Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
LANDASAN TEORI
1. Famili Lalat
2. Famili Kumbang
2.2. Famili Dermestidae: Skin Beetles, Leather Beetles, Hide Beetles, Carpet
1
2.7. Famili Scarabaeidae: Scarab Beetles
tahapan waktu dari mulai meninggalnya korban. Ibaratnya jam yang dapat dilacak
dan diketahui, kapan titik nolnya. Dengan begitu perkiraan waktu kematian dapat
ditegakkan dengan akurat, dalam kisaran ketepatan beberapa jam. Dua jenis
serangga yang pertama mendatangi mayat adalah blow flies (Calliphoridae) dan
Blow flies mendatangi mayat dengan hanya melalui bau walaupun dari
jarak jauh sekitar beberapa menit sehingga beberapa jam setelah kematian.
Tetapi blow flies tidak mendatangi mayat yang sudah mengalami mumifikasi
dan pengeringan. Blow flies pada tahap awal, sekitar 23 jam, telur menetas
menjadi larva berupa belatung yang kerjanya hanya makan. Sekitar 27 jam
kemudian, belatung memasuki tahapan kedua dan mulai menyiapkan diri untuk
sudah berumur sekitar 500 jam. Jadi, jika dalam penelitian ditemukan belatung
2
pada fase akhir tahap ketiga misalnya, berarti korban sudah meninggal sekitar
160 jam atau sekitar seminggu. Dengan mengetahui identitas lainnya dari
korban, maka dapat dilacak dimana seminggu lalu terakhir kali korban berada,
bersama siapa atau melakukan apa. Jika semua daging pada mayat telah
forensik masih dapat dilakukan. Para pakar mengatakan, semua proses kegiatan
kepompong dan kulit luar lainnya. Dengan meneliti sisa-sisa serangga tadi,
para pakar entomologi forensik masih dapat menentukan umur kerangka yang
bersangkutan.
3
Gambar 2. Siklus hidup lalat
Tabel 2. Siklus Hidup lalat mayat (Black carrion fly) dari telur hingga menjadi
lalat dewasa
awal akhir
dan anus
4
dengan 5.47 mm
ukuran 14.8 mm
Serangga yang hinggap pada suatu mayat memiliki rangkaian urutan yang
forensik bekerja pada suatu badan investigasi dan bertugas dalam menentukan
waktu kematian seseorang yang dikenal sebagai Post Mortem Interval (PMI).
(suhu), paparan sinar matahari, apakah tubuh mayat ditemukan di dalam ruangan,
tergantung atau terbakar juga mempengaruhi faunal succesion (FSE 07, 2007).
Perkiraan saat kematian dalam suatu kasus forensik adalah hal yang
dilakukan dengan satu metode saja, gabungan dari dua atau lebih metode akan
memberikan hasil perkiraan yang lebih akurat dengan rentang bias yang lebih
5
kecil. Beberapa metode yang lazim digunakan dalam membuat perkiraan saat
kematian adalah pengukuran penurunan suhu tubuh, interpretasi lebam dan kaku
kematian dan menentukan apakah jaringan tubuh atau mayat telah dipindah dari
tubuh mayat; kedua kelompok predator dan parasit, yang memakan serangga
memakan baik jaringan tubuh mayat maupun serangga yang lain. Dari tiga
kelompok ini, kelompok spesies nekrofagus adalah kelompok spesies yang paling
waktu dan spesies dari serangga, serangga dapat mendatangi, makan dan
tubuh mayat, dan berapa banyak jenis serangga serta berapa generasi serangga
6
pada luka terbuka. Kecenderungan ini kemudian akan mengakibatkan berubahnya
bentuk luka atau bahkan hancurnya daerah sekitar luka. Telur lalat umumnya
terdeposit pada mayat segera setelah kematian pada siang hari. Bila mayat tidak
dipindahkan dan hanya telur yang ditemukan pada mayat, maka dapat
diasumsikan bahwa waktu kematian berkisar antara satu sampai dua hari. Angka
ini sedikit bervariasi, tergantung pada suhu, kelembaban dan spesies lalat. Setelah
menetas, larva berkembang lebih besar hingga akhirnya mencapai tahap pulpa.
Tahap ini dapat memakan waktu 6 sampai 10 hari pada kondisi tropis biasa. Lalat
dewasa keluar dari pupa setelah 12 sampai 18 hari. Dalam perkembangannya dari
lengkap, tetapi ada pula yang menjalani metamorfosis tidak lengkap. Pada
metamorfosis tidak lengkap, versi kecil dari serangga dewasa menetas dari telur.
