Anda di halaman 1dari 8

Intelijibilitas;

Konsep Universal Dalam Filsafat Islam


Oleh; Rainhard

Judul di artikel ini berasal dari bahasa inggris yang tertulis intelligibility
yakni keadaan dapat dipahaminya sesuatu atau objek melalaui akal budi.1
Di samping kata intelligibility, muncul pula kata “intelligibilia” yang
padanannya sama dengan ‘ma’qulat’ yang diambil dari bahasa arab.2
Ma’qulat sendiri bermakna sebagai ‘objek-objek yang terpikirkan’. Namun,
dalam tradisi filsafat islam, apa yang disebut dengan ma’qulat adalah
konsep-konsep yang bersifat universal, bukan partikular.

Misbah Yazdi, dalam Philosophical Instructions, memasukan ma’qulat


sebagai konsep-konsep universal. Begitupula Murtadha Muthhahari, dalam
Durus al-Falsafah al-Islamiyyah fi Syarh al-Manzumah, mendefinisikan
ma’qulat sebagai konsep-konsep universal yang eksis pada pikiran. Hal
demikian maklum adanya, sebab para filsuf sebelumnya membahas ma’qulat
sebagai apapun yang terpikirkan dengan modusnya yang universal. Makna
lainnya yaitu ma’qulat yang dapat dipandang sebagai hasil dari inteleksi
(ta’aqqul), yaitu modus pikiran yang bekerja untuk memperoleh makna atau
pengertian (ma’na), dan konsep (mafhum) universal yang berarti apa yang
terpikirkan dapat dipredikasikan pada banyak ekstensi (mishdaq).

Pada sisi lainnya, konsep acapkali hampir selalu seimbang dengan kuiditas
sesuatu atau ia bisa dikatakan; setiap konsep adalah kuiditas sesuatu atau,
dengan cara lainnya, konsep adalah bentuk mental mengenai kuiditas
sesuatu. Oleh sebab itu, artikel ini juga akan membahas keterkaitan konsep
dan kuiditas sesuatu. Kemudian artikel ini juga akan menggunakan kata
intelijibilitas sebagai kata ganti dari ma’qul (jamak; ma’qulat).

Sebelum masuk lebih jauh, ada satu hal yang harus ditekankan, yaitu
intelijibilitas yang sedang dibahas di sini merupakan sebuah pengetahuan
representatif konsepsional (al-‘ilm al-husuliy al-tashawuriy) yang selalu

1 http://arti-definisi-pengertian.info/pengertian-arti-intelijibilitas diakses 10 Mei 2016

2 Ibrahim Kalin, Mulla Sadra Realist Ontology of the Intelligibles and Theory of
Knowledge, hal 82 . Dalam the Muslim World, Vol 94. Januari 2004
1
melibatkan subjek dan objek mental yang disebut sebagai konsep. Maka dari
itu, pembagian konsep-konsep seperti ini adalah pembagian dalam tahap
sekunder, bukan primer.

Dua Jenis intelijibilitas


Seperti telah disinggung di atas bahwa intelijibilitas adalah konsep-konsep
universal yang predikasinya bisa berlaku terhadap banyak hal. Para filsuf
mendedah tiga jenis ini berdasarkan konsiderasi pikiran atas realitas. Namun
demikian, konsiderasi pikiran sendiri terhadap sesuatu yang terpikirkan itu
berbeda satu sama lain, bahkan terkadang apa yang terpikirkan bukan bagian
dari realitas atau tidak termasuk dari lingkup eksistensi absolut.

Intelijibilitas primer (ma’qul awwali)


Identifikasi pertama mengenai intelijibilitas jenis ini adalah pelekatan kata
primer padanya. Seringkali pendapat mengenai intelijibilitas tersebut
menggambarkan kuiditas sesuatu3, seperti manusia, bunga, meja, dan lain
sebagainya, sejauh gambaran mental itu adalah ‘identitas’ yang dipandang
sebagai ‘batasan sesuatu’ (hadd al-sya’i). Adapun pengertian ‘primer’ yang
melekat pada intelijibilitas karena cara pikiran meraihnya juga secara
langsung—dalam arti subjek dapat mendapatkan konsep tertentu hanya
dengan menggunakan indranya, misalnya, melihat sebuah gunung yang pada
gilirannya forma atau bentuk gunung hadir di pikiran.

