Anda di halaman 1dari 27

SISTEM INOVASI DALAM PEMBANGUNAN

KAWASAN EKONOMI KHUSUS (KEK)


DI INDONESIA

Oleh :

1. Ni Wayan Winda Kumara Dewi (1717010044)


2. Ni Made Cahyanti Kusuma Dewi (1717010069)

PROGRAM STUDI EKONOMI PEMBANGUNAN FAKULTAS EKONOMI


UNIVERSITAS TABANAN
TAHUN 2018

1
BAB I

PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang

Model pembangunan dewasa ini yang hangat dibicarakan di Indonesia dan mulai
masuk dalam tahap implementasi adalah pembangunan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK).
Kawasan Ekonomi Khusus merupakan suatu kawasan dengan batas tertentu yang ditetapkan
untuk menyelenggarakan fungsi perekonomian dan memperoleh fasilitas tertentu. Fasilitas-
fasilitas tertentu ini terkait dengan kemudahan-kemudahan yang diberikan kepada investor
dalam melakukan kegiatan perdagangan dan investasi, dengan demikian akan mendorong
masuknya investasi dalam jumlah besar ke dalam kawasan tersebut.

Kemudahan-kemudahan yang diberikan bagi investor yang bersedia menanamkan


modalnya di KEK berwujud insentif fiskal maupun insentif non fiskal. Insentif fiskal yang
ditawarkan adalah :
- setiap wajib pajak yang melakukan kegiatan usaha di KEK diberikan fasilitas Pajak
Penghasilan (PPh);
- pengurangan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dalam kurun waktu tertentu bagi penanam
modal;
- penangguhan bea masuk, pembebasan cukai (sepanjang merupakan bahan baku atau bahan
penolong industri), pembebasan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan Atas
Barang Mewah (PPnBM) untuk impor barang ke KEK;
- setiap wajib pajak yang melakukan kegiatan usaha di KEK diberikan pembebasan atau
keringanan pajak daerah dan retribusi daerah.
Sementara itu insentif non fiskal yang ditawarkan adalah :
- kemudahan dan keringanan perijinan untuk kegiatan usaha, perindustrian, perdagangan,
kepelabuhan, dan keimigrasian bagi pelaku bisnis;
- fasilitas keamanan;
- ijin mempekerjakan tenaga kerja asing yang mempunyai jabatan sebagai direksi atau
komisaris diberikan sekali dan berlaku selama tenaga kerja yang bersangkutan menjadi
direksi atau komisaris.
Ekonomi biaya tinggi dianggap sebagai hambatan berinvestasi di Indonesia, terutama
bagi para investor luar negeri. Ekonomi biaya tinggi seringkali dipicu oleh panjangnya dan
rumitnya pengurusan perijinan yang berimplikasi pada tingginya biaya perijinan, di samping
itu dipicu oleh kebijakan-kebijakan fiskal pemerintah yang dianggap memberatkan para
2
pelaku bisnis. Keberadaan KEK diharapkan dapat memangkas ekonomi biaya tinggi dan
membuat iklim berinvestasi di Indonesia menjadi menarik bagi investor.
Langkah Indonesia membangun KEK bukanlah yang pertama kali di dunia. Telah
banyak negara yang menerapkan KEK untuk menggairahkan perekonomian negara dimana
salah satu praktek KEK yang sukses adalah di Cina. Namun demikian, penerapan KEK ada
yang gagal total sama sekali sebagaimana yang terjadi di Korea Utara. Keberhasilan Cina
menerapkan KEK menjadi daya tarik Indonesia untuk mengikuti jejak Cina membangun
KEK, yang kini terbukti Cina semakin merajai perindustrian dan perdagangan di tingkat
global.
Pembangunan KEK mulai diterapkan di kawasan Batam, Bintan, dan Karimun (BBK)
dan dijadikan proyek percontohan KEK di Indonesia. Sejumlah daerah lain diperkirakan akan
segera mengikuti jejak BBK menerapkan KEK karena telah banyak daerah yang mengusulkan

dirinya untuk dijadikan lokasi KEK. Salah satu daerah tersebut adalah Kabupaten Bekasi
yang mengusulkan kepada Pemerintah untuk menjadikan Kawasan Industri Cikarang sebagai
KEK. Pengajuan Kawasan Industri Cikarang untuk menjadi Kawasan Ekonomi Khusus
sebenarnya telah lama digulirkan. Pengajuan tersebut memang tidak terlepas dari
pembentukan KEK Batam, Bintan, dan Karimunjawa (BBK) oleh Pemerintah. Merasa lebih
kompeten dan potensial dibandingkan dengan BBK, maka sejak saat itu Pemerintah Provinsi
Jawa Barat dengan persetujuan Pemerintah Kabupaten Bekasi berupaya mengajukan Kawasan
Industri Cikarang agar dijadikan KEK pula. Hal ini dikarenakan 60% industri manufaktur di
Indonesia berada di Jawa Barat, terutama di Cikarang Bekasi. Akhirnya usulan tersebut
diterima oleh Pemerintah dan kemudian Kawasan Industri Cikarang diproyeksikan menjadi
KEK dan saat ini dalam tahap perencanaan.

Namun demikian, pembangunan Kawasan Industri Cikarang sebagai KEK bukan


tanpa hambatan. Beberapa reaksi telah ditunjukkan oleh beberapa kalangan. Salah satunya
adalah reaksi dari Serikat Pekerja yang mengarah kepada resistensi terhadap penerapan KEK.
Resistensi ini muncul karena adanya kekhawatiran nasib para pekerja akan makin tertindas
dengan penerapan KEK ini karena KEK dianggap lebih memihak kepentingan pengusaha.
Potensi resistensi juga datang dari masyarakat lokal, yang selama ini kurang terakomodasi
dalam lapangan kerja di Kawasan Industri Cikarang. Belum lagi potensi resistensi yang dapat
muncul dari para pelaku UMKM lokal yang pasti akan terkena dampak dari pembangunan
KEK di Kawasan Industri Cikarang.

Pembangunan KEK memang akan memiliki implikasi bagi sejumlah pihak, baik
pemerintah pusat, pemerintah daerah, investor asing, investor domestik, para pekerja, UMKM

3
lokal, dan masyarakat setempat yang daerahnya menjadi lokasi KEK. Banyaknya pihak yang
akan menerima dampak dari pelaksanaan KEK tentunya memunculkan negosiasi-negosiasi
berbagai kepentingan yang berbeda. Riak-riak resistensi sudah mulai nampak sebagai wujud
ketakutan dan kehawatiran dari pihak-pihak yang mungkin akan “kalah” atau “dikalahkan”
dalam negosiasi tersebut. Untuk mencapai pembangunan KEK yang berhasil sebagaimana
yang diharapkan oleh pemerintah, maka perlu digagas inovasi sistemik dalam pembangunan
KEK dimana kepentingan sejumlah pihak yang berbeda harus dirangkul dan diakomodasi
sehingga KEK dapat berjalan sukses dan manfaatnya dapat dinikmati secara bersama-sama
oleh sejumlah pihak.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apakah definisi dari sistem inovasi ?
2. Bagaimanakah inisiator pembangunan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) ?
3. Bagaimanakah resistensi dan potensi konflik Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) ?
4. Bagaimanakah dampak dan potensi resiko konflik Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) ?
5. Bagaimanakah peluang inovasi, peluang pembelajaran, dan aspek Pembelajaran
pembangunan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) ?

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui definisi dari sistem inovasi.
2. Untuk mengetahui inisiator pembangunan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK).
3. Untuk mengetahui Resistensi dan potensi konflik Kawasan Ekonomi Khusus (KEK).
4. Untuk mengetahui Dampak dan Potensi Resiko konflik Kawasan Ekonomi Khusus
(KEK) ?
5. Untuk mngetahui peluang inovasi, peluang pembelajaran, dan aspek pembelajaran
pembangunan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) ?

4
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Sistem Inovasi

Inovasi seringkali dikembangkan dalam sistem yang dibentuk oleh aktor-aktor dan
organisasi-organisasi, yang semuanya berkontribusi dalam cara-cara yang berbeda dan
interaktif. Hubungan antara aktor-aktor dan organisasi-organisasi dan institusi-institusi yang
mempengaruhi membentuk sistem inovasi. Lundvall menekankan bahwa pembelajaran
merupakan aktivitas sentral dalam sistem inovasi dimana pembelajaran merupakan sebuah
aktivitas sosial yang melibatkan interaksi antara orang-orang. Hal ini menunjukkan bahwa
sistem inovasi merupakan sebuah sistem sosial dan dinamis, yang dicirikan dengan umpan
balik positif dan reproduksi. Proses-proses pembelajaran dan inovasi dapat dipromosikan oleh
unsur-unsur sistem inovasi yang memperkuat satu sama lain, atau sebaliknya yang
menghalangi proses-proses semacam itu ketika unsur-unsur tersebut bergabung ke dalam
kumpulan yang kurang baik. Oleh karena itu, menjadi sangat penting bahwa pengetahuan
individu-individu atau agen-agen kolektif dihasilkan dan dipertukarkan (Negro, 2007).