Serangga kecil ini secara bertahap matang menjadi bentuk dewasa. Pada
metamorfosis lengkap, serangga menetas dari telur sebagai larva yang memiliki
bentuk yang amat berbeda dengan bentuk dewasanya. Setelah beberapa waktu,
larva memasuki fase istirahat, yang disebut pupa. Dari pupa akan keluar sebagai
(DiMaio,2002).
Jadi, larva akan meletakkan telur pada jenazah yang sudah membusuk.
membutuhkan waktu minimal 8jam. Totalnya adalah 26 jam. Oleh sebab itu
mengapa saat kematian korban ditambahkan 1 hari dari umur larva yang
ditemukan.
7
1.3 TAHAPAN PEMBUSUKAN
Pada setiap tahap dekomposisi atau pembusukan bangkai juga akan diikuti oleh
Pada tahap ini merupakan tahap utama suatu pembusukan atau putrifikasi. Gas
mulai diproduksi sebagai suatu aktivitas metabolik dari bakteri anaerob sehingga
dalam tubuh mayat akan meningkat sepanjang tahapan ini yang disebabkan oleh
sangat tertarik pada mayat dalam tahap ini. Cairan tubuh mayat pun akan keluar
dan merembes ke dalam tanah. Cairan tubuh yang merembes tersebut akan
Pada tahap ini pembusukan dimulai dengan rusaknya struktur kulit sehingga
gas keluar dari tubuh dan mayat mulai mengempis. Selanjutnya sejumlah larva
dalam jumlah yang besar akan berkumpul dan memakan bagian tubuh mayat.
Walaupun beberapa jenis predator seperti kumbang, tawon, dan semut juga dapat
ditemui pada tahap ini. Namun kelompok necrophagous dan predator juga ditemui
8
Calliphoridae dan Sarcophagidae telah menyelesaikan tahap perkembangannya
dan berubah menjadi pupa. Sedangkan larva Dipteran akan menghilang dari
Pada tahap ini pembusukan dimulai dengan rusaknya struktur kulit, tulang
jenis Coleoptera berkumpul dan bertambah banyak pada tahap ini. Hal ini pun
Tahap ini terjadi apabila yang tinggal pada tubuh mayat hanya tulang dan
rambut. Tak ada lagi sisa bangkai. Sedangkan yang ditemukan untuk
memperkirakan Post Mortem Interval pada tahap ini adalah kelompok Acarine
atau kutu.
1.4 ENTOMOTOKSIKOLOGI
menjadi sampel alternatif untuk mendeteksi obat-obatan dan racun pada tubuh
jenazah. Larva dan pupa lalat dapat ditemukan di tubuh jenazah yang mulai
membusuk dan dapat dijadikan sampel untuk analisis toksikologi ketika darah,
parah, pada kasus exhumatio, embalming, dan kebakaran, dimana jaringan untuk
pengambilan toksikologi (seperti ginjal, otak, liver, jantung, darah, lambung dan
lain-lain) sudah tidak ada baik karena degradasi karena pembusukan atau
9
penyebab lain maka dapat digunakan alternatif yaitu entomotoksikologi. Ketika
jenazah diawetkan atau diembalming, jaringan akan awet namun darah dan urin
dapat dideteksi dari belatung yang ada di jenazah. Seperti, opiate, morfin, kodein,
benzodiazepin, steroid, barbiturat, dan parasetamol. Obat dan racun juga dapat
beberapa faktor, yaitu cuaca, iklim, lokasi ditemukan jenazah, dan riwayat
Obat dan racun dapat dideteksi pada larva namun belum diketahui
mekanisme dari akumulasi obat tersebut dalam larva. Farmakokinetik obat pada
10
Tabel Zat yang Terdeteksi pada Tiap Fase Perkembangan Serangga
(Gosselin, 2011)
11
Pada stadium larva, ketika sudah mencapai ukuran maksimal, larva akan
berhenti makan, dan menjauh dari sumber makanan serta mencari tempat untuk
menjadi pupa atau kepompong. Perbedaan konsentrasi zat dapat diobservasi pada
larva. Konsentrasi zat pada pupa akan lebih rendah dibandingkan dengan larva
(Gosselin, 2011).
(Muscidae) adalah spesies lalat yang penting untuk entomologi forensik. Spesies-
spesies ini merupakan yang paling sering muncul dan berkolonisasi pada jenazah
(Byrd, 2012).
