Anda di halaman 1dari 38

LAPORAN PRESENTASI KASUS

(Periode 16 November 2015 – 18 Desember 2015 )

Bell’s Palsy

Disusun oleh :
Hilyatus Shalihat
1102010125
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Saraf Rumah Sakit Bhayangkara tk.I
R.S. Sukanto-Jakarta

Pembimbing :
Dr. Joko Nofianto, Sp. S

RS POLRI JAKARTA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI

2015
KATA PENGANTAR

Pertama saya ucapkan terima kasih kepada Tuhan Yang Maha Esa. karena atas anugrah-
Nya saya dapat menyelesaikan laporan kasus yang berjudul “Cephalgia et causa Abses Cerebri”
tepat pada waktunya. Adapun tujuan pembuatan laporan kasus ini adalah sebagai salah satu
syarat dalam mengikuti dan menyelesaikan Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Saraf, Rumah
Sakit Kepolisian pusat TK.I Raden Said Soekamto.

1
Saya mengucapkan terima kasih kepada dr. Joko Nafianto. Sp.S. ,yang telah meluangkan
waktunya untuk membimbing saya dalam pembuatan laporan kasus ini. Saya menyadari banyak
sekali kekurangan dalam laporan kasus ini, oleh karena itu saran dan kritik yang membangun
sangat penulis harapkan. Semoga laporan kasus ini dapat bermanfaat bagi siapa pun yang
membacanya.

Jakarta , November 2015

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR….................................................................................................................2

DAFTAR ISI....................................................................................................................................3

BAB I PENDAHULUAN ..............................................................................................................4

BAB II STATUS PASIEN............................................................................................................5

BAB III TINJAUAN PUSTAKA................................................................................................17

DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................................39

3
BAB I

PENDAHULUAN

Nervus fasialis mempunyai peran penting dalam fungsi gerak otot-otot wajah dan fungsi
sensorik. Tiap Nervus mengkoordinir satu sisi wajah, termasuk otot-otot yang menggerakan
kelopak mata juga otot-otot untuk ekspresi wajah. Selain itu nervus fasialis menginervasi
glandula lacrimal, saliva dan otot pendengaran yang mengatur tulang pendengaran. Indra
pengecapan juga diwakili oleh serabut saraf ini.

Bell‘s palsy adalah gangguan neurologis yang paling sering menyerang nervus fasialis
dan penyebab kelumpuhan wajah paling sering di dunia. Sekitar 60-75% serangan akut lumpuh
sebelah wajah adalah Bell‘s Palsy. Bell‘s palsy juga dikenal sebagai Idiopatic Facial Paralysis
(IFP) termasuk paralisis Lower Motor Neuron (LMN) yang bersifat akut, perifer, unilateral.
Kesembuhan sempurna tanpa terjadi defisit neurologis hampir didapatkan pada semua pasien.

Insidensi terjadi pada wanita dan pria sama dan dapat menyerang berbagai kelompok
usia. Namun ditemukan bahwa penderita diabetes melitus, wanita hamil dan wanita usia 10-19
tahun mempunyai angka kejadian lebih tinggi dibandingkan pria dengan usia yang sama.

4
BAB II

STATUS PASIEN

II.1 Identitas Pasien


 Nama : Ny. K
 Jenis Kelamin : Perempuan
 Usia : 53 Tahun
 Alamat : Cawang
 Pekerjaan : Buruh kasar
 Agama : Islam
 Suku Bangsa : Jawa
 Status Perkawinan : Menikah
 Pendidikan Terakhir : SD
 Tanggal masuk RS : 21 November 2015
 Tanggal Pemeriksaan : 22 November 2015

II.2 Anamnesa ( Autoanamnesis dan Alloanamnesis )


Keluhan Utama : Bibir mencong sebelah kanan sejak 1 jam SMRS
Keluhan Tambahan : Nyeri kepala sejak 2 jam SMRS

Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang ke IGD RS POLRI pada tanggal 21 November 2015 dengan keluhan bibir
mencong sebelah kanan sejak 1 jam sebelum datang ke rumah sakit. Pasien mengaku sehari
sebelum serangan terdapat rasa kesemutan disekitar bibir dan pada malam hari pasien sedang
berkumpul bersama teman-temannya di tempat terbuka hingga tengah malam. Keesokan harinya
setelah pasien selesai beribadah tiba-tiba pasien merasakan bibir sebelah mencong ke sebelah
kanan dan tidak dapat dikembalikan ke posisi semula. Pasien mengatakan pada saat minum air,
air selalu keluar dari mulut. Kelopak mata kiri terasa sulit untuk menutup.

Pasien menyatakan tidak demam, tidak pernah keluar cairan dari telinga, pusing berputar
tidak ada, nyeri kepala (+) seperti tercengkeram, mendengar bunyi berdenging tidak ada,
kelemahan anggota tubuh lainnya tidak ada, mual tidak ada, muntah tidak ada, tidak ada
kesulitan menelan, BAB dan BAK lancar. Kejadian ini adalah pertama kali dialami oleh pasien.
Pasien memiliki riwayat hipertensi sejak 5 tahun yang lalu.

5
Riwayat Penyakit Dahulu
- Pasien mengaku tidak pernah mengalami nyeri kepala seperti ini sebelumnya
- Pasien memiliki riwayat darah tinggi dan rutin kontrol dan minum obat
- Pasien tidak memiliki riwayat sakit telinga
- Riwayat trauma kepala disangkal pasien
- Riwayat gigi berlubang disangkal pasien
- Riwayat diabetes disangkal pasien

Riwayat Pengobatan
Pasien masih rutin minum obat darah tinggi yaitu amlodipin 1x sehari

Riwayat Penyakit Keluarga


Pasien menyangkal adanya penyakit yang sama yang dirasakan oleh keluarga pasien.

Riwayat Alergi
Riwayat alergi disangkal

Riwayat Kebiasaan
- Pasien menyangkal adanya kebiasaan merokok.
- Pasien mengaku memiliki pola makan yang teratur.
- Pasien mengaku jarang mengkonsumsi sayur & buah.
- Pasien tidak mengkonsumsi alkohol.
- Tidak ada aktivitas olahraga.
- Pasien mengaku sering terpapar angin malam.

II.3 Pemeriksaan Fisik

1. Status generalis
a. Keadaan umum : tampak sakit ringan
b. Tanda vital
 Tekanan darah : 160/100 mmHg
 Nadi : 98 x/menit
 Pernafasan : 22 x/menit
 Suhu : 36.9oC
c. Kepala
 Bentuk : normocephal
 Simetris : simetris
 Nyeri tekan : tidak ada
 Ekspresi wajah : kesan wajah lumpuh sebelah kiri

d. Mata
Konjungtiva : pucat (-/-)
Sklera : ikterik (-/-)
Kedudukan bola mata : ortoforia/ortoforia
Pupil : bulat isokor 2mm/2mm.

6
Eksophtalmus (-), Nystagmus (-), Lagophtalmus ( - / + )
e. Hidung
Bentuk hidung simetris normal , septum deviasi (-) , tanda trauma (-) , Sekret (-)/(-)
f. Mulut
Lidah deviasi (-), fasikulasi (-) , atrofi lidah (-), palatum molle dan pallatum durum
tidak hiperemis.
g. Telinga
Bentuk telinga normal dan simetris kanan dan kiri, nyeri tekan auricula (-) , hiperemis
(-)/(-) , darah (-)/(-) , sekret (-)/(-)
h. Leher
 Sikap : normal
 Limfanodi : tidak teraba membesar
i. Thorax : normochest
j. Jantung : iktus cordis teraba di pertengahan axillaris anterior kiri sela iga 5,
bunyi jantung I-II regular, murmur (-), gallop (-)
k. Paru : fremitus taktil dan fremitus vocal simetris kanan dan kiri, sonor
diseluruh lapang paru , bunyi nafas vesikular, ronki (-)/(-), wheezing (-)/(-)
l. Abdomen : datar, nyeri tekan -, bising usus (+) , massa (-) , timpani disluruh
lapang abdomen
m. Hepar : tidak teraba pembesaran hepar
n. Lien : tidak teraba pembesaran lien
o. Ekstremitas : akral hangat, capillary refill time kurang dari 2 detik, edema (-),
sianosis (-).

