Definisi Combustio
Luka bakar (Combustio) adalah luka yang terjadi karena terbakar api
langsung maupun tidak langsung, juga pajanan suhu tinggi dari matahari, listrik,
maupun bahan kimia. Luka bakar karena api atau akibat tidak langsung dari api,
misalnya tersiram air panas banyak terjadi pada kecelakaan rumah tangga
(Sjamsuidajat, 2004). Luka bakar bisa berasal dari berbagai sumber, dari api,
matahari, uap, listrik, bahan kimia, dan cairan atau benda panas. Luka bakar bisa
saja hanya berupa luka ringan yang bisa diobati sendiri atau kondisi berat yang
mengancam nyawa yang membutuhkan perawatan medis yang intensif.
2. Etiologi Combustio
Luka bakar (Combustio) dapat disebabkan oleh paparan api, baik secara
langsung maupun tidak langsung. Selain itu, pajanan suhu tinggi dari matahari, listrik
maupun bahan kimia juga dapat menyebabkan luka bakar. Secara garis besar,
penyebab terjadinya luka bakar dapat dibagi menjadi:
1) Paparan api
a) Flame: Akibat kontak langsung antara jaringan dengan api terbuka, dan
menyebabkan cedera langsung ke jaringan tersebut. Api dapat membakar
pakaian terlebih dahulu baru mengenai tubuh. Serat alami memiliki
kecenderungan untuk terbakar, sedangkan serat sintetik cenderung meleleh
atau menyala dan menimbulkan cedera tambahan berupa cedera kontak.
b) Benda panas (kontak): Terjadi akibat kontak langsung dengan benda panas.
Luka bakar yang dihasilkan terbatas pada area tubuh yang mengalami
kontak. Contohnya antara lain adalah luka bakar akibat rokok dan alat-alat
seperti solder besi atau peralatan masak.
2) Scalds (air panas)
Terjadi akibat kontak dengan air panas. Semakin kental cairan dan semakin
lama waktu kontaknya, semakin besar kerusakan yang akan ditimbulkan. Luka
yang disengaja atau akibat kecelakaan dapat dibedakan berdasarkan pola luka
bakarnya. Pada kasus kecelakaan, luka umumnya menunjukkan pola percikan,
yang satu sama lain dipisahkan oleh kulit sehat. Sedangkan pada kasus yang
disengaja, luka umumnya melibatkan keseluruhan ekstremitas dalam pola
sirkumferensial dengan garis yang menandai permukaan cairan.
3) Uap panas
Terutama ditemukan di daerah industri atau akibat kecelakaan radiator mobil.
Uap panas menimbulkan cedera luas akibat kapasitas panas yang tinggi dari uap
serta dispersi oleh uap bertekanan tinggi. Apabila terjadi inhalasi, uap panas
dapat menyebabkan cedera hingga ke saluran napas distal di paru.
4) Gas panas
Inhalasi menyebabkan cedera thermal pada saluran nafas bagian atas dan
oklusi jalan nafas akibat edema.
5) Aliran listrik
Cedera timbul akibat aliran listrik yang lewat menembus jaringan tubuh.
Umumnya luka bakar mencapai kulit bagian dalam. Listrik yang menyebabkan
percikan api dan membakar pakaian dapat menyebabkan luka bakar tambahan.
6) Zat kimia (asam atau basa)
7) Radiasi
8) Sunburn sinar matahari, terapi radiasi.
3. Epidemiologi Combustio
Luka bakar karena api merupakan penyebab kematian ke-11 pada anak
berusia 1 – 9 tahun. Anak – anak beresiko tinggi terhadap kematian akibat luka
bakar, dengan prevalensi 3,9 kematian per 100.000 populasi. Luka bakar dapat
menyebabkan kecacatan seumur hidup. Di Amerika Serikat, luka bakar
menyebabkan 5000 kematian per tahun dan mengakibatkan lebih dari 50.000 pasien
di rawat inap (Kumar et al., 2007). Di Indonesia, prevalensi luka bakar sebesar 0,7%
(RISKESDAS, 2013).