Pada larva yang dalam fase makan, obat akan diabsorbsi melalu midgut
dan didistibusikan keseluruh tubuh larva. Obat atau zat akan di ekskresikan
melalui gut atau dari tubulus malphighi setelah dimetabolisme. Sedangkan pada
stadium pupa, tubulus malphighi akan terdegradasi sehingga eksresi melalu gut
12
BAB 2
Journal Translate
Diterbitkan : 2013
Abstrak
Penelitian saat ini yang meliputi efek pemberian obat terhadap perkembangan
lalat juga memungkinkan estimasi waktu yang lebih baik pada Interval Post
Mortem atau penyebab kematian. Specimen serangga yang didapatkan pada tubuh
minimal Interval Post Mortem atau penyebab kematian. Obat yang terdapat dalam
tubuh jenazah dapat mempengaruhi jumlah atau rasio serangga yang berkembang
serangga, larva dan pupa pada kasus dimana jaringan yang dibutuhkan atau
informasi sumber lain tidak ada. Pada penelitian ini menginvestigasi efek yang
serangga. Hasil dari penelitian ini dapat digunakan oleh entomologis pada
penyebab kematian pada tubuh orang yang meninggal atau tubuh yang sudah
13
Pengenalan
terhadap perkembangan serangga yang ada pada jenazah dan ilmu ini dapat
digunakan sebagai sampel alternatif bila jaringan-jaringan yang lain tidak ada atau
hilang. Sebagian besar ilmu Entomotoksikologi Forensik terfokus pada obat yang
waktu minimal pada Interval Post Mortem. Kegunaan ilmu ini umumnya untuk
ini, terdapat beberapa cara atau metode yang tersedia untuk menentukan estimasi
Interval Post Mortem. Entomologi forensik merupakan jenis metode yang baik
dalam menentukan waktu sejak kematian dalam Interval Post Mortem. Dalam
benda yang sering digunakan untuk menentukan seberapa lama waktu sejak
kematian, atau interval post mortem. Pada saat ini, terdapat 2 pendekatan yang
serangga, dan penggunaan yang lain tergantung dari seberapa banyak terjadi
14
dekomposisi pada tubuh jenazah saat ditemukan oleh manusia. Metode yang
pertama yaitu melakukan analisis pada bentuk kolonisasi pada bangkai oleh
serangga yang berkembang biak disitu dan arthropoda lainnya. Metode kedua
bergantung pada perkembangan lalat yang belum matang yang terkumpul pada
bangkai sesaat setelah mati. Kegunaan dari masing-masing metode tadi juga akan
ditentukan dari factor-faktor lain seperti musim, iklim dan lokasi ditemukannya
Lebih jauh lagi, serangga mungkin menjadi spesies alternatif yang penting
untuk analisis toksikologi dalam kasus dimana sampel manusia tidak tersedia
untuk tujuan ini. Beberapa publikasi telah menjelaskan deteksi racun dan
yang berbeda. Obat-obatan yang terdapat dalam tubuh jenazah dapat memberikan
efek terhadap kecepatan perkembangan serangga yang ada pada jenazah, sebagai
contoh obat dan racun seperti morfin, heroin, opiate, kokain, barbiturate,
mass spectrometry dapat digunakan pada larva lalat untuk melihat apakah adanya
15
seperti amitriptyline dan nortriptyline dapat juga dideteksi dengan melakukan
ekstrak material dari wadah lalat dan kumbang. Determinasi selektif adanya
dari semua koloni yang terdapat pada jaringan dari kelinci yang mendapatkan
nortriptyline dapat dideteksi pada larva dari koloni yang ada di jaringan pada
Chromatography (HPLC).
