Anda di halaman 1dari 34

Wrap Up

SKENARIO 1 (Demam Sore Hari)

Blok Infeksi dan Penyakit Tropik

KELOMPOK : B10

KETUA : Rizki Fauzi Rahman (1102013254)

SEKRETARIS : Qorry Welendri (1102013238)

ANGGOTA : Putri Utari Azde (1102013236)

Qonny Welendri (1102013237)

Raesya Dwi Ananta (1102013239)

Rafli (1102013240)

Rahma Rafina Noerfani (1102013241)

Rindayu Yusticia Indira Putri (1102013251)

Rizki Marfira (1102013255)

UNIVERSITAS YARSI

FAKULTAS KEDOKTERAN

TAHUN AJARAN 2013/2014


DAFTAR ISI

Judul
Daftar Isi…………………………………………………………………………………………..i
Skenario…………………………………………………………………………………………..1
Identifikasi kata sulit……………………………………………………………………………..2
Pertanyaan dan jawaban………………………………………………………………………….3
Hipotesa…………………………………………………………………………………………..5
Sasaran belajar……………………………………………………………………………………6
LI. I. Memahami dan Menjelaskan demam

LO.1.1 Definisi demam………………………………………………………………….7


LO.1.2 Klasifikasi demam……………………………………………………………….7
LO.1.3 Etiologi demam…………………………………………………………………..9
LO.1.4 Patofisiologi/mekanisme demam……………………………………………….10

LI. II. Memahami dan Menjelaskan Salmonella enterica

LO.2.1 Morfologi salmonella enterica………………………………………………….12


LO.2.2 Jenis/klasifikasi
salmonella………………………………………………………………………..14
LO.2.3 Transmisi salmonella enterica…………………………………………………..15

LI. III. Memahami dan Menjelaskan demam typhoid

LO.3.1 Definisi demam typhoid………………………………………………………...16


LO.3.2 Epidemiologi demam typhoid…………………………………………………...16
LO.3.3 Etiologi demam typhoid………………………………………………………….18
LO.3.4 Patofisiologi demam typhoid…………………………………………………….18
LO.3.5 Manifestasi klinis & komplikasi demam typhoid……………………………….20
LO.3.6 Diagnosis demam typhoid……………………………………………………….24
LO.3.7 Penatalaksanaan demam typhoid………………………………………………..25
LO.3.8 Pencegahan demam typhoid……………………………………………………..29

DAFTAR PUSTAKA
Skenario 1

Demam Sore Hari

Seorang wanita 30 tahun, mengalami demam sejak 1 minggu yang lalu. Demam
dirasakan lebih tinggi pada sore dan malam hari dibandingkan pagi hari. Pada pemeriksaan fisik
kesadaran somnolen, nadi bradikardia, suhu tubuh hiperpireksia (pengukuran jam 20.00 WIB),
lidah terlihat typhoid tongue. Pada pemeriksaan widal didapatkan titer anti-salmonella typhi O
meningkat. Pasien tersebut bertanya kepada dokter apa diagnosis dan cara penanganannya.
IDENTIFIKASI KATA SULIT

1. Hiperpireksia
Jawab : kenaikan suhu tubuh lebih dari 41oC (>41oC), umumnya terjadi pada pasien yang
mengalami pendarahan system saraf pusat dan infeksi berat. Atau dapat juga diartikan
demam yang disertai peningkatan pengaturan suhu di hipotalamus.

2. Somnolen
Jawab : tingkat kesadaran menurun, respon psikomotor lambat,mudah tertidur, dapat pulih
bila dirangsang.

3. Bradikardia
Jawab : detak jantung lambat kurang dari 60×/menit (<60×/menit), hemodinamik tidak stabil,
takikardia >100×/menit

4. Typhoid Tongue
Jawab : lidah kotor, tepi kemerahan ada tremor (ada getaran)

5. Pemeriksaan widal
Jawab : untuk mendeteksi terhadap bakteri salmonella typhi, untuk menentukan adanya
agglutinin dalam serum penderita demam typhoid (agglutinin O&H). semakin tinggi titer
maka semakin besar kemungkinan terinfeksi demam tifoid.
Pertanyaan dan Jawaban

1. Bagaimana siklus salmonella typhi menginfeksi tubuh?


Jawab : salmonella masuk ketubuh manusia/hewan melalui makanan yang terkontaminasi
kuman,salmonella masuk dan menyerang usus halus, setelah itu kuman tersebut menembus
lumen, dan akhirnya lumen rusak, salmonella masuk dan lumennya menutup, akibatnya dapat
mempengaruhi keseimbangan tubuh, menyebabkan manusia/hewan yang terkontaminasi di
usunya ada salmonella

2. Kenapa pada pasien tifus demamnya terjadi pada sore hari?


Jawab : karena bakterinya hidup pada sore hari

3. Apa saja jenis-jenis salmonella?


Jawab : salmonella paratyphi A, salmonella paratyphi B, salmonella cholera swiss,
salmonella typhi

4. Mengapa titer anti salmonella typhi O meningkat?


Jawab : karena pasien tersebut terdeteksi menderita demam tifoid, pada demam tifoid makin
tinggi titernya maka semakin besarkemungkinan terinfeksi

5. Apa saja factor perantara penularan salmonella typhi O?


Jawab : salmonella menular melalui makan, minuman yang tercemar, kebiasaan tidak
mencuci tangan sebelum makan

6. Apa saja bagian tubuh yang diserang salmonella?


Jawab : salmonella menyerang usus halus manusia dan kandung empedu

7. Apa saja yang dapat mempengaruhi pemeriksaan widal?


Jawab : antibiotic dapat mempengaruhi hasil pemeriksaan widal

8. Apa diagnosis & penanganan pasien yang terkena bakteri salmonella?


Jawab : pasien yang terinfeksi bakteri salmonella dapat ditangani dengan pemberian
antibiotic, dan penatalaksanaannya dengan perawatan, diet (mengontrol makan), pemberian
obat antibiotic, perawatan Rumah Sakit minimal 7 hari

9. Apa saja gejala dari demam tifoid?


Jawab : gejala demam tifoid muncul 8-14 hari terinfeksi, gejala awalnya: demam, sakit
kepala, sakit tenggorokan, nyeri sendi, menurunnya nafsu makan, diare, ini terjadi pada
ujung minggu pertama. Jika tidak diobati suhu tubuh akan meningkat (2-3 hari) 39-40oC.
dalam jangka panjang akan menyebabkan nadi bradikardia, berpengaruh pada abdomen, dan
terdapat bintik merah
10. Bagaimana mekanisme demam?
Jawab : demam awalnya terjadi karena pathogen masuk melalui oral berupa benda
asing/racun, mempunyai zat racun/toksin (pirogen eksogen), tubuh akan melawan &
mencegah dengan pertahanan tubuh (leukosit, makrofag, limfosit) yang disbut sebagai proses
fagositosis, fagositosis ini dapat menghasilkan zatkimia ( pirogen endogen) khususnya
interleukin sebagai anti infeksi, pirogen endogen merangsang sel-sel endotel hipotalamus
untuk menghasilkan asam arakhidonat dengan bantuan enzim fosfolipase A2, asam
arakhidonat membentuk prostaglandin dengan bantuan enzim siklooksigenase, prostaglandin
menyebabkan terjadi pireksia dan terjadi vasokanstriksi yang dapat menyebabkan penurunan
pengeluaran panas, menyebabkan panas berkumpul di dalm tubuh dan peningkatan suhu
tubuhmenyebabkan terjadinya demam

11. Apa saja macam-macam demam?


Jawab : demam terdiri dari demam remiten, demam intermiten, demam kontinyu, demam
siklik

12. Apa saja komplikasi demam tifoid?


Jawab : komplikasi dari demam tifoid diantaranya terjadinya perdarahan usus, anemia
hemolitik, arthritis, jika tidak ditangani akan menyebabkan kematian, dan delirium (disfungsi
saraf). Komplikasi demam tifoid terdiri atas 2, intestinal terdiri dari perdarahan usus,
porferasi usus, pancreatitis, dan ekstraintestinal misalnya kompliksai kardiovaskular,
komplikasi darah (anemia), komplikasi tulang (arthritis)

13. Bagaimana morfologi salmonella penyebab demam tifoid?


Jawab : batang gram (-), berflagel, kapsul, tidak berspora, bersifat fakultatif anaerob,
mempunyai inti
HIPOTESA

Demam yang dirasakan meningkat pada sore dan malam hari, yang disertai dengan sakit
kepala, mual, muntah, diare, nadi bradikardia merupakan tanda dan gejala dari demam tifoid.
Penyebab dari penyakit ini adalah masuknya bakteri Sakmonella ke dalam tubuh melalui oral.
Diagnosis ditegakkan setelah dilakukannya pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan darah
rutin dan pemeriksaan serologi.
SASARAN BELAJAR

