Anda di halaman 1dari 21

BEAUTIYA

Kamis, 28 Agustus 2014


LAPORAN PENDAHULUAN AMPUTASI
A. Pengertian

Amputasi berasal dari kata “amputare” yang kurang lebih diartikan “pancung”. Bararah dan

Jauhar (2012) menyatakan bahwa “amputasi adapat diartikan sebagai tindakan memisahkan

bagian tubuh sebagian atau seluruh bagian ekstremitas. Tindakan ini merupakan tindakan yang

dilakukan dalam kondisi pilihan terakhir manakala masalah organ yang terjadi pada ekstremitas

sudah tidak mungkin dapat diperbaiki dengan menggunakan teknik lain, atau manakala kondisi

organ dapat membahayakan keselamatan tubuh klien secara utuh atau merusak organtubuh yang

lain seperti timbulnya komplikasi infeks”.

Adapun pengertian amputasi menurut LeMone (2011) Amputasi adalah pemotongan sebagian

atau seluruh dari anggota ekstremitas. Amputasi merupakan tidakan dari proses yang akut,

seperti kejadian kecelakaan atau kondisi yang kronik, misalnya penyakit pembuluh perifer,

diabetes mellitus

Hal yang sama diungkapkan juga oleh Lukman dan Ningsih (2009), amputasi adalah

pengangkatan/pemotongan/pembuangan sebagian anggota tubuh/gerak yang disebabkan oleh

adanya trauma, gangguan peredaran darah, osteomeilitis, dan kanker tulang melalui proses

pembedahan.
B. Patofisiologi

Penyakit pembuluh darah perifer merupakan pemnyebab terbesar dari amputasi anggota

gerak bagian bawah. Biasanya penyebab dari penyakit pembuluh darah perifer adalah hipertensi,

diabetes, hiperlipidemia. Penderita neuropati perifer terutama klien dengan diabetes melitus

mempunyai resiko untuk amputasi. Pada neuropati perifer biasanya kehilangan sensor untuk

merasakan adanya luka dan infeksi. Tidak terawatnya luka dapat infeksi dapat menyebabkan

terjadinya gangren dan membutuhkan tindakan amputasi.

Insiden amputasi paling tinggi terjadi pada laki-laki usia muda. Biasanya amputasi di

indikasikan karena kecelakaan kendaraan terutama motor, atau kecelakaan penggunaan mesin

saat bekerja. Kejadian ini juga dapat terjadi pada orang dewasa namun presentasinya lebih

sedikit dibanding dengan kalangan muda. Amputasi di indikasikan bagi klien dengan gangguan

aliran darah baik akut maupun kronis. Pada situasi trauma akut, dimana anggota tubuhnya

terputus sebagian atau seluruhnya akan mengalami kematian jaringan. Walaupun replantasi jari,

bagian tubuh yang kecil, atau seluruh anggota tubuh sukses. Pada proses penyakit

kronik,sirkulasi mengalami gangguan sehingga terjadi kebocoran protein pada intersisium

sehingga terjadi edema. Edema menambah resiko terjadinya cedera dan penurunan sirkulasi.

Ulkus yang ada menjadi berkembang karena terinfeksi yang disebabkan oleh menurunnya

kekebalan yang membuat bakteri mudah berkembangbiak. Infeksi yang terus bertumbuh

membahayakan sirkulasi selanjutnya dan akhirnya memicu gangren, dan dibutuhkan tindakan

amputasi (LeMone, 2011).

Selain dari data diatas, penyebab atau faktor predisposisi terjadinya amputasi diantaranya

ialah terjadinya fraktur multiple organ tubuh yang yangt tidak mungkin dapat diperbaiki,

kehancuran jaringan kuli yang tidak mungkin diperbaiki, gangguan vaskuler/sirkulasi pada
ekstremitas yang berat, infeksi yang berat atau berisiko tinggi menyebar ke anggota tubuh

lainnya, ada tumor pada organ yang tidak mungkin diterapi secara konservatif, deformitas organ

(Bararah dan Jauhar, 2013).

