Anda di halaman 1dari 14

KASUS III:

Sebuah pabrik obat tradisional Kec. Bumiayu Kab. Brebes Jawa Tengah memproduksi OT
mengandung BKO tanpa hak dan kewenangan. Ruang produksi OT TIE dan mengandung BKO
tersebut didesain seperti Bunker yang terletak dibawah tanah dan bertingkat 2 (dua).

Hasil pengujian PPOMN terhadap barang bukti yang ditemukan menunjukkan :

Kajian Pelanggaran Etika Dan Undang-Undang Kefarmasian

Persyaratan usaha industri obat tradisional dan usaha industri kecil obat tradisional (SK MENKES
NO. 246/MENKES/SK/ V/1990 tentang izin usaha industri obat tradisional dan pendaftaran obat
tradisional)

Pasal 3

1. Obat tradisional yang diproduksi, diedarkan diwilayah Indonesia maupun dieksport terlebih
dahulu harus didaftarkan sebagai persetujuan menteri.

2. Dikecualikan dari ketentuan ayat 1 adalah obat tradisional hasil poduksi:

a. Industri kecil obat tradisional dalam bentuk rajangan, pilis, tapel, dan parem.

b. Usaha jamu racikan.

c. Usaha jamu gendong.

Pasal 6

1. Usaha industri obat tradisional wajib memenuhi persyaratan sebagai berikut:

a. Dilakukan oleh badan hukum berbentuk perseroan terbatas atau koperasi.

b. Memiliki nomor pokok wajib pajak.

Pasal 7

“Industri obat tradisional harus didirikan di tempat yang bebas pencemaran dan tidak mencemari
lingkungan”.

Pasal 8

“Usaha industri obat tradisional harus mempekerjakan secara tetap sekurang-kurangnya seorang
apoteker warga negara indonesia sebagai penanggung jawab teknis”.
Pasal 9

1. Industri obat tradisional dan industri kecil obat tradisional wajib mengikuti pedoman cara
pembuatan obat tradisioanl yang baik (CPOTB).

2. Pemenuhan persyaratan dimaksud ayat 1 dinyatakan oleh petugas yang berwenang melalui
pemeriksaan setempat.

Pasal 23

Untuk pendaftaran obat tradisional dimaksud dalam pasal 3 obat tradisional harus memenuhi
persyaratan:

a. Secara empirik terbukti aman dan bermanfaat untuk digunakan manusia .

b. Bahan obat tradisional dan proses produksi yang digunakan memenuhi prsyaratan yang
ditetapkan.

c. Tidak mengandung bahan kimia sintetik atau hasil isolasi yang berkhasiat sebagai obat.

d. Tidak mengandung bahan yang tergolong obat keras atau narkotik.

UU No. 8 Tahun 1999

tentang Perlindungan Konsumen

Pasal 4a

Hak konsumen adalah :

Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa.

PP No. 51 Tahun 2009

tentang Pekerjaan Kefarmasian Bagian Ketiga mengenai pekerjaan kefarmasian dalam produksi
sediaan farmasi

Pasal 7 (1)

“Pekerjaan kefarmasian dalam produksi sediaan farmasi harus memiliki apoteker penanggung
jawab”.

Pasal 9 (2)

“Industri obat tradisional dan pabrik kosmetika harus memiliki sekurang-kurangnya 1 (satu) orang
apoteker sebagai penanggung jawab”.
KASUS PENGADAAN
Apotek menerima tawaran PBF karena ada pelicin/bonus.

KASUS DISTRIBUSI
KASUS I:
Apotek panel  melanggar UU.

Untuk bersaing dengan apotek lain, sehingga apotek X mencari PBF yang menjual harga murah
walaupun tidak legal dengan tujuan agar bisa menjual kembali dengan harga murah dengan
diskon, sehingga mampu bersaing.

KASUS II:
 Nempil obat antar apotek bagaimana aturan main yang baik?

