Anda di halaman 1dari 24

Case Report Session

INFARK MIOKARD AKUT DENGAN ELEVASI SEGMEN ST

(IMA-EST)

Disusun Oleh:

Adellia Tiara Suci 1410311027

Adika Azaria 1410311026

Agung Fadhlurrahman Zulfi 1410311019

Aldilla Henny Yusra 1410311020

Preseptor:

dr. Citra Kiki Krevani, Sp.JP

BAGIAN KARDIOLOGI DAN KEDOKTERAN VASKULAR

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS ANDALAS

2018
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Penyakit kardiovaskular merupakan pembunuh nomor satu di dunia. Lebih

dari 80% kematian terjadi di negara berkembang akibat penyakit kardiovaskular

dan semakin banyak menimpa populasi umur produktif, di bawah 60 tahun. Kondisi

ini berdampak pada perekonomian suatu negara, termasuk Indonesia.1

World Health Organization (WHO) menyatakan 17,5 juta orang meninggal

disebabkan oleh penyakit kardiovaskular dibandingkan dengan penyakit lainnya

pada tahun 2012, yaitu 46 % dari semua penyebab kematian penyakit tidak menular.

Sekitar 7,4 juta kematian disebabkan oleh Penyakit Jantung Koroner (PJK), dan

sekitar sepertiganya terjadi pada umur 30 sampai 70 tahun.2 Data Riskesdas tahun

2007 menyatakan penyakit jantung menduduki peringkat ke tiga dengan prevalensi

7,2% dari semua penyakit tidak menular di Indonesia.3

Penyakit Jantung Koroner diakibatkan oleh sumbatan trombosis plak

ateroma pada arteri koroner. Plak ini dapat menyebabkan penyempitan lumen arteri

koroner, sehingga menimbulkan iskemia miokardium. Plak tersebut dapat ruptur

dan akan terjadi proses trombosis yang bersifat dinamis di pembuluh darah

jantung, sehingga menyebabkan oklusi total arteri koroner yang berakibat pada

nekrosis miokardium atau disebut dengan infark miokard.1

Penyempitan pembuluh darah dan plak yang ruptur tersebut dapat

menyebabkan Infark Miokard Akut (IMA). Infark miokard akut dapat dibagi

menjadi Infark Miokard Akut Elevasi segmen ST (IMAEST) dan Infark


MiokardAkut Non Elevasi segmen ST (IMANEST). Kedua infark miokard ini

dibedakan berdasakan ada atau tidaknya gambaran elevasi segmen ST di rekaman

elektrokardiogram (EKG).4 Infark miokard akut (IMA) merupakan salah satu

diagnosis rawat inap tersering di negara maju dan penyebab tersering kematian di

negara industri.5

Infark miokard akut diderita oleh 1.000.000 orang di Amerika Serikat tiap

tahunnya dan 300.000 orang meninggal karena IMA sebelum sampai ke rumah

sakit.6 Setiap tahunnya terdapat sekitar 525.000 pasien IMA baru dan 190.000

pasien IMA berulang.7 Tahun 2006, hampir satu dari tiga penderita IMA

didiagnosis infark miokard akut dengan elevasi segment ST (IMA-EST).8

Prevalensi IMA-EST meningkat dari 25% ke 40% dari presentasi semua kejadian

IMA. Penelitian yang dilakukan Gayatri dkk di RSUD dr. Dradjat Prawiranegara

selama tahun 2014 ditemukan 95 kasus (63%) dari 151 kasus sindrom koroner akut

(SKA) adalah IMAEST.9

Infark miokard akut dengan elevasi segment ST menyebabkan kerusakan

otot jantung yang progresif. Infark miokard akut dengan elevasi segmen ST terjadi

jika aliran darah koroner menurun secara mendadak akibat oklusi trombus pada

plak aterosklerotik yang sudah ada sebelumnya.5 Infark miokard akut dengan

elevasi segment ST menyebabkan kematian mendadak, sehingga merupakan suatu

kegawatdaruratan yang membutuhkan tindakan medis secepatnya. Prinsip utama

untuk penanganan IMAEST harus segera dilakukan terapi reperfusi.9 Terapi

reperfusi tersebut bisa dengan Intervensi Koroner Perkutan Primer (IKP Primer)

atau terapi fibrinolitik.10


Morbiditas dan mortalitas pada IMAEST meningkat sesuai pertambahan

usia. IMAEST mempunyai angka mortalitas yang tinggi karena sering terjadi

komplikasi. Penelitian yang dilakukan oleh Gayatri dkk tahun 2014 menunjukkan

terdapat prediktor mortalitas selama perawatan di rumah sakit pada pasien IMAEST

meliputi, Killip III dan IV, aritmia, IMA-EST anterior, tidak direperfusi, gagal

ginjal kronis, takikardia, IMA-EST onset >12 jam dan diabetes melitus (DM).10

Tujuan utama penatalaksanaan IMA-EST adalah mendiagnosis secara

cepat, menghilangkan nyeri dada, menilai dan mengimplementasikan strategi

reperfusi yang mungkin dilakukan, memberi antitrombotik dan anti platelet. Terapi

