, kelembaban dan spesies lalat. Setelah

menetas, larva berkembang lebih besar hingga akhirnya mencapai tahap pulpa.

Tahap ini dapat memakan waktu 6 sampai 10 hari pada kondisi tropis biasa. Lalat

dewasa keluar dari pupa setelah 12 sampai 18 hari. Dalam perkembangannya dari

telur menjadi dewasa, terdapat jenis serangga yang menjalani metamorfosis

lengkap, tetapi ada pula yang menjalani metamorfosis tidak lengkap. Pada

metamorfosis tidak lengkap, versi kecil dari serangga dewasa menetas dari telur.

Serangga kecil ini secara bertahap matang menjadi bentuk dewasa. Pada

metamorfosis lengkap, serangga menetas dari telur sebagai larva yang memiliki

bentuk yang amat berbeda dengan bentuk dewasanya. Setelah beberapa waktu,

larva memasuki fase istirahat, yang disebut pupa. Dari pupa akan keluar sebagai

serangga telah terbentuk sesuai anatomi dan histologi serangga dewasa

(DiMaio,2002).

Jadi, larva akan meletakkan telur pada jenazah yang sudah membusuk.

Proses pembusukan dimulai 18-24 jam setelah kematian. Sedangkan telur

membutuhkan waktu minimal 8jam. Totalnya adalah 26 jam. Oleh sebab itu

mengapa saat kematian korban ditambahkan 1 hari dari umur larva yang

ditemukan.

7
1.3 TAHAPAN PEMBUSUKAN

Pada setiap tahap dekomposisi atau pembusukan bangkai juga akan diikuti oleh

perbedaan serangga yang muncul. Tahapan dekomposisi ini disusun berdasarkan

tahapan karakteristik dan merupakan proses yang berlanjut. Tahap dekomposisi

tersusun atas 5 tahap antara lain:

1. Tahap awal (Fresh Stage)

2. Tahap pembekakan (Bloated Stage)

Pada tahap ini merupakan tahap utama suatu pembusukan atau putrifikasi. Gas

mulai diproduksi sebagai suatu aktivitas metabolik dari bakteri anaerob sehingga

memberikan gambaran pembesaran pada daerah perut dan kemudian

menyebabkan suatu mayat membengkak seperti balon secara keseluruhan. Suhu

dalam tubuh mayat akan meningkat sepanjang tahapan ini yang disebabkan oleh

pembusukan bakteri dan aktivitas metabolik dari larva dipteran. Calliphoridae

sangat tertarik pada mayat dalam tahap ini. Cairan tubuh mayat pun akan keluar

dan merembes ke dalam tanah. Cairan tubuh yang merembes tersebut akan

bercampur dengan hasil metabolism dari larva dipteran berupa ammonia,dll.

Sehingga menyebabkan tanah setempat menjadi alkali atau basa.

3. Tahap pembusukan (Decay Sstage)

Pada tahap ini pembusukan dimulai dengan rusaknya struktur kulit sehingga

gas keluar dari tubuh dan mayat mulai mengempis. Selanjutnya sejumlah larva

dalam jumlah yang besar akan berkumpul dan memakan bagian tubuh mayat.

Walaupun beberapa jenis predator seperti kumbang, tawon, dan semut juga dapat

ditemui pada tahap ini. Namun kelompok necrophagous dan predator juga ditemui

pada akhir tahap pembusukan. Pada tahap akhir pembusukan kebanyakan

8
Calliphoridae dan Sarcophagidae telah menyelesaikan tahap perkembangannya

dan berubah menjadi pupa. Sedangkan larva Dipteran akan menghilang dari

jaringan lunak mayat pada akhir tahap pembusukan

4. Tahap pasca pembusukan (Postdecay Stage)

Pada tahap ini pembusukan dimulai dengan rusaknya struktur kulit, tulang

rawan, dan tulang. Pada habitat xerophytic dan mesophytic, bermacam-macam

jenis Coleoptera berkumpul dan bertambah banyak pada tahap ini. Hal ini pun

berhubungan dengan peningkatan jumlah parasit dan hewan predator atau

pemangsa berupa kumbang.

5. Tahap kerangka (Skeletal Stage)

Tahap ini terjadi apabila yang tinggal pada tubuh mayat hanya tulang dan

rambut. Tak ada lagi sisa bangkai. Sedangkan yang ditemukan untuk

memperkirakan Post Mortem Interval pada tahap ini adalah kelompok Acarine

atau kutu.

1.4 ENTOMOTOKSIKOLOGI

Serangga selain dapat untuk memperkirakan waktu kematian, juga dapat

menjadi sampel alternatif untuk mendeteksi obat-obatan dan racun pada tubuh

jenazah. Larva dan pupa lalat dapat ditemukan di tubuh jenazah yang mulai

membusuk dan dapat dijadikan sampel untuk analisis toksikologi ketika darah,

urin, dan organ sudah tidak ada (Amendt, 2011).