Penyelesaian:
Pada prinsipnya yang penting (tolong menolong):
1. Bagi yang nempil:
a. minta tolong dengan sopan dan cara yang baik, jangan hanya menggunakan kertas
sobekan untuk pemesanan.
b. Komunikasikan / telepon dulu, siapkan dokumen tertulis.
c. Kalimat terbaik: (1) SP; (2) Copi Resep; (3) Dengan kertas yang baik. 1 & 2
Untuk nempil narkotik boleh tapi pake SP narkotik (baca UU Narkotika
No.35/2009)
2. Bagi yang ditempili:
a. Harga (pada umumnya HNA + PPN x index 1,3), namun untuk sejawat tidak sama
dengan harga pada umumnya, atau bukan juga harga netto, ini egois. Tapi index
misalnya 1,1. Tidak menarik biaya tueslag dan embalanse.

KASUS III:
Narkotik boleh didistribusikan dari apotek ke apotek, dari apotek ke RS. Masa sesama sejawat
tidak saling percaya untuk nempil obat, percuma kuliah lama kata bu Bondan. Yang penting
ada SP nya aja (kesepakatan di Yogya pake SP khusus, tapi berdasarkan undang-undang yang
penting ada permintaan tertulis dari apoteker). UU Narkotik tahun 70an memang tidak
diperbolehkan, namun UU Narkotik sekarang boleh. UU Narkotika No. 35/2009:

Pasal 43
(1) Penyerahan Narkotika hanya dapat dilakukan oleh:
a. apotek;
b. rumah sakit;
c. pusat kesehatan masyarakat;
d. balai pengobatan; dan
e. dokter.
(2) Apotek hanya dapat menyerahkan Narkotika kepada:
a. rumah sakit;
b. pusat kesehatan masyarakat;
c. apotek lainnya;
d. balai pengobatan;
e. dokter; dan
f. pasien.
(3) Rumah sakit, apotek, pusat kesehatan masyarakat, dan balai pengobatan hanya dapat
menyerahkan Narkotika kepada pasien berdasarkan resep dokter.
(4) Penyerahan Narkotika oleh dokter hanya dapat dilaksanakan untuk:
a. menjalankan praktik dokter dengan memberikan Narkotika melalui suntikan;
b. menolong orang sakit dalam keadaan darurat dengan memberikan Narkotika melalui suntikan;
atau
c. menjalankan tugas di daerah terpencil yang tidak ada apotek.
(5) Narkotika dalam bentuk suntikan dalam jumlah tertentu yang diserahkan oleh dokter
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) hanya dapat diperoleh di apotek.
KASUS PELAYANAN
PELAYANAN RESEP

Definisi
Permenkes 922/Menkes/Per/X/1993–Pasal 1(h)
 Resep adalah permintaan tertulis dari Dokter, Dokter Gigi, Dokter Hewan kepada Apoteker
Pengelola Apotik untuk menyediakan dan menyerahkan obat bagi penderita sesuai
peraturan perundangundangan yang berlaku.

Resep yang baik adalah resep yang jelas dan dapat dibaca, resep harus memenuhi peraturan
yang ditetapkan oleh SK. MENKES RI No. 26 MenKes/Per/1981, Bab III, pasal 10, yang
memuat :
1. Nama, alamat dan No Surat Ijin Praktek Dokter
2. Tempat dan tanggal penulisan resep
3. Tanda R/ pada bagian kiri setiap penulisan obat.
4. Nama setiap obat/komponen resep (dengan Bentuk sediaan obat, Dosis, Jumlah dan
petunjuk pemakaian)
5. Tanda tangan/ paraf dokter, alamat jelas rumah untuk obat narkotika
6. Tanda seru/paraf dokter, pada obat yang melebihi dosis maksimum.
7. Nama penderita

Bagian-bagian dari resep adalah :


a. Inscriptio (identitas dokter penulis resep, SIP, alamat, kota, tanggal dan R/
b. Praescriptio (Inti resep, terdiri dari nama obat, BSO, Dosis obat dan jumlah obat)
c. Signatura, tanda yang harus ditulis di etiket obat (nama pasien dan petunjuk pemakaian).
d. Subscriptio, tanda tangan atau paraf dokter.

