Anda di halaman 1dari 3

513 Bencana Alam Terjadi di Indonesia Sejak Januari-Maret 2018

Jakarta - Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat sudah terjadi 513 bencana di tanah
air. Angin puting beliung dan banjir jadi mayoritas bencana di Indonesia.

"Dari 513 kejadian bencana tersebut terdiri dari puting beliung 182 kejadian, banjir 157, longsor 137,
kebakaran hutan dan lahan 15, kombinasi banjir dan tanah longsor 10, gelombang pasang dan abrasi 7,
gempa bumi merusak 3, dan erupsi gunung api 2 kali," kata Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB
Sutopo Purwo Nugroho lewat keterangan tertulisnya, Jumat (2/3/2018).

Dampak bencana tersebut, ada 72 orang meninggal dunia dan hilang, 116 jiwa luka-luka, dan lebih dari 393
ribu mengungsi dan menderita. Sebanyak 12.104 rumah rusak meliputi 1.566 rumah rusak berat, 3.141 rumah
rusak sedang dan 7.397 rumah rusak ringan.

Selain itu juga terdapat kerusakan 127 unit fasilitas pendidikan, 123 fasilitas peribadatan, dan 13 fasilitas
kesehatan. Diperkirakan kerugian dan kerusakan akibat bencana mencapai puluhan triliun rupiah.

"Dari korban 72 jiwa meninggal dan hilang, bencana longsor adalah jenis bencana yang banyak jumlah
korbannya. Tercatat 45 jiwa meninggal dunia dan hilang akibat longsor. Sedangkan banjir 18 jiwa, puting
beliung 6 jiwa, banjir dan longsor 2 jiwa, dan gempa bumi 1 jiwa," ujar Sutopo.

BNPB mencatat longsor jadi bencana paling mematikan sejak 2014. Sekitar 40,9 juta jiwa masyarakat
Indonesia tinggal di daerah rawan longsor sedang hingga tinggi.

Masyarakat tersebut tinggal di pegunungan, perbukitan dan lereng-lereng yang curam dengan kemampuan
mitigasinya masih minim. Meski longsor kecil, namun timbul korban jiwa karena mereka tinggal di bawah
lereng.

"Longsor penuh ketidakpastian. Sulit dideteksi dan diprediksi secara pasti kapan akan terjadi longsor. Meski
tanah sudah bergerak, merekah hingga lebar mencapai 50 centimeter dengan panjang ratusan meter, namun
tidak segera terjadi longsor," ucapnya.

"Masyarakat awalnya sudah mengungsi. Namun karena longsor tidak segera terjadi, bahkan hingga berbulan-
bulan akhirnya masyarakat kembali ke rumah untuk bekerja dan melakukan aktivitas Sehari hari," sambung
Sutopo.

BNPB juga mencatat daerah rawan banjir makin meluas. Kondisi lebih disebabkan ulah manusia.

"Pengaruh antropogenik atau ulah manusia lebih dominan daripada faktor alam sebagai penyebab banjir.
Tingginya laju kerusakan hutan, lahan kritis, kerusakan lingkungan, degradasi sungai, lemahnya
implementasi tata ruang, masih rendahnya budaya sadar bencana dan lainnya telah menyebabkan kerentanan
meningkat," ungkapnya.
Sutopo mengatakan pengurangan risiko bencana harus menjadi perhatian. BNPB mengimbau masyarakat
untuk meningkatkan kewaspadaan terhadap bencana sebab potensi hujan di Maret masih tinggi.

"Sesuai prediksi BMKG, curah hujan dengan intensitas tinggi berpotensi terjadi di Jawa Barat bagian tengah
hingga timur, Jawa Tengah, DIY dan Jawa Timur. Kondisi tanah sudah jenuh air sehingga mudah terjadi
banjir dan longsor," ucapnya.

Sutopo juga mengimbau masyarakat yang tinggal di sekitar garis khatulistiwa untuk mewaspadai potensi
kebakaran hutan dan lahan. Dia juga mengimbau kewaspadaan terjadinya gempa bumi dan tsunami yang sulit
diprediksi waktunya.

Merapi Masih Beraktivitas Magmatik, Bpptkg


Pertahankan Status Waspada

Erupsi merapi. ©2018 Merdeka.com

Merdeka.com - Sejak 21 Mei yang lalu, status Gunung Merapi ditingkatkan menjadi waspada. Status ini
terus dipertahankan Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi (BPPTKG)
Yogyakarta meskipun saat ini letusan Gunung Merapi jarang terjadi.

Kepala BPPTKG Yogyakarta, Hanik Humaida menyampaikan aktivitas gempa hembusan masih terus terjadi
di Gunung Merapi. Hal ini menjadi salah satu pertimbangan BPPTKG belum menurunkan status Gunung
Merapi.

"Aktivitas kegempaan masih terjadi. Ini menunjukkan aktivitas vulkanik Gunung Merapi masih terjadi.
Meskipun demikian, masyarakat tak perlu khawatir karena belum ada ancaman yang nyata bagi masyarakat,"
ujar Hanik, Rabu (6/6).

Hanik menguraikan kondisi Gubung Merapi saat ini pernah terjadi usai mengalami letusan di tahun 1872.
Usai meletus di tahun itu, Gunung Merapi baru meletus kembali di tahub 1883 dengan menghancurkan
kubah lava yang sudah terbentuk.

"Erupsinya di antara 1872 hingga 1883 erupsinya seperti (sekarang) ini. Bisa jadi indikasi aktivitas
selanjutnya," papar Hanik.

Sementara itu, Kepala Seksi Gunung Merapi BPPTKG, Agus Budi Santoso menjabarkan akhir seri letusan
freatik merupakan pembuka dari letusan magmatik berikutnya. Pada tahun 1939, letusan freatik terakhir
terjadi sebelum letusan disertai kubah lava sebulan sebelumnya.
"Saat ini aktivitas Gunung Merapi menandakan siklus magmatik berikutnya. Letusan magmatik sangat
intensif dengan ditandai dengan awalan kegempaan vulkano tektonik (VT) dan hembusan yang cukup tinggi.
Sekarang juga diikuti data pemantauan yang sepertinya jadi indikasi awal erupsi magmatik berikutnya.
Apakah sebulan berikutnya erupsi magmatik seperti 1939? Kita tak tahu," ujarnya," ulas Agus.

Meskipun demikian, Agus menguraikan ancaman bagi masyarakat masih sebatas abu vulkanik. Tetapi, Agus
meminta agar masyarakat tetapi mematuhi arahan dari BPPTKG.

"Masyarakat masih aman selama beraktivitas di luar jarak tiga kilometer dari puncak Gunung Merapi," tutup
Agus. [rhm]

Anda mungkin juga menyukai