Anda di halaman 1dari 4

Bagaimana Forensik Mengungkap Jejak Kematian Mr.

X 15 April 2014 22:25:52 Diperbarui: 23 Juni


2015 23:38:54 Dibaca : 718 Komentar : 0 Nilai : 0 Catatan Penting: Artikel ini mengandung paparan
informasi yang mungkin membuat sebagian pembaca merasa tidak nyaman. Sehingga penulis
menyarankan bagi para pembaca yang memang tidak nyaman dengan informasi yang berkaitan
dengan peristiwa kriminal dan kecelakaan agar TIDAK membaca artikel ini. Artikel ini ditulis dengan
maksud hanya sekedar untuk menambah pengetahuan dan wawasan saja, tanpa ada maksud
apapun untuk membuat ketidaknyaman. Terima kasih dan mohon maaf sebelumnya. Kematian
terjadi setiap saat dalam kehidupan manusia di dunia ini melalui berbagai macam sebab dan
caranya. Sakit, kecelakaan, pembunuhan, bunuh diri, usia tua, dan sebagainya, merupakan
beberapa bentuk penyebab kematian seseorang. Kasus kematian ada yang terungkap dan ada
yang belum terungkap. Kematian yang belum terungkap dinamakan kematian misterius. Pada kasus
kematian misterius inilah bidang forensik memegang peran yang sangat vital. Kematian misterius
dibedakan menjadi beberapa kategori berdasarkan sebab-sebabnya. Pertama, kematian misterius
karena mayat tidak dapat diidentifikasi, atau biasa dikenal sebagai Mr. X. Kedua, kematian misterius
karena penyebab kematian yang belum jelas. Ketiga, kematian misterius dengan penyebab
kematian sudah jelas, tetapi belum dapat dipastikan apakah termasuk dalam peristiwa kematian
normal, kecelakaan, atau akibat kejahatan. Keempat, kematian misterius dengan latar belakang
kasus yang belum jelas, dibunuh atau bunuh diri. Kelima, kematian misterius dengan penyebab
kematian yang sudah jelas, tetap motif dan pelakunya belum diketahui. Pada proses investigasi
kematian misterius, data antemortem, data perimortem, dan data postmortem memegang peranan
vital untuk dapat mengungkap kasus kematian tersebut. Antemortem. Data antemortem adalah data
yang dikumpulkan berdasarkan segala bentuk catatan atas diri korban semasa hidup. Data ini
mencakup : § ciri fisik, meliputi warna mata, warna rambut, warna kulit, ras/kebangsaan, tinggi
badan, berat badan, dan ciri khusus pada anggota tubuh seperti tanda lahir, kemudian juga foto diri,
identitas diri, dan sidik jari; § riwayat medis, yaitu seluruh catatan yang berhubungan dengan
tindakan medis atau laporan medis yang pernah dibuat, seperti riwayat penyakit, catatan operasi
bila ada, golongan darah, dan hasil test DNA apabila pernah dibuat; § rekaman gigi, yaitu mencakup
segala rekaman mengenai riwayat sakit gigi, cetakan gigi bila ada dan pernah dibuat, riwayat
pembedahan gigi, dan catatan morfologi gigi semasa hidup. Sayangnya, banyak orang Indonesia
belum memiliki rekaman gigi karena jarang atau tidak pernah pergi ke dokter gigi apabila tidak
menderita sakit gigi yang parah dan tidak membuat rekaman gigi. Sehingga akan menyulitkan
perolehan data ketika terjadi peristiwa darurat yang memerlukan rekaman gigi, seperti untuk
keperluan identifikasi jenazah; § segala barang milik korban atau yang diduga sebagai milik korban
semasa hidup, terutama yang ditemukan di TKP (Tempat Kejadian Perkara). Secara umum data