Berdasarkan pelaksanaannya amputasi dibedakan menjadi amputasi selektif/terencana

diamana amputasi ini dilakukan pada penyakit yang terdiagnosis dan mendapat penangan yang

terus menerus, biasanya dilakukan sebagai salah satu tindakan terakhir, sedangkan amputasi

akibat trauma tidak direncanakan. Amputasi darurat merupakan tindakan yang memerlukan kerja

yang cepat, seperti pada trauma multiple dan kerusakan/kehilangan kulit yang luas.

Menurut jenisnya amputasi dibagi menjadi dua macam, yaitu amputasi jenis terbuka dan

tertutup. Amputasi terbuka dilakukan pada kondisi infeksi yang berat dimana pemotongan tulang

dan otot pada tingkat yang sama sedangkan amputasi tertutup dilakukan dalam kondisi yang

lebih memungkinkan dimana dibuat skaif kulit untuk menutup luka yang dibuat dengan

memotong kurang lebih 5 centimeter dibawah potongan otot dan tulang.

Amputasi dilakukan pada titik paling distal yang masih dapat mencapai penyembuhan

dengan baik. Tempat amputasi ditentukan berdasarkan dua faktor peredaran darah pada bagian

itu dan kegunaan fungsional (sesuai kebutuhan protesis).

Amputasi jari kaki dan sebagian kaki hanya menimbulkan perubahan minor dalam gaya

jalan dan keseimbangan. Amputasi syme (memodifikasi amputasi disartikulasi pergelangan kaki)

dilakukan paling sering pada trauma kaki ekstensif dan menghasilkan ekstremitas yang bebas

nyeri dan kuat dan dapat menahan beban berat badan penuh. Amputasi dibawah lutut lebih

disukai dibanding amputasi diatas lutut karena pentingnya sendi lutut dan kebutuhan energi

untutk berjalan. Dengan mempertahankan lutut bagi lansia antara ia bisa berjalan dengan alat

bantu dan atau bisa duduk di kursi roda. Diartikulasi sendi lutut paling berhasil pada klien muda,
aktif yang masih mampu mengembangkan kontrol yang tepat sebanyak mungkin panjangnya,

otot dibentuk dan distabilkan, dan disupervisi pinggul dapat dicegah untuk potensi supervise

maksimal. Bila dilakukan amputasi disartikulasikan sendi pinggul kebanyakan orang akan

tergantung pada kursi roda untuk mobilisasinya.

Amputasi ekstremitas atas dilakukan dengan mempertahankan panjang fungsional maksimal.

Protesis segera diukur dengan fungsinya bisa maksimal (Bararah dan Jauhar, 2013).

Perdarahan infeksi, dan kerusakan integritas kulit merupakan komplikasi amputasi.

Perdarahan dapat terjadi akibat pemotongan pembuluh darah besar dan dapat menjadi massif.

Infeksi dapat terjadi pada semua pembedahan, dengan perdaran darah yang buruk atau adanya

kontaminasi serta dapat terjadi kerusakan kulit akibat penyembuhan luka yang buruk dan iritasi

penggunaan prosthesis (Lukman dan Ningsih, 2009).

C. Penatalaksanaan

1. Terapi

a. Antibiotik

b. Analgetik

c. Antipiretik (bila diperlukan)

2. Medis

a. Balutan rigid tertutup

Digunakan untuk mendapatkan kompresi yang merata, menyangga jaringan lunak dan

mengontrol nyeri, serta mencegah kontraktur.

b. Balutan lunak
Balutan lunak dengan atau tanpa kompresi dapat digunakan bila perlu diperlukan inspeksi

berkala sisa tungkai (puntung) sesuai kebutuhan.

c. Amputasi bertahap

Amputasi bertahap dilakukan bila ada gangren atau infeksi.

d. Protesis

Protesis sementara kadang diberikan pada hari pertama pascabedah, sehingga latihan segera

dapat dimulai, keuntungan menggunakan prosthesis sementara yaitu membiasakan klien

menggunakan protesis sedini mungkin.