LI. I. Memahami dan Menjelaskan demam

LO.1.5 Definisi demam


LO.1.6 Klasifikasi demam
LO.1.7 Etiologi demam
LO.1.8 Patofisiologi/mekanisme demam

LI. II. Memahami dan Menjelaskan Salmonella enterica

LO.2.4 Morfologi salmonella enterica


LO.2.5 Jenis/klasifikasi salmonella
LO.2.6 Transmisi salmonella enterica

LI. III. Memahami dan Menjelaskan demam typhoid

LO.3.9 Definisi demam typhoid


LO.3.10 Epidemiologi demam typhoid
LO.3.11 Etiologi demam typhoid
LO.3.12 Patofisiologi demam typhoid
LO.3.13 Manifestasi klinis & komplikasi demam typhoid
LO.3.14 Diagnosis demam typhoid
LO.3.15 Penatalaksanaan demam typhoid
LO.3.16 Pencegahan demam typhoid
LI.1 Memahami dan Menjelaskan Demam
LO.1.1 Definisi Demam
Demam adalah kenaikan suhu tubuh di atas normal/ suhu tubuh meningkat
akibat pengaturan pada set point di hipotalamus. Bila diukur pada rektal >38°C,
diukur pada oral >37,8°C, dan bila diukur melalui aksila >37,2°C. Demam
mengacu pada peningkatan suhu tubuh yang berhubungan langsung dengan
tingkat sitokin pirogen yang diproduksi untuk mengatasi berbagai rangsang,
misalnya terhadap toksin bakteri, peradangan, dan rangsangan pirogenik lain. Bila
produksi sitokin pirogen secara sistemik masih dalam batas yang dapat ditoleransi
maka efeknya akan menguntungkan tubuh secara keseluruhan, tetapi bila telah
melampaui batas kritis tertentu maka sitokin ini membahayakan tubuh. Batas
kritis sitokin pirogen sistemik tersebut sejauh ini belum diketahui.

Tempat pengukuran Jenis thermometer Rentang (rerata Demam (oC)


suhu normal (oC)
Aksila Air raksa, elektronik 34,7-37,3 37,4

Sublingual Air raksa, elektronik 35,5-37,5 37,6

Rectal Air raksa, elektronik 36,6-37,9 38

Telinga Emisi infra merah 35,7-37,5 37,6

LO.1.2 Klasifikasi Demam


1. Demam septik
Pada tipe demam septik, suhu badan berangsur naik ke tingkat yang tinggi
sekali pada malam hari dan turun kembali ke tingkat dia atas normal pada pagi
hari. Sering disertai keluhan menggigil dan berkeringat. Bila demam tinggi
tersebut turun ke tingkat yang normal dinamakan juga demam hektik.

2. Demam remiten
Suhu badan dapat turun setiap hari tetapi tidak pernah mencapai suhu badan
normal. Perbedaan kenaikan suhu tidak sebesar demam septik.

3. Demam intermiten
Suhu bdan turun ke tingkat normal selama beberapa jam dalam satu hari. Bila
demam ini terjadi setiap dua hari sekali disebut tersiana , dan bila terjadi dua
hari bebas demam di antara dua serangan demam disebut kuartana. Contohnya
malaria.

4. Demam kontinyu
Variasi suhu sepanjang hari tidak berbeda lebih dari satu derajat. Pada tingkat
demam yang terus menerus tinggi disebut hiperpireksia.

Gambar 1.Pola demam pada demam tifoid (memperlihatkan bradikardi


relatif)
5. Demam siklik
Kenaikan suhu badan selama beberapa hari yang diikuti oleh periode bebas
demam untuk beberapa hari kemudian diikuti oleh kenaikan suhu seperti
semula.

Demam belum terdiagnosis

Suatu keadaan demam yang terus menerus selama 3 minggu dengan suhu
badan dia atas 38,3˚C dan belum ditemukan penyebabnya walaupun sudah diteliti.
Demam yang belum terdiagnosis atau Fever Unknown Origin (FUO) dibagi
kedalam 4 kelompok :

Kategori demam Definisi Etiologi


yang belum
terdiagnosis
Classic Suhu tubuh >38.3°C (100.9°F) Infeksi, malignancy,
Durasi >3 minggu collagen vascular disease
Pasien dievaluasi setelah 3 hari
\ keluar dari Rumah Sakit.
Nosocomial Suhu tubuh >38.3°C Clostridium difficile
Pasien diopname >=24 jam enterocolitis, penggunaan
tapi tidak demam atau dalam obat, emboli pulmonal,
masa inkubasi. septic thrombophlebitis,
evaluasi setelah 3 hari. sinusitis.
Immune deficient Suhu tubuh >38.3°C Infeksi bakteri oportunistik,
(neutropenic) Jumlah Neutrofil <=500 per aspergillosis, candidiasis,
mm3 herpes virus
Evaluasi setelah 3 hari.
HIV-associated Suhu tubuh >38.3°C Cytomegalovirus,
Durasi >4 minggu setelah Mycobacterium avium-
pasien keluar, >3 hari tiga intracellulare complex,
setelah keluar dari Rumah Pneumocystis carinii
Sakit. pneumonia, drug-induced,
Konfirmasi pasien dengan HIV Kaposi's sarcoma,
lymphoma

LO.1.3 Etiologi Demam


Demam merupakan gejala bukan suatu penyakit. Demam adalah respon
normal tubuh terhadap adanya infeksi. Infeksi adalah keadaan masuknya
mikroorganisme kedalam tubuh. Mikroorganisme tersebut dapat berupa virus,
bakteri, parasit, maupun jamur. Kebanyakan demam disebabkan oleh infeksi
virus. Demam bisa juga disebabkan oleh paparan panas yang berlebihan
(overhating), dehidrasi atau kekurangan cairan, alergi maupun dikarenakan
gangguan sistem imun.
Demam umumnya terjadi akibat adanya gangguan pada hipotalamus, atau
sebaliknya dapat disebabkan oleh gangguan berikut
1. Penyebab umum demam pada bayi antara lain infeksi saluran pernapasan atas
dan bawah, faringitis, otitis media, dan infeksi virus umum dan enteric. Reaksi
vaksinasi dan pakaian yang terlalu tebal juga sering menjadi penyebab demam
pada bayi.
2. Penyebab demam yang lebih serius antara lain infeksi saluran kemih,
pneumonia, bakteremia, meningitis, osteomielitis, arthritis septic, kanker,
gangguan imunologik, keracunan atau overdosis obat, dan dehidrasi.

Etiologi demam berdasarkan penyebabnya ada 2 yaitu


1. Demam karena infeksi
 Infeksi bakteri (bronchitis,osteomyelitis,appendicitis,
tuberculosis,gastroenteritis ,meningitis)
 Infeksi virus (influenza,DBD,chikungunya)
 Infeksi jamur (coccidioides imitis, criptococcosis)
 Infeksi parasit (malaria, toksoplasmosis, helmintiasis)

2. Non infeksi
 Factor lingkungan
 Penyakit autoimun
 Keganasan (leukemia)
 Pemakaian obat-obatan (antibiotic, antihistamin)

LO.1.4 Patofisiologi/Mekanisme Demam


Sebagai respons terhadap rangsangan pirogenik, maka monosit, makrofag dan
sel-sel Kupffer mengerluarkan suatu zat kimia yang dikenal sebagai pirogen
endogen (IL-1, TNFα, IL-6 dan interferon) yang bekerja pada pusat termoregulasi
hipotalamus untuk meningkatkan pasokan thermostat. Hipotalamus
mempertahankan suhu di titik patokan yang baru dan bukan di suhu tubuh normal.
Sebagai contoh, pirogen endogen meningkatkan titik patokan menjadi 38,9 ºC,
hipotalamus merasa bahwa suhu normal prademam sebesar 37 ºC terlalu dingin,
dan organ ini memicu mekanisme-mekanisme respon dingin untuk meningkatkan
suhu tubuh.
Berbagai penelitian memperlihatkan bahwa peningkatan suhu tubuh
berhubungan langsung dengan tingkat sitokin pirogen yang diproduksi untuk
mengatasi berbagai rangsang. Rangsangan eksogen seperti eksotoksin dan
endotoksin menginduksi leukosit untuk mengeluarkan pirogen endogen, dan yang
poten diantaranya adalah IL-1 dan TNFα selain IL-6 dan interferon (IFN).
Pirogen endogen ini akan bekerja pada sistem syaraf pusat pada tingkat Organum
Vasculosum Laminae Terminalis yang dikelilingi oleh bagian medial dan lateral
nucleus preoptik, hipotalamus anterior, dan septum palusolum. Sebagai respons
terhadap sitokin tersebut maka pada OVLT terjadi sintesis prostaglandin, terutama
prostaglandin E2 melalui metabolisme asam arakidonat jalur siklooksigenase 2
(COX-2), dan menimbulkan peningkatan suhu tubuh terutama demam.