Pada investigasi kematian yang terjadi setelah jenazah membusuk dengan

parah, pada kasus exhumatio, embalming, dan kebakaran, dimana jaringan untuk

pengambilan toksikologi (seperti ginjal, otak, liver, jantung, darah, lambung dan

lain-lain) sudah tidak ada baik karena degradasi karena pembusukan atau

9
penyebab lain maka dapat digunakan alternatif yaitu entomotoksikologi. Ketika

jenazah diawetkan atau diembalming, jaringan akan awet namun darah dan urin

tidak ada. Sehingga pemeriksaan toksikologi pada jaringan tidak dapat

diinterpretasikan (Byrd, 2012).

Sebagian besar zat-zat yang berhubungan dengan kematian seseorang

dapat dideteksi dari belatung yang ada di jenazah. Seperti, opiate, morfin, kodein,

kokain, benzoylecognin, amfetamin, antidepresan trisiklik, fenotiazin,

benzodiazepin, steroid, barbiturat, dan parasetamol. Obat dan racun juga dapat

dideteksi melalui pupa atau kepompong. Pendekatan ini dipengaruhi oleh

beberapa faktor, yaitu cuaca, iklim, lokasi ditemukan jenazah, dan riwayat

pegobatan jenazah (Amendt, 2011).

Obat dan racun dapat dideteksi pada larva namun belum diketahui

mekanisme dari akumulasi obat tersebut dalam larva. Farmakokinetik obat pada

serangga tergantung dari spesies (Gosselin, 2011).

10
Tabel Zat yang Terdeteksi pada Tiap Fase Perkembangan Serangga

(Gosselin, 2011)

11
Pada stadium larva, ketika sudah mencapai ukuran maksimal, larva akan

berhenti makan, dan menjauh dari sumber makanan serta mencari tempat untuk

menjadi pupa atau kepompong. Perbedaan konsentrasi zat dapat diobservasi pada

larva. Konsentrasi zat pada pupa akan lebih rendah dibandingkan dengan larva

(Gosselin, 2011).

Blowflies (Calliphoridae), flesh flies (Sarcophagidae) dan house flies

(Muscidae) adalah spesies lalat yang penting untuk entomologi forensik. Spesies-

spesies ini merupakan yang paling sering muncul dan berkolonisasi pada jenazah

(Byrd, 2012).

Pada larva yang dalam fase makan, obat akan diabsorbsi melalu midgut

dan didistibusikan keseluruh tubuh larva. Obat atau zat akan di ekskresikan

melalui gut atau dari tubulus malphighi setelah dimetabolisme. Sedangkan pada

stadium pupa, tubulus malphighi akan terdegradasi sehingga eksresi melalu gut

berupa mekonium (Gosselin, 2011).

Pada penelitian disebutkan bahwa pada 2-4 minggu pertama pembusukan,

berbagai zat memengaruhi perkembangan larva Diptera. Morfin dan heroin

terbukti menurunkan kecepatan pertumbuhan lalat. Namun, sebenarnya zat

tersebut mempercepat pertumbuhan pada stadium larva namun menurunkan pada

stadium pupa. Sedangkan pada kokain, akan mempercepat perkembangan larva

36-72 jam setelah menetas (Murthy, 2001).

12
BAB 2

Journal Translate

Penilaian Interval Post Mortem dari Studi Entomotoksilogical Forensik pada


Larva dan Lalat
Kapil Verma, Reject Paul MP

Diterbitkan : 2013

Amity Institute of Forensic Sciences, Uttar Pradesh, India

Abstrak

Penelitian saat ini yang meliputi efek pemberian obat terhadap perkembangan

lalat juga memungkinkan estimasi waktu yang lebih baik pada Interval Post

Mortem atau penyebab kematian. Specimen serangga yang didapatkan pada tubuh

yg terdekomposisi memungkinkan entomologis forensik untuk memperkirakan

minimal Interval Post Mortem atau penyebab kematian. Obat yang terdapat dalam

tubuh jenazah dapat mempengaruhi jumlah atau rasio serangga yang berkembang

didalamnya. Penelitian ini membahas tentang kemungkinan menganalisis

serangga, larva dan pupa pada kasus dimana jaringan yang dibutuhkan atau

informasi sumber lain tidak ada. Pada penelitian ini menginvestigasi efek yang

umum terjadi pada penggunaan obat terhadap kecepatan pertumbuhan dari

serangga. Hasil dari penelitian ini dapat digunakan oleh entomologis pada

entomologi forensik untuk memperkirakan estimasi Interval Post Mortem atau

penyebab kematian pada tubuh orang yang meninggal atau tubuh yang sudah

terdekomposisi pada investigasi medico kriminal.

Kata Kunci : obat; serangga; tubuh yg terdekomposisi; entomologi forensik;

interval post mortem; investigasi medico-kriminal.

13
Pengenalan

Entomotoksikologi Forensik meliputi pengetahuan tentang efek dari obat

terhadap perkembangan serangga yang ada pada jenazah dan ilmu ini dapat

digunakan sebagai sampel alternatif bila jaringan-jaringan yang lain tidak ada atau

hilang. Sebagian besar ilmu Entomotoksikologi Forensik terfokus pada obat yang

umum digunakan. Specimen serangga yang didapatkan atau dikumpulkan pada

tubuh terdekomposisi memungkinkan entomologis forensik untuk memperkirakan

waktu minimal pada Interval Post Mortem. Kegunaan ilmu ini umumnya untuk

mengetahui estimasi waktu kematian, interval dekomposisi. Ada kegunaan

lainnya yang meliputi menentukan tempat terjadinya kematian, penyebab

kematian atau deteksi trauma ante mortem.