2. Status neurologis
A. GCS : E4M6V5 (15)
B. Gerakan Abnormal : -
C. Leher : sikap baik, gerak baik ke segala arah
D. Tanda Rangsang Meningeal

Kanan Kiri

Kaku kuduk (-)

Laseque <70o <70o

Kernig <135o <135o

Brudzinsky I (-) (-)

Brudzinsky II (-) (-)

7
E. Nervus Kranialis

N.I ( Olfaktorius )

Subjektif Normal

N. II ( Optikus )

Tajam penglihatan (visus bedside) Normal normal

Lapang penglihatan Tidak Dilakukan Tidak Dilakukan

Melihat warna Tidak Dilakukan Tidak Dilakukan

Ukuran Isokor, D 2mm Isokor, D 2mm

Fundus Okuli Tidak dilakukan

N.III, IV, VI ( Okulomotorik, Trochlearis, Abduscen )

Nistagmus - -

Pergerakan bola mata Baik ke 6 Baik ke 6


arah arah

Kedudukan bola mata Ortoforia Ortoforia

Reflek Cahaya Langsung & Tidak Langsung + +

Diplopia - -

N.V (Trigeminus)

motorik

Mengunyah (m. Masseter) + +

Menggerakan Rahang (m. Temporalis) + +

Sensorik (kapas)

Oftalmikus + +

8
Maxillaris + +

Mandibularis + +

N. VII ( Fasialis )

Pasif

 Kerutan kulit dahi : asimetris, kiri kerutan dahi terlihat datar


 Kedipan mata : asimetris, kiri tidak dapat menutup sempurna
 Lipatan nasolabial : asimetris, kiri lebih datar
 Sudut mulut : asimetris, kiri lebih rendah
Aktif
 Mengerutkan dahi : (+) (-)
 Mengangkat alis : (+) (-)
 Menutup mata : (+) (-)
 Meringis : (+) (-)
 Menggembungkan pipi : (+) (-)

 Gerakan bersiul : (+) (-) sulit dilakukan

 Daya pengecapan lidah 2/3 depan : tidak ditemukan kelainan


 Hiperlakrimasi : tidak ditemukan

 Lidah kering : tidak ditemukan

N.VIII ( Vestibulokoklearis )

Tes pendengaran (cockhlearis) Tidak dilakukan

9
Tes keseimbangan (vestibularis) Tidak dilakukan

N. IX,X ( Vagus )

Perasaan Lidah ( 1/3 belakang ) Tidak Dilakukan

Refleks Menelan Baik

Refleks Muntah Tidak Dilakukan

N.XI (Assesorius)

Mengangkat bahu (m. trapezius) Baik

Menoleh (m. sternokleidomastoideus) Baik

N.XII ( Hipoglosus )

Pergerakan Lidah Baik

Disartria Tidak

Motorik:
a. Gerakan : gerakan abnormal (-)
b. Kekuatan : 5555 5555
5555 5555

c. Tonus otot : Normotonus Normotonus


Normotonus Normotonus
d. Trofi : Eutrofi Eutrofi
Eutrofi Eutrofi
Refleks fisiologis:
a. Ekstremitas atas
 Refleks biseps : ++/++
 Refleks triseps : ++/++
b. Ekstremitas bawah
 Refleks patella : ++/++
 Refleks archilles : ++/++

10
Refleks Patologis:
a. Hoffman Trommer : -/-
b. Babinski : -/-
c. Chaddock : -/-
d. Oppenheim : -/-
e. Gordon : -/-
f. Schaefer : -/-
g. Gorda : -/-

Pemeriksaan sensorik
 Rangsangan raba : normoestesia/normoastesia
 Rangsangan nyeri : normoalgesia/normoalgesia
 Rangsangan suhu : tidak dilakukan
 Propioseptif : normal
 Diskriminasi dua titik : tidak dilakukan

Pemeriksaan Sistem Syaraf Otonom


 BAB : normal
 BAK : normal
 Berkeringat : normal

Pemeriksaan Fungsi Luhur


 Memory : baik
 Kognitif : baik
Pemeriksaan Koordinasi
 Disdiadokokinesis : baik
 Tes telunjuk hidung : baik

II.4 Pemeriksaan Penunjang


1. Laboratorium
 Tanggal 21 November 2015
Pemeriksaan Hasil Nilai rujukan
Hemoglobin 12,6 gr/dL 12-14 gr/dL
Leukosit 7.900 u/L 5.000 – 10.000 u/L
Hematokrit 36 % 37-43 %
Trombosit 224.000 u/L 150.000-400.000 u/L
Glukosa Glukometer 119
Elektrolit
Natrium 142 mmol/L 135-145 mmol/L
Kalium 2,8 mmol/L 3.8-5.0 mmol/L

11
Chlorida 111 mmol/L 98-106 mmol/L

 Tanggal 22 November 2015


Pemeriksaan Hasil Nilai rujukan
Hemoglobin 12.6 gr/dL 12-14 gr/dL
Leukosit 7600 u/L 5.000 – 10.000 u/L
Hematokrit 38 % 37-43 %
Trombosit 226.000 150.000-400.000 u/L

 Tanggal 22 November 2015


Pemeriksaan Hasil Nilai rujukan
Cholesterol total 197 mg/dL < 200 mg/dL
Cholesterol HDL - direk 34 mg/dL 35-55 mg/dL
Cholesterol LDL- indirek 122 mg/dL < 160 mg/dL
Trigliserida 120 mg/dL < 200 mg/dL
Asam urat 3.3 mg/dL 3.4 – 7.0 mg/dL
Ureum 20 mg/dL 10-50 mg/dL
Kreatinin 0,8 mg/dL 0,5-1,5 mg/dL

2. Pencitraan
 Rontgen Thorax :

12
Kesan : Cor dan Pulmo dalam batas normal

 CT-Scan :

- Tak tampak lesi hipo/hiperdens abnormal pada parenkim otak


- Sistem ventrikel dilatasi
- Sulci/gyri lebar dan dalam
- Air cell dan mastoid normal
Kesan : Brain Atrofi

3. Lain-lain : -

II.5 Resume

Seorang pasien wanita, berusia 53 tahun, datang ke IGD RS POLRI pada tanggal 21 November
2015 dengan keluhan bibir mencong sebelah kanan sejak 1 jam sebelum datang ke rumah sakit.
Malam hari sebelum serangan terdapat rasa kesemutan disekitar bibir dan terpapar udara dingin.
Pusing berputar disangkal, nyeri kepala (+). Tidak ada riwayat trauma, lemah dibagian tubuh
lainnya disangkal, sulit menelan dan bicara pelo disangkal, BAB dan BAK baik.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan lagoftalmus OS, dan kesan parase wajah sebelah kiri.
Pemeriksaan fisik lainnya dalam batas normal. Pada pemeriksaan penunjang didapatkan foto