Sitokin Prostaglandin

Endotoksin,
F
peradangan, Monosit,
Area preoptik Meningkatkan
rangsangan makrofag, sel-sel
hipotalamus titik
pirogenik lain Kupffer
penyetelan
suhu

Demam

Mekanisme demam dapat juga terjadi melalui jalur non prostaglandin


melalui sinyal aferen nervus vagus yang dimediasi oleh produk lokal Macrophage
Inflammatory Protein-1 (MIP-1), suatu kemokin yang bekerja secara langsung
terhadap hipotalamus anterior. Berbeda dengan demam dari jalur prostaglandin,
demam melalui aktivitas MIP-1 ini tidak dapat dihambat oleh antipiretik.
Menggigil ditimbulkan agar dengan cepat meningkatkan produksi panas,
sementara vasokonstriksi kulit juga berlangsung untuk dengan cepat mengurangi
pengeluaran panas. Kedua mekanisme tersebut mendorong suhu naik. Dengan
demikian, pembentukan demam sebagai respons terhadap rangsangan pirogenik
adalah sesuatu yang disengaja dan bukan disebabkan oleh kerusakan mekanisme
termoregulasi.
Fase-fase demam

a. Chill: pusat suhu meningkat lalu mencapai set-point suhu yang baru
Manifestasi klinisnya vasokonstriksi kutaneus, peningkatan produksi panas
akibat aktivitas otot
b. Fever: terjadi keseimbangan antara produksi dan pengeluara pada peningkatan
set-point
Manifestasi klinis: set point kembali normal, tubuh mempersepsikan dirinya
menjadi terlalu hangat
c. Flush: mekanisme pembuangan panas diinisiasi menyebabkan vasodilatasi
kutaneus dan diaforesis
Manifestasi klinis: haus, kulit memerah
LI.2 Memahami dan Menjelaskan Salmonella enterica
LO.2.1 Morfologi salmonella enteric

http://textbookofbacteriology.net/structure.htm

Salmonella sp. adalah bakteri batang lurus, gram negatif, tidak berspora,
bergerak dengan flagel peritrik, berukuran 2-4 μm x 0.5-0,8 μm. Salmonella sp.
tumbuh cepat dalam media yang sederhana, hampir tidak pernah memfermentasi
laktosa dan sukrosa,membentuk asam dan kadang gas dari glukosa dan manosa,
biasanya memporoduksi hidrogen sulfide atau H2S, pada biakan agar koloninya
besar bergaris tengah 2-8 milimeter, bulat agak cembung, jernih, smooth,pada
media BAP tidak menyebabkan hemolisis, pada media Mac Concey koloni
Salmonella sp. Tidak memfermentasi laktosa (NLF),konsistensinya smooth.
Salmonella sp. tahan hidup dalam air yang dibekukan dalam waktu yang
lama, bakteri ini resisten terhadap bahan kimia tertentu (misalnya hijau brillian,
sodium tetrathionat, sodium deoxycholate) yang menghambat pertumbuhan
bakteri enterik lain, tetapi senyawa tersebut berguna untuk ditambahkan pada
media isolasi Salmonella sp. pada sampel feses.

 Organisme Salmonella tumbuh secara aerobic dan anaerobic fakultatif. Serta


resisten terhadap banyak agen fisik tetapi dapat dibunuh dengan pemanasan
sampai 130ºF (54.4ºC) selama 1 jam atau 140ºF (60ºC) selama 15 menit.
 Ukuran Salmonella bervariasi 1-3,5 mikrometer × 0,5-0,8mikrometer
 Sebagaian besar isolate motil dengan flagel peritrik
 Mudah tumbuh pada medium sederhana, misalnya garam empedu
 Organisme dapat kehilangan antigen H dan menjadi tidak motil
 Kehilangan antigen O dapat menimbulkan perubahan bentuk koloni yang
halus menjadi kasar
 Mereka tetap dapat hidup pada suhu sekeliling atau suhu yang rendah selama
beberapa hari dan dapat bertahan hidup selama berminggu-minggu dalam
sampah, bahan makanan kering, agen farmakeutika dan bahan tinja

Struktur:
 Inti/ nukleus: badan inti tidak mempunyai dinding inti/ membran inti. Di
dalamnya terdapat benang DNA yang panjangnya kira kira 1 mm
 Sitoplasma: tidak mempunyai mitokondria atau kloroplas sehingga enzim
enzim untuk transport elektron bekerja di membran sel
 Membran sitoplasma: terdiri dari fosfolipid dan protein. Berfungsi sebagai
transport bahan makan an, tempat transport elektron, biosintesi DNA, dan
kemotaktik. Terdapat mesosom yang berperan dalam pembelahan sel
 Dinding sel: terdiri dari lapisan peptidoglikan, berfungsi untuk menjaga
tekana osmotic, pembelahan sel, biosintesis, determinan dari antigen
permukaan bakteri. Pada bakteri gram negative salah satu lapisan dinding sel
mempunyai aktivitas endotoksin yang tidak spesifik, yaitu lipopolisakarida
yang bersifat toksik.
 Kapsul: disintesis dari polimer ekstrasel yang berkondensasi dan membentuk
lapisan di sekeliling sel, sehingga bakteri lebih tahan terhadap efek
fagositosis.
 Flagel; berbentuk seperti benang, yang erdiri dari protein berukuran 12 – 30
nanometer. Flagel adalah alat pergerakan. Protein dari flagel disebuk flagelin
 Pili: fimbriae: berperan dalam adhesi bakteri dengan sel tubuh hospes dan
konjugasi bakteri
Panjang salmonella bervariasi. Sebagian besar isolate motil dengan flagel
peritrika. Berupakan batang gram negative. Salmonella mudah tumbuh pada
medium sederhana. Tidak memfermentasikan laktosa dan sukrosa. Tetapi
mebentuk asam dan terkadang gas dari glukosa dan manosa. Salmonella
biasanya mengasilkan H2S. Bertahan didalam air yag membeku dengan
waktu yang lama. Salmonella resisten terhadap bahan kimia tertentu (misal,
hijau brilian, natrium tetrationat, natrium deoksikolat) yang menghambat
bakteri enteric lain. Salmonella umumnya bersifat patogen untuk manusia.
Kuman ini empunyai tiga antigen yang penting untuk pemeriksaan
laboraturium yaitu:
o Antigen O(somatik)
o Antigen H(flagella)
o Antigen Vi
LO.2.2 Jenis/Klasifikasi Salmonella
1. S. enteric
a. S. enteric subsp. enteric (I)
b. S. enteric subsp. salamae (II)
c. S. enteric subsp. arizonae (IIIa)
d. S. enteric subsp. diarizonae (IIIb)
e. S. enteric subsp. houtenae (IV)
f. S. enteric subsp. indica (V)

2. S. bongori
Serotipe yang diidentifikasi menurut struktur antigen O, H dan Vi yang
spesifik
a. Antigen O
antigen dinding sel
b. Antigen H
terdapat di flagel dan didenaturasi atau dirusak oleh panas dan alcohol.
Antigen dipertahankan dengan memberikan formalin pada beberapa
bakteri yang motil. Antigen H beraglutinasi dengan anti-H dan
IgG.penentu dalam antigen H adalah fungsi sekuens asam amino pada
protein flagel (flagellate). Antigen H pada permukaan bakteri dapat
mengganggu aglutinasi dengan antibody antigen O
c. Antigen Vi/K
terletak di luar antigen O, merupakan polisakarida dan yang lainnya
merupakan protein. Antigen K dapat mengganggu aglutinasi dengan
antiserum O, dan dapat berhubungan dengan virulensi. Dapat
diidentifikasi dengan uji pembengkakan kapsul dengan antiserum
spesifik
 Salmonella Typhi
 Salmonella Paratyphi