paparan hujan, dan lain sebagainya. Suhu merupakan faktor yang paling penting
dalam penggunaan metode ini, karena lalat tidak dapat bertelur dibawah 40
derajat. Faktor lain yang menyulitkan adalah keberadaan zat asing dalam tubuh
16
yang membusuk seperti obat-obatan dan racun dapat mempengaruhi tingkat
Beberapa efek obat pada lalat ini tergantung pada konsentrasi obat serta
serangga. Kesalahan hingga 29 jam dapat terjadi pada perkiraan interval post
17
Dosis lethal metamfetamin yang mematikan akan meningkatkan pengembangan
larva pada dua hari pertama dan setelah itu laju akan turun walaupun paparan
tetap pada dosis mematikan. Pada pemeriksaan lebih lanjut efek heroin terhadap
berkembang lebih cepat daripada larva yang memakan jaringan yang mengandung
Malathion. Waktu yang dibutuhkan untuk berkembang jadi lalat dewasa pada
18
Keberadaan dari Malathion pada karkas menunda permulaan oviposisi hari 1
analisis pada kasus yang spesifik, dapat terungkap bahwa adanya rracun pada
Ulasan dari penulis ini bertujuan utama untuk mengarahkan peneliti dan
19
ilmu tentang efek obat dan racun pada fase pertumbuhan dan perkembangan
serangga yang harus digunakan secara serius dan lebih sering pada saat investigasi
waktu kematian yang akurat terutama dari tubuh yang membusuk. PMI
definisikan sebagai waktu dari kematian hingga ditemukannya jenazah. Hal ini
yang paling sering digunakan untuk bukti entomologis dari investigasi kriminal.
bervariasi dari daging yang diinjeksikan morfin, ditemukan konsentrasi yang lebih
tinggi pada shed pupal casings dibandingkan pada stadium yang dewasa. Sadler et
Calliphora vicina, namun tidak dapat mendeteksi obat-obat tersebut pada pupa.
pada konsentrasi dari racun sedangkan yang lain bergantung pada ada atau
20
perkembangan siklus hidup serangga dengan tujuan untuk memberikan estimasi
ditemukan pada tubuh merupakan salah satu metode untuk menentukan Post
Mortem Interval (PMI). Serangga muncul saat pembusukan dapat diprediksi, hal
ini juga bergantung dari stadium pembusukan [35,36]. Metode lain memanfaatkan
derajat dari perkembangan belatung dewasa di jenazah, dari salah satu metode ini
bertelur dalam jangka waktu menit hingga jam setelah kematian [37], hal itu
pendekatan tersebut juga bergantung pada faktor-faktor lain seperti uaca, iklim,
dan lokasi jenazah serta pengobatan pada jenazah. Selanjutnya, hasil dari metode
perubahan temperatur tahunan. Jenazah pada saat musim panas dan musim hujan
akan lebih cepat membusuk dibandingkan pada musim dingin dan musim semi.
namun pada temperatur yang redah saat musim dingin akan menurunkan waktu
Temperatur yang lebih tinggi pada jenazah akan memengaruhi aktivitas belatung
21
Berbagai masalah yang dialami memengaruhi dari perkiraan PMI berdasarkan
pendekatan entomologi.
Ulasan dari penulis ini bertujuan utama untuk mengarahkan peneliti dan
ilmu tentang efek obat dan racun pada fase pertumbuhan dan perkembangan
serangga yang harus digunakan secara serius dan lebih sering pada saat investigasi
22
Referensi
1. Goff ML, Lord WD (2001) Entomotoxicology. In, Forensic Entomology: The Utility of Arthropods in Legal Investigations. Byrd, J.H. and
Castner, J.L., Eds. CRC Press, Boca Raton.
2. Erzinclioglu YZ (1983) The Application of Entomology to Forensic Medicine. Medical Science and Law 23: 57-63.
3. Nolte KB, Pinder RD, Lord WD (1992) Insect larvae used to detect cocaine poisoning in a decomposed body. J Forensic Sci. 37: 1179-
1185.
4. Goff ML, Lord WD (1994) Entomotoxicology. A new area for forensic investigation. Am J Forensic Med Pathol 15: 51-57.
5. Campobasso CP, Disney RHL, Introna FA (2004) Case of Megaselia scalaris (Diptera: Phoridae) Breeding in Human Corpse. Aggarwal’s
Internet Journal of Forensic Medicine and Toxicology 5: 3-5.
6. Campobasso CP, Gherardi M, Caligara M, Sironi L, et al. (2004) Drug analysis in blowfly larvae and in human tissues: a comparative
study. Int J Legal Med 118: 210-214.
7. Tracqui A, Keyser-Tracqui C, Kintz P, Ludes B (2004) Entomotoxicology for the forensic toxicologist: much ado about nothing? Int J
Legal Med 118: 194-196.
8. Nuorteva P (1977) Sarcosaprophagous Insects as Forensic Indicators. In: Forensic Medicine, a Study in Trauma and Environmental
Hazards, Vol. II: Physical Trauma, Tedeschi CG, Eckert WG and Tedeschi LG, Eds., Saunders, Philadelphia. 3: 1072-1095.