13
Rontgen paru dan jantung dalam batas normal dan pada pemeriksaan CT scan didapatkan kesan
Brain Atrophy

II.6 Diagnosis

Diagnosis klinis : Bell’s Palsy, Hipertensi grade II, Hipokalemia

Diagnosis etiologi : Idiopatik

Diagnosis topis : Paralisis N.VII perifer sinistra

Diagnosa patologis : proses inflamasi

Diagnosis Banding : Lyme disease

II.7 Penatalaksanaan:

1. Non medikamentosa
o Edukasi kepada pasien dan keluarga tentang penyakit dan pengobatan yang

diberikan.
o Kompres air hangat pada bagian yang sakit +/- 20 menit
o Massage wajah kearah atas.
o Dianjurkan untuk menjalani fisioterapi.
o Mata ditutup saat tidur

2. Medikamentosa :

Anti Hipertensi : Captopril 3 x 25 mg


Saraf : Meticobalamin 1 x 1
Citicholin 3 x 500 mg
Vitamin : Asam Folat 2 x 400 mg

14
II.8 Prognosis

Ad vitam : Dubia ad bonam

Ad fungsionam : Dubia ad bonam

Ad Sanationam : Dubia ad bonam

15
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

III.1 Anatomi dan Fisiologi Nervus Fasialis


Saraf fasialis merupakan saraf kranial terpanjang didalam tulang, sehingga sebagian
besar kelainan nervus fasialis terletak didalam tulang temporal. Perjalanan saraf ini dimulai
dari area motorik korteks serebri yang terletak pada girus pre-sentralis dan post-sentralis.
Sinyal yang berasal dari neuron pada area motorik korteks serebri dihantarkan melalui
fasikulus-fasikulus jalur kortikobulbar menuju kapsula interna kemudian melewati bagian
atas midbrain menuju batang otak bagian bawah untuk bersinapsis pada nukleus saraf fasialis
di pons.2,6

Perjalanan saraf fasialis dimulai dari intrakranial dari area motorik korteks serebri yang
terletak pada girus pre-sentralis dan post-sentralis. Saraf fasialis mempunyai dua nukleus
yaitu nukleus superior dan inferior. Nukleus superior dipersarafi korteks motoris secara
bilateral sedangkan nukleus inferior hanya disarafi dari satu sisi. Kedua serabut nukleus
berjalan mengitari nukleus saraf abdusen lalu meninggalkan pons bersama-sama dengan saraf
vestibulo-koklearis dan intermedius (Whrisberg) melewati sudut cerebelopontin kemudian
masuk kedalam tulang temporal melalui porus akustikus internus. Setelah berada didalam
tulang temporal, saraf fasialis akan berjalan dalam suatu saluran yang disebut kanal falopi
yang kemudian masuk ke os mastoid. Kemudian ia keluar dari tengkorak melalui foramen
stilomastoideus dan kemudian mempersarafi otot-otot wajah2,7

Saraf fasialis terdiri dari tiga komponen yaitu6 :

1. Serabut somato motorik, yang mensarafi otot-otot wajah (kecuali m. levator palpebrae
(N.III), stilohioid, digastrikus bagian posterior dan stapedius di telinga tengah).
2. Serabut visero-motorik (parasimpatis) yang datang dari nukleus salivatorius superior. Serabut
saraf ini mengurus glandula dan mukosa faring, palatum, rongga hidung, sinus paranasal, dan
glandula submaksilaris serta sublingual dan lakrimalis.
3. Serabut visero-sensorik, yang menghantar impuls dari alat pengecap di dua pertiga bagian
depan lidah.

16
Gambar 1. Saraf kanial ketujuh (Fasialis)8

(cabang motorik biru, cabang aferen otonom hijau, eferen otonom jingga)

Nervus fasialis propius yaitu nervus tujuh murni mempersarafi otot-otot wajah, stapedius
ditelinga tengah, otot postaurikular dan posterior digastrikus. Nervus fasialis intermedius
(Whirsberg) merupakan nervus yang lebih tipis yang membawa saraf aferen otonom dan eferen
otonom. Aferen otonom mengantar impuls dari alat pengecap di 2/3 depan lidah. Sensasi
pengecapan dari 2/3 bagian depan lidah dihantar melalui saraf lingual ke korda timpani dan
kemudian ke ganglion genikulatum dan kemudian ke nukleus traktus solitarius. Eferen otonom
datang dari nucleus salivatorius superior yang terletak di kaudal nukleus. Satu kelompok akson
dari nukleus ini berpisah di ganglion genikulatum dan diperjalanannya akan bercabang dua yaitu
ke glandula lakrimalis dan glandula mukosa nasal. Kelompok akson lain akan berjalan terus ke
kaudal dan menyertai korda timpani serta nervus lingualis ke ganglion submandibularis. Dari
sana impuls berjalan ke glandula sublingualis dan submandibularis yang akan merangsang
salivasi.9

17
Nervus fasialis dibagi menjadi 6 segmen10:

1. Intrakranial : cabang frontalis dari nervus fasialis menginervasi traktur kortikonuklear


kiri dan kanan. Sebelum nervus fasialis meninggalkan batang otak, serabut motorik
melingkar di nucleus abdusen dan membentuk genu internal saraf. Setelah melewati
batang otak, nervus fasialis memasuki porus akustikus internus dengan nervus
vestibulokoklearis.
2. Intrameatal : bersamaan dengan nervus VIII, nervus fasialis memasuki porus akustikus
internus hingga ke fundus; disana melewati anterosuperior melalui foramen meatal.
Disana tempa kanalis falopi tersempit sehingga disana saraf-saraf sering terperangkap
karena proses inflamasi.
3. Labirin : setelah melewti dan meninggalkan nervus pertrosal mayor, yang juga
merupakan serabut saraf yang mempersarafi glandula lakrimalis dan glandulua mumosa
nasalis. Nervus fasialis turun secara tajam di ganglion genikulatum membentuk genu
pertama.
4. Timpanik : segmen nervus fasialis berjalan horizontal melalui telinga tengah.
Melewati diatas stapes, ke aditus ad antrum didekat kanalis semisirkular. Segmen
timpanik dilapisi selunung tulang tipis.
5. Mastoid : di segmen mastoid, nervus faasialis membuat genu sekunder oleh aditus
ad antrum, membelok secara vertical kebawah membentuk sudut 90 derajat. Kemudian
menuju mastoid dan saluran bertulang ke foramen stilomastoid. Sebelum meninggalkan
foramen, nervus fasialis meninggalkan korda timpani, yang berjalan kembali ke telinga
tengah dan kemudian melewati foramen yang mengandung serabut sensoris pengecapan.
6. Ekstrakranial : setelah keluar dari foramen, nervus fasialis memasuki glandula parotis.