reperfusi diindikasikan untuk semua pasien dengan gejala yang timbul dalam 12

jam dengan elevasi segmen ST yang menetap atau Left Bundle Branch Block

(LBBB) baru atau terdapat bukti iskemia yang sedang terjadi, bahkan jika gejala

telah timbul >12 jam atau bila nyeri dan perubahan EKG terlihat terhambat.11 Bila

tidak dilakukan upaya terapi reperfusi, lebih dari 30% pasien akan meninggal.

Diperkirakan sekitar sepertiga dari pasien IMA-EST bisa meninggal dalam jangka

waktu 24 jam setelah iskemia.12 Terdapat beberapa pedoman dalam tatalaksana

IMA dengan elevasi ST yaitu dari ACC/AHA tahun 2013 dan ESC tahun 2012,

tetapi perlu disesuaikan dengan kondisi sarana/fasilitas di masing-masing tempat

dan kemampuan ahli yang ada.13

1.2 Tujuan penulisan

Penulisan case report session ini bertujuan untuk meningkatkan

pengetahuan dan pemahaman mengenai STEMI.


1.3 Batasan masalah

Case Report Session ini membahas mengenai kasus STEMI.

1.4 Metode penulisan

Metode yang dipakai dalam penulisan case report session ini adalah hasil

pemeriksaan pasien, rekam medis, dan tinjauan kepustakaan yang merujuk pada

berbagai literatur.
BAB II

ILUSTRASI KASUS

Seorang pasien laki-laki, berumur 54 tahun, rujukan RSUD Pariaman

datang ke IGD RSUP dr. M. Djamil Padang pada tanggal 3 Juli 2018 pukul 13.07

WIB dengan diagnosa IMA-EST anterolateral dan sudah mendapatkan terapi

loading DAPT (Double Anti Platelet Therapy) yaitu ASA 160 mg dan clopidogrel

300 mg). Keluhan utama pasien adalah nyeri dada seperti rasa dihimpit beban berat

sejak 4 jam sebelum masuk rumah sakit, nyeri tidak dapat ditunjuk di bagian ulu

hati dan menjalar hingga punggung, nyeri dirasakan berat, meningkat dengan

aktifitas, durasi lebih dari 20 menit. Pasien tidak mengeluh adanya sesak nafas,

Dyspneu on Effort tidak ada, Orthopneu tidak ada, dan Paroxymal Nocturnal

Dyspneu tidak ada. Pasien juga tidak mengeluh adanya berdebar-debar. Pasien

mengeluh adanya keringat dingin, mual dan muntah ada, pusing tidak ada, dan

pingsan tidak ada. Terdapat riwayat nyeri dada sebelumnya . Faktor resiko

Coronary Artery Diseases pasien merokok 1 bungkus per hari selama 42 tahun,

hipertensi , diabetes melitus , dan dislipidemia tidak ada serta terdapat riwayat

penyakit jantung pada keluarga.

Riwayat penyakit sebelumnya, pasian tidak memiliki riwayat asma, gastritis

tidak ada, dan stroke tidak ada. Riwayat penyakit keluarga pasien ada yang

mengalami penyakit jantung, namun tidak ada yang menderita diabetes melitus dan

hipertensi. Pasien adalah seorang wiraswasta. Pemeriksaan fisik didapatkan

keadaan umum tampak sakit sedang, kesadaran CMC tekanan darah 111/73 mmHg,

frekuensi nadi 69 x/menit, frekuensi napas 20 x/menit, suhu 37 oC, SaO2 100%.
JVP 5 - 2 cmH2O. Berat badan 70 kg dan tinggi badan 160 cm. Skala nyeri pasien

1/10. Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik. Pada pemeriksaan jantung,

iktus cordis tidak tampak, ictus teraba pada satu jari di lateral linea midclavicularis

sinistra RIC V. Pada auskultasi, S1-S2 reguler, murmur (-), gallop (-). Pada

pemeriksaan paru, inspeksi simetris kiri dan kanan dengan pergerakan sama kiri

dan kanan, palpasi fremitus sama kiri dan kanan, perkusi sonor pada kanan dan kiri,

auskultasi paru vesikuler pada lapangan paru rhonki (-/-), wheezing (-/-).

Pada pemeriksaan abdomen didapatkan dalam batas normal, saat inspeksi

abdomen tidak distensi, supel, hepar dan lien tidak teraba. Perkusi yaitu timpani.