Untuk menilai luas luka menggunakan metode “Rule of Nine” berdasarkan LPTT
(Luas Permukaan Tubuh Total). Luas luka bakar ditentukan untuk menentukan
kebutuhan cairan, dosis obat dan prognosis. Persentase pada orang dewasa dan
anak-anak berbeda. Pada dewasa, kepala memiliki nilai 9% dan untuk ektremitas atas
memiliki nilai masing-masing 9%. Untuk bagian tubuh anterior dan posterior serta
ekstremitas bawah memiliki nilai masing-masing 18%, yang termasuk adalah toraks,
abdomen dan punggung. Serta alat genital 1%. Sedangkan pada anak-anak
persentasenya berbeda pada kepala memiliki nilai 18% dan ektremitas bawah 14%
(Yapa, 2009).
6. Patofisiologi Combustio
Proses penyembuhan luka bakar yang kemudian pada jaringan rusak ini
adalah penyembuhan luka yang dapat dibagi dalam 3 fase:
1) Fase inflamasi
Fase yang berentang dari terjadinya luka bakar sampai 3-4 hari pasca luka
bakar. Dalam fase ini terjadi perubahan vaskuler dan proliferasi seluler. Daerah
luka mengalami agregasi trombosit dan mengeluarkan serotonin, mulai timbul
epitelisasi.
2) Fase proliferasi
Fase proliferasi disebut fase fibroplasia karena yang terjadi proses proliferasi
fibroblast. Fase ini berlangsung sampai minggu ketiga. Pada fase proliferasi luka
dipenuhi sel radang, fibroplasia dan kolagen, membentuk jaringan berwarna
kemerahan dengan permukaan berbenjol halus yang disebut granulasi. Epitel
tepi luka yang terdiri dari sel basal terlepas dari dasar dan mengisi permukaan
luka, tempatnya diisi sel baru dari proses mitosis, proses migrasi terjadi ke arah
yang lebih rendah atau datar. Proses fibroplasia akan berhenti dan mulailah
proses pematangan.
3) Fase maturasi
Terjadi proses pematangan kolagen. Pada fase ini terjadi pula penurunan
aktivitas seluler dan vaskuler, berlangsung hingga 8 bulan sampai lebih dari 1
tahun dan berakhir jika sudah tidak ada tanda-tanda radang. Bentuk akhir dari
fase ini berupa jaringan parut yang berwarna pucat, tipis, lemas tanpa rasa nyeri
atau gatal.
Luka bakar memiliki tanda dan gejala tergantung derajat keparahan dari luka
bakar tersebut, yaitu :
a) Derajat I : Kemerahan pada kulit (Erythema), terjadi pembengkakan hanya
pada lapisan atas kulit ari (Stratum Corneum), terasa sakit, merah dan
bengkak.
b) Derajat II : Melepuh (Bullosa) pembengkakan sampai pada lapisan kulit ari,
luka nyeri, edema, terdapat gelembung berisi cairan kuning bersih (eksudat).
c) Derajat III : Luka tampak hitam keputih-putihan (Escarotica), kulit terbuka
dengan lemak yang terlihat, edema, tidak mumcat dengan tekanan, tidak
nyeri, folikel rambut dan kelenjar keringat rusak.
d) Derajat IV : Luka bakar sudah sampai pada jaringan ikat atau lebih dari kulit
ari dan kulit jangat sudah terbakar.
9. Penatalaksanaan Combustio
a) Penatalaksanaan Medis
Pemberian antibiotik
Pemberian antibiotik secara umum dibedakan atas dua jenis, yaitu antibiotik
profilaksis dan terapeutik.