Di samping itu, ada hal lainnya mengapa ia disebut sebagai intelijibilitas


primer karena ‘kualifikasi’ dan ‘keberlakuan’ berlaku pada realitas eksternal
in concreto.4 Maksud dari kualifikasi dan terjadinya dalam intelijibilitas

3Mengenai kuiditas telah dituliskan dalam artikel lainnya seperti;

https://rainhardvidi.tumblr.com/post/163133989431/membincangfundamentalitas

4 urudh dan ittisaf diterjemahkan sebagai ‘keberlakuan’ dan ‘kualifikasi’. Kedua istilah
tersebut merujuk pada kewujudan masing-masing konsep intelijibilitas dan penyifatannya.
Misalnya, konsep manusia memiliki individu-individunya yang secara nyata dapat dirujuk
pada realitas eksternal. Dengan cara tersebut, konsep manusia dapat dilihat memiliki
kewujudannya di eksternal yang mengimplikasikan keberlakuan dan penyifatan/ kualifikasi
konsep tersebut berlaku di eksternal.
2
primer ini adalah gambaran mental dari intelijibilitas tersebut juga nyata di
realitas in concreto, seperti ‘kemanusiaan’ (insaniyyah) pada Amir.

Intelijibilitas Sekunder (ma’qul tsani)


Seperti yang primer, intelijibilitas sekunder adalah bentuk mental yang
bersifat universal, yaitu bisa dipredikatkan pada banyak entitas. Meski
demikian, perbedaan yang mencolok adalah ‘peraihannya’ (kaifiyyat al-
hushul) serta ‘penyifatan’ dan ‘keberlakuan’ intelijibilitas. Para filsuf
membagi intelijibilitas sekunder mnjadi dua jenis, sebab—seperti baru saja
disinggung—‘penyifatan’ dan ‘keberlakuan’ intelijibilitas tersebut berbeda
satu sama lain.

- Intelijibilitas Sekunder Logis/ISL (Ma’qul Tsani Mantiqi)

Perbedaan intelijibilitas ini dengan yang primer adalah ‘penyifatan’ dan


‘keberlakuan’ hanya terjadi dalam mental atau pikiran. intelijibilitas
sekunder logis (ISL) memiliki segi ekstensi hanya dalam mental semata,
sebab sifat-sifatnya berkaitan dengan atribut-atribut logika seperti universal,
partikular, jenus, spesies, dan differensia. Para filsuf meyakini bahwa realitas
in concreto adalah sesuatu yang individual (syakhsy) atau, jika
diperbandingkan universal dengan ekstensinya dalam kajian logika, sebagai
afrad, yang artinya sama dengan individu yang tunggal.

Terdapat penekanan yang serius di sini. ISL memiliki ranahnya sendiri, yakni
segi kewujudannya tidak pada pada eksternal, sebab universal dan partikular
adalah sifat bagi intelijibilitas primer, seperti Manusia adalah spesies. Nah,
spesies yang dilekatkan pada “kuiditas manusia” merupakan ‘penyifatan’ dan
‘keberlakuan’ yang hanya berlaku pada mental semata.

Dengan demikian, seandainya ISL memiliki ‘kualifikasi’ dan ‘keberlakuan’


di eksternal—laiknya berbagai individu spesifik—maka, sebagaimana
ditegaskan Thabathaba’i, ia sebagai sesuatu yang mustahil. Sebab, hal
tersebut seperti ”terbaliknya hakikat” dan yang demikian tidak mungkin
terjadi. Maka dari itu pula, konsep-konsep logis, hanya berlaku dan eksis
pada mental. Begitupula dengan penyifatan atas berbagai subjek-subjeknya.

