Sebuah pabrik obat tradisional Kec. Bumiayu Kab. Brebes Jawa Tengah memproduksi OT
mengandung BKO tanpa hak dan kewenangan. Ruang produksi OT TIE dan mengandung BKO
tersebut didesain seperti Bunker yang terletak dibawah tanah dan bertingkat 2 (dua).
Persyaratan usaha industri obat tradisional dan usaha industri kecil obat tradisional (SK MENKES
NO. 246/MENKES/SK/ V/1990 tentang izin usaha industri obat tradisional dan pendaftaran obat
tradisional)
Pasal 3
1. Obat tradisional yang diproduksi, diedarkan diwilayah Indonesia maupun dieksport terlebih
dahulu harus didaftarkan sebagai persetujuan menteri.
a. Industri kecil obat tradisional dalam bentuk rajangan, pilis, tapel, dan parem.
Pasal 6
Pasal 7
“Industri obat tradisional harus didirikan di tempat yang bebas pencemaran dan tidak mencemari
lingkungan”.
Pasal 8
“Usaha industri obat tradisional harus mempekerjakan secara tetap sekurang-kurangnya seorang
apoteker warga negara indonesia sebagai penanggung jawab teknis”.
Pasal 9
1. Industri obat tradisional dan industri kecil obat tradisional wajib mengikuti pedoman cara
pembuatan obat tradisioanl yang baik (CPOTB).
2. Pemenuhan persyaratan dimaksud ayat 1 dinyatakan oleh petugas yang berwenang melalui
pemeriksaan setempat.
Pasal 23
Untuk pendaftaran obat tradisional dimaksud dalam pasal 3 obat tradisional harus memenuhi
persyaratan:
b. Bahan obat tradisional dan proses produksi yang digunakan memenuhi prsyaratan yang
ditetapkan.
c. Tidak mengandung bahan kimia sintetik atau hasil isolasi yang berkhasiat sebagai obat.
Pasal 4a
Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa.
tentang Pekerjaan Kefarmasian Bagian Ketiga mengenai pekerjaan kefarmasian dalam produksi
sediaan farmasi
Pasal 7 (1)
“Pekerjaan kefarmasian dalam produksi sediaan farmasi harus memiliki apoteker penanggung
jawab”.
Pasal 9 (2)
“Industri obat tradisional dan pabrik kosmetika harus memiliki sekurang-kurangnya 1 (satu) orang
apoteker sebagai penanggung jawab”.
KASUS PENGADAAN
Apotek menerima tawaran PBF karena ada pelicin/bonus.
KASUS DISTRIBUSI
KASUS I:
Apotek panel melanggar UU.
Untuk bersaing dengan apotek lain, sehingga apotek X mencari PBF yang menjual harga murah
walaupun tidak legal dengan tujuan agar bisa menjual kembali dengan harga murah dengan
diskon, sehingga mampu bersaing.
KASUS II:
Nempil obat antar apotek bagaimana aturan main yang baik?
Penyelesaian:
Pada prinsipnya yang penting (tolong menolong):
1. Bagi yang nempil:
a. minta tolong dengan sopan dan cara yang baik, jangan hanya menggunakan kertas
sobekan untuk pemesanan.
b. Komunikasikan / telepon dulu, siapkan dokumen tertulis.
c. Kalimat terbaik: (1) SP; (2) Copi Resep; (3) Dengan kertas yang baik. 1 & 2
Untuk nempil narkotik boleh tapi pake SP narkotik (baca UU Narkotika
No.35/2009)
2. Bagi yang ditempili:
a. Harga (pada umumnya HNA + PPN x index 1,3), namun untuk sejawat tidak sama
dengan harga pada umumnya, atau bukan juga harga netto, ini egois. Tapi index
misalnya 1,1. Tidak menarik biaya tueslag dan embalanse.