18
Gambar 2. Komponen serabut nervus fasialis10

III.2 Epidemiologi
Bell’s palsy menempati urutan ketiga penyebab terbanyak dari paralisis fasial akut.
Didunia, insiden tertinggi ditemukan di Seckori, Jepang tahun 1986 dan insiden terendah
ditemukan di Swedia tahun 1997. Di Amerika Serikat, insiden Bell’s palsy setiap tahun sekitar 23
kasus per 100.000 orang, 63% mengenai sisi wajah kanan. Penderita diabetes mempunyai resiko
29% lebih tinggi, dibanding non-diabetes. Bell’s palsy mengenai laki-laki dan wanita dengan
perbandingan yang sama. Akan tetapi, wanita muda, yang berumur 10-19 tahun lebih rentan
terkena daripada laki-laki dengan kelompok umur yang sama. Penyakit ini mengenai semua
umur, namun lebih sering terjadi pada umur 15-50 tahun. Pada kehamilan trimester ketiga dan 2
minggu pasca persalinan, kemungkinan timbulnya Bell’s palsy lebih tinggi daripada wanita tidak
hamil, bahkan bisa mencapai 10 kali lipat.1

III.3 Etiologi
Bell’s palsy dapat disebabkan oleh inflamasi pada nervus fasialis di ganglion
genikulatum. Reaksi inflamasi ini menyebabkan terjadinya kompresi dan kemungkinan bisa
menyebabkan iskemik dan demielinisasi. Ganglion ini terletak di kanalis fasialis, persimpangan
segmen labirin dan timpani, dimana nervus fasialis berbelok ke foramen stilomastoideus. Secara

19
umum, Bell’s palsy didefinisikan sebagai idiopatik. Namun ada beberapa teori yang mengatakan
penyebab dari Bell’s palsy adalah infeksi virus, iskemik dan herediter.3,11

1. Infeksi Virus
Banyak kemiripan antara Bell’s palsy dengan neuropati lainnya yang disebabkan oleh
virus. Polio, mumps, Epstein-Barr dan rubella mempunyai manifestasi neuritik yang
progresif.

Herpes simplex virus tipe 1 merupakan virus penyebab utama terjadinya Bell’s palsy
selain virus Epstein-Barr. Virus ini dapat ditemukan pada nasofaring orang yang terkena
Bell’s palsy dalam fase akut. Virus ini predileksinya di ganglion sel sensoris dalam fase laten.
Nervus fasialis yang mengandung saraf sensoris terletak di ganglion genikulatum, dimana
apabila terjadi infeksi di nervus fasialis menyebabkan ganglionitis genikulatum yang dapat
mendasari terjadinya Bell’s palsy.3

Virus herpes simplex yang bereplikasi di sel ganglion akan menimbulkan kerusakan
setempat dan menyebabkan hipofungsi pada saraf tersebut. Kemudian hal ini dapat
diteruskan ke axon yang dapat menyebabkan radikulitis. Virus ini kemudian menginfeksi sel
schwann yang menyebabkan terjadi inflamasi dan reaksi imunologik. Infiltrasi limfositik
akhirnya menyebabkan terjadinya fragmentasi pada mielin, demielinisasi dan kromatolisis.
Ketika inflamasi dan reaksi imunologik teratasi, maka terjadilah proses remielinisasi.12

2. Vaskular iskemik
Bell’s palsy dapat disebabkan oleh penurunan sirkulasi darah ke nervus fasialis. Nervus
fasialis mendapat pendarahan dari arteri labirintina (proksimal), arteri meningeal media
(sentral) dan arteri stilomastoid (distal). Beberapa pendapat mengatakan bahwa
terganggunya salah satu dari pembuluh darah yang memperdarahi nervus fasialis
menyebabkan iskemik primer, iskemik yang disebabkan oleh kompresi nervus fasialis
dikarenakan kekakuan kanal falopi menyebabkan iskemik sekunder sedangkan iskemik yang
disebabkan penebalan sarung fibrosa disebut iskemik tersier.12

20
Nervus fasialis mempunyai system pembuluh darah yang adekuat dari arteri stilomastoid
dan petrosal, sehingga iskemik primer jarang terjadi kecuali apabila disertai dengan penyakit
tambahan seperti diabetes mellitus. Hilger (1949) mengatakan bahwa iskemik sekunder
merupakan kelanjutan dari iskemik primer. Iskemik sekunder disebabkan karena dilatasi
kapiler dengan peningkatan permeabilitas yang mengakibatkan terjadinya transudasi yang
mengakibatkan terjadinya kompresi. Kompresi dari kapiler dan venula di kanal falopi
menyebabkan timbulnya zona iskemik dan dikeadaan yang berlanjut dapat menimbulkan
nekrosis. Penyebab dari edema di kanal falopi tidak begitu jelas, namun beberapa teori
mengatakan bahwa hal ini dipicu oleh spasme pembuluh arah yang meningkatkan
permeabilitas sehingga terjadi pengeluaran histamin dan menimbulkan reaksi
hipersensitivitas. Begitu pula dengan iskemik tersier merupakan kelanjutan dari proses
iskemik sekunder, dimana penebalan sarung fibrosa yang mengeras dapat memberikan efek
strangulasi pada saraf fasialis yang akan menimbulkan gejala sisa pada Bell’s palsy.12

3. Herediter
Variasi anatomik familial kanalis fasialis memiliki kecendrungan terjadinya kelumpuhan
fasialis. Konstriksi dari kanal falopi menyebabkan terjadinya kelumpuhan fasialis yang
rekuren. Hal ini juga menyebabkan terjadinya iskemik dan infeksi virus. Iskemik primer yang
terjadi dapat berlanjut ke iskemik sekunder dan tersier dan bisa menyebabkan terjadinya
Bell’s palsy yang pemanen apabila tidak segera diatasi.12

21
Gambar 3. Etiologi Bell’s Palsy12

III.4 Patofisiologi
Patofisiologi pasti dari Bell’s palsy belum jelas. Nervus fasialis yang melewati tulang
temporal merupakan kanalis fasialis. Berdasarkan teori, proses edema dan iskemi dihasilkan
dari kompresi oleh nervus fasialis yang berada di tulang kanalis. Bagian pertama dari kanalis
fasialis, segmen labirin, merupakan bagian yang paling sempit, foramen meatal hanya
berdiameter 0,66 mm. Ini merupakan tempat tersering dari terjadinya kompresi nervus
fasialis pada Bell’s palsy. Mengingat ketatnya batas kanalis fasialis, sangat logis sekali
bahwa inflamasi, demielinisasi, iskemik atau proses kompresi dapat menghambat konduksi
pada nervus fasialis.1
Bell’s palsy didefinisikan sebagai idiopatik. Namun ada beberapa teori yang mengatakan
penyebab dari Bell’s palsy adalah infeksi virus, iskemik dan herediter.3,11

Infeksi virus atau kerusakan pembungkus myelin ke nervus kranialis tujuh dapat
menyebabkan gangguan konduksi. Infeksi virus dapat menyebabkan inflamasi yang
biasanya terjadi di meatus auditori intermus dimana ini akan mengakibatkan kompresi atau
penekanan pada kanal falopi pada segmen labirin yang akan mengakibatkan terjadinya

22
infark. Kerusakan pada pembungkus myelin dapat menyebabkan gangguan seperti
terhambatnya penghantaran sinyal dari otak ke otot-otot fasialis. Gangguan ini dapat juga
disebabkan oleh penyakit-penyakit seperti Lyme Disease, diabetes mellitus, tumor, HIV,
chickenpox atau trauma di wajah yang dekat dengan nervus fasialis.12