Serangga: Sumber untuk investigasi konsumsi obat

Tingkat keakurasian estimasi Interval Post Mortem merupakan hal yang

penting dalam keberhasilan menyelesaikan suatu investigasi kematian. Pada saat

ini, terdapat beberapa cara atau metode yang tersedia untuk menentukan estimasi

Interval Post Mortem. Entomologi forensik merupakan jenis metode yang baik

dalam menentukan waktu sejak kematian dalam Interval Post Mortem. Dalam

entomologi forensik, bukti Arthropoda yang terdapat pada jenazah merupakan

benda yang sering digunakan untuk menentukan seberapa lama waktu sejak

kematian, atau interval post mortem. Pada saat ini, terdapat 2 pendekatan yang

memungkinkan untuk menentukan interval post mortem menggunakan bukti

serangga, dan penggunaan yang lain tergantung dari seberapa banyak terjadi

14
dekomposisi pada tubuh jenazah saat ditemukan oleh manusia. Metode yang

pertama yaitu melakukan analisis pada bentuk kolonisasi pada bangkai oleh

serangga yang berkembang biak disitu dan arthropoda lainnya. Metode kedua

bergantung pada perkembangan lalat yang belum matang yang terkumpul pada

bangkai sesaat setelah mati. Kegunaan dari masing-masing metode tadi juga akan

ditentukan dari factor-faktor lain seperti musim, iklim dan lokasi ditemukannya

jenazah serta penanganan pada jenazah.

Lebih jauh lagi, serangga mungkin menjadi spesies alternatif yang penting

untuk analisis toksikologi dalam kasus dimana sampel manusia tidak tersedia

untuk tujuan ini. Beberapa publikasi telah menjelaskan deteksi racun dan

substansi yang terkontrol melalui analisis terhadap arthropoda termasuk obat-obat

yang berbeda. Obat-obatan yang terdapat dalam tubuh jenazah dapat memberikan

efek terhadap kecepatan perkembangan serangga yang ada pada jenazah, sebagai

contoh obat dan racun seperti morfin, heroin, opiate, kokain, barbiturate,

clomipramine, amitriptyline, nortriptyline, levomepromezine dan tiroidazine,

diazepam, hydrocortisone, sodium methotexital, methadone, methamphetamine,

phencyclidine dan malathion merupakan yang umumnya terdapat pada kasus

dimana entomologi forensik digunakan. Siklus hidup normal dari lalat

ditunjukkan pada table 1.

Teknik yang umum digunakan untuk deteksi sampel

Pada obat-obatan yang terkait dengan kematian, gas chromatography dan

mass spectrometry dapat digunakan pada larva lalat untuk melihat apakah adanya

phencyclidine, kokain, heroin, amitriptyline, dan methamphetamine. Obat-obatan

15
seperti amitriptyline dan nortriptyline dapat juga dideteksi dengan melakukan

ekstrak material dari wadah lalat dan kumbang. Determinasi selektif adanya

morfin pada larva Calliphora stygia (Fabricius) (Diptera: Calliphoridae)

menggunakan deteksi acidic potassium permanganate chemiluminescence

ditambah analisis arah injeksi dan High-Performance Liquid Chromatography

(HPLC). Keberadaan amitriptyline dan nortriptyline dapat dideteksi pada larva

dari semua koloni yang terdapat pada jaringan dari kelinci yang mendapatkan

amitriptyline menggunakan High-Performance Liquid Chromatography (HPLC).

Larva Calliphora vicina dapat dipelihara pada makanan artificial dengan

konsentrasi pada amitriptyline dan nortriptyline, sendiri-sendiri atau dikombinasi,

ditemukan dalam beberapa stadium perkembangan dan dianalisis pada konten

obat oleh High-Performance Liquid Chromatography (HPLC) dan gas

chromatography-mass spectrometry (GC-MS). Keberadaan amitriptyline dan

nortriptyline dapat dideteksi pada larva dari koloni yang ada di jaringan pada

kelinci yang mendapat amitriptyline menggunakan High-Performance Liquid

Chromatography (HPLC).

Faktor Komplikasi terhadap Penentuan Interval Post Mortem (PMI)

Salah satu kerugian penggunaan entomologi forensik adalah tingkat

pertumbuhan belatung dipengaruhi oleh perubahan suhu, lokasi geografis, yang

dapat mengubah perkembangan, paparan sinar matahari, musim, kelembapan,

paparan hujan, dan lain sebagainya. Suhu merupakan faktor yang paling penting

dalam penggunaan metode ini, karena lalat tidak dapat bertelur dibawah 40

derajat. Faktor lain yang menyulitkan adalah keberadaan zat asing dalam tubuh

16
yang membusuk seperti obat-obatan dan racun dapat mempengaruhi tingkat

pertumbuhan belatung. arkoba dan racun; Kokain mempercepat perkembangan,

heroin turun, Methamphetamine mempercepat perkembangan tetapi sangat

meningkatkan kematian belatung.