D. Pengkajian keperawatan

Pengkajian merupakan langkah pertama dari proses keperawatan dengan

mengumpulkan data secara sistematis dan cermat untuk menentukan status kesehatan klien saat

ini dan riwayat kesehatan lalu, serta menentukan status fungsional serta menevaluasi koping

klien saat ini dan masa lalu (Carpernito, 2009).

Menurut Bararah Da Jauhar (2013), hal-hal yang perlu dikaji pada klien dengan pre dan post

amputasi yaitu :

1. Pre Operatif

Mempersiapkan kondisi fisik dan psikologis klien dalam menghadapi kegiatan operasi. Pada

tahap ini, perawat melakukan pengkajian yang berkaitan dengan kondisi fisik khususnya yang

berkaitan erat dengan kesiapan tubuh untuk menjalani operasi.

Pengkajian pada klien dengan pre operatif (Bararah dan Jauhar, 2013)

a. Pengkajian riwayat kesehatan dahulu dan sekarang


Perawat memfokuskan pada riwayat penyakit terdahulu yang mungkin dapat mempengaruhi

resiko pembedahan seperti adanya penyakit diabetes mellitus, penyakit jantung, penyakit ginjal

dan penyakit paru, perawat juga mengkaji riwayat penggunaan rokok dan obat-obatan.

b. Pengkajian fisik

Pengkajian fisik dilaksanakan untuk meninjau secara umum kondisi tubuh klien secara utuh

untuk kesiapan dilaksanakannya tindakan operasi manakala tindakan amputasi merupakan

tindakan terencana/selektif, dan untuk mempersiapkan kondisi tubuh sebaik mungkin manakala

merupakan trauma/ tindakan darurat.

c. Pengkajian psikologis, sosial, spiritual

Disamping pengkajian secara fisik perawat melakukan pengkajian pada kondisi psikologis

(respon emosi) klien yaitu adanya kemungkinan terjadi kecemasan pada klien melalui penilaian

klien terhadap amputasi yang akan dilakukan, penerimaan klien pada amputasi dan dampak

amputasi terhadap gaya hidup. kaji juga tingkat kecemasan akibat operasi itu sendiri. disamping

itu juga dilakukan pengkajian yang mengarah pada antisipasi terhadap nyeri yang mungkin

timbul.

Perawat melakukan pengkajian pada gambaran diri klien dengan memperhatikan tingkatr

persepsi klien terhadap dirinya, menilai gambaran ideal diri klien dengan meninjau persepsi klien

terhadap perilaku yang telah dilaksanakan dan dibandingkan dengan standar yang dibuat oleh

klien sendiri, pandangan klien terhadap rendah diri antisipasif, gangguan penampilan peran dan

gangguan identitas. Adanya gangguan konsep diri antisipasif harus diperhatikan secara seksama

dan bersama-sama dengan klien melakukan pemilihan tujuan tindakan dan pemilihan koping

konstruktif. Adanya masalah kesehatan yang timbul secara umum seperti terjadinya gangguan

fungsi jantung dan sebagainya perlu didiskusikan dengan klien setelah klien benar-benar siap
untuk menjalani operasi amputasi itu sendiri. kesadaran yang penuh pada diri klien untuk

berusaha berbuat yang terbaik bagi kesehatan dirinya, sehingga memungkinkan bagi perawat

untuk melakukan tindakan intervensi dalam mengatasi masalah umum pada saat pre operatif.

asuhan keperawatan pada klien preoperatif secara umum tidak dibahas pada makalah ini.

d. Pemeriksaan diagnostik

1. Foto rontgen untuk mengidentifikasi abnormalitas tulang.

2. CT Scan dilakukan untuk mengidentifikasi lesi neoplastik, osteomeilitis, pembentukan

hematoma.

3. Angiografi dan pemeriksaan aliran untuk mengevaluasi perubahan sirkulasi/perfusi

jaringan dan membantu memperkirakan potensi penyembuhan jaringan setelah amputasi.

4. Ultrasound Doppler, Flowmetri Doppler, dilakukan untuk mengkaji dan mengukur aliran

darah.

5. Tekanan O2 transkutaneus memberikan peta pada area perfusi paling besar dan paling

kecil dalam keterlibatan ekstremitas.