Secara Teknis
 Resep artinya pemberian obat secara tidak langsung, ditulis jelas dengan tinta, tulisan tangan
pada kop resep resmi kepada pasien, format, dan kaedah penulisan sesuai dengan peraturan dan
per Undang-Undangan yang berlaku.

Perundang-undangan:
Permenkes No.278/279/280/Menkes/SK/V/1981
 Melayani resep dokter, dokter gigi dan dokter hewan
 Salinan resep harus ditanda-tangani atau diparaf oleh Apoteker

Kepmenkes No. 1027/Menkes/SK/IX/2004


Skrining resep : Persyaratan administratif resep, a.l:
 Nama, alamat dokter, tgl penulisan resep, paraf/td tangan dokter, Nama obat, potensi, dosis ,
juml yg diminta, cara pemakain dan Informasi lainnya.

Faktanya
 Resep harus mudah dibaca dan mengungkapkan dengan jelas apa yang harus diberikan (Zunilda,
1998).
 Apabila apoteker menganggap pada resep tidak dapat dibaca dengan jelas atau tidak lengkap,
apoteker harus menanyakan kepada penulis resep (Hartono, 2003).
 Dalam resep harus memuat: nama dokter, nomor Surat Izin Praktek dokter, alamat dokter,
tanggal penulisan resep, tanda tangan dokter, nama pasien, alamat, umur, berat badan, nama
obat, dosis, jumlah yang diminta, aturan pakai.
 Resep yang mengandung narkotika harus ditulis tersendiri yaitu tidak boleh ada iterasi
(ulangan), ditulis dengan nama pasien tidak boleh m.i.=mihi ipsi=untuk dipakai sendiri,
alamat pasien dan aturan pakai yang jelas, tidak boleh ditulis sudah tahu pakainya (Aniefa,
2000).

Kaidah Penulisan Resep


 Nama obat ditulis dengan jelas. Penulisan nama obat tidak jelas dapat menyebabkan obat yang
keliru diberikan kepada penderita.
 Kekuatan dan jumlah obat ditulis dalam resep dengan jelas
(Zaman, 2001).

 Pemberian obat yang terlalu banyak sebaiknya dihindari karena bisa bahaya.
 Pemberian obat dalam jangka waktu yang terlalu lama sebaiknya dihindari.
(Joenes, 2001).

Pelayanan Resep Obat


 Dalam pelayanan resep ini, resep yang sudah diterima apoteker harus dibaca secara lengkap dan hati-
hati, sehingga tidak ada keraguan dalam resep tersebut
(Scott, 2000).

Skrining Resep
 Persyaratan administratif yaitu: nama, nomor Surat Izin Praktek dan alamat dokter, tanggal
penulisan resep, paraf dokter penulis resep, nama, alamat, umur, jenis kelamin, berat badan
pasien, nama obat, dosis, dan jumlah yang diminta, dan cara pemakaian yang jelas.
 Jika terdapat sesuatu yang kurang jelas atau jika nampak telah terjadi kesalahan, apoteker harus
mengkonsultasikan kepada penulis resep. Hendaknya apoteker tidak mengartikan maksud dari
kata yang tidak jelas atau singkatan yang tidak diketahui (Scott, 2000).
 Beberapa jenis kesalahan memang cukup banyak dijumpai dalam penulisan resep, misalnya
masih banyak resep obat yang ditulis tanpa ada penulisan signa atau aturan pakai, kadang
kata signa yang dituliskan kurang jelas atau kurang lengkap (Zairina dan Himawati, 2003).

Beberapa jenis kesalahan yang terjadi pada resep:


 Tidak ada umur pasien terutama untuk pasien anak.
 Tidak ada tanda tangan dokter/prescriber
 Nama obat tidak jelas karena tulisan yang sulit dibaca.
 Penulisan obat dengan khasiat sama lebih dari 1 kali dalam 1 lembar resep, baik dengan nama
sama atau merk berbeda.
(Nadeem, 2003).

