Anda di halaman 1dari 3

REVIEW CARBON CAPTURE AND STORAGE

Pembangkit tenaga listrik yang beroperasi saat ini masih didominasi oleh
pembangkit-pembangkit yang tidak terbarukan. Pembangkit tidak terbarukan
tersebut menggunakan bahan bakar fosil sehingga menghasilkan emisi karbon
dioksida (CO2) ketika beroperasi. Emisi CO2 menyebabkan fenomena perubahan
iklim global. Jika kondisi ini dibiarkan, maka dalam kurun waktu 3 dekade
mendatang ancaman tersebut dapat berubah menjadi bencana berantai yang
dimulai dari melelehnya lapisan es Kutub Utara, pola iklim yang berubah secara
ekstrem, serta menjadi penyebab berbagai bencana global.
Untuk mengatasi permasalahan tersebut diperlukan upaya yang konsisten
dan terintegrasi, baik dalam mengubah pola penggunaan energi, pemanfaatan
sumber energi yang lebih bersih, atau menerapkan teknologi energi bersih sebagai
upaya mengurangi laju emisi CO2 secara global. untuk mengurangi emisi karbon
dioksida (CO2) yang dihasilkan pembangkit tenaga listrik dipasang plan
penangkap karbon atau carbon capture and storage (CCS) plan. Proses Carbon
Capture and Storage (CCS) adalah rangkaian proses mulai dari pemisahan dan
penangkapan CO2 hingga menyimpannya ke dalam tempat penampungan (formasi
geologi) untuk jangka waktu yang sangat lama. Teknologi ini secara teknis
menawarkan langkah konkret dalam menangani volume emisi karbon dioksida
(CO2) dengan menggunakan teknologi yang telah ada sebelumnya. Dengan
demikian teknologi yang mampu menjembatani masa transisi menuju energi
alternatif di masa depan dan memungkinkan dunia untuk tetap menggunakan
bahan bakar fosil tanpa kekhawatiran. Pemasangan plan penangkap karbon akan
membebani generator, sehingga daya keluaran generator ke sistem akan
berkurang.
Sejak tahun 2006 United Nation Convention on Climate Change
(UNFCCC) telah merekomendasikan CCS sebagai salah satu opsi utama
teknologi mitigasi penurunan emisi CO2 selain penggunaan energi baru terbarukan
dan peningkatan efisiensi penggunaan energi. Dari berbagai perhitungan,
diperkirakan penerapan CCS akan dapat berkontribusi hingga 20% dari semua
upaya mitigasi global untuk menjaga stabilitas CO 2 agar tidak melebihi
konsentrasi 450 ppm di atmosfer pada tahun 2050 nanti.
Gambar 1. Proses CCS

Selain sebagai salah satu opsi teknologi mitigasi gas rumah kaca, CCS dapat pula
diterapkan untuk keperluan peningkatan produksi migas melalui CO2-EOR
(Enhanced Oil Recovery), untuk keperluan industri (dalam pembuatan minuman
soda), berperan dalam Clean Coal Technology dan penerapan CCS sebagai upaya
mitigasi CO2merupakan kombinasi yang dapat saling menunjang teutama untuk
mengkompensasi biaya CCS yang masih mahal.

Dalam pelaksanaannya, ada beberapa tantangan saat mengimplementasi


CCS di Indonesia, yakni kebijakan, regulasi, dan alasan komersial. Namun, CCS
juga memiliki dampak bagi lingkungan. Jika reservoir CO 2 bocor, maka air di
sekitar lahan penanaman CCS akan menjadi asam dan bisa merusak tanaman
bahkan bisa meledak. Oleh karena itu untuk mengantisipasi hal tersebut, perlu
dilakukan observasi yang akurat dan tepat, baik sebelum, selama, dan sesudah
proses penginjeksian CO2 ke sub surface. Harus ada studi mendalam sebelum
pemasangan CCS di sub surface, terkait dengan pemilihan lokasi target untuk
menyimpan CO2, sehingga perlu dilakukan studi geologi dan geofisika untuk
mengetahui karakteristik dari formasi batuan di sub surface yang akan
menjadi reservoir CO2 (porositas, permeabilitas, penyebarannya), mengetahui
adanya lapisan yang berfungsi sebagai caprock, dan mengetahui adanya kontrol
struktur (fracture/fault) dan kontrol stratigrafi. Selain itu juga perlu diperhatikan
mengenai kestabilan lokasi target terhadap pengaruh tektonik dan harus jauh dari
aktivitas vulkanisme. Selama proses penginjeksian, tekanan harus disesuaikan
dengan kondisi geologi di sub surface, untuk menghindari terjadinya patahnya
lapisan caprock dan ledakan dari gas CO2. Secara khusus, monitoring pasca
injeksi harus dilakukan selama jangka waktu yang panjang. Dalam hal
mengamankan CO2 yang tersimpan, sangat penting untuk melacak injeksi plume
CO2 dalam reservoir dan mendeteksi kebocoran melalui caprock ke atmosfer.

Teknologi CCS bisa mereduksi emisi hingga 14 persen dalam skala global
dengan biaya yang paling murah. Indonesia menjadi salah satu negara yang
mempunyai potensi besar untuk menerapkan teknologi ini. Pasalnya, banyak
industri di Indonesia yang memproduksi karbondioksida berskala besar. Besarnya
potensi ekonomi CCS diperkuat dengan data dari Intergovernmental Panel on
Climate Change (IPCC) tahun 2005 yang berjudul Carbon Dioxide Capture and
Storage, bahwa potensi ekonomi dari CCS berkisar dari 10-55 persen. Sementara
menurut Kepala CCS, Shell International, Tim Bertels mengatakan CCS penting
untuk dilakukan karena terbukti menghemat ongkos produksi minyak. "Tanpa
teknologi CCS, ongkos tambahan untuk menjalankan dekarbonisasi di tahun 2050
akan sebesar 32 miliar poundsterling."

Di Indonesia, CCS sudah diterapkan di beberapa titik, salah satunya di


Gundih, Surabaya, Jawa Timur yang dimulai pada tahun 2011. Titik lain tempat
percobaan CCS terdapat di Jawa Barat, seperti Jatibarang, Tambun, Sukabumi,
dan Sumatera seperti Lapangan ADERA dan Lapangan Meruan.

Anda mungkin juga menyukai