6. Termografi untuk mengukur perbedaan suhu pada tungkai iskemik di dua sisi, dari

jaringan kutaneus ke tengah tulang. Perbedaan yang rendah antara dua pembacaan, makin

besar untuk sembuh.

7. Plestimografi dilakukan untuk mengukur TD segmental bawah terhadap

ekstremitas bawah mengevaluasi aliran darah arterial.

8. LED mengukur peningkatan mengidentifikasi respon inflamasi.

9. Kultur luka mengidentifikasi adanya infeksi dan organisme penyebab.

10. Biopsi mengonfirmasi diagnosis massa benigna/maligna.


11. Hitung darah lengkap/differensial untuk mengetahui peninggiann dan pergeseran ke kiri diduga

proses infeksi .

2. Intra Operatif

Pada masa ini perawat berusaha untuk tetap mempertahankan kondisi terbaik

klien. Tujuan utama dari manajemen (asuhan) perawatan saat ini adalah untuk menciptakan

kondisi optimal klien dan menghindari komplikasi pembedahan.

Perawat berperan untuk tetap mempertahankan kondisi hidrasi cairan, pemasukan

oksigen yang adekuat dan mempertahankan kepatenan jalan nafas, pencegahan injuri selama

operasi dan dimasa pemulihan kesadaran. Khusus untuk tindakan perawatan luka, perawat

membuat catatan tentang prosedur operasi yang dilakukan dan kondisi luka, posisi jahitan dan

pemasangan drainage. hal ini berguna untuk perawatan luka selanjutnya dimasa postoperatif

3. Post Operatif

Pada masa post operatif, perawat harus berusaha untuk mempertahankan tanda-

tanda vital, karena pada amputasi khususnya amputasi ekstremitas bawah diatas lutut merupakan

tindakan yang mengancam jiwa. yang perlu diperhatikan selain tanda-tanda vital klien adalah,

daerah luka, adanya nyeri, dan kondisi yang menimbulkan depresi.

Perawat melakukan pengkajian tanda-tanda vital selama klien belum sadar secara

rutin dan tetap mempertahankan kepatenan jalas nafas, mempertahankan oksigenisasi jaringan,

memenuhi kebutuhan cairan darah yang hilang selama operasi dan mencegah injuri. Daerah luka

diperhatikan secara khusus untuk mengidentifikasi adanya perdarahan masif atau kemungkinan

balutan yang basah, terlepas atau terlalu ketat. selang drainase benar-benar tertutup. kaji

kemungkinan saluran drain tersumbat oleh clot darah. awal masa postoperatif, perawat lebih

memfokuskan tindakan perawatan secara umum yaitu menstabilkan kondisi klien dan
mempertahankan kondisi optimum klien. perawat bertanggungjawab dalam pemenuhan

kebutuhan dasar klien, khususnya yang dapat menyebabkan gangguan atau mengancam

kehidupan klien. berikutnya fokus perawatan lebih ditekankan pada peningkatan kemampuan

klien untuk membentuk pola hidup yang baru serta mempercepat penyembuhan luka. tindakan

keperawatan yang lain adalah mengatasi adanya nyeri yang dapat timbul pada klien seperti nyeri

panthom limb dimana klien merasakan seolah-olah nyeri terjadi pada daerah yang sudah hilang

akibat amputasi. Kondisi ini dapat menimbulkan adanya depresi pada klien karena membuat

klien seolah-olah merasa ‘tidak sehat akal’ karena merasakan nyeri pada daerah yang sudah

hilang. dalam masalah ini perawat harus membantu klien mengidentifikasi nyeri dan menyatakan

bahwa apa yang dirasakan oleh klien benar adanya.

E. Diagnosa keperawatan

Setelah menyelesaikan pengkajian keperawatan, perawat melanjutkan pada diagnosa

keperawatan, yaitu pernyataan yang menggambarkan respons aktual, atau potensial klien

terhadap masalah kesehatan, perawat mempunyai lisensi dan kompetensi untuk mengatasinya

(Petty dan Potter, 2005).

