Wrap Up B 10 Demam Sore Hari IPT Skenario 1
Wrap Up B 10 Demam Sore Hari IPT Skenario 1
KELOMPOK : B10
Rafli (1102013240)
UNIVERSITAS YARSI
FAKULTAS KEDOKTERAN
Judul
Daftar Isi…………………………………………………………………………………………..i
Skenario…………………………………………………………………………………………..1
Identifikasi kata sulit……………………………………………………………………………..2
Pertanyaan dan jawaban………………………………………………………………………….3
Hipotesa…………………………………………………………………………………………..5
Sasaran belajar……………………………………………………………………………………6
LI. I. Memahami dan Menjelaskan demam
DAFTAR PUSTAKA
Skenario 1
Seorang wanita 30 tahun, mengalami demam sejak 1 minggu yang lalu. Demam
dirasakan lebih tinggi pada sore dan malam hari dibandingkan pagi hari. Pada pemeriksaan fisik
kesadaran somnolen, nadi bradikardia, suhu tubuh hiperpireksia (pengukuran jam 20.00 WIB),
lidah terlihat typhoid tongue. Pada pemeriksaan widal didapatkan titer anti-salmonella typhi O
meningkat. Pasien tersebut bertanya kepada dokter apa diagnosis dan cara penanganannya.
IDENTIFIKASI KATA SULIT
1. Hiperpireksia
Jawab : kenaikan suhu tubuh lebih dari 41oC (>41oC), umumnya terjadi pada pasien yang
mengalami pendarahan system saraf pusat dan infeksi berat. Atau dapat juga diartikan
demam yang disertai peningkatan pengaturan suhu di hipotalamus.
2. Somnolen
Jawab : tingkat kesadaran menurun, respon psikomotor lambat,mudah tertidur, dapat pulih
bila dirangsang.
3. Bradikardia
Jawab : detak jantung lambat kurang dari 60×/menit (<60×/menit), hemodinamik tidak stabil,
takikardia >100×/menit
4. Typhoid Tongue
Jawab : lidah kotor, tepi kemerahan ada tremor (ada getaran)
5. Pemeriksaan widal
Jawab : untuk mendeteksi terhadap bakteri salmonella typhi, untuk menentukan adanya
agglutinin dalam serum penderita demam typhoid (agglutinin O&H). semakin tinggi titer
maka semakin besar kemungkinan terinfeksi demam tifoid.
Pertanyaan dan Jawaban
Demam yang dirasakan meningkat pada sore dan malam hari, yang disertai dengan sakit
kepala, mual, muntah, diare, nadi bradikardia merupakan tanda dan gejala dari demam tifoid.
Penyebab dari penyakit ini adalah masuknya bakteri Sakmonella ke dalam tubuh melalui oral.
Diagnosis ditegakkan setelah dilakukannya pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan darah
rutin dan pemeriksaan serologi.
SASARAN BELAJAR
2. Demam remiten
Suhu badan dapat turun setiap hari tetapi tidak pernah mencapai suhu badan
normal. Perbedaan kenaikan suhu tidak sebesar demam septik.
3. Demam intermiten
Suhu bdan turun ke tingkat normal selama beberapa jam dalam satu hari. Bila
demam ini terjadi setiap dua hari sekali disebut tersiana , dan bila terjadi dua
hari bebas demam di antara dua serangan demam disebut kuartana. Contohnya
malaria.
4. Demam kontinyu
Variasi suhu sepanjang hari tidak berbeda lebih dari satu derajat. Pada tingkat
demam yang terus menerus tinggi disebut hiperpireksia.
Suatu keadaan demam yang terus menerus selama 3 minggu dengan suhu
badan dia atas 38,3˚C dan belum ditemukan penyebabnya walaupun sudah diteliti.