- Intelijibilitas Sekunder Filosofis/ISF (Ma’qul Tsani Falsafiy)

3
ISF pada gilirannya berada di tengah-tengah. Maksudnya, intelijibilitas jenis
ini memiliki konsep yang “keberlakuan” dalam pikiran semata, tapi memiliki
“kualifikasi” pada realitas in concreto. Adapun nama filosofisnya sendiri
muncul karena intelijibilitas ini mengabstraksi sifat-sifat hakiki dari
eksistensi eksternal, seperti; potensialitas-aktualitas, sebab-akibat, niscaya-
kontingen. Perbedaan sifat-sifat hakiki eksistensi tersebut juga merupakan
titik dasar berbagai pluralitas, seperti ditandaskan oleh Thabathaba’i dalam
Nihayah al-Hikmah ketika membahas gradasi eksistensi eksternal.

Menurut Thabathaba’i, sifat-sifat hakiki identik dengan eksistensi in


concreto yang dengan demikian eksistensi dan sifat-sifat hakikinya tidak
mungkin memiliki kewujudan di mental seperti ISL. Pun tidak mungkin jika
objek-objek ISF eksis di mental seperti intelijibilitas primer, sebab akan
berimplikasi pada ‘terbaliknya hakikat’ atau inqilab. Dengan demikian,
hukum bagi ISF adalah “keberlakuan” hanya pada mental, sedangkan
“kualifikasinya” mengacu pada realitas in concreto.

Perbedaan intelijibilitas primer dan sekunder


Bagian ini adalah pengkajian bagaimana perbedaan-perbedaan berbagai
masing intelijibilitas terjadi. Telah disinggung sedikit bahwa intelijibilitas
primer merupakan konsep-konsep universal yang eksis di pikiran sebagai
bentuk mental atas berbagai kuiditas. Hal lainnya pula mengenai
intelijibilitas primer adalah konsep universal yang ketika berbagai
ekstensinya eksis di eksternal maka ia memiliki efek, sedangkan ketika eksis
di mental ia tidak memiliki efek eksternal melainkan efek mental.

Intelijibilitas primer, yang mana ia adalah gambaran kuiditas sesuatu,


berbeda dari, misalnya, konsep spesies (nau). Sebab, spesies bisa menjadi
sifat atas berbagai kuiditas, misalnya, selain manusia, sapi dan kambing juga
merupakan spesies yang berbeda satu sama lain. Lebih dari itu, jika ditilik
lebih dalam, konsep spesies per se tidaklah menggambarkan kuiditas sesuatu.
Begitupula dengan universal per se dan partikular per se.

Kemudian perbedaan intelijibilitas filosofis dengan intelijibilitas primer juga


sangat gamblang. Cara mudahnya adalah dengan membedah satu kuiditas
menjadi unsur-unsur pembentuknya yaitu yang sama saja dengan “definisi”.
Dalam setiap definisi, para filsuf selalu mengaitkan esensi dengan bagian-
4
bagian esensi itu pula, misalnya, jenus dan differensianya atau, jika tidak
ditemukan differensianya, kemungkinan dengan aksiden-aksiden khusus.

Dari cara definisi itu, ISL tidak didapatkan dalam sebuah esensi kuiditas.
Implikasinya pula ISL tidak bisa menjadi definisi atas sebuah kuiditas,
seperti manusia adalah akibat. Singkatnya, intelijibilitas primer
menggambarkan kuiditas sesuatu, sedangkan ISF selalu mengacu pada sifat-
sifat hakiki dari sesuatu atau eksistensi in concreto.

Boleh jadi, kuiditas sesuatu berbeda satu sama lain, akan tetapi memiliki
sifat eksistensi yang sama. Misalnya kuiditas A dan B sama-sama sebagai
akibat. Tapi, pada sisi lainnya dan waktu lainnya, bisa juga jika A menjadi
sebab sesuatu, sedangkan B masih sebagai akibat dari sesuatu yang lainnya.