KASUS III:
Narkotik boleh didistribusikan dari apotek ke apotek, dari apotek ke RS. Masa sesama sejawat
tidak saling percaya untuk nempil obat, percuma kuliah lama kata bu Bondan. Yang penting
ada SP nya aja (kesepakatan di Yogya pake SP khusus, tapi berdasarkan undang-undang yang
penting ada permintaan tertulis dari apoteker). UU Narkotik tahun 70an memang tidak
diperbolehkan, namun UU Narkotik sekarang boleh. UU Narkotika No. 35/2009:
Pasal 43
(1) Penyerahan Narkotika hanya dapat dilakukan oleh:
a. apotek;
b. rumah sakit;
c. pusat kesehatan masyarakat;
d. balai pengobatan; dan
e. dokter.
(2) Apotek hanya dapat menyerahkan Narkotika kepada:
a. rumah sakit;
b. pusat kesehatan masyarakat;
c. apotek lainnya;
d. balai pengobatan;
e. dokter; dan
f. pasien.
(3) Rumah sakit, apotek, pusat kesehatan masyarakat, dan balai pengobatan hanya dapat
menyerahkan Narkotika kepada pasien berdasarkan resep dokter.
(4) Penyerahan Narkotika oleh dokter hanya dapat dilaksanakan untuk:
a. menjalankan praktik dokter dengan memberikan Narkotika melalui suntikan;
b. menolong orang sakit dalam keadaan darurat dengan memberikan Narkotika melalui suntikan;
atau
c. menjalankan tugas di daerah terpencil yang tidak ada apotek.
(5) Narkotika dalam bentuk suntikan dalam jumlah tertentu yang diserahkan oleh dokter
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) hanya dapat diperoleh di apotek.
KASUS PELAYANAN
PELAYANAN RESEP
Definisi
Permenkes 922/Menkes/Per/X/1993–Pasal 1(h)
Resep adalah permintaan tertulis dari Dokter, Dokter Gigi, Dokter Hewan kepada Apoteker
Pengelola Apotik untuk menyediakan dan menyerahkan obat bagi penderita sesuai
peraturan perundangundangan yang berlaku.
Resep yang baik adalah resep yang jelas dan dapat dibaca, resep harus memenuhi peraturan
yang ditetapkan oleh SK. MENKES RI No. 26 MenKes/Per/1981, Bab III, pasal 10, yang
memuat :
1. Nama, alamat dan No Surat Ijin Praktek Dokter
2. Tempat dan tanggal penulisan resep
3. Tanda R/ pada bagian kiri setiap penulisan obat.
4. Nama setiap obat/komponen resep (dengan Bentuk sediaan obat, Dosis, Jumlah dan
petunjuk pemakaian)
5. Tanda tangan/ paraf dokter, alamat jelas rumah untuk obat narkotika
6. Tanda seru/paraf dokter, pada obat yang melebihi dosis maksimum.
7. Nama penderita
Secara Teknis
Resep artinya pemberian obat secara tidak langsung, ditulis jelas dengan tinta, tulisan tangan
pada kop resep resmi kepada pasien, format, dan kaedah penulisan sesuai dengan peraturan dan
per Undang-Undangan yang berlaku.
Perundang-undangan:
Permenkes No.278/279/280/Menkes/SK/V/1981
Melayani resep dokter, dokter gigi dan dokter hewan
Salinan resep harus ditanda-tangani atau diparaf oleh Apoteker
Faktanya
Resep harus mudah dibaca dan mengungkapkan dengan jelas apa yang harus diberikan (Zunilda,
1998).
Apabila apoteker menganggap pada resep tidak dapat dibaca dengan jelas atau tidak lengkap,
apoteker harus menanyakan kepada penulis resep (Hartono, 2003).
Dalam resep harus memuat: nama dokter, nomor Surat Izin Praktek dokter, alamat dokter,
tanggal penulisan resep, tanda tangan dokter, nama pasien, alamat, umur, berat badan, nama
obat, dosis, jumlah yang diminta, aturan pakai.