1. Antibiotikaprofilaksis pada luka bakar
Secara umum yang dimaksud dengan pemberian antibiotic profilaksis
adalah pemberian antibiotik sistemik bertujuan mencegah
berkembangnya infeksi sebelum melakukan sayatan tindakan
pembedahan atau prosedur invasif lainnya. Antibiotik diberikan melalui
jalur intravena 30 menit sebelum tindakan untuk satu kali pemberian
(single dose). Jenis antibiotik yang diberikan didasari atas pola bakteri
yang didasari atas pola bakteri yang paling sering menimbulkan infeksi di
rumah sakit pada kurun waktu tertentu.
2. Antibiotik teraupetik pada luka bakar
Pemberian antibiotik sistemik yang ditujukan mengatasi infeksi yang
timbul. Pemilihan jenis antibiotik dilakukan berdasarkan hasil kultur
mikroorganisme penyebab infeksi dan memiliki sensitivitas terhadap
mikroorganisme penye-bab. Pemberiannya diberikan sesuai dosis lazim.
Amputasi
Menurut Hudak dan Gallo (1996), indikasi amputasi apabila terdapat :
a) Cedera otot masif akibat elektric injury disertai mioglobin pada urin yang
gagal berespon terhadap resusitasi cairan dan pemberian diuretik kuat
serta manitol.
b) Keropeng dengan perlemahan status vaskuler dengan nekrosis iskemik.
c) Infeksi yang meluas hingga mengenai sebagian besar anggota gerak.
Tindakan Bedah
Tindakan bedah selanjutnya pada penderita LB yang dapat melewati fase
aktif adalah eksisi dan penutupan luka. Hal ini sangat penting bila ingin
menghindarkan kematian oleh sepsis dan akibat-akibat hipermetabolisme yang
sulit diatasi. Eksisi eskar dilakukan secara tangensial. Seluruh jaringan nekrotik
dibuang, bila perlu sampai fascia atau lebih dalam. Keuntungan eksisi eskar dan
penutupan luka yang dini adalah :
1. Keadaan umum cepat membaik.
2. Jaringan nekrotik sebagai media tumbuh bakteri dihilangkan.
3. Penyembuhan luka menjadi lebih pendek bila dilakukan skin graft.
4. Timbulnya jaringan parut dan kontraktur dikurangi.
5. Sensitivitas lebih baik.
b) Penatalaksanaan Keperawatan
2) Breathing
Menurut Moenadjat (2009), pastikan pernapasan adekuat dengan :
a. Pemberian oksigen
Oksigen diberikan 2-4 L/menit adalah memadai. Bila sekret banyak
dapat ditambah menjadi 4-6 L/menit. Dosis ini sudah mencukupi,
penderita trauma inhalasi mengalami gangguan aliran masuk (input)
oksigen karena patologi jalan napas, bukan karena kekurangan
oksigen. Hindari pemberian oksigen tinggi (>10 L/mnt) atau dengan
tekanan karena akan menyebabkan hiperoksia (dan barotrauma)
yang diikuti terjadinya stres oksidatif.
b. Humidifikasi
Oksigen diberikan bersama uap air. Tujuan pemberian uap air adalah
untuk mengencerkan sekret kental (agar mudah dikeluarkan) dan
meredam proses inflamasi mukosa.
c. Terapi inhalasi
Terapi inhalasi menggunakan nebulizer efektif bila dihembuskan
melalui pipa endotrakea atau krikotiroidek-tomi. Prosedur ini
dikerjakan pada kasus trauma inhalasi akibat uap gas atau sisa
pembakaran bahan kimia yang bersifat toksik terhadap mukosa.