Pelayanan Resep
 Apabila apoteker menganggap bahwa dalam resep ada kekeliruan atau penulisan resep yang
tidak tepat, apoteker harus memberitahukan kepada dokter penulis resep.
(Anief, M., 2000).
Kesimpulan
 Resep tidak memenuhi persyaratan/ tidak sesuai dengan kaidah hukum dan teori yang berlaku.
 Resep tersebut dikonfirmasi dan didiskusikan lebih lanjut kepada dokter penulis resep
 Bila terdapat resep yang tidak memenuhi aturan-aturan diatas, resep tidak dapat dilayani, begitu
pula resep narkotika yang telah diambil sebagian oleh pasien diapotek lain.

OWA atau BUKAN


Apotek menjual antibiotik secara bebas tanpa resep misal Amox adalah obat yang tidak
termasuk OWA, tetapi banyak pasien minta amox tanpa resep dokter. Apotek A tetap melayani.
Sehingga untuk mengantisipasi jika diperiksa oleh Dinkes & POM, agar tidak ketahuan maka
apoteker di apotek tersebut membuat copi resep sendiri ‘resep putih’ untuk melegalkan
transaksi.
So:
o Resep putih merupakan dokumen palsu dan tidak bertanggung jawab sehingga
melanggar kode etik dan UU, seharusnya bila apoteker menyerahkan obat selain
OWA, maka harus berani bertanggung jawab. Keadaan pasien ditanya terlebih
dahulu beserta alasannya.
o Tidak benar karena copi resep ada tulisan pcc (pro copi confirm) artinya sesuai
benarnya/aslinya. Apoteker ini hanya takut peraturannya tapi tidak tau prinsipnya.
Menurut bu Bondan apoteker bisa memberikan judgement profesi (keputusan)
karena kita seorang profesional yang berbasis keilmuan.
o Jadi jika berdasarkan judgement kita amox harus diserahkan maka buat catatan dan
keterangan (tanggal, nama & alamat pasien, dasar pertimbangan, keluhan, nama
obat, dosis, dan jumlah obat, keterangan lain yang jelas, saat penyerahan diberikan
informasi dan konseling) dan dibubuhi tanda tangan apoteker sehingga apoteker
tidak perlu membuat dokumen palsu.
o Maka layani dengan keyakinan dan keilmuan sehingga bisa membuat judgement
profesi yang bisa kita pertanggungjawabkan.

OBAT RESEP DOKTER DIJUAL KEMBALI


Resep ditulis oleh dokter untuk seorang perawat, ternyata bukan untuk perawat tetapi untuk
dijual kembali.
So:
 Jika resep sah layani, kecuali kita tau pasti disalahgunakan maka kita dapat tolak
dengan tegas namun sopan dan lembut serta dikomunikasikan kepada dokter.
 Maka layani dengan keyakinan dan keilmuan sehingga bisa membuat judgement
profesi yang bisa kita pertanggungjawabkan.

MASUK FORMULARIUM
Produk memiliki kualitas kurang bagus tetapi tetap dimasukkan ke dalam formularium karena
menjadi sponsor/PBF memberikan subsidi besar. Atau sebaliknya kualitas baik tetapi tidak
dicantumkan kedalam formularium, karena tidak memberikan untung misalnya bonus atau
penawaran menarik lainnya.

PERALATAN PENDUKUNG
Apoteker dalam memberikan pelayanan swamedikasi (OTC & OWA) melengkapi dirinya
dengan statoskop, tensi meter, alat tes gula darah dll. So???

Kontennya:
1. Kita harus tau tugas, tanggung jawab dan kewenangan profesi.
2. Tau kompetensi kita
3. Alat itu batasannya untuk apa dulu kita gunakan. Bukan untuk diagnosa, namun
untuk mendukung swamedikasi pasien dan monitoring obat/hasil terapi serta hanya
memberikan “warning” kepada pasien.