Auskultasi, bising usus normal. Pada pemeriksaan punggung tidak didapatkan

kelainan. Alat kelamin dan anus tidak diperiksa. Pada ekstremitas, edema (-), akral

hangat (+).

Gambar 2.1 Gambar EKG pada pemeriksaan awal

Pada pemeriksaan EKG 12 lead menunjukkan sinus rhythm reguler, QRS

rate: 77 bpm, axis normal, gelombang P normal, PR interval 0,20s, durasi QRS

p0,08 detik, Q patologis di V1-V3, ST elevasi > 2 kotak kecil pada lead I, aVL, V1-
V5, ST Depresi II, III, aVF, RVH tidak ada, LVH tidak ada (-).

Gambar 2.2 Foto Rontgen

Pada pemeriksaan rontgen thoraks didapat Cardio Thoracic Ratio (CTR)

sebesar 60%, segmen aorta dan pulmonal normal, pinggang jantung (+), apeks

tertanam dan infiltrat (-), dan kranialisasi (-). Didapatkan kesan kardiomegali

dengan pembesaran ventrikel kiri.

Hasil laboratorium menunjukkan hemoglobin 12,2 gram/dL, leukosit

12.030/mm3 , trombosit 193.000/mm3 dan hematokrit 37%. Kadar ureum 14 mg/dL,

kadar Creatinin 0,9 mg/dL, CCT 79 mg/dL, dan gula darah sewaktu 134.

Pemeriksaan elektrolit yaitu kalsium 8,5 mg/dL, Natrium 137 mmol/L, Kalium 3,6

Mmol/dL, dan Klorida serum 107 mmol/L. HbsAg nonreaktif. Nilai Troponin I

26.233 ng/mL ( Normal: <1 ng/mL). Troponin I rule in myocardial infarction .

Stratifikasi risiko pada pasien dilakukan dengan merujuk kepada skor TIMI

dan kriteria KILLIP. Skor TIMI pada pasien didapatkan 3/14 ( terdapat riwayat

angina sebelumnya, ST elevasi anterior, waktu onset hingga tatalaksana lebih dari
4 jam ). Sedangkan untuk kriteria KILLIP pada pasien masuk ke KILLIP I karena

tidak ada terdapat gagal jantung dan tanda-tanda udem paru.

Pasien di IGD diberikan loading ASA 160 mg, tricagrelor 180 mg.

Kemudian pasien direncanakan IKPP (intervensi koroner perkutaneus primer) dan

di transfer ke ruangan cath – lab. Di ruangan cath – lab telah dilakukan

pemasangan 1 stent DES di prox LAD (complete revaskular) dengan trombus

burden grade 3 atas indikasi IMA-EST anterior ekstensif. Didapatkan hasil TIMI,

flow 3 NBG 3, masalah (-), komplikasi (-). Setelah IKPP pasien dipindahkan ke

CVCU dengan hemodinamik stabil.

Tanggal 4 Juli 2018, pasien tidak ada keluhan, nyeri dada (-), sesak napas (-

) , keadaan umum sedang, kesadaran composmentis cooperatif, tekanan darah

117/80 mmHg, frekuensi nadi 73 x/menit, frekuensi napas 20 x/menit, suhu afebris.

Pada auskultasi jantung ditemukan S1-S2 reguler, murmur (-), gallop (-). Pada

auskultasi paru ditemukan vesikuler (+/+), rhonki (-/-), wheezing (-/-). Pada

auskultasi abdomen bising usus (+). Pemeriksaan ekstremitas ditemukan akral

hangat, edema (-).

Terapi yang diberikan IVFD RL 500 cc/24 jam, ASA 1 x 80 mg, Ticagrelor

2 x 90 mg, Atorvastatin 1 x 40 mg, Ramipril 1 x 2,5 mg, Laxadin 1 x 10 cc,

Alprazolam 1 x 0,5 mg, Ranitidin 2 x 5 mg.


Gambar 2.3 Gambar EKG pada saat pulang

Pada EKG diatas didapatkan Q patologis pada lead V1-V3. Pasien

dipindahkan ke bangsal Jantung dan pulang pada sore harinya.


BAB III

DISKUSI

Seorang pasien laki-laki, 54 tahun, datang ke IGD RSUP M.Djamil, Padang

tanggal 3 Juli 2018 pukul 13.07 WIB dengan keluhan nyeri dada sejak 4 jam

sebelum masuk rumah sakit. Nyeri dada khas infark, menjalar ke punggung, dengan

durasi lebih dari 20 menit, disertai keringat dingin, mual, dan muntah. Pasien adalah

rujukan dari RSUD Pariaman dengan diagnosis IMA-EST anterolateral dan sudah

mendapatkan loading DAPT (Double Anti Platelet Therapy) yaitu ASA 160 mg dan

clopidogrel 300 mg.