Demikian banyaknya serotip dari Salmonella, namun hanya Salmonella


typhi, Salmonella cholera, dan mungkin Salmonella paratyphi A dan
Salmonella parathypi B yang menjadi penyebab infeksi utama pada manusia.
Infeksi bakteri ini bersumber dari manusia, namun kebanyakan Salmonella
menggunakan binatang sebagai reservoir infeksi pada manusia, seperti babi,
hewan pengerat, ternak, kura-kura, burung beo, dan lain-lain. Dari beberapa
jenis salmonella tersebut di atas, infeksi Salmonella typhi merupakan yang
tersering.
LO.2.3 Transmisi Salmonella Enterica
Infeksi terjadi dari memakan makanan yang terkontaminasi dengan feses yang
terdapat bakteri Sal. typhimurium dari organisme pembawa (hosts). Setelah
masuk dalam saluran pencernaan maka Sal. typhimurium menyerang dinding
usus yang menyebabkan kerusakan dan peradangan. ‘Infeksi dapat menyebar ke
seluruh tubuh melalui aliran darah karena dapat menembus dinding usus tadi ke
organ-organ lain seperti hati, paru-paru, limpa, tulang-tulang sendi, plasenta dan
dapat menembusnya sehingga menyerang fetus pada wanita atau hewan betina
yang hamil, dan ke membran yang menyelubungi otak. Subtansi racun
diproduksi oleh bakteri ini dan dapat dilepaskan dan mempengaruhi
keseimbangan tubuh. Di dalam hewan atau manusia yang terinfeksi Sal.
typhimurium, pada fesesnya terdapat kumpulan Sal. typhimurium yang bisa
bertahan sampai berminggu-minggu atau berbulan-bulan. Bakteri ini tahan
terhadap range yang lebar dari temperature sehingga dapat bertahan hidup
berbulan-bulan dalam tanah atau air. Dosis infektif rata-rata untuk menimbulkan
infeksi klinis atau subklinis pada manusia adalah 105-108 bakteri. Beberapa
faktor pejamu yang menimbulkan resistansi terhadap infeksi salmonella adalah
keasaman lambung, flora mikroba normal usus, dan kekebalan usus setempat.
Manusia terinfeksi Salmonella typhi secara fecal-oral. Tidak selalu
Salmonella typhi yang masuk ke saluran cerna akan menyebabkan infeksi karena
untuk menimbulkan infeksi, Salmonella typhi harus dapat mencapai usus halus.
Salah satu faktor penting yang menghalangi Salmonella typhi mencapai usus
halus adalah keasaman lambung. Bila keasaman lambung berkurang atau
makanan terlalu cepat melewati lambung, maka hal ini akan memudahkan
infeksi Salmonella typhi. (Salyers & Whitt, 2002).
Sumber infeksi adalah makanan dan minuman yang terkontaminasi oleh
salmonella. Berikut adalah sumber-sumber infeksi yang penting
 Air, kontaminasi dengan feses sering menimbulkan epidemik yang luas
 Susu dan produk susu lainnya (es krim, keju, puding), kontaminasi dengan
feses dan pasteurisasi yang tidak adekuat atau penanganan yang salah.
Beberapa wabah dapat ditelusuri sampai sumber kumannya
 Kerang, dari air yang terkontaminasi
 Telur beku atau dikeringkan, dari unggas yang terinfeksi atau kontaminasi
saat pemrosesan
 Daging dan produk daging, dari hewan yang terinfeksi (hewan ternak) atau
kontaminasi oleh feses melalui hewan pengerat atau manusia
 Obat “rekreasi”, mariyuana dan obat lainnya
 Pewarnaan hewan, pewarnaan (misal, carmine) digunakan untuk obat,
makanan, dan kosmetik
 Hewan peliharaan, kura-kura, anjing, kucing, dll
LI.3 Memahami dan Menjelaskan Demam Tifoid
LO.3.1 Defenisi
Demam tifoid adalah suatu penyakit infeksi sistemik bersifat akut yang
disebabkan oleh Salmonella typhi. Penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat
pada saluran pencernaan dengan gejala demam. Sifat demam adalah meningkat
perlahan-lahan dan terutama pada sore hingga malam hari dan ditandai oleh panas
berkepanjangan, ditopang dengan bakteremia tanpa keterlibatan struktur
endotelial atau endokardial dan invasi bakteri sekaligus multiplikasi ke sel fagosit
manonuklear dari hati, limpa, kelenjar limfe dan Payer’s patch.
Demam tifoid masih merupakan salah satu masalah kesehatan yang penting
di Indonesia. Penyakit ini merupakan penyakit menular yang dapat menyerang
banyak orang sehingga dapat menimbulkan wabah. Di Indonesia, demam tifoid
bersifat endemik. Penderita dewasa muda sering mengalami komplikasi berat
berupa perdarahan dan perforasi usus yang tidak jarang berakhir dengan
kematian.

LO.3.2 Epidemiologi
3. Distribusi dan Frekwensi
a. Orang
Demam tifoid dapat menginfeksi semua orang dan tidak ada perbedaan
yang nyata antara insiden pada laki-laki dan perempuan. Insiden pasien
demam tifoid dengan usia 12 – 30 tahun 70 – 80 %, usia 31 – 40 tahun 10
– 20 %, usia > 40 tahun 5 – 10 %. Menurut penelitian Simanjuntak, C.H,
dkk (1989) di Paseh, Jawa Barat terdapat 77 % penderita demam tifoid
pada umur 3 – 19 tahun dan tertinggi pada umur 10 -15 tahun dengan
insiden rate 687,9 per 100.000 penduduk. Insiden rate pada umur 0 – 3
tahun sebesar 263 per 100.000 penduduk.

b. Tempat dan Waktu


Demam tifoid tersebar di seluruh dunia. Pada tahun 2000, insiden rate
demam tifoid di Amerika Latin 53 per 100.000 penduduk dan di Asia
Tenggara 110 per 100.000 penduduk. Di Indonesia demam tifoid dapat
ditemukan sepanjang tahun, di Jakarta Utara pada tahun 2001, insiden rate
demam tifoid 680 per 100.000 penduduk dan pada tahun 2002 meningkat
menjadi 1.426 per 100.000 penduduk.

4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi (Determinan)


a. Faktor Host
Manusia adalah sebagai reservoir bagi kuman Salmonella thypi.
Terjadinya penularan Salmonella thypi sebagian besar melalui
makanan/minuman yang tercemar oleh kuman yang berasal dari penderita
atau carrier yang biasanya keluar bersama tinja atau urine. Dapat juga
terjadi trasmisi transplasental dari seorang ibu hamil yang berada dalam
bakterimia kepada bayinya. Penelitian yang dilakukan oleh Heru Laksono
(2009) dengan desain case control , mengatakan bahwa kebiasaan jajan di
luar mempunyai resiko terkena penyakit demam tifoid pada anak 3,6 kali
lebih besar dibandingkan dengan kebiasaan tidak jajan diluar (OR=3,65)
dan anak yang mempunyai kebiasaan tidak mencuci tangan sebelum
makan beresiko terkena penyakit demam tifoid 2,7 lebih besar
dibandingkan dengan kebiasaan mencuci tangan sebelum makan
(OR=2,7).

b. Faktor Agent
Demam tifoid disebabkan oleh bakteri Salmonella thypi. Jumlah kuman
yang dapat menimbulkan infeksi adalah sebanyak 105– 109kuman yang
tertelan melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi. Semakin
besar jumlah Salmonella thypi yang tertelan, maka semakin pendek masa
inkubasi penyakit demam tifoid.

c. Faktor Environment
Demam tifoid merupakan penyakit infeksi yang dijumpai secara luas di
daerah tropis terutama di daerah dengan kualitas sumber air yang
tidakmemadai dengan standar hygiene dan sanitasi yang rendah. Beberapa
hal yang mempercepat terjadinya penyebaran demam tifoid adalah
urbanisasi, kepadatan penduduk, sumber air minum dan standart hygiene
industri pengolahan makanan yang masih rendah. Berdasarkan hasil
penelitian Lubis, R. di RSUD. Dr. Soetomo (2000) dengan desain case
control , mengatakan bahwa higiene perorangan yang kurang, mempunyai
resiko terkena penyakit demam tifoid 20,8 kali lebih besar dibandingkan
dengan yang higiene perorangan yang baik (OR=20,8) dan kualitas air
minum yang tercemar berat coliform beresiko 6,4 kali lebih besar terkena
penyakit demam tifoid dibandingkan dengan yang kualitas air minumnya
tidak tercemar berat coliform (OR=6,4) .

LO.3.3 Etiologi Demam Tifoid


Tertelannya bakteri salmonella tersebut menyebabkan terjadinya infeksi pada
usus halus. Bakteri ini dibawa oleh aliran darah menuju hati dan limfa sehingga
berkembang biak disana yang menyebabkan rasa sakit ketika diraba.
Bakteri tifoid ditemukan di dalam tinja dan air kemih penderita (pasien tifoid
& carier).
Lalat bisa menyebarkan bakteri secara langsung dari tinja ke makanan.
Bakteri masuk ke dalam saluran pencernaan dan bisa masuk ke dalam
peredaran darah. Hal ini akan diikuti oleh terjadinya peradangan pada usus halus
dan usus besar.
Pada kasus yang berat, yang bisa berakibat fatal, jaringan yang terkena bisa
mengalami perdarahan dan perforasi (perlubangan).
Sekitar 3% penderita yang terinfeksi oleh Salmonella typhi dan belum
mendapatkan pengobatan, di dalam tinjanya akan ditemukan bakteri ini selama
lebih dari 1 tahun.