Efek Obat-obatan pada tingkat Pertumbuhan Serangga

Lalat adalah serangga yang paling sering digunakan di Entomotoxicology.

Beberapa efek obat pada lalat ini tergantung pada konsentrasi obat serta

keberadaan obat. Obat-obatan dapat memiliki berbagai efek pada tingkat

perkembangan lalat. Zat seperti Kokain, Heroin, Morfin, metamfetamin, Metilena

Dioxymethamphetamine, Triazolam, Oxazepam, Chloripriamine, Barbiturat,

Malathion, Nortriptyline dan Amitryptiline, dan Parasetamol biasanya ditemukan

dalam kasus di mana Entomotoxicology forensik digunakan.

Berbagai penelitian telah menunjukkan bahwa penggunaan obat dan racun

pada ante mortem mempengaruhi tingkat perkembangan belatung, bermanifestasi

ke dalam estimasi PMI yang tidak akurat berdasarkan pada perkembangan

serangga. Kesalahan hingga 29 jam dapat terjadi pada perkiraan interval post

mortem (PMI) jaringan yang mengandung heroin berdasarkan perkembangan

Boettcherisca peregrina. Hasil serupa dilaporkan untuk methamphetamine dan

amitryptiline. Kesalahan hingga 24 jam dapat terjadi pada perkiraan dengan

heroin pada Lucilia Sericata.

Kokain dan metamfetamin mempercepat laju perkembangan lalat. Kokain

menyebabkan larva berkembang lebih cepat 36 hingga 76 jam setelah menetas.

Disisi lain jumlah metamfetamin, mempengaruhi tingkat perkembangan pupa.

17
Dosis lethal metamfetamin yang mematikan akan meningkatkan pengembangan

larva pada dua hari pertama dan setelah itu laju akan turun walaupun paparan

tetap pada dosis mematikan. Pada pemeriksaan lebih lanjut efek heroin terhadap

perkembangan lalat terbukti mempercepat pertumbuhan larva dan kemudian

menurunkan tingkat perkembangan pada tahap kepompong. Perbedaan yang

diamati cukup untuk mengubah perkiraan interval postmortem (PMI) berdasarkan

perkembangan larva hingga 29 jam dan perkiraan berdasarkan perkembangan

pupa mulai 18 hingga 38 jam.

Barbiturat ditemukan dapat memperpanjang tahap larva pada lalat, yang

pada akhirnya akan menyebabkan peningkatan waktu yang dibutuhkan untuk

mencapai tahap pupa. Perkembangan larva lalat sedikit dipengaruhi oleh

parasetamol jika ada dalam bahan makanan terutama selama 24 hari

perkembangan. Larva Chrysomya Megacephala dari kelompok kontrol

berkembang lebih cepat daripada larva yang memakan jaringan yang mengandung

Malathion. Waktu yang dibutuhkan untuk berkembang jadi lalat dewasa pada

kelompok dengan Malathion 10 hari, sedangkan pada kelompok kontrol 7 hari.

18
Keberadaan dari Malathion pada karkas menunda permulaan oviposisi hari 1

hingga 3 dan memperpanjang periode pupa hingga 2 sampai 3 hari. Melalui

analisis pada kasus yang spesifik, dapat terungkap bahwa adanya rracun pada

tubuh seseorang setelah kematian dapat membantu estimasi PMI. Adanya

organofosfat pada malathion pada sistem tubuh manusia menunda oviposisi

selama beberapa hari.

DISKUSI DAN KESIMPULAN

Ulasan dari penulis ini bertujuan utama untuk mengarahkan peneliti dan

investigator di bidang ilmu forensik yang mana entomotoksikologi melibatkan

19
ilmu tentang efek obat dan racun pada fase pertumbuhan dan perkembangan

serangga yang harus digunakan secara serius dan lebih sering pada saat investigasi

forensik di tempat kejadian perkara dengan tujuan untuk mendapatkan perkiraan

waktu kematian yang akurat terutama dari tubuh yang membusuk. PMI

definisikan sebagai waktu dari kematian hingga ditemukannya jenazah. Hal ini

yang paling sering digunakan untuk bukti entomologis dari investigasi kriminal.

Barbiturat diketahui untuk memperpanjang stadium larva pada lalat, yang

mana pada akhirnya akan menyebabkan peningkatan waktu untuk mencapai

stadium pupa. Morfin dan heroin dipercaya dapat memperlambat perkembangan

lalat (Calliphora stygia, Protophormia terraenovae dan Calliphora vicina

(Diptera: Calliphoridae), Lucilia Sericata (Diptera: Calliphoridae). Penelitian

pada Lucilia Sericata (Diptera: Calliphoridae), dipelihara pada konsentrasi yang

bervariasi dari daging yang diinjeksikan morfin, ditemukan konsentrasi yang lebih

tinggi pada shed pupal casings dibandingkan pada stadium yang dewasa. Sadler et

al dapat mendeteksi trimipramine, trazodone, dan temazepam, pada larva dari

Calliphora vicina, namun tidak dapat mendeteksi obat-obat tersebut pada pupa.