Definisi mengenai sistem inovasi sangat beragam. Terdapat berbagai sudut pandang
dalam memaknai sistem inovasi. Lundvall (1992) mendefinisikan sistem inovasi sebagai
unsur-unsur dan hubungan-hubungan yang berinteraksi dalam produksi, difusi, dan
penggunaan pengetahuan yang baru dan berguna secara ekonomis, dan seringkali berlokasi
atau berakar dalam batas-batas suatu negara. Freeman (1987) menyatakan sistem inovasi
sebagai jejaring kelembagaan dalam sektor publik dan swasta dimana kegiatan-kegiatan dan
interaksi-interaksinya memulai, mendatangkan, mengubah, dan mendifusikan teknologi-
teknologi baru. Sementara itu, definisi sistem inovasi menurut Hall dkk. (2003) adalah
kelompok organisasi dan individu yang terlibat dalam produksi, difusi dan adaptasi, dan
penggunaan pengetahuan signifikansi sosial ekonomi, dan konteks kelembagaan yang
mengatur cara dimana interaksi-interaksi dan proses-proses ini terjadi. Lebih lanjut Hall dkk.
(2003) menyatakan bahwa pendekatan sistem inovasi memandang inovasi dalam cara yang
lebih sistemik, interaktif, dan evolusioner, dimana produk-produk dan proses-proses baru
dibawa ke dalam penggunaan ekonomi dan sosial melalui kegiatan-kegiatan jejaring
organisasi yang dimediasi oleh berbagai kelembagaan dan kebijakan.

5
Meskipun terdapat berbagai definisi mengenai sistem inovasi, berbagai definisi
tersebut menunjukkan empat hal yang sama. Pertama, ada penekanan bahwa inovasi adalah
proses pembelajaran. Hal ini berarti bahwa perubahan teknologi tidak banyak
dipertimbangkan sebagai pengembangan material, tetapi lebih sebagai suatu rekombinasi dari
pengetahuan (yang seringkali sudah ada) atau penciptaan kombinasi-kombinasi baru. Proses
pembelajaran ini bergantung pada keterlibatan banyak aktor yang mempertukarkan
pengetahuan, aktor-aktor ini terdiri dari berbagai organisasi, meliputi perusahaan, pemerintah,
dan lembaga penelitian. Kedua, ada penekanan pada peranan lembaga. Lembaga dapat
dianggap sebagai ketentuan, regulasi, dan rutinitas yang membentuk ruang kemungkinan bagi
aktor-aktor. Dengan ini, lembaga merupakan penggerak maupun hambatan penting bagi
inovasi (Suurs, 2009).

Ketiga, sistem inovasi menekankan hubungan antara aktor dan lembaga atau adanya
gagasan tentang suatu sistem. Perspektif sistem menunjukkan adanya pendekatan holistik.
Holistik dalam sistem inovasi berarti bahwa kinerja suatu sistem inovasi tidak dapat dianggap
sebagai fungsi linear dari unsur-unsurnya. Sebaliknya, hal tersebut merupakan hasil dari
banyak hubungan di antara unsur-unsurnya. Keempat, sistem inovasi menekankan pentingnya
interaksi yang berkelanjutan di antara banyak proses dimana semua proses ini berjalan paralel
dan memperkuat satu sama lain melalui mekanisme umpan balik positif. Jika umpan balik
semacam ini diabaikan, apakah oleh pembuat kebijakan ataupun oleh pengusaha, maka hal ini
kemungkinan besar menyebabkan kegagalan dalam proses inovasi di seluruh sistem (Suurs,
2009).

Edquist (2001) dalam Negro (2007) menekankan bahwa faktor-faktor penentu


(ekonomi, sosial, politik, organisasi, dan lain-lain) yang mempengaruhi pembangunan, difusi,
dan penggunaan inovasi, dapat ditelusuri dengan mengidentifikasi semua aktivitas yang
terjadi dalam sistem inovasi. Bagaimanapun, hal tersebut tidak mungkin untuk memetakan
seluruhnya, oleh karenanya hanya kegiatan-kegiatan yang paling relevan yang dimasukkan,
misalnya kegiatan yang mempengaruhi tujuan sistem inovasi. Kegiatan-kegiatan yang
berkontribusi terhadap tujuan sistem inovasi disebut sebagai fungsi dari sistem inovasi atau
fungsi sistem (Hekker dkk, 2006 dalam Negro, 2007). Jacobsson dan Johsons
mengembangkan konsep fungsi sistem dan mendefinisikannya sebagai sebuah kontribusi dari
suatu komponen atau seperangkat komponen terhadap kinerja suatu sistem (Bergek, 2002
dalam Negro, 2007).

Fungsi sistem yang paling mendasar sebagaimana yang disebutkan dalam banyak
kajian tentang sistem inovasi adalah kegiatan “pembelajaran” atau “pembelajaran interaktif”.

6
Kegiatan ini berada pada inti pendekatan sistem inovasi (Lundvall, 1992 dalam Negro, 2007).
Sementara itu, Edquist dan Johnson (1997) dalam Negro (2007) mengungkapkan tiga fungsi
kelembagaan dalam sistem inovasi, yaitu kelembagaan mengurangi ketidakpastian dengan
menyediakan informasi, mengelola konflik dan kerja sama, dan menyediakan insentif-insentif
untuk inovasi. McKelvey (1997) dalam Negro (2008) melihat tiga fungsi berbeda dari sistem
inovasi sebagaimana dia mendefinisikan sistem inovasi berdasarkan teori evolusioner, yaitu
(i) penyimpanan dan penyebaran informasi, (ii) menghasilkan kebaruan yang mengarah pada
keberagaman, dan (iii) pemilihan di antara alternatif-alternatif. Pentingnya jejaring sangat
ditekankan.

Johnsons (1998) dalam Negro (2008) mengidentifikasi delapan fungsi sistem, yaitu :
1. menyediakan insentif bagi perusahaan untuk terlibat dalam pekerjaan inovatif;
2. menyediakan sumber-sumber daya (modal dan kompetensi);
3. memandu arah pencarian (mempengaruhi arah aktor-aktor dalam menggunakan sumber
daya);
4. mengenal potensi pertumbuhan (mengidentifikasi kemungkinan teknologi dan
keberlangsungan ekonomi);
5. memfasilitasi pertukaran informasi dan pengetahuan;
6. menstimulasi/menciptakan pasar;
7. mengurangi ketidakpastian sosial (misalnya ketidakpastian tentang bagaimana yang lain
akan beraksi dan bereaksi);
8. menangkal resistensi terhadap perubahan yang mungkin timbul dalam masyarakat ketika
suatu inovasi diperkenalkan (memberikan legitimasi bagi inovasi).
Bruijn dkk. (2004) mengungkapkan bahwa hakikat sistem inovasi adalah komprehensif
dan radikal. Inovasi bersifat komprehensif karena seluruh sistem harus berubah, bukan hanya
sebuah komponen dari sistem. Hal ini secara otomatis membuat perubahan menjadi radikal
dimana sistem secara keseluruhan harus berubah, tidak hanya satu komponen atau beberapa
komponen, di samping itu institusi, nilai, dan norma yang mendasari juga harus berubah.
Terdapat beberapa karakteristik penting dari sebuah inovasi yang bersifat sistemik, yaitu :

a. Inovasi sistem bersifat dikehendaki, artinya tujuan perubahan dirumuskan sebelum


perubahan terjadi, seringkali merupakan tujuan jangka panjang.
b. Inovasi sistem bersifat disengaja, artinya orang-orang menyadari sifat sistemik dari inovasi
dan implikasinya.
c. Interaksi mendominasi, artinya tujuan perubahan dirumuskan bersama-sama dengan pihak-
pihak terkait dan terus menerus disesuaikan karena tidak mungkin bagi satu pihak atau

7
beberapa pihak untuk mewujudkan inovasi sistem.
d. Inovasi sistem merupakan perubahan paradigma, untuk mencapai hal ini diperlukan
inisiator perubahan yang memimpin untuk mencapai tujuan perubahan yang disepakati
bersama.
Menurut Bruijn dkk. (2004) terdapat beberapa pola inovasi yang mungkin terjadi, yang
dapat digolongkan ke dalam tiga pola sebagai berikut.
Pola I Pola II Pola III
Inisiator inovasi Pemerintah dan Akademisi/periset Pemerintah dan
pelaku pasar dan pelaku pasar akademisi/periset
Tipe perubahan Radikal, komprehensif, Organik; Kombinasi antara
perencanaan unilateral perubahan emergent terencana dan
emergent
Pendekatan Top down, bermula dari Bottom up, seluruh Berjejaring,
situasi akhir yang elemen berubah kombinasi dari
dikehendaki sebagai aksi bottom kepentingan-
up kepentingan,
interdependensi