Bell’s palsy dapat juga disebabkan oleh penurunan sirkulasi darah ke nervus fasialis.
Nervus fasialis mendapat pendarahan dari arteri labirintina (proksimal), arteri meningeal
media (sentral) dan arteri stilomastoid (distal). Beberapa pendapat mengatakan bahwa
terganggunya salah satu dari pembuluh darah yang memperdarahi nervus fasialis
menyebabkan iskemik primer, iskemik yang disebabkan oleh kompresi nervus fasialis
dikarenakan kekakuan kanal falopi menyebabkan iskemik sekunder sedangkan iskemik yang
disebabkan penebalan sarung fibrosa disebut iskemik tersier.12
Nervus fasialis mempunyai system pembuluh darah yang adekuat dari arteri stilomastoid
dan petrosal, sehingga iskemik primer jarang terjadi kecuali apabila disertai dengan penyakit
tambahan seperti diabetes mellitus. Hilger (1949) mengatakan bahwa iskemik sekunder
merupakan kelanjutan dari iskemik primer. Iskemik sekunder disebabkan karena dilatasi
kapiler dengan peningkatan permeabilitas yang mengakibatkan terjadinya transudasi yang
mengakibatkan terjadinya kompresi. Kompresi dari kapiler dan venula di kanal falopi
menyebabkan timbulnya zona iskemik dan dikeadaan yang berlanjut dapat menimbulkan
nekrosis. Penyebab dari edema di kanal falopi tidak begitu jelas, namun beberapa teori
mengatakan bahwa hal ini dipicu oleh spasme pembuluh arah yang meningkatkan
permeabilitas sehingga terjadi pengeluaran histamin dan menimbulkan reaksi
hipersensitivitas. Begitu pula dengan iskemik tersier merupakan kelanjutan dari proses
iskemik sekunder, dimana penebalan sarung fibrosa yang mengeras dapat memberikan efek
strangulasi pada saraf fasialis yang akan menimbulkan gejala sisa pada Bell’s palsy.12

Selain itu, variasi anatomik familial kanalis fasialis memiliki kecendrungan terjadinya
kelumpuhan fasialis. Konstriksi dari kanal falopi menyebabkan terjadinya kelumpuhan
fasialis yang rekuren. Hal ini juga menyebabkan terjadinya iskemik dan infeksi virus.
Iskemik primer yang terjadi dapat berlanjut ke iskemik sekunder dan tersier dan bisa
menyebabkan terjadinya Bell’s palsy yang oemanen apabila tidak segera diatasi.12

23
III.5 Manifestasi klinis
Setelah satu hari atau dua hari terpapar, maka akan timbul demam, nyeri dibelakang
telinga dan nyeri dan kaku di leher. Manifestasi klinis ini muncul secara tiba-tiba atau
akut, dan kelumpuhan diwajah sebelah setelah bangun tidur. Rata-rata setengah dari kasus
ini, kelumpuhan dirasakan hanya dalam 48 jam pertama, namun kenyataannya seluruh
kasus kelumpuhan dirasakan selama 5 hari.13

Gambar 4. Manifestasi
klinis Bell’s palsy1

Manifestasi motorik13 :

 Bell’s palsy biasanya mengalami kelemahan pada satu wajah. Kelemahan bersifat luas,
mulai dari tidak bisa menutup sebelah mata.
 Alis turun
 Ektropion pada kelopak bawah
 Synkinesis
Manifestasi sensorik:

 Gangguan mengecap
 Nyeri dibelakang telinga
Manifestasi parasimpatik:

24
 Penurunan produksi air mata
 Hipersalivasi

Karena saraf pada bagian wajah memiliki banyak fungsi dan kompleks, kerusakan
atau gangguan fungsi pada saraf tersebut dapat mengakibatkan banyak masalah. Penyakit
ini seringkali menimbulkan gejala-gejala klinis yang beragam akan tetapi gejala-gejala
yang sering terjadi yaitu wajah yang tidak simetris, kelopak mata tidak bisa menutup
dengan sempurna, gangguan pada pengecapan, serta sensasi mati rasa pada salah satu
bagian wajah. Pada kasus yang lain juga terkadang disertai dengan adanya hiperakusis
(sensasi pendengaran yang berlebihan), telinga berdenging, nyeri kepala dan perasaan
melayang. Hal tersebut terjadi mendadak dan mencapai puncaknya dalam dua hari.
Keluhan yang terjadi diawali dengan nyeri pada bagian telinga yang seringkali dianggap
sebagai infeksi. Selain itu juga terjadi kelemahan atau paralisis otot, Kerutan dahi
menghilang, Tampak seperti orang letih, Hidung terasa kaku terus - menerus, sulit
berbicara, sulit makan dan minum, sensitive terhadap suara (hiperakusis), salivasi yang
berlebih atau berkurang, pembengkakan wajah, berkurang atau hilangnya rasa kecap, air
liur sering keluar, air mata berkurang, alis mata jatuh, kelopak mata bawah jatuh, sensitif
terhadap cahaya.13

Selain itu masih ada gejala-gejala lain yang ditimbulkan oleh penyakit ini yaitu, pada
awalnya, penderita merasakan ada kelainan di mulut pada saat bangun tidur, menggosok
gigi atau berkumur, minum atau berbicara. Mulut tampak mencong terlebih saat meringis,
kelopak mata tidak dapat dipejamkan (lagoftalmos), waktu penderita menutup kelopak
matanya maka bola mata akan tampak berputar ke atas. Penderita tidak dapat bersiul atau
meniup, apabila berkumur maka air akan keluar ke sisi melalui sisi mulut yang lumpuh.13

Selanjutnya gejala dan tanda klinik lainnya berhubungan dengan tempat/lokasi lesi14 :

a. Lesi di luar foramen stylomastoideus

Mulut tertarik ke arah sisi mulut yang sehat, makanan berkumpul di antar pipi dan
gusi, dan sensasi dalam (deep sensation) di wajah menghilang, lipatan kulit dahi

25
menghilang. Apabila mata yang terkena tidak tertutup atau tidak dilindungi maka aur
mata akan keluar terus menerus.

b. Lesi di kanalis fasialis (melibatkan korda timpani)

Gejala dan tanda klinik seperti pada lesi di luar foramen stylomastoideus, ditambah
dengan hilangnya ketajaman pengecapan lidah (2/3 bagian depan) dan salivasi di sisi
yang terkena berkurang. Hilangnya daya pengecapan pada lidah menunjukkan terlibatnya
nervus intermedius, sekaligus menunjukkan lesi di daerah antara pons dan titik di mana
korda timpani bergabung dengan nervus fasialis (N.VII) di kanalis fasialis.

c. Lesi di kanalis fasialis lebih tinggi lagi (melibatkan musculus stapedius)

Gejala dan tanda klinik seperti pada lesi di luar foramen stylomastoideus, lesi di
kanalis fasialis, ditambah dengan adanya hiperakusis.

d. Lesi di tempat yang lebih tinggi lagi (melibatkan ganglion genikulatum)

Gejala dan tanda klinik seperti lesi di luar foramen stylomastoideus. Lesi di kanalis
fasialis, lebih tinggi lagi disertai dengan nyeri di belakang dan di dalam liang telinga.
Kasus seperti ini dapat terjadi pasca herpes di membran timpani dan konka.

e.Lesi di daerah meatus acusticus interna

Gejala dan tanda klinik seperti lesi di luar foramen stylomastoideus, lesi di kanalis
fasialis, lesi di kanalis fasialis lebih tinggi lagi, lesi di tempat yang lebih tinggi lagi,
ditambah dengan tuli sebagai akibat dari terlibatnya nervus vagus (N.X).

f. Lesi di tempat keluarnya nervus fasialis (N.VII) dari pons.

Gejala dan tanda klinik sama dengan di atas, disertai gejala dan tanda terlibatnya
nervus trigeminal (N.V), nervus vagus (N.X), dan kadang-kadang juga nervus abdusen
(N.VI), nervus aksesorius (N.XI), dan nervus hipoglosal (N.XII).14
Untuk menentukan topografi kerusakan saraf fasialis dilakukan beberapa
pemeriksaan seperti tes Schirmer, pemeriksaan refleks stapedius, tes gustometri dan tes
salivaasi.
Tes Schirmer

26
Tes schirmer dilakukan untuk mengevaluasi fungsi saraf petrosus dengan menilai
fungsi lakrimasi pada mata kanan dan kiri. Hasil abnormal menunjukkan kerusakan pada
Greater Superficial Petrosal Nerve (GSPN) atau saraf fasialisdi proksimal ganglion
genikulatum. Lesi pada tempat ini dapat menybabkan terjadinya keratitis atau ulkus pada
kornea akibat terpaparnya kornea mata yang mengalami kelumpuhan.