PELAYANAN APOTEK DARURAT


KASUS I:
Telah terjadi kecelakaan antarmotor di depan sebuah apotek . Kedua korban
mengalami luka-luka dan salah seorang diantaranya pingsan. Apa yang seharusnya
dilakukan oleh apoteker?

Tindakan:
1. P3K.
2. Beri/sediakan tempat yang nyaman untuk penyelamatan pasien/korban.
3. Beri minum untuk meringankan syok.
4. Menyiapkankan tenaga.
5. Jika ada dokter/tenaga medisyang kompeten/sesuai serahkan kepada ahlinya, jika
tidak baru apoteker turun tangan.
6. Jadi, kita harus bisa menempatkan diri, saat kapan kita turun langsung untuk
mengambil tindakan.
7. Jangan mencari celah untuk mencari keuntungan/jasa profesi/memanfaatkan
kesempatan dalam kesempitan.
KASUS II:
Apoteker S berpraktek di apotek miliknya. Suatu saat ada pasien anak kecil kejang yang diantar
oleh orang tuanya ke rumah sakit, namun belum sampai rumah sakit anak tersebut kejang yang
tiada tara sehingga orang tuanya (dalam perjalanan ke rumah sakit) memutuskan berhenti di
apotek untuk minta tolong pengobatan darurat di apotek tersebut. Dokter praktek sudah tidak
ada dan apoteker S harus mengambil keputusan menolong pasien atau menolaknya. Dengan
pertimbangan keilmuannya, apoteker S memberikan valisanbe rectal ke dubur anak kecil itu
sehingga kejangnya mereda. Pasien dapat diselamatkan dan segera dikirim ke rumah sakit
terdekat.

Identifikasi Masalah:
 UU No. 5 tahun 1997

Pasal 33
1. Pabrik obat, pedagang besar farmasi, sarana penyimpanan sediaan farmasi Pemerintah, apotek,
rumah sakit, puskesmas, balai pengobatan, dokter, lembaga penelitian dan/atau lembaga
pendidikan, wajib membuat dan menyimpan catatan mengenai kegiatan masing-masing yang
berhubungan dengan psikotropika.

Pasal 34
1. Pabrik obat, pedagang besar farmasi, apotek, rumah sakit, puskesmas, lembaga penelitian
dan/atau lembaga pendidikan wajib melaporkan catatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
33 ayat (1) kepada Menteri secara berkala.

Pasal 14
4. Penyerahan psikotropika oleh apotek, rumah sakit, puskesmas dan balai pengobatan,
puskesmas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan resep dokter.

Pasal 14
1. Penyerahan psikotropika dalam rangka peredaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 hanya
dapat dilakukan oleh apotek, rumah sakit, puskesmas, balai pengobatan, dan dokter
2. Penyerahan psikotropika oleh apotek hanya dapat dilakukan kepada apotek lainnya, rumah
sakit, puskesmas, balai pengobatan, dokter dan kepada pengguna/pasien.

border=0 u2:shapes="Object_x0020_1" v:shapes="_x0000_i1025">


Apoteker menyerahkan valisanbe (diazepam)
di apotek kepada pasien tanpa R/ dokter

6. Penyerahan psikotropika oleh dokter sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan
dalam hal :
a. menjalankan praktik terapi dan diberikan melalui suntikan;
b. menolong orang sakit dalam keadaan darurat;
c. menjalankan tugas di daerah terpencil yang tidak ada apotek.
7. Psikotropika yang diserahkan dokter sebagaimana dimaksud pada ayat (5) hanya dapat
diperoleh dari apotek.

 Kode Etik Apoteker Indonesia


Pasal 3
Seorang Apoteker harus senantiasa menjalankan profesinya sesuai kompetensi Apoteker
Indonesia serta selalu mengutamakan dan berpegang teguh pada prinsip kemanusiaan dalam
melaksanakan kewajibannya.