LO.3.4 Patofisiologi Demam Tifoid


Masuknya kuman Salmonella typhi (S. typhi) dan Salmonella paratyphi (S.
paratyphi) ke dalam tubuh manusia terjadi melalui makanan yang terkontaminasi
kuman. Sebagian kuman dimusnahkan dalam lambung, sebagian lolos masuk ke
dalam usus dan selanjutnya berkembang biak. Bila respons imunitas humoral
mukosa (IgA) usus kurang baik maka kuman akan menembus sel-sel epitel
(terutama sel-M) dan selanjutnya ke lamina propia. Di lamina propia kuman
berkembang biak dan difagosit oleh sel-sel fagosit terutama oleh makrofag.
Kuman dapat hidup dan berkembang biak di dalam makrofag dan selanjutnya
dibawa ke plak Peyeri ileum distal dan kemudian ke kelenjar getah bening
mesenterika. Selanjutnya melalui duktus torasikus kuman yang terdapat di dalam
makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakterimia pertama
yang asimtomatik) dan menyebar ke seluruh organ retikuloendotelial tubuh
terutama hati dan limpa.
Di organ-organ ini kuman meninggalkan sel-sel fagosit dan kemudian
berkembang biak di luar sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya masuk ke dalam
sirkulasi darah lagi mengakibatkan bakterimia yang kedua kalinya dengan disertai
tanda-tanda dan gejala penyakiy infeksi sistemik.
Di dalam hati, kuman masuk ke dalam kandung empedu, berkembang biak,
dan bersama cairan empedu diekskresikan secara intermiten ke lumen usus.
Sebagian kuman dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk lagi ke dalam
sirkulasi setalah menembus usus. Proses yang sama terulang kembali, berhubung
makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif maka saat fagositosis kuman Salmonella
terjadi pelepasan beberapa mediator inflamasi yang selanjutnya akan
menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti demam, malaise, mialga,
sakit kepala, sakit perut, instabilitas vascular, gangguan mental, dan koagulasi.
Di dalam plak Peyeri makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hyperplasia
jaringan (S. typhi intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat,
hyperplasia jaringan dan nekrosis organ). Perdarahan saluran cerna dpat terjadi
akibat erosi pembuluh darah sekitar plague Peyeri yang sedang mengalami
nekrosis dan hyperplasia akibat akumulasi sel-sel mononuclear di dinding usus.
Proses patologis otot, serosa usus, dan dapat mengakibatkan perforasi.
Endotoksin dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler dengan akibat
timbulnya komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik, kardiovaskular,
pernapasan, dan gangguan organ lainnya.
LO.3.5 Manifestasi klinis/Komplikasi
Gejala klinis demam tifoid sangat bervariasi, dari gejala klinis ringan tidak
memerlukan perawatan khusus sampai gejala klinis berat dan memerlukan
perawatan khusus. Variasi gejala ini disebabkan faktor galur Salmonela, status
nutrisi dan imunologik pejamu serta lama sakit dirumahnya
Pada minggu pertama setelah melewati masa inkubasi 10-14 hari, gejala
penyakit itu pada awalnya sama dengan penyakit infeksi akut yang lain, seperti
demam tinggi yang berkepanjangan yaitu setinggi 39º C hingga 40º C, sakit
kepala, pusing, pegal-pegal, anoreksia, mual, muntah, batuk, dengan nadi antara
80-100 kali permenit, denyut lemah, pernapasan semakin cepat dengan gambaran
bronkitis kataral, perut kembung dan merasa tak enak, sedangkan diare dan
sembelit silih berganti. Pada akhir minggu pertama, diare lebih sering terjadi.
Khas lidah pada penderita adalah kotor di tengah, tepi dan ujung merah serta
bergetar atau tremor. Epistaksis dapat dialami oleh penderita sedangkan
tenggorokan terasa kering dan meradang. Ruam kulit (rash) umumnya terjadi
pada hari ketujuh dan terbatas pada abdomen di salah satu sisi dan tidak merata,
bercak-bercak ros (roseola) berlangsung 3-5 hari, kemudian hilang dengan
sempurna. Jika pada minggu pertama, suhu tubuh berangsur-angsur meningkat
setiap hari, yang biasanya menurun pada pagi hari kemudian meningkat pada sore
atau malam. Mikroorganisme dapat ditemukan pada tinja dan urin setelah 1
minggu demam (hari ke-8 demam). Jika penderita diobati dengan benar, maka
kuman tidak akan ditemukan pada tinja dan urin pada minggu ke-4. Akan tetapi,
jika masih terdapat kuman pada minggu ke-4 melalui pemeriksaan kultur tinja,
maka penderita dinyatakan sebagai carrier. Seorang carrier biasanya berusia
dewasa, sangat jarang terjadi pada anak. Kuman Salmonella bersembunyi dalam
kandung empedu orang dewasa. Jika carrier tersebut mengonsumsi makanan
berlemak, maka cairan empedu akan dikeluarkan ke dalam saluran pencernaan
untuk mencerna lemak, bersamaan dengan mikroorganisme (kuman Salmonella).
Setelah itu, cairan empedu dan mikroorganisme dibuang melalui tinja yang
berpotensi menjadi sumber penularan penyakit.
Pada minggu kedua suhu tubuh penderita terus menerus dalam keadaan
tinggi (demam). Suhu badan yang tinggi, dengan penurunan sedikit pada pagi hari
berlangsung. Terjadi perlambatan relatif nadi penderita.Yang semestinya nadi
meningkat bersama dengan peningkatan suhu, saat ini relatif nadi lebih lambat
dibandingkan peningkatan suhu tubuh. Umumnya terjadi gangguan pendengaran,
lidah tampak kering, nadi semakin cepat sedangkan tekanan darah menurun, diare
yang meningkat dan berwarna gelap, pembesaran hati dan limpa, perut kembung
dan sering berbunyi, gangguan kesadaran, mengantuk terus menerus, dan mulai
kacau jika berkomunikasi.
Pada minggu ketiga suhu tubuh berangsur-angsur turun, dan normal
kembali di akhir minggu. Hal itu terjadi jika tanpa komplikasi atau berhasil
diobati. Bila keadaan membaik, gejala-gejala akan berkurang dan temperatur
mulai turun. Meskipun demikian justru pada saat ini komplikasi perdarahan dan
perforasi cenderung untuk terjadi, akibat lepasnya kerak dari ulkus. Sebaliknya
jika keadaan makin memburuk, dimana septikemia memberat dengan terjadinya
tanda-tanda khas berupa delirium atau stupor, otot-otot bergerak terus,
inkontinensia alvi dan inkontinensia urin. Tekanan abdomen sangat meningkat
diikuti dengan nyeri perut. Penderita kemudian mengalami kolaps. Jika denyut
nadi sangat meningkat disertai oleh peritonitis lokal maupun umum, maka hal ini
menunjukkan telah terjadinya perforasi usus sedangkan keringat dingin, gelisah,
sukar bernapas, dan kolaps dari nadi yang teraba denyutnya memberi gambaran
adanya perdarahan. Degenerasi miokardial toksik merupakan penyebab umum
dari terjadinya kematian penderita demam tifoid pada minggu ketiga.
Minggu keempat merupakan stadium penyembuhan meskipun pada awal
minggu ini dapat dijumpai adanya pneumonia lobar atau tromboflebitis vena
femoralis. Pada mereka yang mendapatkan infeksi ringan dengan demikian juga
hanya menghasilkan kekebalan yang lemah, kekambuhan dapat terjadi dan
berlangsung dalam waktu yang pendek. Kekambuhan dapat lebih ringan dari
serangan primer tetapi dapat menimbulkan gejala lebih berat daripada infeksi
primer tersebut. Sepuluh persen dari demam tifoid yang tidak diobati akan
mengakibatkan timbulnya relaps.
Terkadang gejala demam tifoid diikuti suatu sindrom klinis berupa
gangguan atau penurunan kesadaran akut (kesadaran berkabut, apatis,
delirium,somnolen,spoor,atau koma) dengan atau tanpa disertai kelainan
neurologis lainnya dan dalam pemeriksaan cairan otak masih dalam batas normal.
Sindrom klinis seperti ini oleh beberapa peneliti disebut sebagai tifoid toksik,
sedangkan penulis lainnya menyebutnya dengan demam tifoid berat, demam
tifoid ensefalopati atau demam tifoid dengan toksemia. Diduga factor-faktor
social ekonomi yang buruk, tingkat pendidikan yang rendah, ras, kebangsaan,
iklim, nutrisi, kebudayaan dan kepercayaan (adat) yang masih terbelakang ikut
mempermudah terjadinya hal tersebut dan akibatnya meningkatkan angka
kematian.
Semua kasus tifoid toksik, atas pertimbangan klinis sebagai demam tifoid
berat, langsung diberikan pengobatan kombinasi kloramfenikol 4×400 mg
ditambah ampisilin 4×1 gram dan deksametason 3×5 mg.