Dan diagnosa keperawatan yang muncul pada klien pre dan post operasi amputasi

menurut (Lukman dan Ningsih, 2013) dan intervensinya berdasarkan Doengoes (2011) yaitu :

1. Diagnosa pre operasi

a. Ansietas berhubungan dengan kurang pengetahuan, krisis situasi.

b. Nyeri (akut) berhubungan dengan cedera fisik/jaringan trauma saraf.

c. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan trauma jaringan/kerusakan, adanya

cedera/manipulasi intraoperasi, faktor mekanikal(alat fiksasi).


d. Berduka antisipasi (anticipated grieving) berhubungan dengan kehilangan akibat amputasi.

e. Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan pengobatan berhubungan dengan salah satu

interprestasi informasi, kurang terpajan informasi, dan kesulitan mengingat.

2. Diagnosa post operasi

a. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan luka insisi sekunder terhadap amputasi

b. Gangguan konsep diri berhubungan dengan perubahan citra tubuh sekunder terhadap amputasi

c. Resiko komplikasi : infeksi, hemoragi, kontraktur, emboli lemak berhubungan dengan amputasi.

d. Resiko tinggi perubahan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan penurunan aliran darah

vena/arterial; edema jaringan; pembentukan hematoma

e. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kehilangan ekstremitas.

F. Perencanaan keperawatan

Diagnosa pre operasi

1. Ansietas berhubungan dengan kurang pengetahuan, ksisis situasi

karakteristik penentu : peningkatan tegangan, ketakutan, mengekspresikan adanya perubahan

rangsangan simpatis/gelisah.

Tujuan : kecemasan pada klien dapat berkurang.

Kriteria hasil : tampak rileks dan melaporkan ansietas menurun sampai dengan dapat ditangani,

mengakui dan mendiskusikan rasa takut, menunjukkan rentang respon yang tepat.

Intervensi :

a. Memberikan bantuan secara fisik dan psikologis, memberikan dukungan moral.

Rasional : secara psikologis meningkatkan rasa aman dan meningkatkan rasa saling percaya.

b. Menerangkan prosedur operasi dengan sebaik-baiknya.


Rasional : meningkatkan/memperbaiki pengetahuann/persepsi klien.

c. Mengatur waktu kusus dengan klien untuk mendiskusikan tentang kecemasan klien.

Rasional : meningkatkan rasa aman dan memungkinkan klien melakukan komunikasi secara

lebih terbuka dan akurat.

d. Dorong klien menggunakan manajemen stress seperti nafas dalam, bimbingan imajinasi,

visualisasi.

Rasional : membantu memfokuskan kembali perhatian, meningkatan relaksasi, dan dapat

meningkatkan kemampuan koping.

2. Nyeri (akut) berhubungan dengan cedera fisik/jaringan dan trauma saraf.

Karakteristik penentu : adanya keluhan nyeri, fokus diri menyempit, respon autonomic,

perilaku melindungi diri/berhati-hati.

Tujuan : nyeri dapat berkurang atau hilang.

Kriteria hasil : Menyatakan nyeri hilang, tampak rileks dan mampu tidur/beristirahat

dengan tepat.

Intervensi :

a. Kaji nyeri sesuai PQRST

Rasional : membantu dalam evaluasi kebutuhan dan keefektifan intervensi.

b. Ajarkan dan anjurkan teknik relaksasi distraksi

Rasional : Untuk mengurangi nyeri secara mandiri.

c. Observasi keadaan luka

Rasional : Untuk mengetahui tingkat luka yang menyebabkan nyeri.

d. Kolaborasi dalam pemberian analgetik

Rasional : Analgetik dapat mengurangi nyeri


e. Observasi keluhan nyeri local/kemajuan yang tak hilang dengan analgetik.

Rasional : dapat mengindikasikan adanya sindrom kompartemen khususnya cedera traumatik.

3. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan trauma jaringan/kerusakan, adanya

cedera/manipulasi intraoperasi, faktor mekanikal(alat fiksasi).

Karakteristik penentu : cedera tusuk, frakur terbuka, bedah perbaikan, pemasangan traksi pen,

kawat, skrup, perubahan sensasi, sirkulasi, aakumulasi ekskresi, immobilisasi fisik.

Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan kerusakan integritas tidak terjadi.

Kriteria hasil : menyatakan ketidaknyamanan hilang, mencapai penyembuhan luka sesuai

dengan waktu.

Intervensi :

a. Observasi tanda-tanda vital

Rasional : untuk mengetahui adanya indikasi nyeri atau infeksi.

b. Kaji /catat ukuran, warna , kedalaman luka, perhatikan jaringan nekrotik dan kondisi sekitar

luka.

Rasional : memberikan informasi dasar tentang keadaan luka.

c. Perhatikan peningkatan atau berlanjutnya nyeri.

Rasional : peningkatan nyeri dapat mengindikasikan infeksi.

d. Berikan perawatan luka local.

Rasional : menurunkan risiko infeksi

e. Kolaborasi dalam pelaksanaan tindakan amputasi.

Rasional : tindakan kolaboratif medis terakhir bila therapy obat dan rekonstruksi bedah ortopedik

tidak berhasil.
4. Ketakutan terantisipasi yang (anticipated grieving) berhubungan dengan kehilangan

akibat amputasi

Karakteristik penentu : Mengungkapkan rasa takut kehilangan kemandirian, takut kecacatan,

rendah diri dan menarik diri.

Tujuan : klien dapat mendemonstrasikan kesadaran akan dampak pembedahan pada citra diri.

kriteria hasil : Mengungkapkan perasaan bebas, tidak takut, menyatakan perlunya membuat

penilaian akan gaya hidup yang baru.

Intervensi :

a. Anjurkan klien untuk mengungkapkan perasaan tentang dampak pembedahan terhadap gaya

hidup.

Rasional : Mengurangi rasa tertekan pada diri klien, menghindarkan depresi, meningkatkan

dukungan mental.

b. Berikan informasi yang adekuat dan rasional tentang alasan pemilihan tindakan amputasi.

Rasional : Membantu klien menggapai penerimaan terhadap kondisinya melalui teknik

rasionalisasi.

c. Berikan informasi bahwa amputasi merupakan tindakan untuk memperbaiki kondisi klien dan

merupakan langkah awal untuk menghindari ketidakmampuan atau kondisi yang lebih parah.

Rasional : Meningkatkan dukungan mental.

d. Fasilitasi klien bertemu dengan orang dengan amputasi yang telah berhasil dalam penerimaan

terhadap situasi amputasi.

Rasional : strategi untuk meningkatkan adaptasi terhadap perubahan citra diri.

5. Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis, dan pengobatan berhubungan dengan

salah satu interprestasi informasi, kurang terpajan informasi, dan kesulitan mengingat,
Karakteristik penentu : permintaan informasi, mengungkapkan ketidakmengertian akan

kondisi, prognosis, dan pengobatan.

Tujuan : menyatakan pemahaman kondisi/proses penyakit dan pengobatan, melakukan

perubahan pola hidup dan berpartisipasi dalam program pengobatan.

Intervensi :

a. Kaji ulang proses penyakit/prosedur bedah dan harapan klien yang akan datang.

Rasional : memberikan dasar pengetahuan di mana klien dapat membuat pilihan

berdasarkan informasi.

b. Tunjukkan cara perawatan prostese, tekankan pentingnya pemeliharaan secara rutin.

Rasional :dorong pemasangan yang tepat/pas, mengurangi resiko komplikasi

dan memperpanjang pengguan prostese

c. Berikan penjelasan mengenai kondisi, prognosis, dan pengobatan.

Rasioanl : memberikan pengertian dan pemahaman keepada klien.

Diagnosa post operasi:

1. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan insisi bedah sekunder amputasi

Karakteristik penentu : Menyatakan nyeri, ekspresi wajah menunjukkan kesakitan,

merintih/meringis

Tujuan : nyeri dapat hilang atau berkurang

Kriteria hasil : Menyatakan nyeri hilang, ekspresi wajah rileks.