Ciri khas dari ISF adalah konsep yang berpasang-pasangan, seperti sebab-
akibat, potensi-aktual, gerak-diam, tunggal-plural. Dari konsep yang
berpasang-pasangan itu satu entitas bisa dikualifikasi sebagai ekstensi dari
potensi sekaligus aktual. Hal yang menarik lainnya dari ISF adalah untuk
mengetahuinya tidak memerlukan definisi (hadd tamm), tapi hanya deskripsi
semata. Logikanya sangat sederhana, definisi selalu terkait dengan esensi-
esensi (dzatiyyat) sesuatu, dan ISF bukanlah esensi (kuidita), jadi ISF tidak
memiliki esensi untuk definisi konsep tersebut.

Intelijibilitas dan Kemunculannya Di pikiran

Setelah melihat karakteristik dari masing-masing intelijibilitas di atas


sekarang kita akan mendedah bagaimana intelijibilitas tersebut muncul
(dzuhur) di pikiran. Thabathaba'i melihat peristiwa ini dengan membedakan
‘pengetahuan’ dan ‘kemunculan’ pengetahuan itu sendiri. Dengan cara
demikian, kemunculan intelijibilitas di pikiran berbeda-beda begitupula cara
predikasinya yang berbeda-beda pula.

Secara mendasar berbagai perbedaan intelijibilitas tersebut dapat dilalui


dengan, pertama-tama, mengidentifikasi apa yang sebenarnya dirujuk oleh
intelijibilitas tersebut. Jika intelijibilitas primer mengacu pada batasan
sesuatu, maka intelijibilitas sekunder filosofis merujuk pada status hakiki
realitas ontologis. kemudian intelijibilitas sekunder logis hanya merujuk
pada tatanan mental semata. Berdasarkan hal-hal tersebut, maka sekarang ini

5
penentuan bagaimana cara pikiran mendapatkan kemunculan berbagai
intelijibilitas tersebut.

Banyak sarjana muslim kontemporer, khususnya dalam bidang filsafat,


mengatakan bahwa Thabathaba'i adalah seorang pencetus pertama yang
melakukan pengkajian mengenai pemilahan operasi pikiran dalam meraih
berbagai intelijibilitas tersebut. Akan tetapi, bagaimana dengan Mulla Shadra
yang secara serius turut memberikan kejelasan mengenai intelijibilitas primer
dengan intelijibilitas sekunder?

Sebenarnya apa yang dilakukan Thabathaba'i adalah melakukan penekanan


dengan mengidentifikasi intelijibilitas dari berbagai aspeknya, seperti telah
diulang-ulang di atas. Kemudian, ia juga melihat struktur operasi pikiran
dalam meraih dua intelijibilitas tersebut. Dan, yang terakhir, memudahkan
para pengkaji filsafat agar lebih tepat dalam mengindentifikasi mana konsep
kuiditatif, konsep filosofis, dan konsep logis.

Dengan alasan-alasan tersebut, Thabathaba'i memisahkan dua jenis konsep


menjadi hakiki dan i’tibari. Secera sederhana, konsep hakiki dimengerti
sebagai konsep yang riil, sedangkan konsep i’tibari sebagai konsep
abstraktif. Pengertian tersebut merujuk pada ‘keberlakuan’ dan ‘kualifikasi’
masing-masing intelijibilitas tersebut ditambah dengan perbedaan pikiran
dalam meraih masing-masing intelijibilitas tersebut.

Oleh karena perbedaan pikiran dalam meraih tersebut, kuiditas selalu eksis
dengan eksistensi eksternal yang dengannya memiliki efek spesifik
tersendiri, kemudian—jika diperbandingkan dengan realitas eksternal—ia
juga memiliki eksistensi mental yang mana tidak memiliki efek spesifik
eksternal melainkan efek-efek eksistensi mental. Pandangan ini yang disebut
oleh Thabathaba'i sebagai konsep rill (mafhum haqiqi).