Komplikasi
5. Komplikasi Intestinal
a. Perdarahan Usus
Pada plak payeri usus yang terinfeksi (terutama ileum terminalis) dapat
terbentuk tukak/luka berbentuk lonjong dan memanjang terhadap sumbu
usus. Bila luka menembus lumen usus dan mengenai pembuluh darah
maka terjadi perdarahan. Selanjutnya bila tukak menembus dinding usus
maka perforasi dapat terjadi. Selain karena factor luka, perdarahan juga
dapat terjadi karena gangguan koagulasi darah (KID) atau gabunagn kedua
factor. Sekitar 25% penderita demam tifoid dapat mengalami perdarahan
minor yang tidak membutuhkan transfuse darah. Perdarahan hebat dapat
terjadi hingga penderita mengalami syok. Secara klinis perdarahan akut
darurat bedah ditegakkan bila terdapat perdarahan sebanyak 5
ml/kgBB/jam dengan factor hemostasis dalam batas normal. Jika
penanganan terlambat, mortalitas cukup tinggi sekitar 10-32%, bahkan ada
yang melaporkan sampai 80%. Bila transfuse yang diberikan tidak dapat
menimbangi perdarahan yang terjadi, maka tindakan bedah perlu
dipertimbangkan.

b. Perforasi Usus
Terjadi pada sekitar 3% dari penderita yang dirawat. Biasanya timbul pada
minggu ketiga namun dapat pula terjadi pada minggu pertama. Selain
gejala umum demam tifoid yang biasa terjadi maka penderita demam
tifoid dengan perforasi mengeluh nyeri perut yang hebat terutama di
daerah kuadran kanan bawah yang kemudian menyebar ke seluruh perut
dan disertai dengan tanda-tanda ileus. Bising usus melemah pada 50%
penderita dan pekak hati terkadang tidak ditemukan karena adanya udara
bebas di abdomen. Tanda-tanda perforasi lainnya adalah nadi cepat,
tekanan darah turun, dan bahkan dapat syok. Bila pada gambaran foto
polos abdomen (BNO/3 posisi) ditemukan udara pada rongga peritoneum
atau subdiafragma kanan, maka hal ini merupakan nilai yang cukup
menentukan terdapatnya perforasi usus pada demam tifoid. Beberapa
factor yang dapat meningkatkan kejadian perforasi adalah umur (biasanya
berumur 20-30 tahun), lama demam, modalitas pengobatan, beratnya
penyakit, dan mobilitas penderita.

Antibiotic diberikan secara selektif bukan hanya untuk mengobati kuman


S.typhi tetapi juga untuk mengatas kuman yang bersifat fakultatif dan
anaerobic pada flora usus. Umumnya diberikan antibiotic spectrum luas
dengan kombinasi kloramfenikol dan ampisilin intravena. Untuk kontaminasi
usus dapat diberikan gentamisin/metronidazol. Cairan harus diberikan dalam
jumlah yang cukup serta penderita dipuasakan dan dipasang nasogastric tube.
Transfusi darah dapat diberikan bila terdapat kehilangan darah akibat
perdarahan intestinal.
 Ileus paralitik
 Pancreatitis

6. Komplikasi Ekstraintestinal
a Komplikasi kardiovaskuler : kegagalan sirkulasi perifer (syok, sepsis),
miokarditis, trombosis dan tromboflebitis.
b Komplikasi darah : anemia hemolitik, trombositopenia, koaguolasi
intravaskuler diseminata, dan sindrom uremia hemolitik.
c Komplikasi paru : pneumoni, empiema, dan pleuritis
d Komplikasi hepar dan kandung kemih : hepatitis dan kolelitiasis
Hepatitis Tifosa
Pembengkakan hati ringan sampai sedang dijumpai ada 50% kasus
dengan tifoid dan lebih banyak dijumpai karena S.typhi dari pada
S.paratyphi. untuk membedakan apakah hepatitis ini oleh karena tifoid,
virus, malaria, atau amuba maka perlu diperhatikan kelainan fisik,
parameter laboratorium, dan bila perlu histopatologik hati. Pada demam
tifoid kenaikan enzim transaminase tidak relevan dengan kenaikan serum
bilirubin (untuk membedakan dengan hepatitis oleh karena virus).
Hepatitis tifosa dapat terjadi pada pasien dengan malnutrisi dan system
imun yang kurang. Meskipun sangat jarang, komplikasi
hepatoensefalopati dapat terjadi.
e Komplikasi ginjal : glomerulonefritis, pielonefritis, dan perinefritis
f Komplikasi tulang : osteomielitis, periostitis, spondilitis, dan artritis
g Komplikasi neuropsikiatrik : delirium, meningismus, meningitis,
polineuritis perifer, psikosis, dan sindrom katatonia.
Manifestasi neuropsikiatrik dapat berupa delirium dengan atau tanpa
kejang, semi-koma, Parkinson rigidity/ transient parkinsonism, sindrom
otak akut, mioklonus generalisata, meningismus, skizofrenia, sitotoksik,
mania akut, hipomania, ensefalomielitis, meningitis, polyneuritis perifer,
sindrom Guillain-Barre, dan psikosis.

LO.3.6 Diagnosis demam typhoid


Diagnosis ditegakan berdasarkan gejala dan hasil dari pemeriksaan fisik,
untuk memperkuat diagnosis dilakukan pemeriksaan penunjang. Diagnosis pasti
ditegakkan dengan cara menguji sampel darah untuk mengetahui adanya bakteri
Salmonella sp dalam darah penderita, dengan membiakkan darah pada hari 14
yang pertama dari penyakit.

1. Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik didapatkan peningkatan suhu tubuh, debar jantung
relative lambat (bradikardi), lidah kotor, pembesaran hati dan limpa
(hepatomegali dan splenomegali), kembung (meteorismus), radang paru
(pneumonia), dan kadang-kadang dapat timbul gangguan jiwa, pendarahan
usus, dinding usus bocor (perforasi), radang selaput perut (peritonitis), serta
gagal ginjal.

2. Pemeriksaan laboratorium
a. Pemeriksaan Mikrobiologi (kultur)
Metode diagnosis mikrobiologik atau kultur merupakan gold standart
untuk diagnosis demam tifoid. Spesifikasinya lebih dari 90% pada
penderita yang belum diobati, kultur darahnya positif pada minggu
pertama. Jika sudah diobati hasil positif menjadi 40% namun pada kultur
sum-sum tulang hasil positif tinggi 90%. Pada minggu selanjutnya kultur
tinja dan urin meningkat yaitu 85% dan 25%, berturut-turut positif pada
minggu ke-3 dan ke-4. Selama 3 bulan kultur tinja dapat positif kira-kira
3% karena penderita tersebut termasuk carrier kronik. Carrier kronik
sering terjadi pada orang dewasa dari pada anak-anak dan lebih sering
pada wanita dari pada laki-laki.
b. Pemeriksaan Klinik (darah)
 Hitung leukosit total pada demam tifoid menunjukkan lekopenia,
kemungkinannya 3.000 sampai 8.000/ mm3
 Hitung jenis leukosit : kemungkinan limfositosis dan monositosis

c. Pemeriksaan Serologi
 Widal test
Merupakan uji yang medeteksi anti bodi penderita yang timbul pada
minggu pertama. Uji ini mengukur adanya antibodi yang ditimbulkan
oleh antigen O dan H pada Salmonella sp. Hasil bermakna jika hasil
titer O dan H yaitu 1:160 atau lebih Sebagian besar rumah sakit di
Indonesia menggunakan uji widal untuk mendiagnosis demam tifoid.
 IDL Tubex test
Tubex test pemeriksaan yang sederhana dan cepat.
Prinsippemeriksaannya adalah mendeteksi antibodi pada penderita.
Serum yang dicampur 1 menit dengan larutan A. Kemudian 2 tetes
larutan B dicampur selama 12 menit. Tabung ditempelkan pada
magnet khusus. Kemudian pembacaan hasil didasarkan pada warna
akibat ikatan antigen dan antibodi. Yang akan menimbulkan warna dan
disamakan dengan warna pada magnet khusus.
 Typhidot test
Uji serologi ini untuk mendeteksi adanya IgG dan IgM yang spesifik
untuk S. typhi. Uji ini lebih baik dari pada uji Widal dan merupakan
uji Enzyme Immuno Assay (EIA) ketegasan (75%), kepekaan (95%).
Studi evaluasi juga menunjukkan Typhidot-M lebih baik dari pada
metoda kultur. Walaupun kultur merupakan pemeriksaan gold standar.
Perbandingan kepekaan Typhidot-M dan metode kultur adalah >93%.
Typhidot-M sangat bermanfaat untuk diagnosis cepat di daerah
endemis demam tifoid.
 IgM dipstick test
Pengujian IgM dipstick test demam tifoid dengan mendeteksi adanya
antibodi yang dibentuk karena infeksi S. typhi dalam serum penderita.
Pemeriksaan IgM dipstick dapat menggunakan serum dengan
perbandingan 1:50 dan darah 1 : 25. Selanjutnya diinkubasi 3 jam pada
suhu kamar. Kemudian dibilas dengan air biarkan kering.. Hasil dibaca
jika ada warna berarti positif dan Hasil negatif jika tidak ada warna.
Interpretasi hasil 1+, 2+, 3+ atau 4+ jika positif lemah.