Intervensi :

a. Kaji nyeri sesuai PQRST

Rasional : membantu dalam evaluasi kebutuhan dan keefektifan intervensi.

b. Ajarkan dan anjurkan teknik relaksasi distraksi


Rasional : Untuk mengurangi nyeri secara mandiri.

c. Observasi keadaan luka

Rasional : Untuk mengetahui tingkat luka yang menyebabkan nyeri.

d. Kolaborasi dalam pemberian analgetik

Rasional : Analgetik dapat mengurangi nyeri

e. Observasi keluhan nyeri local/kemajuan yang tak hilang dengan analgetik.

Rasional : dapat mengindikasikan adanya sindrom kompartemen khususnya cedera traumatik.

2. Gangguan konsep diri berhubungan dengan perubahan citra tubuh sekunder amputasi.

Karakteristik penentu : Menyatakan berduka mengenai kehilangan tubuh, mengungkapkan

negatif tentang tubuhnya, depresi.

Tujuan : mendemonstrasikan penerimaan diri pada situasi yang baru.

Kriteria hasil : Menyatakan penerimaan terhadap situasi diri, mengenali dan menyatu dengan

perubahan dalam konsep diri yang akurat tanpa harga diri negatif, membuat rencana untuk

melanjutkan gaya hidup.

Intervensi :

a. Validasi masalah yang dialami klien.

Rasional : Meninjau perkembangan klien.

b. Libatkan klien dalam melakukan perawatan diri yang langsung.

Rasional : Mendorong antisipasi meningkatkan adaptasi pada perubahan citra tubuh.

c. Berikan dukungan moral.

Rasional : Meningkatkan status mental.

d. Hadirkan orang yang pernah amputasi yang telah menerima diri.

Rasional : Meningkatkan status mental.


3. Resiko tinggi terhadap komplikasi: infeksi, hemoragi, kontraktur, emboli lemak

berhubungan denganamputasi.

Karakteristik penentu : Terdapat risiko tinggi infeksi, pendarahan berlebih, emboli lemak.

Tujuan : tidak terjadi komplikasi.

Kriteria hasil : Tidak terjadi infeksi, tidak terjadi hemoragi, tidak ditemukan adanya emboli.

Intervensi :

a. Pertahankan teknik antiseptik bila mengganti balutan/merawat luka.

Rasional : meminimalkan kesempatan introduksi bakteri.

b. Inpseksi balutan dan luka , perhatikan karakteristik drainase.

Rasional : deteksi dini terjadinya infeksi memberikan kesempatan untuk intervensi tepat waktu

dan mencegah komplikasi lebih serius.

c. Buka puntung terhadap udara, pencucian dengan sabun ringan dan air setelah pembalutan

dikontraindikasikan.

Rasional : mempertahankan kebersihan, meminimalkan kontaminasi kulit dan meningkatkan

penyembuhan kulit yang lunak/rapuh.

d. Awasi tanda-tanda vital.

Rasional : peningkatan suhu, takikardia, dapat menunjukkan terjadinya sepsis.

4. Resiko tinggi perubahan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan

penurunan aliran darah vena/arterial; edema jaringan; pembentukan

hematoma.

Kriteria penentu : penurunan atau tidak adanya denyut nadi, perubahan warna

kulit, pucat (arteri), sianosis (vena), akral dingin.

Tujuan : perubahan perfusi jaringan perifer tidak terjadi.


Kriteria hasil : mempertahankan perfusi jaringan adekuat dibuktikan dengan

nadi perifer teraba, kulit hangat/kering, dan penyembuhan luka tepat waktu.

Intervensi :

a. Awasi tanda-tanda vital, palpasi nadi perifer, perhatikan kekuatan dan kesamaan.

Rasional : indikasi umum status sirkulasi dan keadekuatan perfusi.

b. Lakukan pengkajian neurovaskuler periodik, contoh sensasi, gerakan, nadi, warna kulit5

dan suhu.

Rasional : edema jaringan pasca operasi, pembentukan hematoma, atau balutan terlalu

ketat dapat mengganggu sirkulasi pada puttung, mengakibatkan nekrosis jaringan.

c. Inspeksi alat balutan/drainase, perhatikan jumlah dan karakteristik balutan.