Implementasi PASAL 3:
1. Kepentingan kemanusiaan harus menjadi pertimbangan utama dalam setiap
tindakan dan keputusan seorang apoteker indonesia
2. Bimlamana suatu saat seorang apoteker dihadapkan kepada konflik tanggung
jawab profesional, maka dari berbagai opsi yang ada seorang apoteker harus
memilih resiko yang paling kecil dan paling tepat untuk kepentingan pasien serta
masyarakat.
Pasal 9
Seorang Apoteker dalam melakukan praktik kefarmasian harus mengutamakan kepentingan
masyarakat, menghormati hak azasi pasien dan melindungi mahluk hidup insani.

Implementasi PASAL 9:
1. Setiap tindakan dan keputusan profesional dari apoteker harus berpihak pada
kepentingan pasien dan masyarakat.
2. Seorang apoteker harus mengambil langkah-langkah untuk menjaga kesehatan
pasien khususnya janin, bayi, anak-anak serta orang dalam kondisi lemah.
Peraturan Pemerintah No.20 tahun 1962
Lafal Sumpah Apoteker

1. Saya akan membaktikan hidup saya guna kepentingan perikemanusiaan terutama


dalam bidang Kesehatan;
2. Saya akan merahasiakan segala sesuatu yang saya ketahui karena pekerjaan saya dan
keilmuan saya sebagai Apoteker;
3. Sekalipun diancam, saya tidak akan mempergunakan pengetahuan kefarmasian saya
untuk sesuatu yang bertentangan dengan hukum perikemanusiaan;
4. Saya akan menjalankan tugas saya dengan sebaik-baiknya sesuai dengan martabat
dan tradisi luhur jabatan kefarmasian;
5. Dalam menunaikan kewajiban saya, saya akan berikhtiar dengan sungguhsungguh
supaya tidak terpengaruh oleh pertimbagnan keagamaan, kebangsaan, kesukuan,
politik kepartaian, atau kedudukan sosial;
6. Saya ikrarkan Sumpah/Janji ini dengan sungguh-sungguh dan dengan penuh
keinsyafan
Apoteker menyerahkan psikotropika tanpa resep dokter pada keadaan darurat sebagai upaya life saving.

Tindakan apoteker dapat dibenarkan mengingat pemberian obat golongan psikotropika tanpa
resep dokter tersebut bertujuan sebagai pertolongan kepada pasien sehingga nyawa pasien
dapat terselamatkan.

Analisis Kasus:
 Lafal Sumpah Apoteker no. 1 : “Saya akan membaktikan hidup saya guna kepentingan
perikemanusiaan, terutam dalam bidang kesehatan”.

 UU No.36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan

Pasal 5 :
Ayat 1 : Setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh akses atas sumber daya di bidang
kesehatan.
Ayat 2 : Setiap orang mempunyai hak dalam memperoleh pelayanan kesehatan yang aman, bermutu,
dan terjangkau.
Ayat 3 : Setiap orang berhak secara mandiri dan bertanggung jawab menentukan sendiri
pelayanan kesehatan yang diperlukan bagi dirinya.

Pasal 9 :
Pasal 1 : Setiap orang berkewajiban ikut mewujudkan, mempertahankan, dan meningkatkan derajat
kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya.
Pasal 2 : Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pelaksanaannya meliputi upaya kesehatan
perseorangan, upaya kesehatan masyarakat, dan pembangunan berwawasan kesehatan.

Pasal 12 :
Setiap orang berkewajiban menjaga dan meningkatkan derajat kesehatan bagi orang lain yang
menjadi tanggung jawabnya.

Pasal 32 :
Ayat 1 : Dalam keadaan darurat, fasilitas pelayanan kesehatan, baik pemerintah maupun swasta, wajib
memberikan pelayanan kesehatan bagi penyelamatan nyawa pasien dan pencegahan kecacatan
terlebih dahulu.
Ayat 2 : Dalam keadaan darurat, fasilitas pelayanan kesehatan, baik pemerintah maupun swasta dilarang
menolak pasien dan/atau meminta uang muka.