Demam yang belum terdiagnosis atau Fever Unknown Origin (FUO) dibagi
kedalam 4 kelompok :
2. Non infeksi
Factor lingkungan
Penyakit autoimun
Keganasan (leukemia)
Pemakaian obat-obatan (antibiotic, antihistamin)
Sitokin Prostaglandin
Endotoksin,
F
peradangan, Monosit,
Area preoptik Meningkatkan
rangsangan makrofag, sel-sel
hipotalamus titik
pirogenik lain Kupffer
penyetelan
suhu
Demam
a. Chill: pusat suhu meningkat lalu mencapai set-point suhu yang baru
Manifestasi klinisnya vasokonstriksi kutaneus, peningkatan produksi panas
akibat aktivitas otot
b. Fever: terjadi keseimbangan antara produksi dan pengeluara pada peningkatan
set-point
Manifestasi klinis: set point kembali normal, tubuh mempersepsikan dirinya
menjadi terlalu hangat
c. Flush: mekanisme pembuangan panas diinisiasi menyebabkan vasodilatasi
kutaneus dan diaforesis
Manifestasi klinis: haus, kulit memerah
LI.2 Memahami dan Menjelaskan Salmonella enterica
LO.2.1 Morfologi salmonella enteric
http://textbookofbacteriology.net/structure.htm
Salmonella sp. adalah bakteri batang lurus, gram negatif, tidak berspora,
bergerak dengan flagel peritrik, berukuran 2-4 μm x 0.5-0,8 μm. Salmonella sp.
tumbuh cepat dalam media yang sederhana, hampir tidak pernah memfermentasi
laktosa dan sukrosa,membentuk asam dan kadang gas dari glukosa dan manosa,
biasanya memporoduksi hidrogen sulfide atau H2S, pada biakan agar koloninya
besar bergaris tengah 2-8 milimeter, bulat agak cembung, jernih, smooth,pada
media BAP tidak menyebabkan hemolisis, pada media Mac Concey koloni
Salmonella sp. Tidak memfermentasi laktosa (NLF),konsistensinya smooth.
Salmonella sp. tahan hidup dalam air yang dibekukan dalam waktu yang
lama, bakteri ini resisten terhadap bahan kimia tertentu (misalnya hijau brillian,
sodium tetrathionat, sodium deoxycholate) yang menghambat pertumbuhan
bakteri enterik lain, tetapi senyawa tersebut berguna untuk ditambahkan pada
media isolasi Salmonella sp. pada sampel feses.
Struktur:
Inti/ nukleus: badan inti tidak mempunyai dinding inti/ membran inti. Di
dalamnya terdapat benang DNA yang panjangnya kira kira 1 mm
Sitoplasma: tidak mempunyai mitokondria atau kloroplas sehingga enzim
enzim untuk transport elektron bekerja di membran sel
Membran sitoplasma: terdiri dari fosfolipid dan protein. Berfungsi sebagai
transport bahan makan an, tempat transport elektron, biosintesi DNA, dan
kemotaktik. Terdapat mesosom yang berperan dalam pembelahan sel
Dinding sel: terdiri dari lapisan peptidoglikan, berfungsi untuk menjaga
tekana osmotic, pembelahan sel, biosintesis, determinan dari antigen
permukaan bakteri. Pada bakteri gram negative salah satu lapisan dinding sel
mempunyai aktivitas endotoksin yang tidak spesifik, yaitu lipopolisakarida
yang bersifat toksik.
Kapsul: disintesis dari polimer ekstrasel yang berkondensasi dan membentuk
lapisan di sekeliling sel, sehingga bakteri lebih tahan terhadap efek
fagositosis.