LO.3.7 Penatalaksanaan demam typhoid


1. Nonfarmakologis
Sampai saat ini masih dianut trilogi penatalaksanaan demam tifoid, yaitu :
a. Istirahat yang berupa tirah baring dan perawatan profesional bertujuan
untuk mencegah komplikasi. Tirah baring dengan perawatan
sepenuhnya di tempat seperti makan, minum,mandi, buang air kecil,
buang air besar akan mempercepat masa penyembuhan. Dalam
perawatan perlu sekali dijaga kebersihan tempat tidur, pakaian, dan
perlengkapan yang dipakai.
b. Diet dan terapi penunjang
Diet merupakan hal yang cukup penting dalam proses penyembuhan
penyakit demam tifoid, karena makanan yang kurang akan menurunkan
keadaan umum dan gizi penderita akan semakin turun dan proses
penyembuhan akan menjadi lama. Di masa lampau penderita demam
tifoid diberi diet bubur saring, kemudian ditingkatkan menjadi bubur
kasar dan akhirnya diberikan nasi, yang perubahan diet tersebut
disesuaikan dengan tingkat kesembuhan pasie. Pemberian bubur saring
tersebut ditujukan untuk menghindari komplikasi perdarahan saluran
cerna atau perforasi usus. Hal ini disebabkan ada pendapat bahwa usus
harus diistirahatkan. Beberapa peneliti menunjukkan bahwa pemberian
makan padat dini yaitu nasi dengan lauk pauk rendah selulosa
(menghindari sementara sayuran yang berserat) dapat diberikan dengan
aman pada pasien demam tifoid.

2. Farmakologis
Dengan tujuan menghentikan dan mencegah penyebaran kuman. Obat-obat
antimikroba yang sering digunakan untuk mengobati demam tifoid
 Kloramfenikol
Di Indonesia kloramfenikol masih merupakan obat pilihan utama untuk
mengobati demam tifoid. Dosis yang diberikan adalah 4×500 mg per
hari dapat diberikan secara per oral atau intravena. Diberikan sampai
dengan 7 hari bebas panas. Penyuntikan intramuscular tidak dianjurkan
oleh karena hidrolisis ester ini tidak dapat diramalkan dan tempat
suntikan terasa nyeri. Dari pengalaman penggunaan obat ini dapat
menurunkan demam rata-rata 7,2 hari. Penulis lain menyebutkan
penurunan demam dapat terjadi rata-rata setelah hari ke-5. Pada
penelitian yang dilakukan selama 2002 hingga 2008 oleh Moehario LH
dkk didapatkan 90% kuman masih memiliki kepekaan terhadap
antibiotic ini.

 Tiamfenikol
Dosis dan efektivitas tiamfenikol pada demam tifoid hamper sama
dengan kloramfenikol, akan tetapi komplikasi hematologi seperti
kemungkinan terjadinya anemia aplastik lebih rendah dibandingkan
dengan kloramfenikol. Dosis tiamfenikol adalah 4×500 mg,dengan rata-
rata menurun pada hari ke-5 sampai ke-6.

 Kontrimoksazol
Efektivitas obat ini dilaporkan hampir sama dengan kloramfenikol.
Dosis untuk orang dewasa adalah 2×2 tablet (1 tablet mengandungb
sulfametaksazol 400 mg dan 80 mg trimetoprim) diberikan selama 2
minggu.
 Ampisilin dan amoksisilin
Kemampuan obat ini untuk menurunkan demam lebih rendah
dibandingkan dengan kloramfenikol, dosis yang dianjurkan berkisar
antara 50-150 mg/kgBB dan digunakan selama 2 minggu.

 Sefalosporin Generasi Ketiga


Hingga saat ini golongan sefalosporin generasi ke-3 yang terbukti efektif
untuk demam tifoid adalah seftriakson, dosis 100 cc diberikan selama ½
jam perinfus sekali sehari, diberikan selama 3 hingga 5 hari.

 Golongan fluorokuinon
Golongan ini beberapa jenis bahan sediaan dan aturan pemberiannya:
- Norfloksasin dosis 2×400 mg/hari selama 14 hari
- Siprofloksasin 2×500 mg/hari selama 6 hari
- Ofloksasin dosis 2×400 mg/hari selama 7 hari
- Pefloksasin dosis 400 mg/hari selama 7 hari
- Fleroksasin dosis 400 mg/hariselama 7 hari

Demam pada umumnya mengalami lisis pada hari ke-3 atau menjelang
harike-4. Hasil penurunan demam sedikit lebih lambat pada penggunaan
norfloksasin yang merupakan fluorokuinon pertama yang memiliki
biovailabilitas tidak sebaik fluorokuinon yang dikembangkan kemudian.

 Azitromisin
Tinjauan yang dilakukan oleh Eeva EW dan Bukirwa H pada tahun 2008
terhadap 7 penelitian yang membandingkan penggunaan azitromisin
(dosis 2×500 mg) menunjukkan bahwa penggunaan obat ini jika
dibandingkan dengan fluorokuinon, azitromisin secara signifikan
mengurangi kegagalan klinis dan durasi rawat inap, terutama jika
penelitian mengikutsertakan pula strain MDR (multi drug resistance)
maupun NARST (Nalidixic Acid Resistant S. typi). Jika dibandingkan
dengan ceftriakson, penggunaan azitromisin dapat mengurangi angka
relaps. Azitromisisn mampu menghasilkan konsentrasi dalam jaringan
yang tinggi walaupun konsentrasi dalam jaringan yang tinggi walaupun
konsentrasi dalam darah cenderung rendah. Antibiotika akan
terkonsentrasi di dalam sel, sehingga antibiotika ini menjadi ideal untuk
digunakan dalam pengobatan infeksi oleh S. typi yang meupakan kuman
intraselular. Keuntungan lain adalah azitromisisn tersedia dalam bentuk
sediaan oral maupun suntikan intravena.
Obat-obat antimikroba yang sering digunakan untuk mengobati demam tifoid
adalah sebagai berikut:

Obat Dosis Rute

First-line Kloramfenikol 500 mg 4x /hari Oral, IV


Antibiotics
Trimetofrim -Sulfametakzol 160/800 mg 2x/hari, Oral, IV
4-20 mg/kg bagi 2
dosis
Ampicillin/ Amoxycillin 1000-2000 mg 4x/hari Oral, IV, IM
; 50-100 mg/kg , bagi
4 dosis
Second-line Norfloxacin 2 x 400 mg/hari Oral
Antibiotics selama 14 hari
( Ciprofloxacin 2 x 500 mg/hari Oral , IV
Fluoroquinolo selama 6 hari
n) Ofloxacin 2 x 400 mg/hari Oral
selama 7 hari
Pefloxacin 400 mg/hari selama 7 Oral, IV
hari
Fleroxacin 400 mg/hari selama 7 Oral
hari
Cephalosporin Ceftriaxon 1-2 gr/hari ; 50-75 IM, IV
mg/kg : dibagi 1-2
dosis selama 7-10 hari
Cefotaxim 1-2 gr/hari, 40-80 IM, IV
mg/hari: dibagi 2-3
dosis selama 14 hari
Cefoperazon 1-2 gr 2x/hari 50-100 Oral
mg/kg dibagi 2 dosis
selama 14 hari
Antibiotik Aztreonam 1 gr/ 2-4x/hari ; 50-70 IM
lainnya mg/kg
Azithromycin 1 gr 1x/hari ; 5-10 Oral
mg/kg

Pengobatan Demam Tifoid pada Wanita Hamil


Kloramfenikol tidak dianjurkan pada trimester ke-3 kehamilan karena
dikwatirkan dapat terjadi partus premature, kematian fetus intrauterine, dan grey
syndrome pada neonates. Tiamfenikol juga tidak dianjurkan pada trimester
pertama. Pada kehamilan lebih lanjut tiamfenikol dapat digunakan. Demikian juga
obat golongan fluorokuinolon maupun kotrimoksazol tidak boleh digunakan
untuk mengobati demam tifoid. Obat yang dianjurkan adalah ampisilin,
amoksisilin, dan seftriakson.
Pada penelitian yang dilakukan di Jakarta pada tahun 2002-2008
didapatkan hasil bahwa beberapa antibiotika yang biasa digunakan para klinisi di
Indonesia masih memiliki efek terapi di atas 90% terhadap S.typhi dan
S.paratyphi.