Resep yang mengandung narkotika harus ditulis tersendiri yaitu tidak boleh ada iterasi
(ulangan), ditulis dengan nama pasien tidak boleh m.i.=mihi ipsi=untuk dipakai sendiri,
alamat pasien dan aturan pakai yang jelas, tidak boleh ditulis sudah tahu pakainya (Aniefa,
2000).
Pemberian obat yang terlalu banyak sebaiknya dihindari karena bisa bahaya.
Pemberian obat dalam jangka waktu yang terlalu lama sebaiknya dihindari.
(Joenes, 2001).
Skrining Resep
Persyaratan administratif yaitu: nama, nomor Surat Izin Praktek dan alamat dokter, tanggal
penulisan resep, paraf dokter penulis resep, nama, alamat, umur, jenis kelamin, berat badan
pasien, nama obat, dosis, dan jumlah yang diminta, dan cara pemakaian yang jelas.
Jika terdapat sesuatu yang kurang jelas atau jika nampak telah terjadi kesalahan, apoteker harus
mengkonsultasikan kepada penulis resep. Hendaknya apoteker tidak mengartikan maksud dari
kata yang tidak jelas atau singkatan yang tidak diketahui (Scott, 2000).
Beberapa jenis kesalahan memang cukup banyak dijumpai dalam penulisan resep, misalnya
masih banyak resep obat yang ditulis tanpa ada penulisan signa atau aturan pakai, kadang
kata signa yang dituliskan kurang jelas atau kurang lengkap (Zairina dan Himawati, 2003).
Pelayanan Resep
Apabila apoteker menganggap bahwa dalam resep ada kekeliruan atau penulisan resep yang
tidak tepat, apoteker harus memberitahukan kepada dokter penulis resep.
(Anief, M., 2000).
Kesimpulan
Resep tidak memenuhi persyaratan/ tidak sesuai dengan kaidah hukum dan teori yang berlaku.
Resep tersebut dikonfirmasi dan didiskusikan lebih lanjut kepada dokter penulis resep
Bila terdapat resep yang tidak memenuhi aturan-aturan diatas, resep tidak dapat dilayani, begitu
pula resep narkotika yang telah diambil sebagian oleh pasien diapotek lain.
MASUK FORMULARIUM
Produk memiliki kualitas kurang bagus tetapi tetap dimasukkan ke dalam formularium karena
menjadi sponsor/PBF memberikan subsidi besar. Atau sebaliknya kualitas baik tetapi tidak
dicantumkan kedalam formularium, karena tidak memberikan untung misalnya bonus atau
penawaran menarik lainnya.
PERALATAN PENDUKUNG
Apoteker dalam memberikan pelayanan swamedikasi (OTC & OWA) melengkapi dirinya
dengan statoskop, tensi meter, alat tes gula darah dll. So???
Kontennya:
1. Kita harus tau tugas, tanggung jawab dan kewenangan profesi.
2. Tau kompetensi kita
3. Alat itu batasannya untuk apa dulu kita gunakan. Bukan untuk diagnosa, namun
untuk mendukung swamedikasi pasien dan monitoring obat/hasil terapi serta hanya
memberikan “warning” kepada pasien.
Tindakan:
1. P3K.
2. Beri/sediakan tempat yang nyaman untuk penyelamatan pasien/korban.
3. Beri minum untuk meringankan syok.
4. Menyiapkankan tenaga.
5. Jika ada dokter/tenaga medisyang kompeten/sesuai serahkan kepada ahlinya, jika
tidak baru apoteker turun tangan.
6. Jadi, kita harus bisa menempatkan diri, saat kapan kita turun langsung untuk
mengambil tindakan.
7. Jangan mencari celah untuk mencari keuntungan/jasa profesi/memanfaatkan
kesempatan dalam kesempitan.