Flagel; berbentuk seperti benang, yang erdiri dari protein berukuran 12 – 30
nanometer. Flagel adalah alat pergerakan. Protein dari flagel disebuk flagelin
Pili: fimbriae: berperan dalam adhesi bakteri dengan sel tubuh hospes dan
konjugasi bakteri
Panjang salmonella bervariasi. Sebagian besar isolate motil dengan flagel
peritrika. Berupakan batang gram negative. Salmonella mudah tumbuh pada
medium sederhana. Tidak memfermentasikan laktosa dan sukrosa. Tetapi
mebentuk asam dan terkadang gas dari glukosa dan manosa. Salmonella
biasanya mengasilkan H2S. Bertahan didalam air yag membeku dengan
waktu yang lama. Salmonella resisten terhadap bahan kimia tertentu (misal,
hijau brilian, natrium tetrationat, natrium deoksikolat) yang menghambat
bakteri enteric lain. Salmonella umumnya bersifat patogen untuk manusia.
Kuman ini empunyai tiga antigen yang penting untuk pemeriksaan
laboraturium yaitu:
o Antigen O(somatik)
o Antigen H(flagella)
o Antigen Vi
LO.2.2 Jenis/Klasifikasi Salmonella
1. S. enteric
a. S. enteric subsp. enteric (I)
b. S. enteric subsp. salamae (II)
c. S. enteric subsp. arizonae (IIIa)
d. S. enteric subsp. diarizonae (IIIb)
e. S. enteric subsp. houtenae (IV)
f. S. enteric subsp. indica (V)
2. S. bongori
Serotipe yang diidentifikasi menurut struktur antigen O, H dan Vi yang
spesifik
a. Antigen O
antigen dinding sel
b. Antigen H
terdapat di flagel dan didenaturasi atau dirusak oleh panas dan alcohol.
Antigen dipertahankan dengan memberikan formalin pada beberapa
bakteri yang motil. Antigen H beraglutinasi dengan anti-H dan
IgG.penentu dalam antigen H adalah fungsi sekuens asam amino pada
protein flagel (flagellate). Antigen H pada permukaan bakteri dapat
mengganggu aglutinasi dengan antibody antigen O
c. Antigen Vi/K
terletak di luar antigen O, merupakan polisakarida dan yang lainnya
merupakan protein. Antigen K dapat mengganggu aglutinasi dengan
antiserum O, dan dapat berhubungan dengan virulensi. Dapat
diidentifikasi dengan uji pembengkakan kapsul dengan antiserum
spesifik
Salmonella Typhi
Salmonella Paratyphi
LO.3.2 Epidemiologi
3. Distribusi dan Frekwensi
a. Orang
Demam tifoid dapat menginfeksi semua orang dan tidak ada perbedaan
yang nyata antara insiden pada laki-laki dan perempuan. Insiden pasien
demam tifoid dengan usia 12 – 30 tahun 70 – 80 %, usia 31 – 40 tahun 10
– 20 %, usia > 40 tahun 5 – 10 %. Menurut penelitian Simanjuntak, C.H,
dkk (1989) di Paseh, Jawa Barat terdapat 77 % penderita demam tifoid
pada umur 3 – 19 tahun dan tertinggi pada umur 10 -15 tahun dengan
insiden rate 687,9 per 100.000 penduduk. Insiden rate pada umur 0 – 3
tahun sebesar 263 per 100.000 penduduk.
b. Faktor Agent
Demam tifoid disebabkan oleh bakteri Salmonella thypi. Jumlah kuman
yang dapat menimbulkan infeksi adalah sebanyak 105– 109kuman yang
tertelan melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi. Semakin
besar jumlah Salmonella thypi yang tertelan, maka semakin pendek masa
inkubasi penyakit demam tifoid.
c. Faktor Environment
Demam tifoid merupakan penyakit infeksi yang dijumpai secara luas di
daerah tropis terutama di daerah dengan kualitas sumber air yang
tidakmemadai dengan standar hygiene dan sanitasi yang rendah. Beberapa
hal yang mempercepat terjadinya penyebaran demam tifoid adalah
urbanisasi, kepadatan penduduk, sumber air minum dan standart hygiene
industri pengolahan makanan yang masih rendah. Berdasarkan hasil
penelitian Lubis, R. di RSUD. Dr. Soetomo (2000) dengan desain case
control , mengatakan bahwa higiene perorangan yang kurang, mempunyai
resiko terkena penyakit demam tifoid 20,8 kali lebih besar dibandingkan
dengan yang higiene perorangan yang baik (OR=20,8) dan kualitas air
minum yang tercemar berat coliform beresiko 6,4 kali lebih besar terkena
penyakit demam tifoid dibandingkan dengan yang kualitas air minumnya
tidak tercemar berat coliform (OR=6,4) .