9. Introna F Jr, Lo Dico C, Caplan YH, Smialek JE (1990) Opiate analysis in cadaveric blowfly larvae as an indicator of narcotic
intoxication. J Forensic Sci 35: 118-122.
10. Sadler DW, Chuter G, Seneveratne C, Pounder DJ (1997) Barbiturates and analgesics in Calliphora vicina larvae. J Forensic Sci 42: 481-
485.
11. Sadler DW, Chuter G, Senevematne C, Pounder DJ (1997) Barbiturates and analgesics in Calliphora vicina larvae. J Forensic Sci 42:
1241-1215.
12. Goff ML, Miller ML, Paulson JD, Lord WD, Richards E, et al. (1997) Effects of 3,4-methylenedioxymethamphetamine in decomposing
tissues on the development of Parasarcophaga ruficornis (Diptera:Sarcophagidae) and detection of the drug in postmortem blood, liver
tissue, larvae, and puparia. J. Forensic Sci. 42: 276–280.
13. Goff ML, Miller ML, Paulson JD, Lord WD, Richards E, et al. (1997) Effects of 3,4-methelenedioxymethamphetamine in decomposing
tissues on the development of Parasarcophaga ruficornis (Diptera: Sarcophagidae) and detection of the drug in postmortem blood, liver
tissue, larvae and pupae. J Forensic Sci. 42: 1212-1213.
14. Hédouin V, Bourel B, Bécart A, Tournel G, Deveaux M, et al. (2001) Determination of drug levels in larvae of Protophormia terraenovae
and Calliphora vicina (Diptera: Calliphoridae) reared on rabbit carcasses containing morphine. J. Forensic Sci. 46: 12-14.
15. Pien K, Laloup M, Pipeleers-Marichal M, Grootaert P, De Boeck G, et al. (2004) Toxicological data and growth characteristics of single
post-feeding larvae and puparia of Calliphora vicina (Diptera: Calliphoridae) obtained from a controlled nordiazepam study.. Int J Legal
Med. 118: 190-193.
16. Goff ML, Omori AI, Goodbrod JR (1989) Effect of cocaine in tissues on the development rate of Boettcherisca peregrina (Diptera:
Sarcophagidae). J Med Entomol 26: 91-93.
17. Goff ML, Brown WA, Hewadikaram KA, Omori AI (1991) Effect of heroin in decomposing tissues on the development rate of
Boettcherisca peregrina (Diptera, Sarcophagidae) and implications of this effect on estimation of postmortem intervals using arthropod
development patterns. J Forensic Sci. 36: 537-542.
18. Goff ML, Brown WA, Omori AI (1992) Preliminary observations of the effect of methamphetamine in decomposing tissues on the
development rate of Parasarcophaga ruficornis (Diptera: Sarcophagidae) and implications of this effect on the estimations of postmortem
intervals. J Forensic Sci. 37: 867-872.
19. Goff ML, Brown WA, Omori AI, Lapointe DA (1993) Preliminary observations of the effects of amitriptyline in decomposing tissues on
the development of Parasarcophaga ruficornis (Diptera: Sarcophagidae) and implications of this effect to estimation of postmortem
interval. J Forensic Sci. 38: 316-322.
20. Goff ML, Brown WA, Omori AI, Lapointe DA (1994) Preliminary observations of the effects of phencyclidine in decomposing tissues
on the development of Para-Sarcophaga ruficornis (Diptera: Sarcophagidae). J Forensic Sci. 39: 123- 128.
21. O’Brien C, Turner B (2004) Impact of paracetamol on Calliphora vicina larval development. Int J Legal Med. 2004; 118: 188-189.
22. Bourel B, Fleurisse L, Hedouin V, Cailliez JC, Creusy C, et al. (2001) Immuno-histochemical contribution to the study of morphine
metabolism in Calliphoridae larvae and implications in forensic Entomotoxicology. J Forensic Sci. 46: 596- 599.
23. Bourel B, Tournel G, Hedouin V, Deveaux M, Goff ML, et al. (2001) Morphine extraction in necrophagous insects remains for
determining ante-mortem opiate intoxication. Forensic Sci Int. 120: 127-131.
24. Carvalho LML, Thyssen PJ, Goff ML, Linhares AX (2004) Observations on the Succession Patterns of Necrophagous Insects on a Pig
Carcass in an Urban Area of South Eastern Brazil. Aggarwal’s Internet Journal of Forensic Medicine and Toxicology 5: 33-39.