Pemeriksaan Refleks Stapedius


Pemeriksaan refleks stapedius rutin dilakukan pada kelumpuhan saraf fasialis.
Pemeriksaan ini dilakukan untuk mengevaluasi fungsi cabang stapedius dari saraf fasialis.
Tes ini merupakan tes yang paling objektif dari beberapa tes topografi saraf fasialis
lainnya. Pada pasien Bell’s palsy dengan refleks stapedius yang masih normal
menandakan bahwa penyembuhan komplit dapat terjadi dalam 6 minggu.

Tes Gustometri
Tes gustometri dilakukan untuk menilai fungsi saraf korda timpani dengan menilai
pengecapan pada lidah 2/3 anterior dengan rasa manis, asam dan asin. Tes ini sangat
subjektif. Disamping fungsi pengecapan, korda timpani juga berperan pada fungsi
salivasi. Kita dapat menilai fungsi dari duktus wharton’s dengan mengukur produksi
saliva dalam 5 menit.
Tes Salivasi
Produksi saliva berkurang dapat diprediksi korda timpani tidak berfungsi dengan
baik. Menurut beberapa literatur, pada kasus Bell’s palsy sering terdapat kesenjangan
topografi saraf fasialis seperti pada pasien terdapat kehilangan fungsi lakrimasi
sedangkan refleks stapedius dan fungsi pengecapan masih normal atau dapat juga fungsi
lakrimasi dan refleks stapedius mengalami gangguan namun fungsi salivasinya normal.
Hal ini disebabkan karena terdapatnya multipel inflamasi dan demielinisasi disepanjang
perjalanan saraf fasialis dari batang otak ke cabang perifer.

Blink Reflex

 Blink reflex merupakan tehnik elektrofisiologi untuk mengevaluasi pasien dengan


keterlibatan nervus trigeminal dan fasialis, demielinisasi polineuropati dan lesi sentral di
batang otak.15
 Sama dengan refleks cornea.

27
 Afferen dari cabang N.V cabang oftalmicus dan efferen N.VII serabut motorik.

 Stimulasi saraf supraorbital15 :

 Pasien berbaring pada sebuah tempat tidur dengan mata tertutup.

 Elektroda yang aktif diletakan dibagian lateral dari m. Orbikularis okuli atau
ditempelkan pada hidung dan dagu

 Elekteroda dasar diletakkan dileher atau dahi

 Respon dari refleks:

 Komponen R1à Periodenya lebih dari 13 ms disebut abnormal. Perbedaan antara


sisi periodenya harus kurang dari 1,2 ms.

 Komponen R2 à Jika periode ipsilateral dan kontralateral lebih dari 14 ms


dikatakan tidak normal.

 Respon dari R1 : Adanya ketiadaan atau perlambatan mengindikasikan adanya gangguan


dari nervus trigeminus atau fasialis.

 Respon dari R2 : Keterlibatan dari R2 mengindikasikan tempat dari lesi ketika R1


abnormal. Lesi saraf trigeminus memiliki ciri adanya keterlambatan bilateral atau
kelemahan dari R2 ketika terjadi stimulasi dari sisi wajah yang terpengaruh. Lesi saraf
fasialis memiliki ciri adanya keterlambatan pada R2 pada sisi yang terkena, biarpun
adanya rangsangan dari sisi kiri atau kanan jika lesinya ada dikanan tetap kanan yang
terkena.15

28
Gambar 5.
Respon blink normal15

III.6 Pemeriksaan penunjang

Bell’s palsy merupakan diagnosis klinis sehingga pemeriksaan penunjang perlu dilakukan
untuk menyingkirkan etiologi sekunder dari paralisis saraf kranialis. Pemeriksaan radiologis
dengan CT-scan atau radiografi polos dapat dilakukan untuk menyingkirkan fraktur, metastasis
tulang, dan keterlibatan sistem saraf pusat (neoplasma di tulang temporal, otak, glandula parotis,
atau untuk mengevaluasi sklerosis multipel. Selain itu, MRI dapat memvisualisasi perjalanan dan
penyengatan kontras saraf fasialis.15

Pemeriksaan neurofisiologi pada Bells palsy sudah dikenal sejak tahun 1970- sebagai
prediktor kesembuhan, bahkan dahulu sebagai acuan pada penentuan kandidat tindakan
dekompresi elektromiografi (EMG) mempunyai nilai prognostik yang lebih baik dibandingkan
elektroneurografi (ENOG). Selain itu pemeriksaan pada Bell’s palsy dapat pula dilakukan
pemeriksaan uji stimulasi maksimal.17

3. Elektromiografi (EMG)
EMG sering kali dilakukan oleh bagian neurologi. Pemeriksaan ini bermanfaat untuk
menentukan perjalanan respon reinervasi pasien. Pola EMG dapat diklasifikasikan sebagai

29
respon normal, pola denervasi, pola fibrilasi, atau suatu pola yang kacau yang mengesankan
suatu miopati atau neuropati. Namun, nilai suatu EMG sangat terbatas kurang dari 21 hari setelah
paralisis akut. Sebelum 21 hari, jika wajah tidak bergerak, EMG akan memperlihatkan potensial
denervasi. Potensial fibrilasi merupakan suatu tanda positif yang menunjukan kepulihan sebagai
serabut. Potensial ini terlihat sebelum 21 hari.17
3. Elektroneuronografi
ENOG memberi informasi lebih awal dibandingkan dengan EMG. ENOG melakukan
stimulasi pada satu titik dan pengukuran EMG pada satu titik yang lebih distal dari saraf.
Kecepatan hantaran saraf dapat diperhitungkan. Bila terdapat reduksi 90% pada ENOG bila
dibandingkan dengan sisi lainnya dama sepuluh hari, maka kemungkinan sembuh juga berkurang
secara bermakna. Fisch Eselin melaporkan bahwa suatu penurunan sebesar 25% berakibat
penyembuhan tidak lengkap pada 88% pasien mereka, sementara 77 persen pasien yang mampu
mempertahankan respons di atas angka tersebut mengalami penyembuhan normal saraf fasialis.17
3. Uji stimulasi maksimal
Uji stimulasi merupakan suatu uji dengan meletakan sonde ditekankan pada wajah di
daerah nervus fasialis. Arus kemudian dinaikkan perlahan-lahan hingga 5 mA, atau sampai
pasien merasa tidak nyaman. Dahi, alis, daerah periorbital, pipi, ala nasi dan bibir bawah diuji
dengan menyapukan elektroda secara perlahan. Tiap gerakan didaerah-daerah ini menunjukan
suatu respon normal. Perbedaan respon yang kecil antara sisi yang normal dengan sisi yang
lumpuh dianggap sebagai suatu tanda kesembuhan. Penurunan yang nyata adalah apabila terjadi
kedutan pada sisi yang lumpuh dengan besar arus hanya 25% dari arus yang digunakan pada sisi
yang normal. Bila dibandingkan setelah 10 hari 92% persen menderita Bell’s palsy kembali dapat
melakukan beberapa fungsi. Bila respon elektris hilang, maka 100 persen akan mengalami
pemulihan fungsi yang tidak lengkap. Statistik menganjurkan bahwa bntuk pengujian yang
paling dapat diandalkan adalah uji funsgi saraf secara langsung.17

III.7 Penatalaksanaan
A. Medikamentosa
2. Agen antiviral.
Meskipun pada penelitian yang pernah dilakukan masih kurang menunjukkan efektifitas obat-obat antivirus pada Bell’s palsy, hampir semua ahli percaya

pada etiologi virus. Penemuan genom virus disekitar nervus fasialis memungkinkan digunakannya agen-agen antivirus pada penatalaksanaan Bell’s palsy. Oleh karena

itu, zat antiviral merupakan pilihan yang logis sebagai penatalaksaan farmakologis dan sering dianjurkan pemberiannya. Acyclovir 400 mg selama 10 hari dapat

digunakan dalam penatalaksanaan Bell’s palsy. Acyclovir akan berguna jika diberikan pada 3 hari pertama dari onset penyakit untuk mencegah replikasi virus.
1

30
Nama obat Acyclovir (Zovirax)–menunjukkan aktivitas hambatan langsung
melawan HSV-1, HSV-2 dan sel yang terinfeksi secara selektif.