Bruijn dkk. (2004) mengungkapkan tiga faktor penting yang membatasi peluang untuk
mengelola sistem inovasi yaitu :
1. Kekurangan pengetahuan
Sifat mendasar dari perubahan adalah adanya sejumlah besar ketidakpastian.
Ketidakpastian tersebut meliputi :
- keterkaitan antara permasalahan yang ada dengan institusi, struktur, dan norma yang ada;
- institusi, struktur, dan norma yang membutuhkan perubahan;
- dampak perubahan terhadap situasi baru;
- biaya finansial dan sosial dari proses perubahan;
- permasalahan yang mungkin timbul pada situasi yang baru;
- biaya dan dampak dari munculnya permasalahan baru.
Seringkali tidak ada pengetahuan sama sekali mengenai hal-hal di atas. Pihak-pihak yang
berbeda dapat memiliki pandangan yang berbeda. Hal ini menyebabkan inovasi sistem
memiliki resiko.
2. Konsensus berlangsung secara linear
Sistem inovasi mempengaruhi kepentingan banyak pihak. Dalam masyarakat modern,
pihak tersebut cenderung untuk bekerja dalam jaringan: mereka saling bergantung, tidak

8
ada pihak manapun yang memiliki kekuasaan untuk memaksakan pandangannya pada
pihak yang lain. Pihak-pihak yang terlibat cenderung untuk mengambil pandangan yang
berbeda mengenai keinginan suatu sistem inovasi. Beberapa pihak akan mendukungnya,
beberapa pihak akan bersikap netral, beberapa pihak yang lain lagi akan berusaha untuk
menghalangi inovasi.
3. Pertentangan antara nilai publik dan nilai individu
Banyak perubahan sistem terjadi pada irisan antara sektor publik dan sektor individu.
Akibatnya sistem inovasi memiliki potensi tinggi untuk menimbulkan konflik.

2.2 Teori Kerja Sama


Kerja sama pada hakekatnya mengindikasikan adanya dua pihak atau lebih yang
berinteraksi secara dinamis untuk mencapai suatu tujuan bersama. Dalam pengertian itu
terkandung tiga unsur pokok yang melekat pada suatu kerangka kerja sama, yaitu unsur dua
pihak atau lebih, unsur interaksi, dan unsur tujuan bersama. Jika satu unsur tersebut tidak
termuat dalam satu objek yang dikaji, dapat dianggap bahwa pada objek itu tidak terdapat
kerja sama. Unsur dua pihak, selalu menggambarkan suatu himpunan yang satu sama lain
saling mempengaruhi sehingga interaksi untuk mewujudkan tujuan bersama penting
dilakukan. Apabila hubungan atau interaksi itu tidak ditujukan pada terpenuhinya kepentingan
masing-masing pihak, maka hubungan yang dimaksud bukanlah suatu kerja sama. Suatu
interaksi meskipun bersifat dinamis, tidak selalu berarti kerja sama. Kerja sama senantiasa
menempatkan pihak-pihak yang berinteraksi pada posisi yang seimbang, serasi, dan selaras.
Menurut Thomson dan Perry, kerja sama memiliki derajat yang berbeda, mulai dari
koordinasi dan kooperasi (cooperation) sampai pada derajat yang lebih tinggi yaitu kolaborasi
(collaboration). Para ahli pada dasarnya menyetujui bahwa perbedaan terletak pada
kedalaman interaksi, integrasi, komitmen, dan kompleksitas dimana cooperation terletak pada
tingkatan yang paling rendah, sedangkan collaboration berada pada tingkatan yang paling
tinggi.
Bowo dan Andy menjelaskan bahwa dalam pelaksanaan kerja sama harus tercapai
keuntungan bersama. Pelaksanaan kerja sama hanya dapat tercapai apabila diperoleh manfaat
bersama bagi semua pihak yang terlibat didalamnya (win-win). Apabila satu pihak dirugikan
dalam proses kerja sama, maka kerja sama tidak lagi terpenuhi. Dalam upaya mencapai
keuntungan atau manfaat bersama dari kerja sama, perlu komunikasi yang baik antara semua
pihak dan pemahaman yang sama terhadap tujuan bersama.

9
2.3 Inisiator KEK

Pembentukan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) merupakan program yang diinisiasi


oleh pemerintah untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi dengan mempertimbangkan
aspek ruang atau wilayah. Titik tekannya terletak pada pemberian prioritas berupa perlakuan
khusus pada kawasan tertentu untuk menjadi pusat pertumbuhan. Pembentukan KEK
sesungguhnya bukan hal baru di Indonesia. Program pembangunan serupa sudah pernah
diterapkan di Indonesia, di antaranya Tempat Penimbunan Berikat (PP Nomor 33 Tahun
1996), Kawasan Industri (Keputusan Presiden Nomor 41 Tahun 1996), Kawasan
Pengembangan Ekonomi Terpadu/KAPET (Keputusan Presiden No. 150 Tahun 2000), serta
Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas (UU Nomor 36 Tahun 2000 sebagaimana
telah diubah dengan UU Nomor 1 Tahun 2007). Adapun tujuan utama dari KEK ini adalah
pengintegrasian industri yang beroperasi di dalamnya dengan ekonomi global dengan cara
melindungi mereka terhadap berbagai cara-cara distorsi seperti tarif dan birokrasi yang
berbelit-belit.

KEK mendapatkan sejumlah fasilitas dan insentif dari pemerintah sehingga


diproyeksikan menjadi kawasan yang sangat menarik bagi investor domestik maupun
mancanegara. Infrastruktur berstandar internasional dibangun secara memadai oleh
pemerintah untuk menunjang aktivitas perindustrian dalam KEK. Berbagai insentif
ditawarkan oleh pemerintah, baik berupa insentif fiskal maupun insentif non fiskal. Program
KEK di Indonesia tidak muncul begitu saja di Indonesia, tetapi terinspirasi oleh pengalaman
negara lain yang telah sukses menerapkan KEK, di antaranya China yang saat ini telah
menjadi salah satu negara industri maju yang sangat diperhitungkan di tingkat dunia.

Program KEK merupakan perpaduan antara kebijakan top down dari pemerintah pusat
dan kebijakan bottom up dari pemerintah kabupaten/kota. Dalam era otonomi daerah saat ini,
maka pemerintah kabupaten/kota memiliki kewenangan yang lebih luas dalam membangun
wilayahnya sehingga pembentukan KEK di wilayah tertentu haruslah mendapatkan
persetujuan dari pemerintah kabupaten/kota setempat. Hal ini ditegaskan dalam Bab III Pasal
5 dalam UU No. 39 Tahun 2009 tentang Kawasan Ekonomi Khusus yang intinya bahwa
pembentukan KEK dapat diusulkan kepada Dewan Nasional oleh Badan Usaha, pemerintah
provinsi, atau pemerintah kabupaten/kota. Pengusulan pembentukan KEK oleh Badan Usaha
atau pemerintah provinsi harus mendapatkan persetujuan dari pemerintah kabupaten/kota.
Dengan demikian, dalam pembentukan KEK persetujuan dari pemerintah kabupaten/kota
menjadi persyaratan mutlak sehingga pengusulan pembentukan KEK memang harus

10
dilakukan secara bottom up. Apabila suatu kabupaten/kota telah disetujui oleh Dewan
Nasional sebagai lokasi KEK, maka segala aturan main yang telah digariskan oleh Dewan
Nasional menjadi pedoman dalam pelaksanaan KEK sehingga kebijakan pengembangan KEK
bersifat top down.

Dalam kasus pembangunan KEK di Kawasan Industri Cikarang terjadi pertemuan


kepentingan antara pemerintah daerah (Pemerintah Provinsi Jawa Barat dan Pemerintah
Kabupaten Bekasi) dan pemerintah pusat. Tawaran pemerintah pusat untuk membentuk KEK
di sejumlah daerah di Indonesia, direspon oleh Pemerintah Provinsi Jawa Barat dan
Pemerintah Kabupaten Bekasi dengan mengusulkan Kawasan Industri Cikarang sebagai
KEK. Dengan demikian, pemerintah pusat, Pemerintah Provinsi Jawa Barat, dan Pemerintah
Kabupaten Bekasi dapat dikatakan sebagai inisiator dari pembentukan KEK di Kawasan
Industri Cikarang.

Dalam menyelenggarakan pengembangan KEK, dibentuk Dewan Nasional dan Dewan


Kawasan. Dewan Nasional diketuai oleh menteri yang menangani urusan pemerintahan di
bidang perekonomian dan beranggotakan menteri dan kepala lembaga pemerintah non
kementerian. Dewan Nasional memiliki tugas, di antaranya :
a. menyusun Rencana Induk Nasional KEK;
b. menetapkan kebijakan umum dan rencana strategis untuk mempercepat pertumbuhan dan
pengembangan KEK;
c. menetapkan standar infrastruktur dan pelayanan minimal dalam KEK.
Sementara itu, Dewan Kawasan dibentuk pada setiap provinsi yang sebagian wilayahnya
ditetapkan sebagai KEK. Dewan Kawasan terdiri atas ketua (gubernur), wakil ketua (bupati
atau walikota), dan anggota (unsur pemerintah di provinsi, unsur pemerintah provinsi, dan
unsur pemerintah kabupaten/kota). Dewan Kawasan ini salah satunya bertugas melaksanakan
kebijakan umum yang telah ditetapkan oleh Dewan Nasional untuk mengelola dan
mengembangkan KEK di wilayah kerjanya.