Komplikasi
5. Komplikasi Intestinal
a. Perdarahan Usus
Pada plak payeri usus yang terinfeksi (terutama ileum terminalis) dapat
terbentuk tukak/luka berbentuk lonjong dan memanjang terhadap sumbu
usus. Bila luka menembus lumen usus dan mengenai pembuluh darah
maka terjadi perdarahan. Selanjutnya bila tukak menembus dinding usus
maka perforasi dapat terjadi. Selain karena factor luka, perdarahan juga
dapat terjadi karena gangguan koagulasi darah (KID) atau gabunagn kedua
factor. Sekitar 25% penderita demam tifoid dapat mengalami perdarahan
minor yang tidak membutuhkan transfuse darah. Perdarahan hebat dapat
terjadi hingga penderita mengalami syok. Secara klinis perdarahan akut
darurat bedah ditegakkan bila terdapat perdarahan sebanyak 5
ml/kgBB/jam dengan factor hemostasis dalam batas normal. Jika
penanganan terlambat, mortalitas cukup tinggi sekitar 10-32%, bahkan ada
yang melaporkan sampai 80%. Bila transfuse yang diberikan tidak dapat
menimbangi perdarahan yang terjadi, maka tindakan bedah perlu
dipertimbangkan.
b. Perforasi Usus
Terjadi pada sekitar 3% dari penderita yang dirawat. Biasanya timbul pada
minggu ketiga namun dapat pula terjadi pada minggu pertama. Selain
gejala umum demam tifoid yang biasa terjadi maka penderita demam
tifoid dengan perforasi mengeluh nyeri perut yang hebat terutama di
daerah kuadran kanan bawah yang kemudian menyebar ke seluruh perut
dan disertai dengan tanda-tanda ileus. Bising usus melemah pada 50%
penderita dan pekak hati terkadang tidak ditemukan karena adanya udara
bebas di abdomen. Tanda-tanda perforasi lainnya adalah nadi cepat,
tekanan darah turun, dan bahkan dapat syok. Bila pada gambaran foto
polos abdomen (BNO/3 posisi) ditemukan udara pada rongga peritoneum
atau subdiafragma kanan, maka hal ini merupakan nilai yang cukup
menentukan terdapatnya perforasi usus pada demam tifoid. Beberapa
factor yang dapat meningkatkan kejadian perforasi adalah umur (biasanya
berumur 20-30 tahun), lama demam, modalitas pengobatan, beratnya
penyakit, dan mobilitas penderita.
6. Komplikasi Ekstraintestinal
a Komplikasi kardiovaskuler : kegagalan sirkulasi perifer (syok, sepsis),
miokarditis, trombosis dan tromboflebitis.
b Komplikasi darah : anemia hemolitik, trombositopenia, koaguolasi
intravaskuler diseminata, dan sindrom uremia hemolitik.
c Komplikasi paru : pneumoni, empiema, dan pleuritis
d Komplikasi hepar dan kandung kemih : hepatitis dan kolelitiasis
Hepatitis Tifosa
Pembengkakan hati ringan sampai sedang dijumpai ada 50% kasus
dengan tifoid dan lebih banyak dijumpai karena S.typhi dari pada
S.paratyphi. untuk membedakan apakah hepatitis ini oleh karena tifoid,
virus, malaria, atau amuba maka perlu diperhatikan kelainan fisik,
parameter laboratorium, dan bila perlu histopatologik hati. Pada demam
tifoid kenaikan enzim transaminase tidak relevan dengan kenaikan serum
bilirubin (untuk membedakan dengan hepatitis oleh karena virus).
