Judul di artikel ini berasal dari bahasa inggris yang tertulis intelligibility
yakni keadaan dapat dipahaminya sesuatu atau objek melalaui akal budi.1
Di samping kata intelligibility, muncul pula kata “intelligibilia” yang
padanannya sama dengan ‘ma’qulat’ yang diambil dari bahasa arab.2
Ma’qulat sendiri bermakna sebagai ‘objek-objek yang terpikirkan’. Namun,
dalam tradisi filsafat islam, apa yang disebut dengan ma’qulat adalah
konsep-konsep yang bersifat universal, bukan partikular.
Pada sisi lainnya, konsep acapkali hampir selalu seimbang dengan kuiditas
sesuatu atau ia bisa dikatakan; setiap konsep adalah kuiditas sesuatu atau,
dengan cara lainnya, konsep adalah bentuk mental mengenai kuiditas
sesuatu. Oleh sebab itu, artikel ini juga akan membahas keterkaitan konsep
dan kuiditas sesuatu. Kemudian artikel ini juga akan menggunakan kata
intelijibilitas sebagai kata ganti dari ma’qul (jamak; ma’qulat).
Sebelum masuk lebih jauh, ada satu hal yang harus ditekankan, yaitu
intelijibilitas yang sedang dibahas di sini merupakan sebuah pengetahuan
representatif konsepsional (al-‘ilm al-husuliy al-tashawuriy) yang selalu
2 Ibrahim Kalin, Mulla Sadra Realist Ontology of the Intelligibles and Theory of
Knowledge, hal 82 . Dalam the Muslim World, Vol 94. Januari 2004
1
melibatkan subjek dan objek mental yang disebut sebagai konsep. Maka dari
itu, pembagian konsep-konsep seperti ini adalah pembagian dalam tahap
sekunder, bukan primer.
https://rainhardvidi.tumblr.com/post/163133989431/membincangfundamentalitas
4 urudh dan ittisaf diterjemahkan sebagai ‘keberlakuan’ dan ‘kualifikasi’. Kedua istilah
tersebut merujuk pada kewujudan masing-masing konsep intelijibilitas dan penyifatannya.
Misalnya, konsep manusia memiliki individu-individunya yang secara nyata dapat dirujuk
pada realitas eksternal. Dengan cara tersebut, konsep manusia dapat dilihat memiliki
kewujudannya di eksternal yang mengimplikasikan keberlakuan dan penyifatan/ kualifikasi
konsep tersebut berlaku di eksternal.
2
primer ini adalah gambaran mental dari intelijibilitas tersebut juga nyata di
realitas in concreto, seperti ‘kemanusiaan’ (insaniyyah) pada Amir.
Terdapat penekanan yang serius di sini. ISL memiliki ranahnya sendiri, yakni
segi kewujudannya tidak pada pada eksternal, sebab universal dan partikular
adalah sifat bagi intelijibilitas primer, seperti Manusia adalah spesies. Nah,
spesies yang dilekatkan pada “kuiditas manusia” merupakan ‘penyifatan’ dan
‘keberlakuan’ yang hanya berlaku pada mental semata.
3
ISF pada gilirannya berada di tengah-tengah. Maksudnya, intelijibilitas jenis
ini memiliki konsep yang “keberlakuan” dalam pikiran semata, tapi memiliki
“kualifikasi” pada realitas in concreto. Adapun nama filosofisnya sendiri
muncul karena intelijibilitas ini mengabstraksi sifat-sifat hakiki dari
eksistensi eksternal, seperti; potensialitas-aktualitas, sebab-akibat, niscaya-
kontingen. Perbedaan sifat-sifat hakiki eksistensi tersebut juga merupakan
titik dasar berbagai pluralitas, seperti ditandaskan oleh Thabathaba’i dalam
Nihayah al-Hikmah ketika membahas gradasi eksistensi eksternal.
Dari cara definisi itu, ISL tidak didapatkan dalam sebuah esensi kuiditas.