Nyeri yang terjadi pada pasien ini disebabkan adanya penyumbatan pada

arteri koroner pasien. Penyumbatan yang terjadi pada arteri koroner didasari oleh

patofisiologi arterosklerosis. Plak arterosklerosis pada dasarnya telah terjadi sejak

dekade pertama kehidupan manusia, jika ditambah dengan adanya faktor resiko

penyakit jantung koroner seperti diabetes melitus, hipertensi, dislipidemia, dan

merokok. Pada pasien ini faktor risikonya adalah merokok selama 42 tahun. Hal

tersebut akan meningkatkan terbentuknya plak akibat disfungsi endotel pada faktor

resiko dari penyakit jantung koroner. Lemak berupa kolesterol LDL dan trigliserida

akan masuk ke tunika intima dari endotel pembuluh darah, hal ini akan mengundang

datangnya monosit dan makrofag. Makrofag akan memfagosit lemak ini sehingga

akan terbentuk foam cell. Pada suatu keadaan dimana lemak meningkat pada tunika

intima dan peningkatan sel pro inflamasi pada daerah tersebut dengan sarung

fibrosa yang tipis , plak ini akan mudah ruptur dan menyebabkan aktivasi, adesi dan

agregasi platelet pada pembuluh darah sehingga akan membentuk trombosis.

Trombosis tersebut dapat menyebabkanpembuluh darah menyempit. Pada satu


keadaan trombosis akan ruptur dan membentuk trombus, trombus inilah yang dapat

menyumbat pembuluh darah secara total sehingga menyebabkan iskemia, trombus

bisa lepas dan menyebabkan emboli pada aliran darah yang lebih distal.

Pembuluh darah yang tersumbat secara total akan menyebabkan aliran darah

ke distal aliran darah akan terhambat dan menyebabkan kematian jaringan. Apabila

hal ini terjadi pada arteri koroner ini akan mencetuskan terjadinya iskemia sampai

dengan infark miokard. Ketika iskemia terjadi maka akan terjadi pelepasan

mediator seperti adenosin dan laktat dari proses sel iskemik miokardial keujung

saraf. Sehingga pasien akan muncul dengan keluhan di nyeri dada. Pasien akan

kesulitan menentukan titik nyerinya karena nyeri tersebut berasal dari retrosternal

tepatnya pada jantung. Proses iskemik pada fase akut bersifat persisten dan

mengarah kepada proses nekrosis dimana provokasi mediator tadi akan terus

menurus menumpuk pada saraf aferen dalam jangka masa lama. Rasa nyeri ini akan

menjalar ke region C7 melalui dermatom T4, termasuk di lengan. Pasien juga

mengeluh ada keringat dingin, mual, dan muntah. Hal ini didasari ketika terjadi

kerusakan pada otot jantung, akan menyebabkan munculnya gejala simpatis berupa

keringat dingin. Keluhan mual dan muntah merupakan respon parasimpatik dari

infark miokard.1,2

Pada nyeri dada harus dibedakan apakah nyeri dada tersebut kardiak atau

nonkardiak dengan menilai sifat nyeri yang khas yaitu Angina tipikal. Angina

tipikal berupa rasa tertekan/ berat di daerah retrosternal yang menjalar ke lengan

kiri, leher, area interskapular, bahu atau epigastrium yang berlangsung intermiten

atau persisten (> 20 menit), pada IMA-EST nyeri ini disertai dengan gejala sistemik

berupa keringat dingin, mual/muntah, nyeri abdominal sesak nafas dan singkop,
nyeri tidak hilang dengan istirahat maupun dengan pemberian nitrogliserin

sublingual. Nyeri dada yang bukan merupakan karakteristik iskemia miokard

diantaranya; 1) nyeri pleuritik (tajam berhubungan dengan batuk ; 2) nyeri abdomen

tengah atau bawah’ 3) nyeri dada yang dapat ditunjuk dengan satu jari (diapeks

ventrikel pertemuan kostokondral); 4) nyeri dada yang meningkat dengan gerakan

tubuh atau palpasi; 5) nyeri dada dengan durasi beberapa detik; 6) nyeri dada yang

menjalar ke ekstrimitas bawah. 1

Riwayat penyakit jantung dalam keluarga namun tidak ada riwayat diabetes

melitus, dan hipertensi. Pasien juga merupakan seorang perokok berat, hal ini

berkaitan dengan resiko disfungsi endotel yang menjadi dasar dari infark miokard.