KASUS II:
Apoteker S berpraktek di apotek miliknya. Suatu saat ada pasien anak kecil kejang yang diantar
oleh orang tuanya ke rumah sakit, namun belum sampai rumah sakit anak tersebut kejang yang
tiada tara sehingga orang tuanya (dalam perjalanan ke rumah sakit) memutuskan berhenti di
apotek untuk minta tolong pengobatan darurat di apotek tersebut. Dokter praktek sudah tidak
ada dan apoteker S harus mengambil keputusan menolong pasien atau menolaknya. Dengan
pertimbangan keilmuannya, apoteker S memberikan valisanbe rectal ke dubur anak kecil itu
sehingga kejangnya mereda. Pasien dapat diselamatkan dan segera dikirim ke rumah sakit
terdekat.
Identifikasi Masalah:
UU No. 5 tahun 1997
Pasal 33
1. Pabrik obat, pedagang besar farmasi, sarana penyimpanan sediaan farmasi Pemerintah, apotek,
rumah sakit, puskesmas, balai pengobatan, dokter, lembaga penelitian dan/atau lembaga
pendidikan, wajib membuat dan menyimpan catatan mengenai kegiatan masing-masing yang
berhubungan dengan psikotropika.
Pasal 34
1. Pabrik obat, pedagang besar farmasi, apotek, rumah sakit, puskesmas, lembaga penelitian
dan/atau lembaga pendidikan wajib melaporkan catatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
33 ayat (1) kepada Menteri secara berkala.
Pasal 14
4. Penyerahan psikotropika oleh apotek, rumah sakit, puskesmas dan balai pengobatan,
puskesmas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan resep dokter.
Pasal 14
1. Penyerahan psikotropika dalam rangka peredaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 hanya
dapat dilakukan oleh apotek, rumah sakit, puskesmas, balai pengobatan, dan dokter
2. Penyerahan psikotropika oleh apotek hanya dapat dilakukan kepada apotek lainnya, rumah
sakit, puskesmas, balai pengobatan, dokter dan kepada pengguna/pasien.
6. Penyerahan psikotropika oleh dokter sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan
dalam hal :
a. menjalankan praktik terapi dan diberikan melalui suntikan;
b. menolong orang sakit dalam keadaan darurat;
c. menjalankan tugas di daerah terpencil yang tidak ada apotek.
7. Psikotropika yang diserahkan dokter sebagaimana dimaksud pada ayat (5) hanya dapat
diperoleh dari apotek.
Implementasi PASAL 3:
1. Kepentingan kemanusiaan harus menjadi pertimbangan utama dalam setiap
tindakan dan keputusan seorang apoteker indonesia
2. Bimlamana suatu saat seorang apoteker dihadapkan kepada konflik tanggung
jawab profesional, maka dari berbagai opsi yang ada seorang apoteker harus
memilih resiko yang paling kecil dan paling tepat untuk kepentingan pasien serta
masyarakat.
Pasal 9
Seorang Apoteker dalam melakukan praktik kefarmasian harus mengutamakan kepentingan
masyarakat, menghormati hak azasi pasien dan melindungi mahluk hidup insani.
Implementasi PASAL 9:
1. Setiap tindakan dan keputusan profesional dari apoteker harus berpihak pada
kepentingan pasien dan masyarakat.
2. Seorang apoteker harus mengambil langkah-langkah untuk menjaga kesehatan
pasien khususnya janin, bayi, anak-anak serta orang dalam kondisi lemah.
Peraturan Pemerintah No.20 tahun 1962
Lafal Sumpah Apoteker
Tindakan apoteker dapat dibenarkan mengingat pemberian obat golongan psikotropika tanpa
resep dokter tersebut bertujuan sebagai pertolongan kepada pasien sehingga nyawa pasien
dapat terselamatkan.
Analisis Kasus:
Lafal Sumpah Apoteker no. 1 : “Saya akan membaktikan hidup saya guna kepentingan
perikemanusiaan, terutam dalam bidang kesehatan”.