Hepatitis tifosa dapat terjadi pada pasien dengan malnutrisi dan system
imun yang kurang. Meskipun sangat jarang, komplikasi
hepatoensefalopati dapat terjadi.
e Komplikasi ginjal : glomerulonefritis, pielonefritis, dan perinefritis
f Komplikasi tulang : osteomielitis, periostitis, spondilitis, dan artritis
g Komplikasi neuropsikiatrik : delirium, meningismus, meningitis,
polineuritis perifer, psikosis, dan sindrom katatonia.
Manifestasi neuropsikiatrik dapat berupa delirium dengan atau tanpa
kejang, semi-koma, Parkinson rigidity/ transient parkinsonism, sindrom
otak akut, mioklonus generalisata, meningismus, skizofrenia, sitotoksik,
mania akut, hipomania, ensefalomielitis, meningitis, polyneuritis perifer,
sindrom Guillain-Barre, dan psikosis.
1. Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik didapatkan peningkatan suhu tubuh, debar jantung
relative lambat (bradikardi), lidah kotor, pembesaran hati dan limpa
(hepatomegali dan splenomegali), kembung (meteorismus), radang paru
(pneumonia), dan kadang-kadang dapat timbul gangguan jiwa, pendarahan
usus, dinding usus bocor (perforasi), radang selaput perut (peritonitis), serta
gagal ginjal.
2. Pemeriksaan laboratorium
a. Pemeriksaan Mikrobiologi (kultur)
Metode diagnosis mikrobiologik atau kultur merupakan gold standart
untuk diagnosis demam tifoid. Spesifikasinya lebih dari 90% pada
penderita yang belum diobati, kultur darahnya positif pada minggu
pertama. Jika sudah diobati hasil positif menjadi 40% namun pada kultur
sum-sum tulang hasil positif tinggi 90%. Pada minggu selanjutnya kultur
tinja dan urin meningkat yaitu 85% dan 25%, berturut-turut positif pada
minggu ke-3 dan ke-4. Selama 3 bulan kultur tinja dapat positif kira-kira
3% karena penderita tersebut termasuk carrier kronik. Carrier kronik
sering terjadi pada orang dewasa dari pada anak-anak dan lebih sering
pada wanita dari pada laki-laki.
b. Pemeriksaan Klinik (darah)
Hitung leukosit total pada demam tifoid menunjukkan lekopenia,
kemungkinannya 3.000 sampai 8.000/ mm3
Hitung jenis leukosit : kemungkinan limfositosis dan monositosis
c. Pemeriksaan Serologi
Widal test
Merupakan uji yang medeteksi anti bodi penderita yang timbul pada
minggu pertama. Uji ini mengukur adanya antibodi yang ditimbulkan
oleh antigen O dan H pada Salmonella sp. Hasil bermakna jika hasil
titer O dan H yaitu 1:160 atau lebih Sebagian besar rumah sakit di
Indonesia menggunakan uji widal untuk mendiagnosis demam tifoid.
IDL Tubex test
Tubex test pemeriksaan yang sederhana dan cepat.
Prinsippemeriksaannya adalah mendeteksi antibodi pada penderita.
Serum yang dicampur 1 menit dengan larutan A. Kemudian 2 tetes
larutan B dicampur selama 12 menit. Tabung ditempelkan pada
magnet khusus. Kemudian pembacaan hasil didasarkan pada warna
akibat ikatan antigen dan antibodi. Yang akan menimbulkan warna dan
disamakan dengan warna pada magnet khusus.
Typhidot test
Uji serologi ini untuk mendeteksi adanya IgG dan IgM yang spesifik
untuk S. typhi. Uji ini lebih baik dari pada uji Widal dan merupakan
uji Enzyme Immuno Assay (EIA) ketegasan (75%), kepekaan (95%).