Rokok memiliki kandungan berbahaya yang merusak endotel yaitu Nitric Oxide

(NO), CO, tar, nikotin dan radikal bebas lainnya yang dapat membahayakan untuk

tubuh terutama endotel. Ketidakseimbangan produksi NO pada endotel akibat

paparan asap rokok menjadi mekanisme utama untuk disfungsi endotel. Selain itu

adanya zat-zat radikal bebas akan mengakibatkan kerusakan jaringa dan disfungsi

endotel.

Pasien ini mempunyai faktor risiko untuk mendapat penyakit jantung

koroner dimana merokok dapat merangsang proses aterosklerosis karena efek

langsung terhadap dinding arteri. Karbon monoksid dapat menyebabkan hipoksia

jaringan arteri, nikotin menyebabkan mobilisasi katekolamin yang dapat menambah

reaksi trombosit dan menyebakan kerusakan pada dinding arteri, sedangkan

glikoprotein tembakau dapat menimbulkan reaksi hipersensitif

dinding arteri.6
Pemeriksaan fisik ditemukan bahwa pasien memiliki tekanan darah normal,

nadi dan nafas masih dalam batas normal. Serta tidak ditemukan adanya
peningkatan JVP, hal ini mengindikasikan bahwa pasien tidak mengalami masalah

pada jantung kanannya. Pemeriksaan fisik jantung tidak ditemukan adanya

kelainan, hal ini mengindikasikan belum terjadinya kelainan pada jantung yang

cukup signifikan. Serta untuk kelainan pada organ lainnya tidak ditemukan.

Pemeriksaan fisik dilakukan untuk mengidentifikasi faktor pencetus iskemia,

komplikasi iskemia, penyakit penyerta dan menyingkirkan diagnosis banding.

Faktor yang dapat mencetuskan terjadinya SKA pada pasien yang telah mempunyai

plak aterosklerosis seperti demam, anemia, hipotensi, takikardi dan tirotoksikosis.

Regurgitasi katup mitral akut, suara jantung tiga, ronkhi basah halus, dan hipotensi

hendaknya selalu diperiksa untuk mengidentifikasi komplikasi iskemia.

Ditemukannya tanda-tanda regurgitasi katup mitral akut, hipotensi, diaphoresis,

ronkhi basah halus dikedua lapangan paru atau edema paru meningkatkan

kecurigaan terhadap SKA. 1

Pemeriksaan EKG ditemukan EKG 12 lead menunjukkan sinus rhythm

reguler, hal ini berarti pasien tersebut kontraksi jantungnya masih diperintah oleh

SA Node. QRS rate: 77 bpm berarti jumlah kontraksi jantung dalam 1 menit

sebanyak 77 kali yang berarti normal. Axis normal berarti tidak terjadi peningkatan

voltase dan perpanjangan durasi kearah kanan atau kiri akibat adanya pembesaran

pada jantung kanan atau jantung kiri. Durasi QRS 0,08 detik berarti waktu yang

dibutuhkan oleh ventrikel untuk berdepolarisasi normal, ST elevasi pada lead I,

aVL, V1-V5 ini menyatakan telah terjadi infark miokard pada bagian anterior

jantung dan hampir terjadi pada seluruh sadapan anterior, hal ini menyebabkan

pasien disebut dengan IMA-EST anterior ekstensif. ST Depresi II, III, aVF hal ini

juga mengindikasikan terjadinya IMA-EST pada pasien ini pada bagian inferior.
Dari bentuk ST elevasi yang terjadi pada pasien hal ini menandakan infark miokard

yang terjadi pada pasien ini terjadi secara akut, yaitu <12 jam. RVH tidak ada, LVH

tidak ada. Kriteria ST elevasi adalah peningkatan segmen ST yang diukur dari titik

J pada dua atau lebih sadapan berurutan, pada sadapan ekstrimitas dikatakan ST

elevasi bila peningkatan segmen ST > 0.1 mV (1 kotak kecil) . Pada sadapan

prekordial, ST elevasi bila > 0.2 mV (2 kotak kecil) pada laki-laki usia ≥ 40 tahun

dan > 0.25mV (2,5 kotak kecil) pada laki-laki usia <20 tahun. Pada wanita

dikatakan ST elevasi bila >0,15mV (1,5 kotak kecil). 1

Tabel 3.1 Lokasi infark berdasarkan sadapan EKG15 :

Lokasi infark Elevasi Segmen ST


Antero-septal V1, V2, V3, V4
Anterior V3 dan V4
Septum V1 dan V2
Lateral V5 dan V6
Anterolateral I, aVL, V3, V4, V5, V6
Anterior – Ekstensif I, aVL, V1-V6
High Lateral I, aVL, V5, V6
Posterior V7-V9
Inferior II, III, Avf
Right Ventrikel V2R-V4R

Hasil EKG pada pasien ini dapat menggolongkan pasien ke dalam


8,9
kelompok ST elevasi myocardial infarction (IMA-EST). Pada IMA-EST terdapat

evolusi segmen ST seperti yang dijelaskan pada gambar 3.1.