Implikasinya pula ISL tidak bisa menjadi definisi atas sebuah kuiditas,
seperti manusia adalah akibat. Singkatnya, intelijibilitas primer
menggambarkan kuiditas sesuatu, sedangkan ISF selalu mengacu pada sifat-
sifat hakiki dari sesuatu atau eksistensi in concreto.
Boleh jadi, kuiditas sesuatu berbeda satu sama lain, akan tetapi memiliki
sifat eksistensi yang sama. Misalnya kuiditas A dan B sama-sama sebagai
akibat. Tapi, pada sisi lainnya dan waktu lainnya, bisa juga jika A menjadi
sebab sesuatu, sedangkan B masih sebagai akibat dari sesuatu yang lainnya.
Ciri khas dari ISF adalah konsep yang berpasang-pasangan, seperti sebab-
akibat, potensi-aktual, gerak-diam, tunggal-plural. Dari konsep yang
berpasang-pasangan itu satu entitas bisa dikualifikasi sebagai ekstensi dari
potensi sekaligus aktual. Hal yang menarik lainnya dari ISF adalah untuk
mengetahuinya tidak memerlukan definisi (hadd tamm), tapi hanya deskripsi
semata. Logikanya sangat sederhana, definisi selalu terkait dengan esensi-
esensi (dzatiyyat) sesuatu, dan ISF bukanlah esensi (kuidita), jadi ISF tidak
memiliki esensi untuk definisi konsep tersebut.
5
penentuan bagaimana cara pikiran mendapatkan kemunculan berbagai
intelijibilitas tersebut.
Oleh karena perbedaan pikiran dalam meraih tersebut, kuiditas selalu eksis
dengan eksistensi eksternal yang dengannya memiliki efek spesifik
tersendiri, kemudian—jika diperbandingkan dengan realitas eksternal—ia
juga memiliki eksistensi mental yang mana tidak memiliki efek spesifik
eksternal melainkan efek-efek eksistensi mental. Pandangan ini yang disebut
oleh Thabathaba'i sebagai konsep rill (mafhum haqiqi).
6
Berbeda dengan ISF yang mana realitasnya adalah eksternalitas sehingga
pikiran bukanlah sebuah ranah untuk menampung realitas tersebut. Dengan
demikian, pikiran ‘menciptakan’ berbagai konsep-konsep yang
menggambarkan sifat-khas eksistensi dimana aspek kewujudannya tidak
eksis di pikiran karena—sebagaimana telah disinggung—akan
mengimplikasikan ‘terbaliknya hakikat’.
Kata ‘menciptakan’ sendiri adalah kata ganti lain dari pengetahuan fi’li atau
aktif yang merujuk pada tindakan-tindakan pikiran dengan memunculkan
intelijibilitas sekunder filosofis dan logis. Sedangkan, intelijibilitas primer
adalah pengetahuan yang bersifat infi’al atau subjek yang mengetahui hanya
menerima gambaran-gambaran mengenai kuiditas sesuatu.
Nah, dari eksistensi api tersebut pikiran dapat merumuskan sebab dan akibat
yang juga nyata dalam eksistensi api tersebut. Akan tetapi, harus diingat
kembali, bahwa sebab-akibat tidak menggambarkan kuiditas api melainkan
menjelaskan sifat hakiki realitas ontologis. Maka dari itu pula, kualifikasi
konsep-konsep filosofis pada ekstensinya tidak seperti predikasi kuiditas
pada individunya melainkan dengan mengacu secara langsung kondisi
eksistensi eksternal, seperti eksistensi A adalah akibat dan juga potensi.
7
Jadi, konsep riil dan konsep abstraktif bisa dipandang dengan cara perbedaan
“keberlakuan” dan “kualifikasi” yang berbeda satu sama lain. Intelijibilitas
primer berlaku dan memiliki kualifikasi di eksternal, seperti manusia yang
memiliki individu-individunya. Kemudian, konsep-konsep filosofis ‘berlaku’
di pikiran yang disebut dengan konsep abstraktif, tapi memiliki kualifikasi di
eksternal. ISL pun hanya ‘berlaku’ dan dapat dikualifikasi dalam pikiran
semata yang dengan itu pula disebut sebagai bagian dari konsep abstraktif.