Dosis dewasa 4000 mg/24 jam peroral selama 7-10 hari.

Dosis pediatrik < 2 tahun : tidak dianjurkan.

> 2 tahun : 1000 mg peroral dibagi 4 dosis selama 10 hari.

Kontraindikasi Pernah dilaporkan adanya hipersensitivitas.

Interaksi obat Penggunaan bersama dengan probenecid atau zidovudine dapat


memperpanjang waktu paruh dan meningkatkan toksisitas
acyclovir terhadap SSP.

Kehamilan C – keamanan penggunaan selama kehamilan belum pernah


dilaporkan.

Perhatian Hati-hati pada gagal ginjal atau menggunakan obat yang bersifat
nefrotoksik.

Tabel 1. Obat Bell’s palsy antiviral1


2. Kortikosteroid.

Pengobatan Bell’s palsy dengan menggunakan steroid masih merpakan suatu kontroversi.
Berbagai artikel penelitian telah diterbitkan mengenai keuntungan dan kerugian pemberian
steroid pada Bell’s palsy. Para peneliti lebih cenderung memilih menggunakan steroid untuk
memperoleh hasil yang lebih baik. Bila telah diputuskan untuk menggunakan steroid, maka harus
segera dilakukan konsensus. Prednison dengan dosis 40-60 mg/ hari per oral atau 1 mg/ kgBB/
hari selama 3 hari, diturunkan perlahan-lahan selama 7 hari kemudian, dimana pemberiannya
dimulai pada hari kelima setelah onset penyakit, gunanya untuk meningkatkan peluang
kesembuhan pasien.18

Nama obat Prednisone (Deltasone, Orasone, Sterapred) – efek


farmakologis yang berguna adalah efek antiinflamasinya,
yang menurunkan kompresi nervus fasialis di kanalis
fasialis.

31
Dosis dewasa 1 mg/kg/hari peroral selama 7 hari.

Dosis pediatrik Pemberian sama dengan dosis dewasa.

Kontraindikasi Pernah dilaporkan adanya hipersensitivitas; infeksi virus,


jamur, jaringan konektif, dan infeksi kulit tuberkuler;
penyakit tukak lambung; disfungsi hepatik; penyakit
gastrointestinal.

Interaksi obat Pemberian bersamaan dengan estrogen dapat menurunkan


klirens prednisone; penggunaan dengan digoksin dapat
menyebabkan toksisitas digitalis akibat hipokalemia;
fenobarbital, fenitoin, dan rifampin dapat meningkatkan
metabolisme glukokortikoid (tingkatkan dosis
pemeliharaan); monitor hipokalemia bila pemberian
bersama dengan obat diuretik.

Kehamilan B – biasanya aman tetapi keuntungan obat ini dapat


memperberat resiko.

Perhatian Penghentian pemberian glukokortikoid secara tiba-tiba dapat


menyebabkan krisis adrenal; hiperglikemia, edema,
osteonekrosis, miopati, penyakit tukak lambung,
hipokalemia, osteoporosis, euforia, psikosis, myasthenia
gravis, penurunan pertumbuhan, dan infeksi dapat muncul
dengan penggunaan bersama glukokortikoid.

Tabel 2. Obat Bell’s palsy kortikosteroid18

B. Non-medikamentosa
1. Perawatan mata
Mata sering tidak terlindungi pada pasien-psien dengan Bell’s palsy. Sehingga pada mata
beresiko terjadinya kekeringan kornea dan terpapar benda asing. Atasi dengan pemberian air
mata pengganti dan pelindung mata.18

32
 Air mata pengganti: digunakan selama pasien terbangun untuk mengganti air mata yang kurang
atau tidak ada.
 Kaca mata atau pelindung yang dapat melindungi mata dari jejas dan mengurangi kekeringan
dengan menurunkan jumlah udara yang mengalami kontak langsung dengan kornea.18
2. Fisioterapi
Fisioterapi biasa dilakukan pada Bells palsy stadium akut atau bersamaan dengan
pemberian kortikosteroid. Tujuan fisioterapi adalah untuk mempertahankan tonus otot yang
lumpuh. Caranya yaitu dengan memberikan radiasi sinar infra red pada sisi yang lumpuh dengan
jarak 2 ft (60 cm) selama 10 menit. Terapi ini diberikan setiap hari sampai terdapat kontraksi
aktif dari otot dan sampai tercapainya penyembuhan yang komplit. Disamping itu dapat
dilakukan massage pada otot wajah selama 5 menit pagi dan sore hari.

3. Operatif
Terapi pembedahan seperti dekompresi saraf hanya dilakukan pada kelumpuhan yang
komplit atau hasil pemeriksaan elektroneurografi menunjukan penurunan amplitudo lebih dari
90%. Karena lokasi lesi saraf ini sering terdapat pada segmen labirin, maka pada pembedahan
dilakukan melalui pendekatan middle fossa subtemporal craniotomy sedangkan bila lesi terdapat
pada segmen mastoid dan timpani digunakan pendekatan transmastoid.

4. Konsul
Dokter yang menangani pasien ini harus melakukan pemeriksaan lanjutan yang ketat.
Dokumentasi yang dilakukan harus mencakup kemajuan penyembuhan pasien. Berbagai
pendapat muncul mengenai perlunya rujukan ke dokter spesialis. Indikasi untuk merujuk adalah
sebagai berikut18:
 Ahli neurologi: bila dijumpai tanda-tanda neurologik pada pemeriksaan fisik dan tanda-tanda
yang tidak khas dari Bell palsy, maka segera dirujuk.
 Ahli penyakit mata: bila terjadi nyeri okuler yang tidak jelas atau gambaran yang abnormal pada
pemeriksaan fisik, pasien harus dirujuk untuk pemeriksaan lanjutan.
 Ahli otolaryngologi: pada pasien-pasien dengan paralisis persisten, kelemahan otot wajah yang
lama, atau kelemahan yang rekuren, sebaiknya dirujuk.
 Ahli bedah: pembedahan untuk membebaskan nervus fasialis kadang dianjurkan untuk pasien
dengan Bell palsy. Pasien dengan prognosis yang buruk setelah pemeriksaan nervus fasialis atau
paralisis persisten cukup baik untuk dilakukan pembedahan.18

33
III.8 Komplikasi

Hampir semua pasien dengan Bell palsy dapat sembuh tanpa mengalami deformitas
kosmetik, tetapi sekitar 5% mengalami gejala sisa cukup berat yang tidak dapat diterima oleh
pasien.19

a. Regenerasi motorik yang tidak sempurna.