Di samping itu, kuiditas kerap dipandang sebagai jembatan pikiran dengan


realitas eksternal in concreto yang dengan demikian setiap pengetahuan atas
seseorang mengenai batasan sesuatu “keberlakuan” dalam pikiran juga pada
realitas eksternal sehingga “kualifikasi” yang berlaku dapat dipandangan
sebagai ‘kesesuaian’ kuiditas pikiran dengan berbagai individu (afrad)
kuiditas tersebut.

6
Berbeda dengan ISF yang mana realitasnya adalah eksternalitas sehingga
pikiran bukanlah sebuah ranah untuk menampung realitas tersebut. Dengan
demikian, pikiran ‘menciptakan’ berbagai konsep-konsep yang
menggambarkan sifat-khas eksistensi dimana aspek kewujudannya tidak
eksis di pikiran karena—sebagaimana telah disinggung—akan
mengimplikasikan ‘terbaliknya hakikat’.

Kata ‘menciptakan’ sendiri adalah kata ganti lain dari pengetahuan fi’li atau
aktif yang merujuk pada tindakan-tindakan pikiran dengan memunculkan
intelijibilitas sekunder filosofis dan logis. Sedangkan, intelijibilitas primer
adalah pengetahuan yang bersifat infi’al atau subjek yang mengetahui hanya
menerima gambaran-gambaran mengenai kuiditas sesuatu.

Dengan alasan tersebut, maka tidaklah heran mengapa konsep-konsep


kefilsafatan atau ISF disebut sebagai konsep-konsep abstraktif atau buatan
pikiran. Meski dikatakan demikian bukan berarti ISF tidak memiliki ekstensi
yang mengada di realitas, ia adalah sifat-hakiki dari realitas ontologis. Dalam
perolehannya pun seseorang harus memiliki kejelian dan kehatia-hatian
ketika memperbandingkan satu eksistensi dengan eksistensi lainnya.
Misalnya, memperoleh konsep sebab dari api yang mana ‘panas’ adalah
akibatnya.

Nah, dari eksistensi api tersebut pikiran dapat merumuskan sebab dan akibat
yang juga nyata dalam eksistensi api tersebut. Akan tetapi, harus diingat
kembali, bahwa sebab-akibat tidak menggambarkan kuiditas api melainkan
menjelaskan sifat hakiki realitas ontologis. Maka dari itu pula, kualifikasi
konsep-konsep filosofis pada ekstensinya tidak seperti predikasi kuiditas
pada individunya melainkan dengan mengacu secara langsung kondisi
eksistensi eksternal, seperti eksistensi A adalah akibat dan juga potensi.

Begitupula dengan ISL yang mana pikiran seseorang tidak mendapatkannya


dari realitas eksternal melainkan merumuskan atau mengabstraksi konsep-
konsep universal, partikular, jenus, differensia, dan spesies secara langsung
dalam mental. Hakikat eksistensinya juga bukan pada realitas eksternal in
concreto melainkan hanya pada pikiran semata, sehingga “terjadi” dan
“kualifikasi” ISL hanya berlaku di dalam pikiran.

7
Jadi, konsep riil dan konsep abstraktif bisa dipandang dengan cara perbedaan
“keberlakuan” dan “kualifikasi” yang berbeda satu sama lain. Intelijibilitas
primer berlaku dan memiliki kualifikasi di eksternal, seperti manusia yang
memiliki individu-individunya. Kemudian, konsep-konsep filosofis ‘berlaku’
di pikiran yang disebut dengan konsep abstraktif, tapi memiliki kualifikasi di
eksternal. ISL pun hanya ‘berlaku’ dan dapat dikualifikasi dalam pikiran
semata yang dengan itu pula disebut sebagai bagian dari konsep abstraktif.

Anda mungkin juga menyukai