antemortem selain digunakan untuk mengidentifikasi jenazah, juga digunakan untuk kepentingan
penyelidikan perkara kriminal serta untuk keperluan crosscheck dengan data hasil autopsi pada
tahap selanjutnya. Perimortem. Data perimortem merupakan segala jenis data dan informasi yang
diperoleh pada interval waktu sekitar kematian. Data ini mencakup peristiwa apa saja yang
berlangsung di sekitar atau menjelang waktu kematian, siapa saja saksi kunci (pihak-pihak yang
berada atau diduga kuat berada di TKP pada sekitar waktu kejadian perkara atau yang diduga kuat
mengetahui kronologi peristiwa kematian). Postmortem. Data postmortem merupakan segala
macam data dan informasi atas diri korban pasca meninggal dunia dan catatan medis korban pasca
meninggal dunia. Data ini dapat diperoleh melalui autopsi, identifikasi rangka, maupun investigasi
forensik oleh ahli forensik. Sebelum melalui tahap autopsi, apabila jenazah belum ditemukan, maka
akan diusahakan untuk mengetahui posisi jenazah terlebih dahulu dengan menyisir lokasi-lokasi
pada radius tertentu yang diduga kuat merupakan lokasi di mana jenazah berada. Secara kasat
mata, terdapat perbedaan mencolok antara kondisi tanah dan morfologi lingkungan dimana lokasi
tersebut merupakan titik lokasi di mana jenazah ditanam, apabila dibandingkan dengan kondisi
tanah dan lingkungan normal yang tidak terdapat jenazah. Apabila jenazah masih baru dikubur/
ditanam, maka permukaan tanahnya akan lebih tinggi dari permukaan tanah di sekitarnya. Kontur
tanahnya juga tidak terlalu padat. Selain itu warna tanahnya cenderung berbeda dengan warna
tanah di sekitarnya. Ini diakibatkan oleh bekas galian. Biasanya kondisi tanah yang seperti itu masih
disertai tanda adanya kerusakan vegetasi di sekeliling lokasi tempat jenazah ditanam. Pada contoh
kasus peristiwa kriminal, karena jenazah dikuburkan secara terburu-buru, maka seringkali lubang
galian yang dibuat tidak cukup dalam. Ini menyebabkan bau busuk dari proses dekomposisi badan
jenazah keluar dari dalam tanah menuju ruang udara di sekitar lokasi penguburan. Selain itu,
semakin lama akan terbentuk cekungan pada bagian tengah kuburan akibat dari proses
pembusukan isi perut jenazah (dalam hal ini karena proses pembusukan, maka isi perut jenazah
perlahan-lahan akan hilang). Tanah kuburan yang cekung ke dalam pada bagian perut jenazah
dinamakan lekukan sekunder, dan biasanya dapat ditemukan pada kuburan dengan kedalaman
kurang dari 1 meter. Selain metode di atas, terdapat lima metode lain yang dapat digunakan untuk
mendeteksi adanya jenazah yang dikuburkan pada suatu areal tanah. Pertama, melalui analisis
tanah, yaitu dengan melihat tekstur tanah dan mengukur pH tanah. Pada tanah yang di situ terjadi
proses dekomposisi jenazah, maka pH tanah akan cenderung menjadi lebih basa dibandingkan
dengan tanah di sekitarnya. Kedua, dengan mendeteksi adanya gas menggunakan detektor gas.
Pada proses pembusukannya, tubuh jenazah akan mengeluarkan berbagai gas seperti H2S yang
akan terdeteksi oleh alat detektor. Ketiga, melalui metode probing, yaitu dengan mendeteksi segala
bentuk perubahan yang terjadi pada tekstur tanah. Keempat, dengan menggunakan metode deteksi
jenazah melalui pengambilan sampel tanah untuk dianalisis kendungan dan komposisi tanahnya.