Pasal 5 :
Ayat 1 : Setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh akses atas sumber daya di bidang
kesehatan.
Ayat 2 : Setiap orang mempunyai hak dalam memperoleh pelayanan kesehatan yang aman, bermutu,
dan terjangkau.
Ayat 3 : Setiap orang berhak secara mandiri dan bertanggung jawab menentukan sendiri
pelayanan kesehatan yang diperlukan bagi dirinya.
Pasal 9 :
Pasal 1 : Setiap orang berkewajiban ikut mewujudkan, mempertahankan, dan meningkatkan derajat
kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya.
Pasal 2 : Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pelaksanaannya meliputi upaya kesehatan
perseorangan, upaya kesehatan masyarakat, dan pembangunan berwawasan kesehatan.
Pasal 12 :
Setiap orang berkewajiban menjaga dan meningkatkan derajat kesehatan bagi orang lain yang
menjadi tanggung jawabnya.
Pasal 32 :
Ayat 1 : Dalam keadaan darurat, fasilitas pelayanan kesehatan, baik pemerintah maupun swasta, wajib
memberikan pelayanan kesehatan bagi penyelamatan nyawa pasien dan pencegahan kecacatan
terlebih dahulu.
Ayat 2 : Dalam keadaan darurat, fasilitas pelayanan kesehatan, baik pemerintah maupun swasta dilarang
menolak pasien dan/atau meminta uang muka.
Pasal 53 :
Ayat 1 : Pelayanan kesehatan perseorangan ditujukan untuk menyembuhkan penyakit dan
memulihkan kesehatan perseorangan dan keluarga.
Ayat 3 : Pelaksanaan pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
mendahulukan pertolongan keselamatan nyawa pasien dibanding kepentingan lainnya.
Pasal 83
(1) Setiap orang yang memberikan pelayanan kesehatan pada bencana harus ditujukan untuk
penyelamatan nyawa, pencegahan kecacatan lebih lanjut, dan kepentingan terbaik bagi pasien.
(2) Pemerintah menjamin perlindungan hukum bagi setiap orang sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) sesuai dengan kemampuan yang dimiliki.
Pasal 85
(1) Dalam keadaan darurat, fasilitas pelayanan kesehatan, baik pemerintah maupun swasta wajib
memberikan pelayanan kesehatan pada bencana bagi penyelamatan nyawa pasien dan
pencegahan kecacatan.
(2) Fasilitas pelayanan kesehatan dalam memberikan pelayanan kesehatan pada bencana
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang menolak pasien dan/atau meminta
uang muka terlebih dahulu.
Pasal 102
Ayat 1 : Penggunaan sediaan farmasi yang berupa narkotika dan psikotropika hanya dapat dilakukan
berdasarkan resep dokter atau dokter gigi dan dilarang untuk disalahgunakan.
Kesimpulan:
Berdasarkan UU 36 tahun 2009 pasal 102 ayat 2 dan PP 51 tahun 2009 pasal 24 ayat c,
tindakan Apoteker S merupakan sebuah pelanggaran dalam menjalankan pekerjaan
kefarmasian karena memberikan obat Valisanbe rectal yang isinya adalah Diazepam yang
termasuk dalam golongan psikotropika.
Akan tetapi tindakan Apoteker S tidak sepenuhnya salah kerena keadaan anak tersebut
dalam kondisi darurat yang memerlukan penanganan secepatnya (UU 36 tahun 2009 pasal 32
ayat 1 dan pasal 53 ayat 3).
Keputusan Apoteker S memberikan Diazepam didasari oleh alasan kemanusiaan serta
dasar kompetensi dan ilmu pengetahuan di bidang farmasi yang dimilikinya.
Akankah kepentingan Aturan megalahkan kepentingan Nyawa??