Dasarnya adalah untuk mengatasi bronko konstriksi yang potensial
terjadi akibat zat kimia. Gejala hipersekresi diatasi dengan pemberian
atropin sulfas dan mengatasi proses infalamasi akut menggunakan
steroid.
d. Lavase bronkoalveolar
Prosedur lavase bronkoalveolar lebih dapat diandalkan untuk
mengatasi permasalahan yang timbul pada mukosa jalan napas
dibandingkan tindakan humidifier atau nebulizer. Sumbatan oleh
sekret yang melekat erat (mucusplug) dapat dilepas dan dikeluarkan.
Prosedur ini dikerjakan menggunakan metode endoskopik
(bronkoskopik) dan merupakan gold standart. Selain bertujuan
terapeutik, tindakan ini merupakan prosedur diagnostik untuk
melakukan evaluasi jalan napas.
e. Rehabilitasi pernapasan
Proses rehabilitasi sistem pernapasan dimulai seawal mungkin.
Beberapa prosedur rehabilitasi yang dapat dilakukan sejak fase akut
antara lain : Pengaturan posisi, Melatih reflek batuk, Melatih otot-otot
pernapasan.Prosedur ini awalnya dilakukan secara pasif kemudian
dilakukan secara aktif saat hemodinamik stabil dan pasien sudah
lebih kooperatif.
f. Penggunaan ventilator
Penggunaan ventilator diperlukan pada kasus-kasus dengan
distresparpernapasan secara bermakna memperbaiki fungsi sistem
pernapasan dengan positive end-expiratory pressure (PEEP) dan
volume kontrol.
3) Circulation
Penanganan sirkulasi dilakukan dengan pemasangan IV line dengan kateter
yang cukup besar, dianjurkan untuk pemasangan CVP untuk
mempertahankan volume sirkulasi. Pemasangan infus intravena atau IV line
dengan 2 jalur menggunakan jarum atau kateter yang besar minimal no. 18,
Hal ini penting untuk keperluan resusitasi dan tranfusi, dianjurkan
pemasangan CVP. CVP (Central Venous Pressure) merupakan perangkat
untuk memasukkan cairan, nutrisi parenteral, dan merupakan parameter
dalam menggambarkan informasi volume cairan yang ada dalam sirkulasi.
Secara sederhana, penurunan CVP terjadi pada kondisi hipovolemia.
A. Aziz Alimul Hidayat.(2008). Keterampilan Dasar Praktik Klinik Cetakan II. Jakarta :
Salemba Mardika.
Balitbang Kemenkes RI. 2013. Riset Kesehatan Dasar; RISKESDAS. Jakarta: Balitbang
Kemenkes RI
Cecily Lynn Betz & Linda A. Sowden. 2009. Buku Saku Keperawatan Pediatri ed 5. Jakarta :
EGC
Corwin, Elisabeth J. 2009. Buku Saku Patofisiologi Corwin. Jakarta : EGC
Effendi, C. 2005. Perawatan Pasien Luka Bakar. Jakarta: EGC
Herdman, Heater. 2012. Nursing Diagnoses Definition and Classification 2012- 2014.
Jakarta : EGC
Kumar, V., Cotran, R.S., dan Robbins S.L. 2007. Buku Ajar Patologi. Edisi 7; ali Bahasa,
Brahm U, Pendt ;editor Bahasa Indonesia, Huriawati Hartanto, Nurwany Darmaniah,
Nanda Wulandari.-ed.7-Jakarta: EGC.
Moenadjat Y. 2009. Luka bakar masalah dan tata laksana. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Hlm 90-110.
Nurarif & Kusuma. 2013. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis dan
NANDA NIC-NOC. Yogyakarta: MediAction
Sjamsuhidajat & de jong. 2010. Buku Ajar Ilmu Bedah.Jakarta: EGC
Sjamsuhidayat R, Wim de Jong, 2004.Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi 2, Jakarta : EGC
Smeltzer, Suzanne C, Bare, Brenda G. 2008. Keperawatan Medikal-Bedah Edisi 8. Jakarta :
EGC.
Yapa KS. 2009. Management of burns in the community. United Kingdom. Wounds. 5:8-48