Gambar 3.1 Evolusi ST selama IMA-EST16

Hasil laboratorium didapatkan adanya leukositosis dan peningkatan

Troponin I. Hal ini menunjukkan bahwa telah terjadi suatu infark dan inflamasi

pada miokard.

Setelah melakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik pada pasien serta

pemeriksaan penunjang berupa laboratorium, elektrokardiografi dan foto polos

toraks seperti yang dijabarkan diatas, maka pasien dapat didiagnosis IMA-EST

anterior ekstensif. Diagnosis Sindrom Koroner Akut (SKA) pada pasien ini

ditegakan berdasarkan ketentuan yang telah dikeluarkan oleh WHO dan AHA

(American Heart Association), yakni adanya 2 dari 3 kriteria berikut: gejala-gejala

dengan karakteristik SKA, perubahan EKG, dan adanya perubahan pada marka

biokimia.

Gejala dengan karakteristik nyeri angina tipikal yang berlangsung selama

atau lebih dari 20 menit yang tidak hilang dengan istirahat maupun pemberian

nitrogliserin disertai gejala penyerta dengan segmen T mengalami elevasi pada

EKG cukup untuk menegakkan diagnosis SKA oleh IMA-EST, diagnosis IMA-

EST dapat segera mendapat terapi reperfusi tanpa menunggu hasil biomarka

jantung, karena sebagian besar penderita IMA-EST akan mengalami peningkatan


biomarka jantung akibat kerusakan otot jantung yang bermakna.1

Sindrom Koroner Akut adalah terminologi yang digunakan pada gangguan

aliran darah koroner parsial hingga total ke miokard secara akut. Berbeda dengan

angina pektoris stabil, gangguan aliran darah miokard pada SKA bukan disebabkan

oleh penyempitan yang statis namun terutama oleh pembentukan trombus dari plak

aterosklerosis yang ruptur di arteri koroner yang sifatnya dinamis. Sehingga gejala

yang muncul adalah nyeri dada yang tiba-tiba dengan intensitas sesuai dengan

derajat penyempitan. Pada IMA-EST menimbulkan kematian sel otot miokard

distal dari penyumbatan sehingga sel otot yang rusak ini melepaskan komponennya

ke dalam pembuluh darah seperti yang bisa kita deteksi berupa Troponin dan
16.
CKMB. Resiko pembentukan plak aterosklerotik ini meningkat dengan adanya

faktor risiko pembuluh darah koroner yang mengakibatkan shear stress pada

dinding endotel arteri koroner seperti oleh hipertensi, diabetes melitus, merokok,

dislipidemia dan riwayat keluarga yang menderita penyakit jantung koroner. 1

Hal lain yang perlu dilakukan pada pasien yang didiagnosis dengan IMA-

EST adalah melakukan stratifikasi risiko pasien. Stratifikasi risiko pada pasien akan

menentukan prognosis pasien. Stratifikasi risiko dapat dilakukan dengan merujuk


17,18,19
kepada skor TIMI dan kriteria KILLIP. Stratifikasi risiko TIMI (Trombolysis

in Miocardial Infarction Score) memperkirakan resiko kematian pada SKA dan

kemungkinan iskemik rekuren. Kriteria KILLIP merupakan indikator klinis gagal

jantung sebagai komplikasi infark miokard akut dan ditujukan untuk

memperkirakan tingkat mortalitas dalam 30 hari.


Tabel 3.2 Thrombolysis in Myocardial Infarction (TIMI) Score for ST-Elevation
Myocardial Infarction (IMA-EST)18

Kriteria SKOR

Usia
3
≥ 75 tahun
2
65-74 tahun
Riwayat diabetes mellitus atau hipertensi atau angina 1

Tekanan darah sistolik < 100 mmHg 3

Denyut jantung > 100x/menit 2


Kelas KILLIP II-IV 2

Berat badan <67 kg (150 lbs) 1

ST elevasi anterior atau LBBB 1

Waktu hingga pengobatan awal > 4 jam 1

Tabel 3.3 Risiko mortalitas dalam 30 hari menurut skor TIMI10

Skor risiko TIMI untuk IMA-EST


Skor risiko
Dalam memprediksi kematian dalam 30 hari
0 0,8%
1 1,6%
2 2,2%
3 4,4%
4 7,3%
5 12,4%
6 16,1%
7 23,4%
8 26,8%
>8 35,9%
Pada pasien ini didapatkan skor TIMI pasien sebesar 3/14. Hal ini

menandakan risiko mortalitas pasien dalam 30 hari adalah 4,4%. Semakin tinggi

skor TIMI seorang pasien, risiko mortalitas pasien akan semakin besar.