Rasional :kehilangan darah terus menerus mengindikasikan kebutuhan untuk tambahan cairan

penggantian cairan dan evaluasi untuk gangguan koagulasi atau intervensi bedah untuk ligasi

pendarahan.

5. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kehilangan ekstremitas.

Kriteria penentu : menolak untuk bergerak, keluhan nyeri/ketidaknyamanan pada pergerakan,

rentang gerak terbatas, penurunan kekuatan otot.

Tujuan : peningkatan mobilitas fisik pada tingkat yang paling mungkin.

Kriteria hasil : mempertahankan posisi fungsi, dibuktikan oleh tidak adanya kontraktur.

Menunjukkan peningkatan kekuatan dan fungsi sendi serta tungkai yang sakit.

Intervensi :

a. Pertahankan tirah baring awal dengan sendi yang sakit pada posisi yang dianjurkan dan

tubuh dalam kesejajaran.


Rasional : memberikan waktu stabilisasi prostese dan pemulihan efek anestasi, menurunkan

risiko cedera.

b. Batasi penggunaan posisi semifowler/tinggi, bila diindikasikan.

Rasional : fleksi panggul lama dapat meregangkan/dislokasi prostese baru.

c. Berikan penguatan posisitif terhadap upaya-upaya.

Rasional : meningkatkan perilaku posistif, dan mendorong keterlibatan terapi.

d. Lakukan/bantu rentang gerak pada sendi yang tak sakit.

Rasional : klien dengan penyakit degenarasi sendi dapat secara tepat kehilangan

fungsi sendi selama periode pembatasan aktivitas.

G. Pelaksanaan keperawatan

Setelah dilakukan intervensi, tahap selanjutnya adalah implementasi yaitu

pelaksanaan tindakan keperawatan yang dilakukan sesuai dengan rencana asuhan keperawatan

yang telah dibuat sebelumnya. Implementasi merupakan komponen dari proses keperawatan,

implenentasi mencakup melakukan , membantu, atau mengarahkan kinerja ktivitas kehidupan

sehari-hari, memberika arahan perawatan untuk mencapai tujuan yang berpusat pada klien,

termasuk dalam fungsi perawat (Asmadi, 2008) :

1. Fungsi independen

Merupakan fungsi mandiri yang tidak tergantung dari orang lain, dimana perawat melaksanakan

tugas yang dilakukan sendiri dengan mengambil

keputusan sendiri.

2. Fungsi dependen
Merupakan fungsi yang yang dilaksanakan atas perintah dari perawat lain, sehingga sebagai

tindakan pelimpahan tugas yang diberikan

3. Fungsi interdependen

Fungsi yang dilakukan dalam kelompok tim yang bersifat saling ketergantungan diantara tim

satu dengan yang lain. Keadaan ini tidak dapat diatasi dengan tim perawat saja melainkan dokter

ataupun yang lainnya.

H. Evaluasi keperawatan

Evaluasi merupakan taghap akhir dari proses keperawatan. Evaluasi merupakan

tahap yang menentukan pakah tujuan akan tercapai sesuai dengan apa yang ditetapkan dalam

tujuan rencana keperawatan. Apabila setelah dilakukan evaluasi tujuan tidak tercapai maka ada

beberapa kemungkinan yang perlu ditinjau kembali yaitu : tujuan tidak reslistis, tindakan

keperawatan belum tepat, faktor-faktor yang tidak bias diatasi. Ada beberapa macam dalam

evaluasi menurut Asmadi (2008) yaitu :

1. Evaluasi formatif

Dapat dilihat dari evaluasi proses. evaluasi ini dapat segera dilakukan setelah melakuan

tindakan keperawatan bertujuan untuk menilai keberhasilan tindakan yang dilakukan.

2. Evaluasi sumatif

Dapat dilakukan di akhir proses keperawatan, bertujuan untuk menilai ketercapaian asuhan

keperawatan yang di berikan selama proses keperawatan.

https://www.google.com/search?q=contoh+laporan+pendahuluan+amputasi&ie=utf-8&oe=utf-

8&client=firefox-b

http://tiyasuwito.blogspot.co.id/2014/08/laporan-pendahuluan-amputasi.html

Anda mungkin juga menyukai