2.4 Aktor-aktor dan Nilai-nilai

Pembentukan KEK merupakan program yang memerlukan tingkat koordinasi yang


tinggi dan melibatkan aktor-aktor yang beragam, mulai dari tingkat pusat hingga daerah.
Pembentukan KEK menjadi hal yang kompleks karena berbagai aktor yang terlibat membawa
nilai-nilai yang berbeda dimana nilai-nilai yang diusung oleh tiap aktor mengkarakteristikkan
kepentingan-kepentingan yang mereka bawa. Nilai-nilai dari masing-masing aktor ini ada
yang bersesuaian, namun ada pula nilai-nilai yang memiliki potensi saling bertentangan satu
sama lain.
11
Sebagai inisiator program, pemerintah pusat memiliki kepentingan agar program KEK
dapat mendorong pertumbuhan perekonomian nasional dengan menarik investasi sebesar-
besarnya, memajukan dan meningkatkan daya saing industri nasional, menyerap banyak
tenaga kerja, dan memberikan devisa. Tingkat pengangguran di Indonesia terbilang tinggi
sehingga pembangunan KEK diharapkan dapat mendorong pembangunan industri skala besar
yang dapat membuka lapangan kerja yang luas untuk menyerap tenaga kerja yang ada.
Dengan dibentuknya KEK, industri nasional yang memiliki daya saing yang lemah di
perdagangan internasional diharapkan dapat meningkatkan daya saingnya dari sisi efisiensi
karena dapat melakukan impor bahan baku dan bahan penolong dari luar negeri dengan murah
tanpa dikenai cukai, PPN, maupun PPnBM. Industri-industri yang dikembangkan dalam KEK
merupakan industri-industri yang berorientasi ekspor sehingga diharapkan dapat memberikan
pemasukan devisa bagi negara.

Pemerintah Kabupaten Bekasi yang wilayahnya menjadi lokasi KEK memiliki


kepentingan terhadap KEK agar dapat memberikan dampak pada pertumbuhan perekonomian
daerah dengan mendorong pertumbuhan UMKM-UMKM lokal. Di samping itu, KEK
diharapkan dapat menyerap tenaga kerja lokal yang ada. Dengan memberikan efek terhadap
UMKM dan tenaga kerja lokal, maka kesejahteraan masyarakat daerah dapat terwujud.
Pemerintah Kabupaten Bekasi juga memiliki kepentingan untuk memperoleh pemasukan
berupa pajak daerah dan retribusi daerah setelah KEK berjalan.

Pemilik modal yang saat ini telah berinvestasi dalam Kawasan Industri Cikarang
maupun calon pemilik modal yang akan berinvestasi setelah KEK berjalan, memiliki
kepentingan dalam KEK berupa kemudahan-kemudahan dalam berinvestasi dengan segala
fasilitas dan insentif yang diberikan. Insentif fiskal yang diberikan oleh pemerintah dapat
menghindari terjadinya ekonomi biaya tinggi yang kerapkali dikeluhkan oleh pemilik modal.
Ekonomi biaya tinggi menjadi salah satu faktor yang menjadi hambatan untuk dapat bersaing
di perdagangan global. Insentif non fiskal berupa kemudahan perijinan, keamanan, dan ijin
mempekerjakan tenaga asing sebagai direksi atau komisaris menjadi faktor tambahan yang
memberikan dorongan bagi pemilik modal untuk berinvestasi dalam KEK. Perijinan yang
memakan waktu lama dan berbelit-belit serta ketidakstabilan keamanan seringkali menjadi
faktor yang menjadi pertimbangan bagi pemilik modal untuk memutuskan berinvestasi.
Indonesia dikenal sebagai negara dengan perijinan investasi yang panjang dan rumit sehingga
menjadi disinsentif bagi pemilik modal, sehingga dengan kehadiran KEK mekanisme
perijinan dibenahi dan tidak lagi menjadi kendala bagi pemilik modal. Biaya ekonomi tinggi
dan perijinan yang berbelit-belit sebagai faktor disinsentif bagi pemilik modal, ditegaskan

12
oleh Menteri Perdagangan Mari’e Elka Pangestu dalam ungkapannya sebagai berikut :
“Mengapa dikembangkan Kawasan Ekonomi Khusus? Di dalam Kawasan Ekonomi
Khusus itu, ciri-ciri khasnya adalah keberadaan otoritas khusus atau otoritas kawasan
yang bisa menciptakan iklim investasi yang baik, yang selama ini banyak dikeluhkan oleh
investor seperti biaya transaksi ekonomi yang tinggi dan peraturan-peraturan yang
berlebihan”.

Tenaga kerja Kawasan Industri Cikarang memiliki kepentingan untuk dapat


memperoleh peningkatan kesejahteraan dengan adanya KEK ini dan mereka berharap dapat
memperoleh jaminan atas pekerjaan sebagai tenaga kerja tetap. Masyarakat lokal memiliki
kepentingan untuk dapat dipekerjakan sebagai tenaga kerja dalam KEK sehingga keberadaan
KEK dapat dirasakan kontribusinya bagi masyarakat lokal karena selama ini Kawasan
Industri Cikarang kurang mengakomodasi masyarakat lokal untuk dipekerjakan dalam
kawasan industri tersebut. Kurangnya keterlibatan tenaga kerja lokal dalam Kawasan Industri
Cikarang diungkapkan oleh pegawai Dinas Tenaga Kerja setempat :
“Nyampe serikat pekerja gak ada yang orang Bekasi asli, saya gak pernah ketemu tuh!
Kecuali ada satu, itu juga yang bergerak di lapangan, yang tugasnya ngumpulin massa”.

UMKM lokal memiliki kepentingan terhadap KEK agar keberadaaan KEK dapat
memberikan dampak pada peningkatan usaha industri kecil menengah, usaha perdagangan,
maupun usaha jasa setempat. UMKM lokal berharap agar industri-industri dalam KEK dapat
bersinergi dengan UMKM lokal dimana UMKM lokal diberikan peluang untuk menyediakan
bahan baku, jasa-jasa, maupun aspek-aspek lain yang dibutuhkan industri KEK.

Kepentingan pemilik modal berpotensi berseberangan dengan kepentingan tenaga


kerja. Pemilik modal berkeinginan untuk mencapai efisiensi yang tinggi dengan menekan
biaya produksi seminimal mungkin, termasuk upah tenaga kerja. Sementara itu, pihak tenaga
kerja menginginkan upah yang layak, minimal sesuai dengan upah minimum yang telah
ditentukan. Negosiasi upah antara pemilik modal dan tenaga kerja tentunya akan berjalan
sangat alot untuk menentukan titik tengah yang dapat menguntungkan kedua belah pihak.
Keinginan tenaga kerja untuk diangkat sebagai tenaga kerja tetap tentu akan menghadapi
resistensi dari pemilik modal yang cenderung lebih menyukai mekanisme penggunaan tenaga
kerja dalam bentuk outsourcing karena dipandang lebih efisien dari sisi biaya produksi.

Upaya menggali pendapatan asli daerah (PAD) yang dilakukan oleh Pemerintah
Kabupaten Bekasi melalui pengenaan pajak daerah dan retribusi daerah terhadap industri
KEK berpotensi bertentangan dengan kehendak pemilik modal. UU Nomor 39 Tahun 2009
memang mengatur bahwa pemerintah dapat memberikan insentif bagi setiap wajib pajak yang
13
melakukan usaha di KEK berupa pembebasan atau keringanan pajak daerah dan retribusi

daerah. Dengan demikian, UU tersebut tidak mewajibkan pemerintah daerah untuk


membebaskan seluruh pajak daerah dan retribusi daerah bagi pelaku usaha di KEK, tetapi
masih memperkenankan pemerintah daerah untuk memungut pajak daerah dan retribusi
daerah dalam proporsi yang tidak memberatkan pemilik modal. Penetapan tarif pajak daerah
dan retribusi daerah yang terlampau tinggi dapat menjadi disinsentif bagi pemilik modal
untuk berinvestasi.