Pasal 53 :
Ayat 1 : Pelayanan kesehatan perseorangan ditujukan untuk menyembuhkan penyakit dan
memulihkan kesehatan perseorangan dan keluarga.
Ayat 3 : Pelaksanaan pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
mendahulukan pertolongan keselamatan nyawa pasien dibanding kepentingan lainnya.

Pasal 83
(1) Setiap orang yang memberikan pelayanan kesehatan pada bencana harus ditujukan untuk
penyelamatan nyawa, pencegahan kecacatan lebih lanjut, dan kepentingan terbaik bagi pasien.
(2) Pemerintah menjamin perlindungan hukum bagi setiap orang sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) sesuai dengan kemampuan yang dimiliki.

Pasal 85
(1) Dalam keadaan darurat, fasilitas pelayanan kesehatan, baik pemerintah maupun swasta wajib
memberikan pelayanan kesehatan pada bencana bagi penyelamatan nyawa pasien dan
pencegahan kecacatan.
(2) Fasilitas pelayanan kesehatan dalam memberikan pelayanan kesehatan pada bencana
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang menolak pasien dan/atau meminta
uang muka terlebih dahulu.
Pasal 102
Ayat 1 : Penggunaan sediaan farmasi yang berupa narkotika dan psikotropika hanya dapat dilakukan
berdasarkan resep dokter atau dokter gigi dan dilarang untuk disalahgunakan.

 PP 51 tahun 2009 pasal 24 ayat c:


Dalam melakukan pekerjaan kefarmasian pada fasilitas pelayanan kefarmasian, Apoteker dapat
menyerahkan obat keras, narkotika dan psikotropika kepada masyarakat atas resep dari dokter
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Kesimpulan:
Berdasarkan UU 36 tahun 2009 pasal 102 ayat 2 dan PP 51 tahun 2009 pasal 24 ayat c,
tindakan Apoteker S merupakan sebuah pelanggaran dalam menjalankan pekerjaan
kefarmasian karena memberikan obat Valisanbe rectal yang isinya adalah Diazepam yang
termasuk dalam golongan psikotropika.
Akan tetapi tindakan Apoteker S tidak sepenuhnya salah kerena keadaan anak tersebut
dalam kondisi darurat yang memerlukan penanganan secepatnya (UU 36 tahun 2009 pasal 32
ayat 1 dan pasal 53 ayat 3).
Keputusan Apoteker S memberikan Diazepam didasari oleh alasan kemanusiaan serta
dasar kompetensi dan ilmu pengetahuan di bidang farmasi yang dimilikinya.
Akankah kepentingan Aturan megalahkan kepentingan Nyawa??

RESEP RACIK
Apotek C adalah apotek yang cukup ramai, termasuk omzet dari penjulan resep. Resep yang
masuk selain obat generic, banyak pula obat-obat paten dan racikan. Apotek C menerima
sebuah resep racikan dari seorang dokter kulit, sebagai berikut:
R/ Acid salisil 0.5
Resorcin 0.5
Miconazole cr 5
Garamycin oint 5
m.f.la. ungt.da in pot tube I
S 2 dd u e

Keterangan:
 Acid salisil tersedia dalam bentuk serbuk ( HNA+PPn = Rp 300,- per gram) jadi biaya yg harus
dibayarkan Rp 195
 Resorcin tersedia dalam bentuk serbuk (HNA+PPn = Rp1500,- per gram) jadi biaya yg harus
dibayarkan Rp 975
 Miconazole cr tersedia dalam bentuk tube 10 g (HNA+ PPn= Rp 4500,- per tube ) jadi biaya yg
harus dibayarkan Rp 2.925
 Garamycin oint tersedia dalam bentuk tube 10g ( HNA +PPn= Rp 90.000,- per tube) jadi biaya
yg harus dibayarkan Rp 58.500
 Pot salep 10 g (HNA+PPn= Rp 200,- per pot)
Jadi, total yang harus dibayarkan seharusnya adalah
= Rp 195 + Rp 975 + Rp 2.925 + Rp 58.500 + Rp 260 + Rp 200 + Rp 2500
= Rp 65.555