RESEP RACIK
Apotek C adalah apotek yang cukup ramai, termasuk omzet dari penjulan resep. Resep yang
masuk selain obat generic, banyak pula obat-obat paten dan racikan. Apotek C menerima
sebuah resep racikan dari seorang dokter kulit, sebagai berikut:
R/ Acid salisil 0.5
Resorcin 0.5
Miconazole cr 5
Garamycin oint 5
m.f.la. ungt.da in pot tube I
S 2 dd u e
Keterangan:
Acid salisil tersedia dalam bentuk serbuk ( HNA+PPn = Rp 300,- per gram) jadi biaya yg harus
dibayarkan Rp 195
Resorcin tersedia dalam bentuk serbuk (HNA+PPn = Rp1500,- per gram) jadi biaya yg harus
dibayarkan Rp 975
Miconazole cr tersedia dalam bentuk tube 10 g (HNA+ PPn= Rp 4500,- per tube ) jadi biaya yg
harus dibayarkan Rp 2.925
Garamycin oint tersedia dalam bentuk tube 10g ( HNA +PPn= Rp 90.000,- per tube) jadi biaya
yg harus dibayarkan Rp 58.500
Pot salep 10 g (HNA+PPn= Rp 200,- per pot)
Jadi, total yang harus dibayarkan seharusnya adalah
= Rp 195 + Rp 975 + Rp 2.925 + Rp 58.500 + Rp 260 + Rp 200 + Rp 2500
= Rp 65.555
Index resep racikan adalah 1,3 dengan tuslah 1 R/ racikan adalah Rp 2500,-
Harga yang dibayar oleh pasien adalah dengan perhitungan sebagai berikut:
Acid salisil = Rp 195,- (dinaikkan)
Resorcin = Rp 975,- (dinaikkan)
Miconazole cr = Rp 5.850,- (dinaikkan)
Garamycin oint = Rp 117.000,- (dinaikkan)
Pot = Rp 260,- (dinaikkan)
Plastik = Rp 200,-
Tuslah = Rp 2.500,- +
Rp 126.980,- 127.000 (semua harga didongkrak)
Penyelesaian:
Apoteker C telah merugikan pasien karena pasien harus membayar obat lebih mahal dari yang
diterimanya.
Disini emang terjadi dilema. Disatu sisi resep minta misalnya setengah tube. Jika dibayar Cuma
setengah, kita rugi dunk. Kalau dibayar 1 tube, padahal resep minta hanya setengah tube.
So, solusi:
Racik obat sesuai dengan resep, lalu komunikasikan kepada pasien, resep dibuat sekian tapi
harga tetap 1 tube, sisanya bisa pasien bawa, nanti kalau ada resep serupa bawa aja lagi tubenya
jadi ntar gag perlu bayar lagi dengan catatan penyimpanannya benar dan belum ED. Cara
menghitung ED obat campuran racik lihat ED obat paling pendek trus ED campuran adalah ½
dari ED terpendek tadi. Walaupun ini perkiraan si, sulit ditentukan secara pasti soalnya.
Biasanya si kalau salep steril ED kira-kira 2 bulan setelah dibuka, kalua tetes mata steril githu
sekitar 1 bulan setelah dibuka.
So, Solusi:
Tambah aja numero resep asal dalam rentang aman.
Atau subsidi silang aja terhadap keuntungan kita yang lain jadi anggap sedekah githu.
Pasal 1
Resep adalah permintaan tertulis dari Dokter, Dokter Gigi. Dokter Hewan kepada Apoteker
Pengelola Apotik untuk menyediakan dan menyerahkan obat bagi penderita sesuai peraturan
perundang-undangan yang beriaku.
BAB VI Pelayanan
Pasal 14
(1) Apotik wajib melayani resep dokter, dokter gigi dan dokter hewan.
(2) Pelayanan resep dimaksud dalam ayat (1) sepenuhnya atas tanggungjawab Apoteker Pengelola
Apotik.
Pelanggaran undang-undang:
Undang Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999
Tentang Perlindungan Konsumen