Kepentingan masyarakat lokal untuk dapat diserap dalam lapangan kerja di KEK juga
dapat berseberangan dengan kepentingan pemilik modal. Atas nama daya saing, pemilik
modal berkeinginan mempekerjakan tenaga kerja yang handal dan terampil karena harus
menjalankan alat-alat industri yang berteknologi tinggi dan produk yang dihasilkan juga
berorientasi ekspor. Sementara itu, rupanya tidak mudah untuk menyediakan tenaga kerja
lokal yang benar-benar terlatih dan berpengalaman. Hal tersebut merupakan kelemahan
mendasar dari masyarakat Kabupaten Bekasi. Rendahnya kualitas sumber daya manusia yang
dimiliki oleh masyarakat lokal Kabupaten Bekasi diungkapkan oleh pegawai Dinas Tenaga
Kerja setempat :
“Mereka kebanyakan kerja di sektor-sektor yang tidak perlu skill karena terus terang saja
SDM mereka rendah. Yang kerja di kawasan paling cuma 10% saja”.
Pernyataan pegawai Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Bekasi senada dengan apa yang
diungkapkan oleh perwakilan Kawasan Industri Cikarang :
“Ini rekan-rekan cerita, suatu ketika perusahaan Jepang saya lupa nama perusahaannya,
dia bikin rekrutmen itu sebenarnya dialokasikan pada beberapa jumlah untuk warga
Karangasri (Bekasi) tanpa melihat skill, karena kalau ditanyai skill pasti gak punya, pasti
gak pas buat mereka”.

2.5 Resistensi dan Potensi Konflik

Pembangunan KEK di Indonesia melibatkan berbagai kepentingan yang berbeda dari


aktor-aktor yang beragam. Tarik menarik kepentingan yang berbeda antar aktor seringkali
menimbulkan respon berupa resistensi terhadap pembangunan KEK. Salah satu respon yang
menjurus pada bentuk resistensi yang kuat datang dari Serikat Pekerja yang meragukan
manfaat pembangunan KEK bagi para pekerja. Serikat Pekerja yang merupakan organisasi
para pekerja, mengkhawatirkan bahwa hak-hak pekerja akan dikebiri oleh pemilik modal
(pengusaha) KEK.

14
Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) Cabang Bekasi menyuarakan
aspirasi pekerja kepada Pemerintah Kabupaten Bekasi mengenai penolakan pembangunan
KEK di Kabupaten Bekasi. Dengan adanya rencana pembangunan KEK di Kabupaten Bekasi,
terjadi hubungan yang disharmonis antara serikat pekerja dengan Pemerintah Kabupaten
Bekasi dimana serikat pekerja menganggap Pemerintah Kabupaten Bekasi tidak pro buruh.
Hal tersebut sebagaimana yang diungkapkan oleh Ketua FSPMI Bekasi, Obon Tabrani :
“Kami rasakan selama ini Pemkab Bekasi yang seharusnya menjadi fasilitator dan
membela hak-hak kami yang kadang diperlakukan tidak adil oleh pengusaha tidak
dilaksanakan dengan baik. Pemkab justru cenderung tidak pernah mendengar apa yang
menjadi keluhan kami”.

Obon bersama rekan-rekannya juga mengatakan dengan tegas, meminta kesejahteraan


pekerja sebagai harga mati yang harus diperjuangkan oleh Pemerintah Kabupaten Bekasi.
“Justru Pemkab Bekasi melalui bupati bisa melakukan negosiasi atau paling tidak
menekan pengusaha nakal yang tidak punya niat baik untuk menyejahterakan
karyawannya. Bukan malah pro kepada pengusaha”.

Tenaga kerja tetap, upah, dan hak berserikat bagi pekerja merupakan persoalan sensitif
yang selalu diperjuangkan oleh para pekerja. Potensi masih diterapkannya outsourcing,
pemberian upah yang kurang layak di KEK, dan pemangkasan hak berserikat bagi pekerja
menjadi tiga hal yang memicu resistensi dari serikat pekerja. Hal ini terungkap dari
pernyataan Obon Tabrani :
“Saya berpendapat kebijakan ini akan memangkas hak-hak pekerja. Dalam UU KEK, ada
sejumlah poin yang melegalkan outsourcing, padahal bertentangan dengan UU Nomor 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. KEK hanya akal-akalan para pengusaha untuk bisa
membayar murah tenaga kerja dan pajak”.
Pemangkasan hak berserikat bagi pekerja terlihat dari UU No. 39 Tahun 2009 tentang
Kawasan Ekonomi Khusus dimana Pasal 46 yang menyatakan bahwa untuk perusahaan yang
memiliki lebih dari satu serikat pekerja/serikat buruh, dapat dibentuk satu forum serikat
pekerja/serikat buruh pada setiap perusahaan. Dengan hanya dibentuk satu forum serikat
pekerja, maka serikat pekerja memaknai hal tersebut sebagai upaya kooptasi pengusaha
terhadap kepentingan serikat pekerja.

Pekerja sesungguhnya mendukung industri yang sehat. Namun, tidak meninggalkan


kewajiban pengusaha untuk untuk memberikan kepada pekerja upah yang layak sesuai
dengan standar Upah Minimum Kabupaten (UMK) yang disepakati bersama. Namun, realitas
yang terjadi sebagaimana diungkapkan oleh Obon :

15
“Sejauh ini Pemkab Bekasi tidak menunjukkan ikhtikad itu”.

Ketua FSPMI pusat, Jefri Helian menyatakan bahwa kebijakan pembentukan KEK di
Kawasan Industri Kabupaten Bekasi yang menjadi kawasan industri terbesar di Indonesia
seharusnya dibarengi dengan peningkatan kesejahteraan buruh.
“Oleh karena itu, kami berharap Bupati Bekasi berani menekan pengusaha nakal dan
tidak perlu takut kehilangan investor asing”.
Ungkapan tersebut menunjukkan bahwa serikat pekerja menuntut ketegasan Pemerintah
Kabupaten Bekasi untuk menegakkan hubungan industrial yang adil antara pekerja dan
pengusaha.

UMKM lokal merupakan aktor lain yang akan menerima dampak langsung dari
pembangunan KEK. Kehadiran KEK dengan berbagai insentif yang diberikan berpotensi
mematikan UMKM lokal yang ada di sekitarnya jika tidak ada integrasi antara KEK dan
UMKM lokal dalam hubungan hulu-hilir. Kondisi tersebut akan menimbulkan resistensi
UMKM lokal terhadap KEK.

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2009 tentang KEK, pasal 3, memang telah


menyinggung keterlibatan UMKM dalam KEK. Adapun isi pasal 3 sebagai berikut :
“Di dalam setiap KEK disediakan lokasi untuk usaha mikro, kecil, menengah (UMKM)
dan koperasi, baik sebagai Pelaku Usaha maupun sebagai pendukung kegiatan
perusahaan yang berada di dalam KEK”.
Namun demikian, untuk menjadikan UMKM sebagai sektor dengan keunggulan daya saing
perlu dipahami keterbatasan-keterbatasan yang dimiliki oleh UMKM, antara lain ukuran unit
usaha, kapasitas modal, teknologi produksi, kualitas produk, dan pemasaran produk.
Meskipun UU KEK telah menyinggung keterlibatan UMKM dalam KEK, namun UMKM
berada dalam posisi yang lemah jika tidak didukung oleh pemerintah. UU KEK hanya
menekankan persyaratan penyediaan lokasi atau lahan untuk UMKM dalam KEK, bukan
menekankan perlunya keberadaan UMKM dalam KEK. Hal tersebut dapat diinterpretasikan
oleh pihak kawasan bahwa keberadaan UMKM tidak mutlak harus ada karena tergantung
apakah perusahaan di KEK membutuhkan UMKM atau tidak untuk mendukung kegiatan
perusahaan.

16
Manajer produksi dari salah satu perusahaan mainan berskala internasional yang berada
di Kawasan Industri Cikarang mengungkapkan betapa sulitnya mendapatkan UMKM yang
dapat membantu mereka dalam pengadaan suatu bahan baku. Dengan demikian, perusahaan
tersebut harus mengimpor bahan baku dari luar negeri. Berikut ini ungkapan manajer
produksi tersebut menunjukkan kondisi UMKM lokal yang ada :
“Sebetulnya mainan-mainan yang ada di sini, spare partnya kita dapetin dari luar,
Cina sih kebanyakan. Habis selain produknya dah bagus, murah lagi. Belum dapet
masyarakat sini yang bisa ngasih plastik kayak gitu. Kalau packaging-nya sih di pabrik
sebelah. Gimana ya...daripada dilempar keluar, mending kesempatan ini diambil ama
kongsinya, jadi uangnya juga gak kemana-mana. Lagian memang gak ada yang bisa
diajak kerja sama. Kalau mau jujur sih, kalaupun ada, suka kurang cocok. Ada yang
bisa, mahal. Ada yang sesuai dengan spec yang kita targetin, eh kurang bagus”.