Kokain dan methamfetamin juga mengakselerasi perkembangan pada lalat

(Parasarcophaga ruficornis (Diptera: Sarcophagidae). Beberapa efek bergantung

pada konsentrasi dari racun sedangkan yang lain bergantung pada ada atau

tidaknya. Selain penelitian tentang Chrysomya Megacephala dan blowflies

(Diptera: Calliphoridae) dan Calliphora vicina, Malathion ditemukan secara

nyata dapat meningkatkan keseluruhan dari waktu perkembangan dari stadium

telur hingga dewasa. Penelitian ini membuktikan bahwa entomologi forensik

harus mempertimbangkan setiap variabel yang memengaruhi waktu normal pada

20
perkembangan siklus hidup serangga dengan tujuan untuk memberikan estimasi

yang akurat dari PMI.

Terdapat dua cara utama untuk mengestimasi PMI pada manusia

menggunakan pendekatan entomologi. Serangga pada spesies arthropoda

ditemukan pada tubuh merupakan salah satu metode untuk menentukan Post

Mortem Interval (PMI). Serangga muncul saat pembusukan dapat diprediksi, hal

ini juga bergantung dari stadium pembusukan [35,36]. Metode lain memanfaatkan

derajat dari perkembangan belatung dewasa di jenazah, dari salah satu metode ini

dapat menentuan perkiraan terdekat untuk waktu kematian. Serangga sering

bertelur dalam jangka waktu menit hingga jam setelah kematian [37], hal itu

membutuhkan penelitian yang lebih lanjut. Penggunaan pada pendekatan-

pendekatan tersebut juga bergantung pada faktor-faktor lain seperti uaca, iklim,

dan lokasi jenazah serta pengobatan pada jenazah. Selanjutnya, hasil dari metode

tersebut dipengaruhi faktor seperti kelembapan, temperatur, dan ada tidaknya

pakaian, dilakukan penguburan atau tidak dan dalamnya penguburan [38].

Durasi dari proses pembusukan bergantung pada kondisi iklim dan

perubahan temperatur tahunan. Jenazah pada saat musim panas dan musim hujan

akan lebih cepat membusuk dibandingkan pada musim dingin dan musim semi.

Temperatur yang hangat pada musim panas akan mempercepat pembusukan,

namun pada temperatur yang redah saat musim dingin akan menurunkan waktu

pembusukan dengan cara memperlambat perkembangan dipterous larvae.

Temperatur yang lebih tinggi pada jenazah akan memengaruhi aktivitas belatung

yang juga akan mengakibatkan pembusukan yang lebih cepat. Chrysomya

megacephala dan Chrysomya rufifacies yang dapat ditemukan di sepanjang tahun.

21
Berbagai masalah yang dialami memengaruhi dari perkiraan PMI berdasarkan

pendekatan entomologi.

Ulasan dari penulis ini bertujuan utama untuk mengarahkan peneliti dan

investigator di bidang ilmu forensik yang mana entomotoksikologi melibatkan

ilmu tentang efek obat dan racun pada fase pertumbuhan dan perkembangan

serangga yang harus digunakan secara serius dan lebih sering pada saat investigasi

forensik di tempat kejadian perkara dengan tujuan untuk mendapatkan perkiraan

waktu kematian yang akurat terutama dari tubuh yang membusuk.

Penelitian lain pada bidang entomotoksikologi forensik dapat juga

membantu untuk menghasilkan kepentingan. Kemudian, entomotoksikologi akan

lebih diterima secara luas untuk bukti di persidangan. Penelitian ini

mendemonstrasikan lagi tentang pentingnya dan perlunya untuk

mempertimbangkan kemungkinan efek dari obat pada jaringan di pertumbuhan

serangga ketika mengestimasi PMI menggunakan teknik entomologi.