Kelima, menggunakan metode stratigrafi, yaitu dengan cara memperhatikan segala bentuk
gangguan yang terjadi pada susunan alami horizon-horizon tanahnya. Selanjutnya, ketika jenazah
sudah ditemukan, maka harus dilakukan penandaan. Apabila bagian-bagian tubuhnya sudah tidak
utuh lagi atau sudah tercerai berai, maka penandaan dan pengumpulan dilakukan berdasarkan
klasifikasi bagian-bagian tubuh jenazah. Kemudian bagian tubuh atau bagian rangka yang
ditemukan diberi label dan penomoran dengan menggunakan tinta China, termasuk juga
pengambilan sidik jari apabila masih bisa dilakukan. Selanjutnya adalah proses autopsi. Autopsi
dilakukan untuk mengetahui penyebab kematian korban serta interval waktu seseorang meninggal
dunia. Ketika seseorang sudah meninggal, maka suhu badannya akan menurun sebesar 1˚C setiap
jamnya. Sehingga pada interval kematian yang sudah beberapa jam, maka tubuh jenazah akan
menjadi kaku. Di sini, terdapat pula suatu tanda yang menunjukkan bahwa seseorang itu sudah
meninggal dunia. Tanda ini sering disalahartikan oleh orang awam sebagai sebuah tanda
kekerasan. Akibatnya, sering timbul kesalahpahaman karena orang sering menduga bahwa si
jenazah mengalami tindakan kekerasan atau penganiayaan sebelum meninggal dunia. Tanda ini
biasa dikenal sebagai lebam mayat. Secara normal, apabila seseorang diduga sudah meninggal
dunia, kemudian tubuhnya sudah mengeluarkan lebam mayat ini, maka dapat dipastikan 100%
bahwa orang tersebut memang benar-benar telah meninggal dunia. Lebam ini berwarna kebiru-
biruan, sehingga secara sekilas memiliki morfologi yang mirip dengan lebam akibat luka
penganiayaan. Namun, secara medis sangat berbeda. Karena lebam mayat merupakan reaksi
normal tubuh manusia setelah mengalami fase kematian. Di sinilah perlunya autopsi forensik untuk
mengetahui apakah lebam tersebut berasal dari luka akibat penganiayaan (tindak kriminal) ataukah
memang lebam mayat. Pasca kematian, tubuh jenazah akan mengalami proteolisis (pelarutan
protein) dalam badannya. Proses ini disertai dengan proses pembusukan oleh bakteri pada organ-
organnya. Pada proses pembusukan, tubuh jenazah akan mengeluarkan gas H2S yang berbau
sangat menyengat dan juga merupakan zat manis. Pada proses dekomposisi (penguraian) awal,
tubuh jenazah akan memproduksi zat asam yang berasal dari dekomposisi gula dalam badan
jenazah yang mulai lengket atau basah. Pada proses dekomposisi lebih lanjut, badan mayat akan
memiliki pH yang cenderung basa akibat terurai dan hancurnya jaringan-jaringan albumin dalam
badan, sehingga menyebabkan tingginya kandungan zat alkalin (penyebab pH basa). Zat-zat kimia
yang terbentuk pada proses pembusukan jenazah akan mengundang datangnya serangga dan
parasit. Karena serangga atau parasit tertentu bereaksi secara spesifik terhadap zat-zat tertentu
yang dikeluarkan oleh tubuh jenazah sesuai dengan tahap pembusukannya. Sehingga dengan
mengidentifikasi jenis serangga atau parasitnya, maka interval waktu kematian seseorang dapat
ditentukan. Namun yang perlu dicatat adalah tahap pembusukan pada jaringan lunak belum tentu
dapat dipergunakan untuk menentukan interval waktu kematian seseorang, karena proses
pembusukan jenazah juga dipengaruhi oleh faktor alam dan buatan. Faktor alam yang
mempengaruhi proses pembusukan jenazah adalah iklim, serangga, kondisi tanah, serta lokasi/
tempat penguburan. Jenazah akan lebih awet pada kondisi tanah kering dan berpasir dengan pH
basa disertai dengan iklim udara yang dingin. Mumifikasi alami akan terjadi pada dua keadaan