Antara perusahaan di Kawasan Industri Cikarang dan UMKM ternyata terdapat gap
kepentingan. Perusahaan menghendaki UMKM lokal dapat berkontribusi dalam kegiatan
perusahaan berupa penyediaan bahan baku yang memenuhi spesifikasi yang ditentukan, tetapi
hal tersebut seringkali tidak dapat dipenuhi oleh UMKM lokal. Kalaupun UMKM dapat
memberikan barang dengan spesifikasi yang dikehendaki perusahaan, biasanya dengan harga
yang lebih mahal dibandingkan dengan barang serupa yang dapat diimpor dengan harga lebih
murah dari luar negeri. Jika gap kepentingan tersebut masih saja terjadi ketika KEK sudah
berjalan, maka UMKM lokal tidak dapat memperoleh manfaat dari adanya KEK di
wilayahnya dan harapan Pemerintah Kabupaten Bekasi untuk memajukan UMKM lokal akan
menjadi pupus. Hal tersebut berpotensi menimbulkan resistensi dari UMKM lokal jika
kemudian keberadaan KEK justru akan mematikan usaha mereka.

Minimnya jumlah masyarakat lokal yang dipekerjakan dalam Kawasan Industri


Cikarang akan memicu terjadinya resistensi masyarakat di masa mendatang jika kondisi
serupa masih juga terjadi dalam pembangunan KEK di Cikarang. Rendahnya kualitas SDM
tenaga kerja di Kabupaten Bekasi barangkali menjadi faktor penyebab minimnya keterlibatan
tenaga kerja lokal dalam Kawasan Industri Cikarang. Hal inipun telah diakui oleh pegawai
Dinas Tenaga Kerja setempat, tetapi rupanya kondisi yang telah berlangsung bertahun-tahun
tersebut seolah dibiarkan saja oleh institusi-institusi terkait karena terlihat tidak adanya upaya
dari institusi Pemerintah Kabupaten Bekasi untuk meningkatkan kualitas SDM tenaga kerja
setempat. Pembangunan KEK di Cikarang jika tidak disertai dengan peningkatan kualitas
SDM tenaga kerja lokal, justru akan dimanfaatkan oleh tenaga kerja dari daerah lain yang
memanfaatkan adanya peluang kerja di KEK. Kondisi tersebut akan memperparah tingkat

17
pengangguran di Kabupaten Bekasi karena angkatan kerja yang ada tidak dapat diserap oleh
kesempatan kerja.

2.6 Dampak dan Potensi Resiko

Resistensi dan potensi konflik yang muncul rentan menimbulkan konflik yang
sesungguhnya jika resistensi dan potensi konflik ini tidak mampu dikelola secara baik. Jika
resistensi dari beberapa aktor terus berlanjut dan potensi konflik terus berkembang, maka hal
tersebut berdampak pada pembatalan terhadap realisasi pembangunan KEK. Pembangunan
KEK tidak dapat bersandar pada peran satu atau beberapa aktor, tetapi harus melibatkan kerja
sama seluruh aktor. KEK tidak dapat berjalan tanpa dukungan pekerja karena pekerja
memegang peranan penting dalam menggerakkan aktivitas industri. KEK juga tidak dapat
bergerak tanpa dukungan masyarakat lokal.

Apabila resistensi dari beberapa aktor diabaikan dan pembangunan KEK terus
dipaksakan untuk dilanjutkan, maka hal ini dapat memicu timbulnya resiko yang tidak
diharapkan, seperti demonstrasi pekerja, pemogokan pekerja, aksi anarkis masyarakat lokal,
dan sebagainya yang kesemuanya menyebabkan terciptanya kondisi ketidakstabilan sosial.
Ketidakstabilan merupakan hal yang sangat dihindari oleh investor sehingga sangat mungkin
terjadi investor akan mengurungkan niatnya menanamkan modalnya dalam KEK atau
menarik modalnya dari KEK, sementara itu berbagai infrastruktur telah dibangun oleh
pemerintah. Pemerintah maupun Pemerintah Kabupaten Bekasi akan mengalami kerugian
finansial jika hal ini terjadi karena pembangunan KEK memakan biaya investasi yang sangat
besar. Di samping itu, Pemerintah maupun Pemerintah Kabupaten Bekasi akan semakin sulit
meredam gejolak sosial jika resistensi dan potensi konflik tidak diantisipasi sejak dini.

2.7 Peluang Inovasi, Peluang Pembelajaran, dan Aspek Pembelajaran

Pembangunan KEK merupakan hal yang baru bagi sebagian aktor atau mungkin bagi
seluruh aktor. Dengan demikian, pembangunan KEK membawa pengetahuan-pengetahuan
baru yang perlu dikomunikasikan kepada aktor-aktor yang terlibat dan membuka peluang
terjadinya pertukaran pengetahuan antar aktor. Resistensi dan potensi konflik yang muncul
dapat menjadi wahana pembelajaran untuk memunculkan peluang-peluang inovasi dalam
pembangunan KEK. Inovasi pada dasarnya terkait dengan pemecahan persoalan (problem
solving). Diperlukan upaya-upaya inovasi yang mampu mengelola resistensi dan potensi
konflik yang muncul, sehingga pembangunan KEK dapat memberikan manfaat bagi seluruh
aktor.

18
Perbedaan nilai-nilai yang dimiliki oleh masing-masing aktor memberikan peluang
untuk masing-masing aktor untuk mengenal dan memahami nilai-nilai antar aktor. Setiap
aktor harus mengetahui dan memahami nilai-nilai aktor yang lain. Hal ini akan menjadi
proses pembelajaran antar aktor. Aktor yang satu hendaknya tidak memaksakan nilainya
kepada aktor yang lain karena hal ini akan menyebabkan berhentinya proses pembelajaran
dan akan memperuncing resistensi dan potensi konflik.

KEK sesungguhnya memberikan peluang pembelajaran yang begitu besar bagi aktor-
aktor yang terlibat. UMKM lokal yang selama ini berkutat dalam skala lokal atau mungkin
paling luas nasional, dengan adanya KEK memperoleh peluang untuk dapat terlibat dalam
aktivitas perindustrian yang berskala internasional. Jika UMKM lokal ingin berkontribusi
secara nyata dalam KEK dan tidak hanya ingin menjadi penonton, maka dituntut untuk
mengenal dan mempelajari standar-standar internasional, untuk kemudian diimplementasikan
dalam aktivitas usahanya. Permasalahan kualitas, kuantitas, dan kontinuitas menjadi tiga hal
penting. KEK sebagai suatu kawasan ekonomi yang berstandar internasional menuntut
UMKM lokal untuk memperhatikan permasalahan kualitas, kuantitas, dan kontinuitas untuk
dapat terlibat dalam KEK. Selama ini UMKM lokal diidentikkan sebagai usaha yang
menghasilkan produk berkualitas rendah, dengan kuantitas kecil dan tidak adanya kestabilan
kontinuitas produksi. Dengan adanya KEK, UMKM lokal memiliki peluang untuk
menyediakan bahan baku atau bahan mentah yang dibutuhkan oleh industri-industri dalam
KEK, tetapi dengan kualitas yang tinggi, kuantitas yang besar, dan adanya kontinuitas karena
industri dalam KEK berskala besar dan produksinya berorientasi ekspor. UMKM lokal yang
bersifat penyediaan jasa juga harus terpacu untuk memberikan jasa yang memenuhi
kualifikasi industri KEK.

Pemerintah Kabupaten Bekasi melalui instansi terkait memegang peranan penting


dalam melakukan transfer pengetahuan kepada UMKM lokal dalam bentuk pelatihan-
pelatihan. Pelatihan dilaksanakan dengan tujuan meningkatkan kompetensi UMKM lokal agar
nantinya dapat bersinergi dengan industri KEK. Industri KEK pun dapat melakukan transfer
pengetahuan dan transfer teknologi kepada UMKM sehingga UMKM dapat semakin
berkembang dan bergerak seiring dengan kemajuan industri KEK. Jika hal tersebut terjadi,
maka dapat tercipta hubungan yang solid antara UMKM dan industri KEK, sehingga
kemajuan KEK dapat dirasakan baik oleh UMKM maupun industri KEK.

Masyarakat lokal yang selama ini belum memperoleh manfaat dari keberadaan
Kawasan Industri Cikarang, maka dengan dibentuknya KEK terbuka kesempatan bagi
masyarakat lokal untuk dapat terlibat sebagai tenaga kerja. Mengingat tuntutan akan SDM

19
yang terlatih dan terampil, maka momentum pembentukan KEK dapat memberikan ruang
pembelajaran bagi masyarakat lokal untuk meningkatkan kapasitasnya sehingga memenuhi
kualifikasi tenaga kerja yang dikehendaki oleh perusahaan-perusahaan KEK. Instituti-institusi
pendidikan di Kabupaten Bekasi dapat berbenah diri untuk menghasilkan lulusan yang dapat
memenuhi kualifikasi tenaga kerja yang dibutuhkan dalam KEK. Balai latihan kerja yang
dimiliki Pemerintah Kabupaten Bekasi juga memiliki peranan sentral dalam menyiapkan
tenaga kerja lokal yang handal dengan memberikan beberapa pelatihan kerja yang sesuai
dengan kebutuhan industri KEK. Untuk itu, perlunya dijalin informasi antara balai latihan
kerja dan perusahaan-perusahaan KEK mengenai kualifikasi tenaga kerja yang dibutuhkan,
sehingga hal ini bisa menjadi landasan bagi balai latihan kerja dalam memberikan jenis
pelatihan yang sesuai. Tidak menutup kemungkinan, perusahaan-perusahaan KEK membuka
balai pelatihan kerja sendiri dimana para peserta pelatihan kerja nantinya dapat direkrut
menjadi tenaga kerja di perusahaan tersebut.