 Bagian terbesar dari nervus fasialis terdiri dari serabut saraf eferen yang merangsang otot-otot
ekspresi wajah. Bila bagian motorik mengalami regenerasi yang tidak optimal, maka dapat
terjadi paresis semua atau beberapa otot wajah tersebut.
 Gangguan tampak sebagai (1) inkompetensi oral, (2) epifora (produksi air mata berlebihan), dan
(3) obstruksi nasal.

b. Regenerasi sensoris yang tidak sempurna.


 Dysgeusia (gangguan rasa).
 Ageusia (hilang rasa).
 Dysesthesia gangguan sensasi atau sensasi yang tidak sesuai dengan stimulus normal).

c. Reinervasi aberan dari nervus fasialis.


 Setelah gangguan konduksi neuron pada nervus fasialis dimulai dengan regenerasi dan proses
perbaikan, beberapa serabut saraf akan mengambil jalan lain dan dapat berhubungan dengan
serabut saraf di dekatnya. Rekoneksi aberan ini dapat menyebabkan jalur neurologik yang tidak
normal.
 Bila terjadi gerakan volunter, biasanya akan disertai dengan gerakan involunter (seperti gerakan
menutup mata yang satu diikuti dengan gerakan menutup mata disebelahnya). Gerakan
involunter yang menyertai gerakan volunter ini disebut synkinesis.

III.9 Prognosis

Penderita Bell’s palsy dapat sembuh total atau meninggalkan gejala sisa. Faktor resiko
yang memperburuk prognosis Bell’s palsy adalah1:

a. Usia di atas 60 tahun.


b. Paralisis komplit.
c. Menurunnya fungsi pengecapan atau aliran saliva pada sisi yang lumpuh.
d. Nyeri pada bagian belakang telinga.
e. Berkurangnya air mata.

Pada umumnya prognosis Bell’s palsy baik: sekitar 80-90 % penderita sembuh dalam
waktu 6 minggu sampai tiga bulan tanpa ada kecacatan. Penderita yang berumur 60 tahun atau

34
lebih, mempunyai peluang 40% sembuh total dan beresiko tinggi meninggalkan gejala sisa.
Penderita yang berusia 30 tahun atau kurang, hanya memiliki perbedaan peluang 10-15 persen
antara sembuh total dengan meninggalkan gejala sisa. Jika tidak sembuh dalam waktu 4 bulan,
maka penderita cenderung meninggalkan gejala sisa, yaitu sinkinesis, crocodile tears dan kadang
spasme hemifasial.20
Penderita diabetes 30% lebih sering sembuh secara parsial dibanding penderita
nondiabetik dan penderita DM lebih sering kambuh dibanding yang non DM. Hanya 23% kasus
Bell’s palsy yang mengenai kedua sisi wajah. Bell’s palsy kambuh pada 10-15 % penderita.
Sekitar 30 % penderita yang kambuh ipsilateral menderita tumor N. VII atau tumor kelenjar
parotis.20

35
BAB IV

KESIMPULAN

Bell’s palsy didefinisikan sebagai suatu keadaan paresis atau kelumpuhan yang akut dan
idiopatik akibat disfungsi nervus fasialis perifer. Penyebab Bell’s palsy adalah edema dan iskemia
akibat penekanan (kompresi) pada nervus fasialis.
Kelumpuhan perifer N.VII memberikan ciri yang khas hingga dapat didiagnosa dengan
inspeksi. Setelah satu hari atau dua hari terpapar, maka akan timbul demam, nyeri dibelakang
telinga dan nyeri dan kaku di leher. Manifestasi klinis ini muncul secara tiba-tiba atau akut, dan
kelumpuhan diwajah sebelah setelah bangun tidur. Rata-rata setengah dari kasus ini, kelumpuhan
dirasakan hanya dalam 48 jam pertama, namun kenyataannya seluruh kasus kelumpuhan
dirasakan selama 5 hari.
Pengobatan pasien dengan Bell’s palsy adalah dengan kombinasi obat- obatan antiviral
dan kortikosteroid serta perawatan mata yang berkesinambungan. Prognosis pasien dengan Bell’s
palsy relative baik meskipun pada beberapa pasien, gejala sisa dan rekurensi dapat terjadi.

DAFTAR PUSTAKA

36
1. Taylor DC. Bell Palsy. Diakses: 8 Juni 2015. Terdapat pada:
www.emedicine.medscape.com/article/1146903-overview.
2. Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. Kelumpuhan nervus fasialis perifer.
Dalam Buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung tenggorokan kepala leher. 7 th ed. Jakarta:
Balai Penerbit FKUI; 2012. p.95.
3. Myers EN. Operative Otolaryngology: Head and Neck Surgery. 2 nd ed. London:
Saunders; 2008.p.1257-69.
4. Finsterer J. Management of peripheral facial palsy. Eur Arch Otorhinolaryngol
2008;265:743-52.
5. Weiner HL, Levitt LP. Ataksia. Wita JS, editor. Buku Saku Neurologi. Ed 5. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2001. Hal. 174.
6. May M. Anatomy for the clinician. In: Schaitkin BM, May M, Klein SR. editors. The
facial nerve. 2nd ed. New york: Thieme; 2000.p.19-56.
7. Patel AA. Facial Nerve Anatomy. Diakses 9 juni 2015. Terdapat pada:
www.emedicine.medscape.com/article/835286-overview .
8. Lowis H, Gaharu MN. Bell’s palsy diagnosis dan tatalaksana dilayanan primer. J Indon
Med Assoc. 2012:62;32-7.
9. Pereira C, Santos E, Monteiro J, Morais A, Santos CT . Peripheral F.ial Palsy: Anatomy
And Physiology. An Update. The Internet Journal of Neurosurgery. 2004.
10. Probs R, Grevers G, Iro H. Basic Otorhinolaringology A step-by-step learning guide.
New York: Thieme. p.290-2.
11. Tiemstra JD. Khatkhate N. Bells palsy: Diagnosis and management. Am Fam Physician.
2007: 1;76(7):997-1002.
12. Grewal DS. Atlas of surgery of the facial nerve. 2nd ed. India: Jaypee; 2012.p.30-45.
13. Herkovitz S, Scelsa S, Schaumburg H. Peripheral Neuropathies in Clinical Practice.
USA: Oxford University Press;2010.p.340-1.
14. Lalwani AK. Current diagnosis and treatment otolaryngology-head and neck surgery. 2nd
edition. New York: McGraw-Hill. 2007.
15. Preston DC. Shapiro BE. Electromiography and neuromuscular disorder: Clinical
electrophysiologic correlations. London: Saunders; 2012.p.643.
16. Grosheva M, Wittekindt C, Guntinas-Lichius O. Prognostic value of electroneurography
and electromyography in facial palsy. Laryngoscope. 2008;118:394-7.
17. Maisel R, Levine S. Gangguan saraf fasialis. Dalam Boies Buku Ajar Penyakit THT 6 th
ed. Jakarta: EGC, 1997.
18. Gronseth GS, Paduga R. Evidence-based guideline update: Steroids and antivirals for
Bell palsy: Report of the Guideline Development Subcommittee of the American
Academy of Neurology. Neurology. Nov 7 2012;[Medline].

37
19. Noback CR, Strominger NL, Demarest RJ, Rugierro DA. Cranial nerves and chemical
senses. In: Strominger NL, editor. The human nervous system: structure and function. 6 th
ed. New Jersey: Human press; 2005. p. 253.

20. Rohkamm, Reinhard. Facial Nerve Lesions. Color Atlas of Neurology 2 nd ed. George
Thieme Verlag: German, 2003. p.98-99.

38

Anda mungkin juga menyukai