 Index resep racikan adalah 1,3 dengan tuslah 1 R/ racikan adalah Rp 2500,-
Harga yang dibayar oleh pasien adalah dengan perhitungan sebagai berikut:
 Acid salisil = Rp 195,- (dinaikkan)
 Resorcin = Rp 975,- (dinaikkan)
 Miconazole cr = Rp 5.850,- (dinaikkan)
 Garamycin oint = Rp 117.000,- (dinaikkan)
 Pot = Rp 260,- (dinaikkan)
 Plastik = Rp 200,-
 Tuslah = Rp 2.500,- +
Rp 126.980,-  127.000 (semua harga didongkrak)

Atau Kasus Serupa:


Apoteker B mengelola apotek yang cukup ramai. Suatu saat, ia menerima resep racikan berisi
campuran 2 tube salep masing-masing 5 gram. Di apotek tersebut tersedia salep dimaksud 10
gram. Salep racikan tetap dibuat namun dengan pertimbangan bahwa separo dari persediaan
nanti tidak dapat digunakan (kecuali ada resep yang sejenis maka apoteker B menggunakan
salep sesuai resep) tetapi harga menggunakan salep 10 gram.

Penyelesaian:
Apoteker C telah merugikan pasien karena pasien harus membayar obat lebih mahal dari yang
diterimanya.

Disini emang terjadi dilema. Disatu sisi resep minta misalnya setengah tube. Jika dibayar Cuma
setengah, kita rugi dunk. Kalau dibayar 1 tube, padahal resep minta hanya setengah tube.

So, solusi:
Racik obat sesuai dengan resep, lalu komunikasikan kepada pasien, resep dibuat sekian tapi
harga tetap 1 tube, sisanya bisa pasien bawa, nanti kalau ada resep serupa bawa aja lagi tubenya
jadi ntar gag perlu bayar lagi dengan catatan penyimpanannya benar dan belum ED. Cara
menghitung ED obat campuran racik lihat ED obat paling pendek trus ED campuran adalah ½
dari ED terpendek tadi. Walaupun ini perkiraan si, sulit ditentukan secara pasti soalnya.
Biasanya si kalau salep steril ED kira-kira 2 bulan setelah dibuka, kalua tetes mata steril githu
sekitar 1 bulan setelah dibuka.

Bagaimana Jika Kasus Diatas Adalah Penggunaan Tablet ?


Jika sisa tablet kita serahkan, kita khawatir disalahgunakan atau digunasalahkan.

So, Solusi:
Tambah aja numero resep asal dalam rentang aman.
Atau subsidi silang aja terhadap keuntungan kita yang lain jadi anggap sedekah githu.

Peraturan Menteri Kesehatan nomor 922/Menkes/Per/X/1993


BAB I Ketentuan Umum

Pasal 1
Resep adalah permintaan tertulis dari Dokter, Dokter Gigi. Dokter Hewan kepada Apoteker
Pengelola Apotik untuk menyediakan dan menyerahkan obat bagi penderita sesuai peraturan
perundang-undangan yang beriaku.
BAB VI Pelayanan
Pasal 14
(1) Apotik wajib melayani resep dokter, dokter gigi dan dokter hewan.
(2) Pelayanan resep dimaksud dalam ayat (1) sepenuhnya atas tanggungjawab Apoteker Pengelola
Apotik.
Pelanggaran undang-undang:
Undang Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999
Tentang Perlindungan Konsumen

Hak dan Kewajiban Konsumen


Pasal 4
g. hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif.

Kewajiban Pelaku Usaha


Pasal 7
a). beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
b). memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang
dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;
c). memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;

Perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha


Pasal 8 ayat 1
e). tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya, mode, atau
penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang dan/atau jasa
tersebut;
f). tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau promosi
penjualan barang dan/atau jasa tersebut;

Pelanggaran Sumpah Apoteker

Lafal Sumpah Profesi Apoteker


Saya akan membaktikan hidup saya guna kepentingan perikemanusiaan terutama dalam bidang
Kesehatan

Anda mungkin juga menyukai