22
Referensi
1. Goff ML, Lord WD (2001) Entomotoxicology. In, Forensic Entomology: The Utility of Arthropods in Legal Investigations. Byrd, J.H. and
Castner, J.L., Eds. CRC Press, Boca Raton.
2. Erzinclioglu YZ (1983) The Application of Entomology to Forensic Medicine. Medical Science and Law 23: 57-63.
3. Nolte KB, Pinder RD, Lord WD (1992) Insect larvae used to detect cocaine poisoning in a decomposed body. J Forensic Sci. 37: 1179-
1185.
4. Goff ML, Lord WD (1994) Entomotoxicology. A new area for forensic investigation. Am J Forensic Med Pathol 15: 51-57.
5. Campobasso CP, Disney RHL, Introna FA (2004) Case of Megaselia scalaris (Diptera: Phoridae) Breeding in Human Corpse. Aggarwal’s
Internet Journal of Forensic Medicine and Toxicology 5: 3-5.
6. Campobasso CP, Gherardi M, Caligara M, Sironi L, et al. (2004) Drug analysis in blowfly larvae and in human tissues: a comparative
study. Int J Legal Med 118: 210-214.
7. Tracqui A, Keyser-Tracqui C, Kintz P, Ludes B (2004) Entomotoxicology for the forensic toxicologist: much ado about nothing? Int J
Legal Med 118: 194-196.
8. Nuorteva P (1977) Sarcosaprophagous Insects as Forensic Indicators. In: Forensic Medicine, a Study in Trauma and Environmental
Hazards, Vol. II: Physical Trauma, Tedeschi CG, Eckert WG and Tedeschi LG, Eds., Saunders, Philadelphia. 3: 1072-1095.
9. Introna F Jr, Lo Dico C, Caplan YH, Smialek JE (1990) Opiate analysis in cadaveric blowfly larvae as an indicator of narcotic
intoxication. J Forensic Sci 35: 118-122.
10. Sadler DW, Chuter G, Seneveratne C, Pounder DJ (1997) Barbiturates and analgesics in Calliphora vicina larvae. J Forensic Sci 42: 481-
485.
11. Sadler DW, Chuter G, Senevematne C, Pounder DJ (1997) Barbiturates and analgesics in Calliphora vicina larvae. J Forensic Sci 42:
1241-1215.
12. Goff ML, Miller ML, Paulson JD, Lord WD, Richards E, et al. (1997) Effects of 3,4-methylenedioxymethamphetamine in decomposing
tissues on the development of Parasarcophaga ruficornis (Diptera:Sarcophagidae) and detection of the drug in postmortem blood, liver
tissue, larvae, and puparia. J. Forensic Sci. 42: 276–280.
13. Goff ML, Miller ML, Paulson JD, Lord WD, Richards E, et al. (1997) Effects of 3,4-methelenedioxymethamphetamine in decomposing
tissues on the development of Parasarcophaga ruficornis (Diptera: Sarcophagidae) and detection of the drug in postmortem blood, liver
tissue, larvae and pupae. J Forensic Sci. 42: 1212-1213.
14. Hédouin V, Bourel B, Bécart A, Tournel G, Deveaux M, et al. (2001) Determination of drug levels in larvae of Protophormia terraenovae
and Calliphora vicina (Diptera: Calliphoridae) reared on rabbit carcasses containing morphine. J. Forensic Sci. 46: 12-14.
15. Pien K, Laloup M, Pipeleers-Marichal M, Grootaert P, De Boeck G, et al. (2004) Toxicological data and growth characteristics of single
post-feeding larvae and puparia of Calliphora vicina (Diptera: Calliphoridae) obtained from a controlled nordiazepam study.. Int J Legal
Med. 118: 190-193.
16. Goff ML, Omori AI, Goodbrod JR (1989) Effect of cocaine in tissues on the development rate of Boettcherisca peregrina (Diptera:
Sarcophagidae). J Med Entomol 26: 91-93.
17. Goff ML, Brown WA, Hewadikaram KA, Omori AI (1991) Effect of heroin in decomposing tissues on the development rate of
Boettcherisca peregrina (Diptera, Sarcophagidae) and implications of this effect on estimation of postmortem intervals using arthropod
development patterns. J Forensic Sci. 36: 537-542.
18. Goff ML, Brown WA, Omori AI (1992) Preliminary observations of the effect of methamphetamine in decomposing tissues on the
development rate of Parasarcophaga ruficornis (Diptera: Sarcophagidae) and implications of this effect on the estimations of postmortem
intervals. J Forensic Sci. 37: 867-872.
19. Goff ML, Brown WA, Omori AI, Lapointe DA (1993) Preliminary observations of the effects of amitriptyline in decomposing tissues on
the development of Parasarcophaga ruficornis (Diptera: Sarcophagidae) and implications of this effect to estimation of postmortem
interval. J Forensic Sci. 38: 316-322.
20. Goff ML, Brown WA, Omori AI, Lapointe DA (1994) Preliminary observations of the effects of phencyclidine in decomposing tissues
on the development of Para-Sarcophaga ruficornis (Diptera: Sarcophagidae). J Forensic Sci. 39: 123- 128.
21. O’Brien C, Turner B (2004) Impact of paracetamol on Calliphora vicina larval development. Int J Legal Med. 2004; 118: 188-189.
22. Bourel B, Fleurisse L, Hedouin V, Cailliez JC, Creusy C, et al. (2001) Immuno-histochemical contribution to the study of morphine
metabolism in Calliphoridae larvae and implications in forensic Entomotoxicology. J Forensic Sci. 46: 596- 599.
23. Bourel B, Tournel G, Hedouin V, Deveaux M, Goff ML, et al. (2001) Morphine extraction in necrophagous insects remains for
determining ante-mortem opiate intoxication. Forensic Sci Int. 120: 127-131.
24. Carvalho LML, Thyssen PJ, Goff ML, Linhares AX (2004) Observations on the Succession Patterns of Necrophagous Insects on a Pig
Carcass in an Urban Area of South Eastern Brazil. Aggarwal’s Internet Journal of Forensic Medicine and Toxicology 5: 33-39.
25. Musvasva E, Williams KA, Muller WJ, Villet MH (2001) Preliminary observations on the effects of hydrocortisone and sodium
methohexital on development of Sarcophaga (Curranea) tibialis Mac quart (Diptera: Sarcophagidae), and implications for estimating post
mortem interval. Forensic Sci Int. 120: 37-41.