Berdasarkan kriteria KILLIP,pasien pada kasus ini dikategorikan ke dalam kelas

KILLIP I dengan angka mortalitasnya sebesar 6%.9,10,11

Tabel 3.4 Mortalitas 30 hari berdasarkan kelas KILLIP

Kelas KILLIP Temuan Klinis Mortalitas


Tidak terdapat gagal jantung (tidak 6%
I
terdapat
ronkhi maupun S3)
Terdapat gagal jantung ditandai dengan 17%
II
S3 dan
ronkhi basah pada setengah lapangan
paru
Terdapat edema paru ditandai oleh ronkhi38%
III
basah
di seluruh lapangan paru
Terdapat syok kardiogenik ditandai oleh 81%
IV tekanan darah sistolik <90 mmHg dan
tanda hipoperfusi
Jaringan

Anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang pada pasien ini

menghasilkan sebuah kesimpulan berupa diagnosis pasien, yakni Pasien

didiagnosis dengan IMA-EST anterior ekstensif KILLIP I dan TIMI 3/14.

Tatalaksana pertama kali di IGD yang diberikan pada pasien ini yaitu pemberian

oksigen 4 L/menit nasal kanul, pemberian IVFD RL 24 jam/kolf, pemberian

antiplatelet ASA dosis loading 160 mg, clopidogrel dosis loading 300 mg dan

monitoring jantung.
Pasien IMA-EST ditekankan untuk segera mendapatkan pengobatan awal

medikamentosa yaitu morfin, O2, nitrat, aspirin, clopidogrel (MONACO) yang

tidak harus diberikan secara bersamaan.12 Aspirin diberikan pada pasien SKA

dengan dosis loading 160 mg (2 x 80 mg tablet dikunyah) dan kemudian dilanjutkan

dengan dosisi pemeliharaan 80 mg/ hari. Ini diberikan pada pasien yang belum

mendapatkan aspirin sebelumnya, tidak ada riwayat alergi, tidak ada perdarahan

lambung. Aspirin sendiri sebagai anti platelet dapat menurunkan oklusi koroner dan

berulangnya kejadian iskemik. Clopidogrel sebagai anti platelet terutama

bermanfaat bagi pasien IMA-EST dengan dosis loading 300 mg (4 x 75 mg tablet)

untuk usia <75 tahun dan jika pasien mendapat terapi fibrinolitik, kemudian

dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan 75 mg/ hari.13 Nitrat diberikan pada terapi

awal SKA sebagai anti nyeri, selain itu nitrat juga berefek sebagai vasodilator

perifer yang menurunkan venous return sehingga preload menurun dan mengurangi

beban jantung.

Tatalaksana IMA-EST dengan onset <12 jam dilakukan revaskularisasi.

Revaskularisasi dapat dilakukan dengan pemberian obat trombolitik atau IKPP.

Bila fasilitas dan SDM di cath-lab siap melakukan 2 jam, maka dilakukan IKPP.

Edukasi yang dapat kita berikan pada pasien ini berupa edukasi kepatuhan

terhadap pengobatan, pengaturan aktivitas fisik, pengaturan pola makan, dan

pengendalian faktor risiko. Prognosis pada pasien ini adalah dubia ad bonam.13
BAB IV

Kesimpulan

Seorang pasien laki-laki, 54 tahun, datang ke IGD RSUP M.Djamil Padang

tanggal 3 Juli 2018 pukul 13.07 WIB dengan keluhan nyeri dada khas infark onset

<12 jam. Pasien adalah rujukan dari RSUD Pariaman dengan diagnosis IMA-EST

anterolateral dan sudah mendapatkan loading DAPT (Dual Anti Platelet Therapy).

Pemeriksaan fisik ditemukan bahwa pasien memiliki tekanan darah normal, nadi,

nafas dan JVP normal. Pemeriksaan fisik jantung tidak ditemukan adanya kelainan,

hal ini mengindikasikan belum terjadinya kelainan pada jantung yang cukup

signifikan. Serta untuk kelainan pada organ lainnya tidak ditemukan.

Pemeriksaan EKG 12 lead menunjukkan sinus rhythm, ST elevasi anterior

ekstensif dan resiprokral di inferior. Dari bentuk ST elevasi yang terjadi pada pasien

hal ini menandakan infark miokard yang terjadi pada pasien ini terjadi secara akut,

yaitu <12 jam. Hasil pemeriksaan laboratorium menunjukkan kesan leukositosis

dan Troponin I meningkat. Troponin I rule in myocardial infarction. Hal ini berarti

telah terjadi suatu inflamasi dan infark miokard.