KEK juga membuka ruang pembelajaran bagi Pemerintah Kabupaten Bekasi untuk
mampu membenahi birokrasi sehingga menjadi tertib dan nyaman bagi investor. Birokrasi
yang rumit dan berbelit-belit dapat ditata menjadi birokrasi yang sederhana tetapi tertib.
Melalui KEK, mekanisme perijinan yang panjang dan melalui banyak pintu dapat dipangkas
menjadi mekanisme perijinan satu pintu (one stop service) yang memudahkan bagi investor.
Dalam membangun sistem birokrasi dan perijinan semacam itu, maka diperlukan
pembangunan technoware (teknologi), humanware (manusia), maupun orgaware (organisasi).
Dengan demikian, pembangunan sistem birokrasi dan perijinan yang handal menuntut
pengembangan dan penguasaan teknologi, peningkatan kualitas SDM pegawai negeri sipil
yang bertugas menangani perijinan, dan pembentukan kelembagaan perijinan yang efektif.

Tuntutan dari Serikat Pekerja untuk lebih diperhatikan nasibnya dalam KEK,
memberikan ruang pembelajaran bagi Pemerintah dan Pemerintah Kabupaten Bekasi untuk
mengevaluasi sistem ketenagakerjaan yang berlaku maupun pelaksanaan sistem
ketenagakerjaan tersebut di lapangan. Adanya Lembaga Kerja Sama Tripartit Khusus yang
terdiri dari unsur Pemerintah, unsur Pemerintah Daerah, unsur serikat pekerja, dan unsur
asosiasi pengusaha dapat dimanfaatkan secara baik sebagai wahana komunikasi berkaitan
dengan permasalahan ketenagakerjaan dalam KEK. Di samping itu, pada KEK dibentuk
Dewan Pengupahan yang bertugas memberikan masukan dan saran untuk penetapan
pengupahan.

20
2.8 Insentif

Pembentukan KEK digagas dalam rangka meningkatkan arus investasi ke dalam


negeri yang mampu mendorong tumbuhnya perindustrian, menyerap tenaga kerja, serta
mendorong pertumbuhan perekonomian lokal dan nasional. Sebagaimana yang telah
disampaikan sebelumnya, bahwa aktor-aktor yang berada dalam KEK sangat beragam dan
masing-masing memiliki kepentingan yang berlainan. Berbagai kepentingan yang berbeda
tersebut rentan menimbulkan resistensi dan konflik jika tidak saling menyesuaikan, yang
kemudian akan berakibat tidak tercapainya tujuan yang diharapkan dari pembentukan KEK.
Berbagai kepentingan yang berbeda tersebut memang membuka berbagai ruang pembelajaran

bagi aktor-aktor yang terlibat dalam KEK. Namun, bisa saja ruang pembelajaran tersebut
tidak dimanfaatkan oleh aktor-aktor KEK sehingga akan menutup peluang inovasi yang dapat
dikembangkan. Untuk itu, perlu dirancang beberapa insentif yang dapat mendorong beberapa
aktor untuk mau menselaraskan kepentingannya dengan aktor-aktor yang lain sehingga tujuan
yang lebih besar dapat dicapai, yaitu keberhasilan pengembangan KEK yang dapat
memberikan manfaat bagi seluruh aktor.

Perusahaan-perusahaan dalam KEK berhak untuk mengimpor berbagai kebutuhannya


dari mana saja, baik kebutuhan untuk aktivitas perindustrian maupun kebutuhan untuk
aktivitas yang lain. Namun, sesungguhnya beberapa kebutuhan perusahaan dapat disediakan
oleh UMKM lokal di Kabupaten Bekasi, seperti kebutuhan makanan, minuman, alat tulis
kantor, transportasi, pakaian, bahan baku, dan lain-lain. Pemerintah Kabupaten Bekasi dapat
memberikan insentif tambahan kepada perusahaan KEK, di luar insentif fiskal dan non fiskal
yang diberikan, untuk bersedia mempergunakan produk-produk yang disediakan oleh UMKM
lokal. Insentif tambahan yang dapat ditawarkan misalnya pengenaan pajak daerah dan
retribusi daerah dengan persentase yang lebih kecil dibandingkan pajak daerah dan retribusi
daerah yang normal diberlakukan di KEK, atau justru pembebasan pajak daerah dan retribusi
daerah. Insentif lain yang dapat diberikan adalah pengurusan perijinan yang lebih cepat
dibandingkan waktu perijinan normal yang diberlakukan di KEK.

Pemberian insentif tambahan ini diharapkan dapat mendorong perusahaan-perusahaan


KEK untuk bersedia memanfaatkan barang dan jasa yang dapat disediakan oleh UMKM
lokal. Terkait dengan rendahnya kualitas produk UMKM, maka insentif serupa dapat
diberikan kepada perusahaan KEK yang bersedia melakukan transfer teknologi terhadap
UMKM sehingga UMKM mampu menyediakan produk berkualitas tinggi. Dengan demikian,
perusahaan KEK dapat memanfaatkan produk UMKM sebagai bahan baku sehingga tidak
perlu mengimpor bahan baku dari luar negeri. Jika hal ini dapat diwujudkan, maka UMKM
21
dan perusahaan KEK akan sama-sama diuntungkan karena UMKM dapat berkontribusi dalam
penyediaan bahan baku bagi perusahaan KEK, sementara itu perusahaan KEK dapat
memperoleh bahan baku dengan harga yang lebih murah dan sama baiknya dengan bahan
baku dari luar negeri. Di samping itu, perusahaan KEK masih memperoleh insentif tambahan
dari Pemerintah Kabupaten Bekasi karena telah menggandeng UMKM lokal dalam
aktivitasnya.

Dengan bersinerginya UMKM dan perusahaan KEK, maka UMKM dapat berkembang
sehingga dapat menciptakan lapangan kerja yang lebih luas. Lapangan kerja yang terbuka ini
dapat diisi oleh tenaga kerja lokal yang kualitasnya tidak memenuhi kualifikasi dalam KEK.
Dengan demikian, pelibatan UMKM dalam KEK dapat mendorong pertumbuhan
perekonomian lokal dan peningkatan kesejahteraan masyarakat setempat. Sinergitas antara
UMKM dan perusahaan KEK tidak membuat KEK menjadi suatu kawasan yang terisolasi
dari lingkungan setempat. Pemerintah Kabupaten Bekasi dapat bertindak sebagai fasilitator
yang menghubungkan UMKM dengan perusahaan KEK agar dapat tercipta sinergitas
tersebut.

Insentif tambahan dapat pula diberikan Pemerintah Kabupaten Bekasi terhadap


perusahaan KEK yang mau memprioritaskan masyarakat setempat untuk menjadi pekerja di
KEK. Namun hal ini juga harus direspon oleh Pemerintah Kabupaten Bekasi untuk
mempersiapkan tenaga kerja yang terlatih dan terampil. Pemerintah Kabupaten Bekasi dapat
memberikan insentif dan fasilitasi bagi institusi-institusi pendidikan untuk menghasilkan
lulusan yang berkualitas sehingga dapat dipekerjakan dalam KEK. Jika memungkinkan, dapat
dipersiapkan sekolah khusus untuk mendidik dan melatih para siswa yang nantinya dapat
disalurkan ke perusahaan KEK sebagai tenaga kerja. Di sekolah khusus ini dapat
dikembangkan pendidikan yang memiliki keterkaitan dengan tipologi industri yang
dikembangkan di KEK. Dengan demikian, dalam pengembangan KEK perlu dilakukan
perluasan aktor yang terlibat, dalam hal ini institusi pendidikan yang berperan mencetak SDM
yang dibutuhkan oleh dunia kerja yaitu KEK.

Berkaitan dengan hal ketenagakerjaan, maka perusahaan KEK yang menjalankan aturan
ketenagakerjaan sebagaimana yang telah ditetapkan bersama, baik dalam Lembaga Kerja
Sama Tripartit Khusus maupun Dewan Pengupahan, dapat diberikan insentif tambahan
sehingga perusahaan KEK tersebut terdorong untuk terus menciptakan hubungan yang
harmonis dengan para pekerjanya. Kebijakan yang berbeda dapat diterapkan bagi perusahaan
KEK yang melalaikan aturan ketenagakerjaan, sehingga perlu diberikan disinsentif berupa
pengurangan atau pencabutan sebagian insentif yang diberikan.