ekstrem, yaitu jenazah yang berada pada daerah bersalju dengan iklim sangat dingin, serta jenazah
yang berada pada daerah padang pasir dengan suhu ekstrem panas. Sebaliknya, jenazah akan
cepat rusak apabila berada pada daerah dengan iklim tropis panas dengan kondisi tanah
berlempung dan kondisi udara yang lembab. Sedangkan faktor buatan yang mempengaruhi cepat
lambatnya waktu pembusukan jenazah adalah jenis peti mati yang digunakan, ada atau tidaknya
pakaian yang menutupi tubuh jenazah, dan ada atau tidaknya proses pembalsaman (mumifikasi
buatan). Autopsi akan mengungkap banyak hal mengenai penyebab kematian serta interval waktu
kematian. Sebagai contoh, kematian akibat peristiwa kebakaran akan berbeda hasilnya di tangan
ahli forensik karena perbedaan sebab kematian. Kematian yang disebabkan oleh peristiwa
kebakaran dari ledakan kompor dan oleh api rumah tangga biasanya tidak akan sampai meloloskan
tulang antar sendi, tidak menghancurkan tulang sampai menjadi abu, serta kadang tidak sampai
menyebabkan hilangnya rambut pada korban. Ini karena suhu yang tidak terlampau tinggi. Berbeda
halnya dengan kematian akibat ledakan bom atau bahan peledak lain seperti thermite, yang dapat
melakukan pembakaran pada suhu mencapai 4000˚F. Pada suhu ini, logam baja dapat dibuat
meleleh lebih cepat (tidak sampai hitungan jam). Efek ledakan thermite juga sangat dahsyat karena
dapat mengoyakkan struktur rangka baja pada bangunan bertingkat. Apabila ledakan thermite
mengenai tubuh manusia, ledakan tersebut dapat menghancurkan seluruh bagian tubuh, termasuk
tulang. Sehingga apabila kematian korban disebabkan oleh ledakan thermite atau bahan peledak
sejenis lainnya, maka dapat dipastikan bahwa organ-organ tubuhnya akan tercerai berai dan bahkan
menjadi abu! Contoh lainnya, pada kasus jenazah dengan tubuh yang sudah tidak utuh lagi, bisa
berbeda sebabnya di tangan ahli forensik. Pada jenazah tidak utuh, misalnya pada kasus jenazah
dengan kepala terpenggal akibat ledakan bom atau peristiwa kecelakaan, maka secara morfologi,
alur penggalan kepala tersebut tidak teratur, tidak memiliki sudut yang teratur, serta bagian-bagian
dagingnya akan cenderung terpotong mengikuti otot atau konstruksi jaringannya. Berbeda halnya
pada kasus jenazah dengan kepala terpenggal akibat dilakukan secara sengaja dengan senjata
tajam, maka alur penggalannya akan teratur dan memiliki sudut-sudut yang teratur akibat sayatan
berulang. Pada saat data antemortem sudah terkumpul untuk dicocokkan dengan jenazah, maka
identifikasi identitas jenazah akan lebih mudah ditetapkan. Selanjutnya, apabila seluruh data
postmortem sudah terkumpul dan sudah dianalisis secara akurat, maka penyebab kematian dan
interval waktu kematian akan diketahui dengan jelas. Selanjutnya, apabila kedua data, yaitu
antemortem dan postmortem digabungkan dengan data perimortem, maka akan diketahui
identifikasi identitas jenazah, penyebab kematian, latar belakang atau motif kasus, dan dugaan
mengenai siapa saja yang berkaitan dengan kematian korban. Sehingga, kemungkinan besar kasus
kematian yang sebelumnya misterius dapat terungkap menjadi kasus kematian yang bukan misteri
lagi. Referensi : Ilmu kedokteran Forensik. Balai Penerbit FKUI. 1997. Jakarta Mirna Aulia
/raniazahra TERVERIFIKASI Hanya seorang musafir. Generasi anak SD era 80-an. BUKAN
pengguna Facebook. BUKAN pengguna Twitter.
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/raniazahra/bagaimana-forensik-mengungkap-jejak-
kematian-mr-x_54f7958ca333112b6f8b47ae

Anda mungkin juga menyukai