Pasien segera dilakukan revaskularisasi IKPP dan didapatkan trombus

burden grade 3 di LAD dan telah dilakukan pemasangan stent di prox LAD dengan

hadil yang baik serta tidak didapatkan komplikasi setelah pemasangan. Setelah

satu hari tindakan, pasien diperbolehkan pulang dengan kondisi stabil dan

diberikan edukasi.

.
DAFTAR PUSTAKA

1. Rilantono, LI. 2012. 5 Rahasia Penyakit Kardiovaskular PKV. Jakarta:

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. pp: 121-2.

2. World Health Organization (2015). Health in 2015: From mdgs to sdgs, pp

131- 152.

3. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. 2008. Riset kesehatan

dasar 2007. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.

4. Juzar D, Irmalita (2015). Sindrom koroner akut. Dalam: Rilantono LI.

Penyakit kardiovaskular (pkv) 5 rahasia. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas

Kedokteran Indonesia, pp 138-160.

5. Alwi I (2014). Infark miokard akut dengan elevasi ST. Dalam: Siti S, Alwi

I, Sudoyo AW, Marecellus SK, Bambang S, Ari FS (eds). Buku ajar penyakit dalam

jilid ii. Edisi keenam. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam.

6. Christofferson, RD (2009). Acute Myocardial Infarction. Dalam: Nair D,

Ashley K, Griffin BP, Eric JT. Manual of Cardiovascular Medicine. Third Edition.

Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins. pp: 1-25.

7. Antman EM, Loscalzo J, (2015). ST-Segmen Elevation Myocardial

Infarction. Dalam: Kasper DL, Fauci AS, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL,

Loscalzo J, (2015). Harrison‟s Principles of Internal Medicine. 19th Edition. Mc

Graw Hill education. pp: 1599.


8. Arso IA, Setianto BY, Taufiq N, Hartopo AB (2014). In-hospital Major

Cardiovascular Event between STEMI Receiving Thrombolysis Therapy and

Primary PCI. Acta Medica Indonesiana - The Indonesian Journal of Internal

Medicine. 46:124-30.

9. Munawar, M (2012). Terapi Intervensi Non Bedah pada Penyakit Jantung

Koroner. Dalam: Rilantono, LI. 5 Rahasia Penyakit Kardiovaskular PKV. Jakarta:

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. pp: 194-212.

10. Gayatri NI, Firmansyah S, Hidayat S, Rudiktyo E (2016). Prediktor

Mortalitas dalam Rumah Sakit Pasien Infark Miokard ST Elevasi (STEMI) Akut di

RSUD dr. Dradjat Prawiranegara Serang, Indonesia. CDK-238. 43(3): 171-4.

11. PERKI (2015). Pedoman Tatalaksana Sindrom Koroner Akut Edisi Ketiga.

Jakarta: Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia 2015.

12. Kolansky, DM (2009). Acute Coronary Syndromes: Morbidity, Mortality

and Pharmacoeconomic Burden. American Journal of Managed Care. Published

Online.

13. Kumar A, Cannon CP. Acute coronary syndromes: diagnosis and

management. Mayo Clin Proc. 2009;84(10).917-38

14. Zi

pes, Libby, Bonow, et al. Braunwald’s Heart Disease 11th edition. Canada: Elsevier:

2018.

15. Rhee JW, Sabatine MS, Lilly LS. Chapter 7: Acute

Coronary Syndrome.
16. Pathophysiology of heart disease : a collaborative project of medical students

and faculty/ editor Leonard S. Lilly.—5th ed.Lippincott Williams & Wilkins. Philadelpia.

2011.

17. Pacheco HG, Mendoza AA, Sangabriel AA, Herrera UJ, Damas F, Lidt GE,

Manzur FA, Sánchez CM. The TIMI risk score for IMA- EST predicts in-

hospitalmortality andadverse events in patients without cardiogenic shock

undergoingprimary angioplasty. Mexico. Arch Cardiol Mex, 2012; 82(1):7

18. Thygesen K, et al. Third universal definition of myocardial infarction.

European Heart Journal. 2012; 33, 2551-67.

19. Amsterdam EA, et al. AHA/ACC Guideline for the Management of Patiens

With Non-ST Elevation-A Report of the American College of Cardiology or

American Heart Association Task Force on Practice Guidelines. JACC. 2014;

13,15.

20. Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia. Sindrom Koroner

Akut dengan Elevasi ST Segmen (IMA-EST). Dalam: Panduan Praktis Klinis

(PPK) dan Clinical Pathway (CP) Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah. Jakarta:

PERKI, 2016; 13-15.

21. O’Gara PT, et al. ACC/AHA Guidelines for the Management of Patients

With ST- Elevation Myocardial Infarction. American: ACC/AHA Practice

Guidelines, 2013.

Anda mungkin juga menyukai