22
Permasalahan yang dihadapi dari sisi pemerintah adalah turunnya penerimaan negara
dari sektor pajak sebagai stimulus maupun insentif fiskal. Pemerintah sering mengalami
dilema mengenai potential loss penerimaan negara dari sektor pajak apabila memberikan
pembebasan pabean maupun keringanan perpajakan. Atau, malah ada sedikit rasa enggan
memberikan fasilitas ini sepenuhnya, padahal manfaat yang hilang biasanya bersifat jangka
pendek. Sedangkan dalam jangka panjang, manfaatnya jauh lebih besar karena penyerapan
tenaga kerja, pertumbuhan ekonomi kawasan, peningkatan kesejahteraan masyarakat, serta
peningkatan potensi penerimaan pajak. Hal ini perlu disadari oleh pemerintah sehingga tidak
setengah-setengah dalam menerapkan KEK karena penyerapan tenaga kerja, pertumbuhan
ekonomi kawasan, peningkatan kesejahteraan masyarakat, serta peningkatan potensi
penerimaan pajak di masa mendatang merupakan insentif “tertunda” yang nantinya dapat
diperoleh dalam jangka panjang.

2.9 Identifikasi Peran Aktor dalam Inovasi

Keberhasilan pembangunan KEK akan sangat bergantung pada seluruh aktor yang
terlibat. KEK belum menjadi sebuah inovasi dalam memajukan perekonomian apabila celah-
celah kekurangan KEK tidak mampu ditutupi oleh peran dari aktor-aktor di dalamnya. Kerja
sama antar aktor sangat penting dalam membenahi kekurangan maupun hambatan dalam
KEK sehingga KEK dapat berjalan sukses dan dapat dirasakan manfaatnya bagi seluruh aktor.
Berikut ini peran-peran spesifik yang dapat dilakukan oleh aktor-aktor dalam KEK.

No. Aktor Peran


1. Pemerintah - Menetapkan kebijakan umum dan langkah
strategis untuk mempercepat pengembangan KEK
- Memantau dan mengevaluasi pelaksanaan KEK
2. Pemerintah Kabupaten - Memberikan insentif pajak daerah dan retribusi
Bekasi daerah
- Memberikan insentif lain
- Mengoptimalkan balai latihan kerja untuk
memberikan pelatihan dan pendidikan kepada
tenaga kerja lokal
- Memberikan pelatihan kepada UMKM lokal
- Menjadi fasilitator yang menghubungkan UMKM
dan perusahaan KEK

23
No. Aktor Peran
3. Administrator KEK - Memberikan pelayanan perijinan kepada investor
4. Institusi pendidikan dan - Menghasilkan lulusan yang memenuhi
lembaga riset kompetensi yang dipersyaratkan dalam KEK
- Menciptakan teknologi dan melakukan alih
teknologi kepada UMKM lokal untuk
meningkatkan kualitas produk UMKM
5. UMKM lokal - Menerapkan praktik usaha berstandar
internasional
- Menghasilkan produk yang memenuhi spesifikasi
perusahaan KEK
6. Tenaga kerja lokal - Mengikuti pelatihan yang diselenggarakan oleh
balai latihan kerja yang dimiliki oleh Pemerintah
Kabupaten Bekasi maupun perusahaan KEK
- Berpartisipasi dalam aktivitas KEK
7. Masyarakat lokal - Mengikuti pendidikan di institusi pendidikan
untuk memperoleh kompetensi yang
dipersyaratkan dalam KEK
8. Investor - Menanamkan modal
9. Perusahaan - Mempekerjakan tenaga kerja lokal
- Memanfatkan produk UMKM lokal sebagai
bahan baku dalam industri KEK
- Memberikan pelatihan dan transfer teknologi
kepada UMKM lokal
- Membangun balai latihan kerja dan memberikan
pelatihan bagi calon tenaga kerja

24
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Pembentukan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) merupakan program
baru yang digulirkan oleh pemerintah untuk menciptakan iklim investasi yang
kondusif bagi investor sehingga mampu menarik investasi sebesar-besarnya ke
Indonesia. Arus investasi yang besar tersebut digunakan untuk membangun
industri di kawasan “bebas hambatan berinvestasi” sehingga industri yang
terbangun dapat menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar. Perekonomian
lokal diharapkan dapat ikut tumbuh seiring dengan geliat aktivitas industri di
KEK.

Pembentukan KEK di Kawasan Industri Cikarang Kabupaten Bekasi


melibatkan sejumlah aktor. Aktor-aktor tersebut tidak saja memiliki
kepentingan-kepentingan yang berbeda terhadap KEK, namun terdapat
perbenturan beberapa kepentingan. Perbenturan kepentingan ini berakibat pada
munculnya resistensi dari sejumlah aktor yang kemudian berpotensi
menimbulkan konflik ketika resistensi tersebut tidak mampu dikelola secara
baik.

Program KEK yang dianggap baik oleh pemerintah, ternyata mendapat


tanggapan yang berkebalikan dari pekerja, masyarakat lokal, dan UMKM lokal.
Bagi pekerja, masyarakat lokal, dan UMKM lokal, program terobosan
pemerintah tersebut dikhawatirkan tidak akan memberikan manfaat bagi
mereka dan justru akan menghimpit keberadaan mereka yang selama ini kurang
terakomodasi kepentingannya dalam Kawasan Industri Cikarang. Keterbatasan
pengetahuan mengenai situasi baru yang akan terjadi setelah KEK berjalan
menjadi salah satu faktor yang dapat menghambat pembentukan KEK, di
samping faktor pertentangan nilai yang begitu kental di antara aktor-aktor
KEK.

Inovasi pada dasarnya terkait dengan pemecahan persoalan (problem


solving). Untuk mengelola resistensi dan potensi konflik yang muncul dalam
KEK diperlukan upaya-upaya inovasi yang sistemik sehingga pembangunan

24
KEK dapat memberikan manfaat bagi seluruh aktor. Agar pembangunan KEK
dapat berhasil dan bermanfaat bagi semua aktor, maka diperlukan kerja sama
dari semua aktor yang terlibat dalam KEK. Sedapat mungkin kepentingan-
kepentingan seluruh aktor dapat terakomodasi dalam KEK sehingga seluruh
aktor dapat mendukung dan berkontribusi dalam KEK. Sistem inovasi
menekankan hubungan antar aktor atau adanya gagasan tentang suatu sistem.
Perspektif sistem di sini menunjukkan adanya pendekatan holistik. Holistik
dalam sistem inovasi berarti bahwa kinerja suatu sistem inovasi merupakan
hasil dari banyak hubungan di antara unsur-unsurnya. Dengan demikian,
keberhasilan KEK akan sangat bergantung pada hubungan yang harmonis di
antara aktor- aktor yang terlibat. Agar aktor-aktor mau terlibat dan mendukung
KEK, maka diperlukan sejumlah insentif yang relevan bagi aktor-aktor
tersebut.

KEK sebagai sesuatu yang baru membuka ruang pembelajaran bagi


semua aktor yang terlibat. Dalam ruang pembelajaran ini, dimungkinkan
terjadinya interaksi yang lebih intensif antar aktor dan dimungkinkan terbangun
transfer pengetahuan antar aktor. Ketika intensitas interaksi semakin banyak
dan transfer pengetahuan berjalan, maka dapat terbuka peluang- peluang
inovasi yang dapat dimanfaatkan untuk meredam resistensi dan potensi konflik
menuju kondisi yang stabil. Namun jika terdapat aktor yang mengisolasi
dirinya dari aktor- aktor yang lain, maka dapat menghambat proses
pembelajaran karena interaksi menjadi kurang lengkap dan transfer
pengetahuan yang terjadi menjadi kurang sempurna. Peluang inovasi yang
muncul dapat dikembangkan menjadi inovasi yang sistemik yang memerlukan
peran dari seluruh aktor yang terlibat, sehingga permasalahan yang muncul
dalam KEK dapat teratasi dan akhirnya KEK dapat berjalan dan memberikan
manfaat bagi seluruh aktor.

25
DAFTAR PUSTAKA

Anonim. Kumpulan Teori Kerjasama. http://al-bantany-112.blogspot.com/2009/11/kumpulan-


teori-kerjasama.html.

Bruijn, Hans de, Haiko van der Voort, Willemijn Dicke, Martin de Jong, dan Wijnand
Veeneman. 2004. Creating System Innovation. A.A. Balkema Publisher. Leiden.

Negro, Simona O. 2007. Dynamics of Technological Innovation Systems : The Case of


Biomass Energy. Utrecht University. Utrecht. http://igitur-archive.library.
uu.nl/dissertations/2007-0219-200257/full.pdf.

Suurs, Roald A.A. 2009. Motors of Sustainable Innovation : Towards a Theory on the
Dynamics of Technological Innovation Systems. Utrecht University. Utrecht.
http://igitur-archive.library.uu.nl/dissertations/2009-0318-201903/suurs.pdf.

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2009 tentang Kawasan Ekonomi Khusus.


Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal.

Anda mungkin juga menyukai