23
26. Behonick GS, Massello W, Kuhlman JJ, Jr, Saady J (2003) A tale of two drugs in Southwestern Virginia: oxycodone and methadone.
Proceedings American Academy of Forensic Sciences, 20: 312-313, Chicago, IL., February 2003.
27. Goff ML, Brown WA, Omori AI (1992) Preliminary Observations of the Effect of Methamphetamine in Decomposing Tissues on the
Development Rate of Parasarcophaga ruficornis (Diptera: Sarcophagidae) And Implications of This Effect on the Estimations of Post
Mortem Intervals. J Forensic Sci. 37: 867-872.
28. Goff ML, Brown WA, Omori AI, LaPointe DA (1994) Preliminary observations of the effects of phencyclidine in decomposing tissues
on the development of Parasarcophaga ruficornis (Diptera: Sarcophagidae). J Forensic Sci. 39: 123- 128.
29. Gunatilake K, Goff ML (1989) Detection of Organophosphate Poisoning In a Putrefying Body by Analyzing Arthropod Larvae. J
Forensic Sci. 34: 714-716.
30. Miller ML, Lord WD, Goff ML, Donnelly B, McDonough ET, et al. (1994) I Isolation of Amitriptyline and Nortriptyline From Fly
Puparia (Phoridae) and Beetle Exuviae (Dermestidae) Associated With Mummified Human Remains. Journal of Forensic Sciences, 39:
1305-1313.
31. Gagliano-Candela R, Aventaggiato L (2001) The detection of toxic substances in entomological specimens. Int J Legal Med. 114: 197-
203.
32. Hogan D (1999) “Nature’s Detectives,” Current Science, p. 83.
33. Schoenly K, Goff ML, Wells JD, Lord WD (1996) Quantifying statistical uncertainty in succession-based entomological estimates of the
postmortem interval in death scene investigations: A simulation study. American Entomologist 42: 106-112.
34. Schoenly K, Reid W (1987) Dynamics of heterotrophic succession in carrion arthropod assemblages: discrete seres or a continuum of
change?. Oecologia 73: 192-202.
35. Reed HB Jr. (1958) A Study of Dog Carcass Communities in Tennessee, with Special Reference to the Insects. American Midland
Naturalist 59: 213-245.
36. Payne JA (1965) A Summer Carrion Study of the Baby Pig Sus scrofa Linnaeus. Ecology 46: 592-602.
37. Catts EP, Goff ML (1992) Forensic Entomology in Criminal Investigations. Annual Review of Entomology 37: 253-272.
38. Buchan MJ, Anderson GS (2001) Time Since Death: A Review of the Current Status of Methods Used in the Later Postmortem Interval.
Can. Soc. Forensic Sci. J. 34: 1-22.

24
BAB 3

TELAAH JURNAL

1. Judul Artikel Jurnal

Assessment of Post Mortem Interval (PMI), from Forensic

Entomotoxicological Studies of Larvae and Flies (Penilaian Interval Post

Mortem dari Studi Entomotoksilogical Forensik pada Larva dan Lalat)

2. Bidang Ilmu Pengetahuan

Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal, cabang entomotoksikologi

Forensik.

3. Gambaran Umum

a. Latar Belakang

Entomotoksikologi forensik adalah ilmu yang mempelajari tentang

perkembangan serangga dan kandungan racun atau obat-obatan yang

berhubungan dengan penentuan saat kematian (Post Mortem Interval).

Ilmu ini merupakan alternatif yang digunakan apabila tidak dapat

menentukan saat kematian dengan metode lain, seperti pada rigor mortis,

livor mortis, argor mortis.

b. Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui penerapan ilmu

entomotoksikologi pada tubuh jenazah yang berkaitan dengan untuk

mengetahui estimasi waktu kematian, interval dekomposisi. Adapun

kegunaan lainnya yaitu menentukan tempat terjadinya kematian, penyebab

kematian atau deteksi trauma ante mortem.

c. Tempat

25
Amity Institute of Forensic Sciences, Uttar Pradesh, India

d. Sampel

Tidak dicantumkan

e. Waktu

Tidak dicantumkan

f. Metode Penelitian

Tidak dicantumkan

4. Telaah Kritis

a. Judul

Judul dari penelitian ini sudah cukup baik karena peneliti sudah

menggunakan bahasa yang mudah dimengerti oleh masyarakat.

b. Latar belakang

Latar belakang pada penelitian ini sudah cukup bagus karena berkaitan

dengan dilakukannya penelitian. Dimana peneliti memaparkan bahwa

ilmu entomotoksikologi forensik sangat bermanfaat terutama jika

jenazah yang ditemukan hanya sebagian atau sudah mengalami proses

pembusukan (dekompos, ilmu tersebut nantinya akan membantu dalam

mennetukan estimasi waktu kematian (Post Mortem Interval) bahkan

sebab kematian (bila keracunan suatu obat-obatan atau racun).