Persentase pengaruh antibiotik terhadap S.typhi


Antibiotik %

Ceftriaxon 92.6

Kloramfenikol 94.1

Tetrasiklin 100

Trimetoprim- Sulfametoksazol 100

Ciprofloksasin 100

Levofloksasin 100

LO.3.8 Pencegahan Demam Tifoid


1. Pencegahan Primer
Pencegahan primer merupakan upaya untuk mempertahankan orang yang sehat
agar tetap sehat atau mencegah orang yang sehat menjadi sakit. Pencegahan
primer dapat dilakukan dengan cara imunisasi dengan vaksin yang dibuat dari
strain Salmonella typhi yang dilemahkan. Di Indonesia telah ada 3 jenis vaksin
tifoid, yaitu :
a. Vaksin oral Ty 21 a Vivotif Berna. Vaksin ini tersedia dalam kapsul yang
diminum selang sehari dalam 1 minggu satu jam sebelum makan. Vaksin
ini kontraindikasi pada wanita hamil, ibu menyusui, demam, sedang
mengkonsumsi antibiotik . Lama proteksi 5 tahun.
b. Vaksin parenteral sel utuh : Typa Bio Farma. Dikenal 2 jenis vaksin yakni,
K vaccine (Acetone in activated) dan L vaccine (Heat in activated-Phenol
preserved). Dosis untuk dewasa 0,5 ml, anak 6 – 12 tahun 0,25 ml dan anak
1 – 5 tahun 0,1 ml yang diberikan 2 dosis dengan interval 4 minggu. Efek
samping adalah demam, nyeri kepala, lesu, bengkak dan nyeri pada tempat
suntikan. Kontraindikasi demam,hamil dan riwayat demam pada pemberian
pertama.
c. Vaksin polisakarida Typhim Vi Aventis Pasteur Merrieux. Vaksin
diberikan secara intramuscular dan booster setiap 3 tahun. Kontraindikasi
pada hipersensitif, hamil, menyusui, sedang demam dan anak umur 2
tahun. Indikasi vaksinasi adalah bila hendak mengunjungi daerah endemik,
orang yang terpapar dengan penderita karier tifoid dan petugas
laboratorium/mikrobiologi kesehatan. Mengkonsumsi makanan sehat agar
meningkatkan daya tahan tubuh, memberikan pendidikan kesehatan untuk
menerapkan prilaku hidup bersih dan sehat dengan cara budaya cuci tangan
yang benar dengan memakai sabun, peningkatan higiene makanan dan
minuman berupa menggunakan cara-cara yang cermat dan bersih dalam
pengolahan dan penyajian makanan, sejak awal pengolahan, pendinginan
sampai penyajian untuk dimakan, dan perbaikan sanitasi lingkungan.
2. Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder dapat dilakukan dengan cara mendiagnosa penyakit
secara dini dan mengadakan pengobatan yang cepat dan tepat. Untuk
mendiagnosis demam tifoid perlu dilakukan pemeriksaan laboratorium. Ada 3
metode untuk mendiagnosis penyakit demam tifoid, yaitu :
a. Diagnosis klinik
Diagnosis klinis penyakit ini sering tidak tepat, karena gejala kilinis yang
khas pada demam tifoid tidak ditemukan atau gejala yang sama dapat juga
ditemukan pada penyakit lain. Diagnosis klinis demam tifoid sering kali
terlewatkan karena pada penyakit dengan demam beberapa hari tidak
diperkirakan kemungkinan diagnosis demam tifoid.
b. Diagnosis mikrobiologik/pembiakan kuman
Metode diagnosis mikrobiologik adalah metode yang paling spesifik dan
lebih dari 90% penderita yang tidak diobati, kultur darahnya positif dalam
minggu pertama. Hasil ini menurun drastis setelah pemakaian obat
antibiotika, dimana hasil positif menjadi 40%. Meskipun demikian kultur
sum-sum tulang tetap memperlihatkan hasil yang tinggi yaitu 90% positif.
Pada minggu-minggu selanjutnya hasil kultur darah menurun, tetapi kultur
urin meningkat yaitu 85% dan 25% berturut-turut positip pada minggu ke-3
dan ke-4. Organisme dalam tinja masih dapat ditemukan selama 3 bulan
dari 90% penderita dan kira-kira 3% penderita tetap mengeluarkan kuman
Salmonella typhi dalam tinjanya untuk jangka waktu yang lama.
c. Diagnosis serologik
 Uji Widal
 Uji Enzym-Linked Immunosorbent Assay (ELISA)12
Uji ELISA untuk melacak antibodi terhadap antigen Salmonella typhi
belakangan ini mulai dipakai. Prinsip dasar uji ELISA yang dipakai
umumnya uji ELISA tidak langsung. Antibodi yang dilacak dengan uji
ELISA ini tergantung dari jenis antigen yang dipakai. Uji ELISA
untuk melacak Salmonella typhi. Deteksi antigen spesifik dari
Salmonella typhi dalam spesimen klinik (darah atau urine) secara
teoritis dapat menegakkan diagnosis demam tifoid secara dini dan
cepat. Uji ELISA yang sering dipakai untuk melacak adanya antigen
Salmonella typhi dalam spesimen klinis, yaitu double antibody
sandwich ELISA.

3. Pencegahan Tersier
Pencegahan tersier adalah upaya yang dilakukan untuk mengurangi keparahan
akibat komplikasi. Apabila telah dinyatakan sembuh dari penyakit demam
tifoid sebaiknya tetap menerapkan pola hidup sehat, sehingga imunitas tubuh
tetap terjaga dan dapat terhindar dari infeksi ulang demam tifoid. Pada
penderita demam tifoid yang carier perlu dilakukan pemerikasaan laboratorium
pasca penyembuhan untuk mengetahui kuman masih ada atau tidak.

Tindakan preventif berdasarkan lokasi daerah, yaitu:


1. Daerah non-endemik. Tanpa ada kejadian outbreak atau epidemic
 Sanitasi air dan kebersihan lingkungan
 Penyaringan pengelola pembuatan/distributor/penjualan makanan-
minuman
 Pencarian dan pengobatan kasus tifoid karier

Bila ada kejadian epidemic tifoid

 Pencarian dan eliminasi sumber penularan


 Pemeriksaan air minum dan mandi-cuci-kakus
 Penyuluhan hygiene dan sanitasi pada populasi umum daerah tersebut.
2. Daerah endemic
 Memasyarakatkan pengelolaan bahan makanan dan minumanyang
memenuhi standar prosedur kesehatan (perebusan > 570oC, iodisasi, dan
klorinisasi)
 Pengunjung ke daerah ini harus minum air yang telah melalui pendidihan,
menjauhi makanan segar (sayur/buah)
 Vaksinasi secara menyeluruh pada masyarakat setempat maupun
pengunjung.
DAFTAR PUSTAKA

Behrman R.E. et al. 1999. Ilmu Kesehatan Anak Nelson edisi 15. ab.A.Samik Wahab.
Jakarta: EGC.

Corwin, Elizabeth J. (2009). Buku Saku Patofisiolgi. Edisi revisi III.Jakarta : Penerbit
Buku Kedokteran EGC
Jawetz, Melnick, Adelberg. (1996). Mikrobiologi Kedokteran. Edisi XX. Jakarta :
Penerbit Buku Kedokteran EGC
Jawetz M, Adelberg’s. Mikrobiologi Kedokteran. edisi 23. Alih Bahasa: Huriwati Price,
Hartanto dkk. Jakarta, Penerbit Buku Kedokteran ECG. Cetakan I, 2008.

Karsinah, H.M, Lucky. Suharto. H.W, Mardiastuti.1994. Batang Negatif Gram dalam
Staf Pengajar FKUI.Buku Ajar Mikrobiologi Kedokteran Edisi Revisi. Jakarta: Binarupa
Aksara.

Samuelson, John. 2008. Patologi Umum Penyakit Infeksi dalam Brooks, G.F., Butel,
Janet S., Morse, S.A. Mikrobiologi Kedokteran. Jakarta: EGC.

Setyabudi, Rianto. 2008. Farmakologi dan Terapi Edisi Revisi edisi 5. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI.

Sherwood, Lauralee. 2004. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem edisi 2. Jakarta: EGC.
Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I.2009. Ilmu Penyakit Dalam. Edisi III. Jakarta:Interna
Publishing
Sumarmo, dkk. 2010. Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis edisi 2. Jakarta: EGC.

Sylvia Anderson. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit edisi 6,ab.
Huriawati Hartanto, Jakarta: EGC.

Widodo, Djoko. 2009. Demam Tifoid dalam Sudoyo, Aru W. et.al. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid III Edisi V. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit
Dalam FKUI.

Widoyono. 2011. Penyakit Tropis Epidemiologi, Penularan, Pencegahan &


Pembrantasan. Jakarta : Erlangga

Anda mungkin juga menyukai