25. Musvasva E, Williams KA, Muller WJ, Villet MH (2001) Preliminary observations on the effects of hydrocortisone and sodium
methohexital on development of Sarcophaga (Curranea) tibialis Mac quart (Diptera: Sarcophagidae), and implications for estimating post
mortem interval. Forensic Sci Int. 120: 37-41.
23
26. Behonick GS, Massello W, Kuhlman JJ, Jr, Saady J (2003) A tale of two drugs in Southwestern Virginia: oxycodone and methadone.
Proceedings American Academy of Forensic Sciences, 20: 312-313, Chicago, IL., February 2003.
27. Goff ML, Brown WA, Omori AI (1992) Preliminary Observations of the Effect of Methamphetamine in Decomposing Tissues on the
Development Rate of Parasarcophaga ruficornis (Diptera: Sarcophagidae) And Implications of This Effect on the Estimations of Post
Mortem Intervals. J Forensic Sci. 37: 867-872.
28. Goff ML, Brown WA, Omori AI, LaPointe DA (1994) Preliminary observations of the effects of phencyclidine in decomposing tissues
on the development of Parasarcophaga ruficornis (Diptera: Sarcophagidae). J Forensic Sci. 39: 123- 128.
29. Gunatilake K, Goff ML (1989) Detection of Organophosphate Poisoning In a Putrefying Body by Analyzing Arthropod Larvae. J
Forensic Sci. 34: 714-716.
30. Miller ML, Lord WD, Goff ML, Donnelly B, McDonough ET, et al. (1994) I Isolation of Amitriptyline and Nortriptyline From Fly
Puparia (Phoridae) and Beetle Exuviae (Dermestidae) Associated With Mummified Human Remains. Journal of Forensic Sciences, 39:
1305-1313.
31. Gagliano-Candela R, Aventaggiato L (2001) The detection of toxic substances in entomological specimens. Int J Legal Med. 114: 197-
203.
32. Hogan D (1999) “Nature’s Detectives,” Current Science, p. 83.
33. Schoenly K, Goff ML, Wells JD, Lord WD (1996) Quantifying statistical uncertainty in succession-based entomological estimates of the
postmortem interval in death scene investigations: A simulation study. American Entomologist 42: 106-112.
34. Schoenly K, Reid W (1987) Dynamics of heterotrophic succession in carrion arthropod assemblages: discrete seres or a continuum of
change?. Oecologia 73: 192-202.
35. Reed HB Jr. (1958) A Study of Dog Carcass Communities in Tennessee, with Special Reference to the Insects. American Midland
Naturalist 59: 213-245.
36. Payne JA (1965) A Summer Carrion Study of the Baby Pig Sus scrofa Linnaeus. Ecology 46: 592-602.
37. Catts EP, Goff ML (1992) Forensic Entomology in Criminal Investigations. Annual Review of Entomology 37: 253-272.
38. Buchan MJ, Anderson GS (2001) Time Since Death: A Review of the Current Status of Methods Used in the Later Postmortem Interval.
Can. Soc. Forensic Sci. J. 34: 1-22.
24
BAB 3
TELAAH JURNAL
Forensik.
3. Gambaran Umum
a. Latar Belakang
menentukan saat kematian dengan metode lain, seperti pada rigor mortis,
b. Tujuan
c. Tempat
25
Amity Institute of Forensic Sciences, Uttar Pradesh, India
d. Sampel
Tidak dicantumkan
e. Waktu
Tidak dicantumkan
f. Metode Penelitian
Tidak dicantumkan
4. Telaah Kritis
a. Judul
Judul dari penelitian ini sudah cukup baik karena peneliti sudah
b. Latar belakang
Latar belakang pada penelitian ini sudah cukup bagus karena berkaitan
26
c. Tujuan Penelitian
d. Metode Penelitian
menurut kami :
cohort..
e. Hasil Penelitian
Dari salah satu metode ini dapat menentuan perkiraan terdekat untuk
27
faktor seperti kelembapan, temperatur, dan ada tidaknya pakaian,
f. Pembahasan
zat-zat yang ada pada tubuh jenazah akan memengaruhi rentang waktu
28
g. Kesimpulan
29
DAFTAR PUSTAKA
Spinger Science
Sons
FSE 07. 2007. Forensic Entomology : Use of Insects to Help Solve Crime. In :
Goff, M. L. 1996. A Fly for the Prosecution: How Insect Evidence Helps Solve
Crimes.
Elsevier
:http:///www.forensicentomology.com.
30
Murthy, V., Mohanty M., 2001, Entomotoxicology: A Review, Dept. Of Forensic
31