Studi evaluasi juga menunjukkan Typhidot-M lebih baik dari pada
metoda kultur. Walaupun kultur merupakan pemeriksaan gold standar.
Perbandingan kepekaan Typhidot-M dan metode kultur adalah >93%.
Typhidot-M sangat bermanfaat untuk diagnosis cepat di daerah
endemis demam tifoid.
IgM dipstick test
Pengujian IgM dipstick test demam tifoid dengan mendeteksi adanya
antibodi yang dibentuk karena infeksi S. typhi dalam serum penderita.
Pemeriksaan IgM dipstick dapat menggunakan serum dengan
perbandingan 1:50 dan darah 1 : 25. Selanjutnya diinkubasi 3 jam pada
suhu kamar. Kemudian dibilas dengan air biarkan kering.. Hasil dibaca
jika ada warna berarti positif dan Hasil negatif jika tidak ada warna.
Interpretasi hasil 1+, 2+, 3+ atau 4+ jika positif lemah.
2. Farmakologis
Dengan tujuan menghentikan dan mencegah penyebaran kuman. Obat-obat
antimikroba yang sering digunakan untuk mengobati demam tifoid
Kloramfenikol
Di Indonesia kloramfenikol masih merupakan obat pilihan utama untuk
mengobati demam tifoid. Dosis yang diberikan adalah 4×500 mg per
hari dapat diberikan secara per oral atau intravena. Diberikan sampai
dengan 7 hari bebas panas. Penyuntikan intramuscular tidak dianjurkan
oleh karena hidrolisis ester ini tidak dapat diramalkan dan tempat
suntikan terasa nyeri. Dari pengalaman penggunaan obat ini dapat
menurunkan demam rata-rata 7,2 hari. Penulis lain menyebutkan
penurunan demam dapat terjadi rata-rata setelah hari ke-5. Pada
penelitian yang dilakukan selama 2002 hingga 2008 oleh Moehario LH
dkk didapatkan 90% kuman masih memiliki kepekaan terhadap
antibiotic ini.
Tiamfenikol
Dosis dan efektivitas tiamfenikol pada demam tifoid hamper sama
dengan kloramfenikol, akan tetapi komplikasi hematologi seperti
kemungkinan terjadinya anemia aplastik lebih rendah dibandingkan
dengan kloramfenikol. Dosis tiamfenikol adalah 4×500 mg,dengan rata-
rata menurun pada hari ke-5 sampai ke-6.
Kontrimoksazol
Efektivitas obat ini dilaporkan hampir sama dengan kloramfenikol.
Dosis untuk orang dewasa adalah 2×2 tablet (1 tablet mengandungb
sulfametaksazol 400 mg dan 80 mg trimetoprim) diberikan selama 2
minggu.
Ampisilin dan amoksisilin
Kemampuan obat ini untuk menurunkan demam lebih rendah
dibandingkan dengan kloramfenikol, dosis yang dianjurkan berkisar
antara 50-150 mg/kgBB dan digunakan selama 2 minggu.
Golongan fluorokuinon
Golongan ini beberapa jenis bahan sediaan dan aturan pemberiannya:
- Norfloksasin dosis 2×400 mg/hari selama 14 hari
- Siprofloksasin 2×500 mg/hari selama 6 hari
- Ofloksasin dosis 2×400 mg/hari selama 7 hari
- Pefloksasin dosis 400 mg/hari selama 7 hari
- Fleroksasin dosis 400 mg/hariselama 7 hari
Demam pada umumnya mengalami lisis pada hari ke-3 atau menjelang
harike-4. Hasil penurunan demam sedikit lebih lambat pada penggunaan
norfloksasin yang merupakan fluorokuinon pertama yang memiliki
biovailabilitas tidak sebaik fluorokuinon yang dikembangkan kemudian.