Kekurangan dari latar belakang ini adalah penulis tidak menjelaskan

data-data dari penelitian yang sebelumnya yang digunakan sebagai

dasar penelitian ini

26
c. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini sudah baik karena peneliti sudah

memaparkan secara jelas tujuan penelitian ini menginvestigasi efek

yang terjadi pada penggunaan obat terhadap kecepatan pertumbuhan

dari serangga. Yang dapat digunakan oleh entomologis pada

entomologi forensik untuk memperkirakan estimasi Interval Post

Mortem atau penyebab kematian pada tubuh orang yang meninggal.

d. Metode Penelitian

Pada jurnal tersebut metode sampling, jumlah sample yang diambil,

metode penelitian, dan uji penelitian tidak dicantumkan, sehingga

menurut kami :

 Metode sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah

metode random sampling, karena sampel yang digunakan jenazah

yang ada dan mengambil serangga yang terdapat pada jenazah.

 Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah

cohort..

 Uji yang digunakan dalam penelitian ini uji Spearman.

e. Hasil Penelitian

Terdapat dua cara utama untuk mengestimasi PMI pada manusia

menggunakan pendekatan entomologi. Metode yang pertama, serangga

muncul saat pembusukan mulai terjadi, sedangkan metode lain

memanfaatkan derajat dari perkembangan belatung dewasa di jenazah.

Dari salah satu metode ini dapat menentuan perkiraan terdekat untuk

waktu kematian. Selanjutnya, hasil dari metode tersebut dipengaruhi

27
faktor seperti kelembapan, temperatur, dan ada tidaknya pakaian,

dilakukan penguburan atau tidak dan dalamnya penguburan.

Selain itu kandungan obat-obatan juga mempengaruhi tingkat

pertumbuhan serangga itu sendiri yang dapat membantu

memperkirakan waktu serta sebab dari kematian.

Kandungan Obat Pengaruh terhadap Serangga

Kokain Perkembangan larva lebih cepat

Metamfetamin Meningkatkan perkembangan larva

Heroin Mempercepat pertumbuhan larva

Barbiturat Memperpanjang tahap larva

Paracetamol Perkembangan larva sedikit lebih cepat

f. Pembahasan

Dalam bagian pembahasan, peneliti menyebutkan bahwa senyawa atau

zat-zat yang ada pada tubuh jenazah akan memengaruhi rentang waktu

perkembangan pada setiap stadium lalat, serta bergantung juga pada

faktor-faktor lain seperti cuaca, iklim, lokasi jenazah, riwayat pengobatan

pada jenazah, kelembapan, temperatur, ada tidaknya pakaian, dilakukan

penguburan atau tidak, serta dalamnya penguburan. Namun peneliti tidak

menyebutkan penyebab serta mekanisme terjadinya perbedaan rentang

waktu antar zat-zat tersebut, sehingga peneliti menyadari bahwa

diperlukan penelitian lebih lanjut agar entomotoksikologi dapat menjadi

metode yang lebih akurat untuk menentukan saat kematian.

28
g. Kesimpulan

Kesimpulan pada jurnal ini sudah baik karena peneliti menyebutkan

bahwa entomotoksikologi melibatkan ilmu tentang efek obat dan racun

pada fase pertumbuhan dan perkembangan serangga. Dengan adanya

penelitian pada ilmu ini, diharapkan perkiraan waktu kematian dapat

ditentukan lebih akurat terutama pada tubuh jenazah yang telah

membusuk. Dan harapan peneliti bahwa entomotoksikologi dapat

digunakan secara luas di lapangan.

29
DAFTAR PUSTAKA

Amendt J., et al, 2011, Forensic Entomology: Applications and Limitations,

Spinger Science

Byrd J., Michelle P.,2012, Entomotoxicology: Drugs, Toxins, and Insects,

Forensic Chemistry Handbook First Edition, Published by John Wiley and

Sons

FSE 07. 2007. Forensic Entomology : Use of Insects to Help Solve Crime. In :

Forensic Investigation. Australia. Australian School Innovation In Science

Technology and Mathematics; p 1-8.

Goff, M. L. 1996. A Fly for the Prosecution: How Insect Evidence Helps Solve

Crimes.

Gosselin M., et al, 2011, Entolotoxicology, Experimental Set-up and

Interpretation for Forensic Toxicologist, Forensic Science International,

Elsevier

Grassberger, M. Relter C. 2004. Forensic Entomology : Post-Mortem

Interval(PMI) Estimation Using Insect Development Data. Institute of

Forensic Medicine University of Vienna; [online]. Diakses pada 12

September 2018. Available from : http://www.univle.ac.at

Jason, H. B. 2012. Forensic Entomology : Insects in Legal Investigation [online].

Diakses pada 12 September 2018. Available from

:http:///www.forensicentomology.com.

30
Murthy, V., Mohanty M., 2001, Entomotoxicology: A Review, Dept. Of Forensic

Medicine and Toxicology

31

Anda mungkin juga menyukai