Azitromisin
Tinjauan yang dilakukan oleh Eeva EW dan Bukirwa H pada tahun 2008
terhadap 7 penelitian yang membandingkan penggunaan azitromisin
(dosis 2×500 mg) menunjukkan bahwa penggunaan obat ini jika
dibandingkan dengan fluorokuinon, azitromisin secara signifikan
mengurangi kegagalan klinis dan durasi rawat inap, terutama jika
penelitian mengikutsertakan pula strain MDR (multi drug resistance)
maupun NARST (Nalidixic Acid Resistant S. typi). Jika dibandingkan
dengan ceftriakson, penggunaan azitromisin dapat mengurangi angka
relaps. Azitromisisn mampu menghasilkan konsentrasi dalam jaringan
yang tinggi walaupun konsentrasi dalam jaringan yang tinggi walaupun
konsentrasi dalam darah cenderung rendah. Antibiotika akan
terkonsentrasi di dalam sel, sehingga antibiotika ini menjadi ideal untuk
digunakan dalam pengobatan infeksi oleh S. typi yang meupakan kuman
intraselular. Keuntungan lain adalah azitromisisn tersedia dalam bentuk
sediaan oral maupun suntikan intravena.
Obat-obat antimikroba yang sering digunakan untuk mengobati demam tifoid
adalah sebagai berikut:
Ceftriaxon 92.6
Kloramfenikol 94.1
Tetrasiklin 100
Ciprofloksasin 100
Levofloksasin 100
3. Pencegahan Tersier
Pencegahan tersier adalah upaya yang dilakukan untuk mengurangi keparahan
akibat komplikasi. Apabila telah dinyatakan sembuh dari penyakit demam
tifoid sebaiknya tetap menerapkan pola hidup sehat, sehingga imunitas tubuh
tetap terjaga dan dapat terhindar dari infeksi ulang demam tifoid. Pada
penderita demam tifoid yang carier perlu dilakukan pemerikasaan laboratorium
pasca penyembuhan untuk mengetahui kuman masih ada atau tidak.
Behrman R.E. et al. 1999. Ilmu Kesehatan Anak Nelson edisi 15. ab.A.Samik Wahab.
Jakarta: EGC.
Corwin, Elizabeth J. (2009). Buku Saku Patofisiolgi. Edisi revisi III.Jakarta : Penerbit
Buku Kedokteran EGC
Jawetz, Melnick, Adelberg. (1996). Mikrobiologi Kedokteran. Edisi XX. Jakarta :
Penerbit Buku Kedokteran EGC
Jawetz M, Adelberg’s. Mikrobiologi Kedokteran. edisi 23. Alih Bahasa: Huriwati Price,
Hartanto dkk. Jakarta, Penerbit Buku Kedokteran ECG. Cetakan I, 2008.
Karsinah, H.M, Lucky. Suharto. H.W, Mardiastuti.1994. Batang Negatif Gram dalam
Staf Pengajar FKUI.Buku Ajar Mikrobiologi Kedokteran Edisi Revisi. Jakarta: Binarupa
Aksara.
Samuelson, John. 2008. Patologi Umum Penyakit Infeksi dalam Brooks, G.F., Butel,
Janet S., Morse, S.A. Mikrobiologi Kedokteran. Jakarta: EGC.
Setyabudi, Rianto. 2008. Farmakologi dan Terapi Edisi Revisi edisi 5. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI.
Sherwood, Lauralee. 2004. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem edisi 2. Jakarta: EGC.
Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I.2009. Ilmu Penyakit Dalam. Edisi III. Jakarta:Interna
Publishing
Sumarmo, dkk. 2010. Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis edisi 2. Jakarta: EGC.
Sylvia Anderson. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit edisi 6,ab.
Huriawati Hartanto, Jakarta: EGC.
Widodo, Djoko. 2009. Demam Tifoid dalam Sudoyo, Aru W. et.al. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid III Edisi V. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit
Dalam FKUI.