Anda di halaman 1dari 4

Syndrome Hadroh

Namaku Bhia. Lengkapnya Adhwa Abhia Alayya. Aku dari Jakarta. Kehidupan
sehari hariku hanya ditemani hp dan teman-teman. Serta jalan-jalan malam bersama
teman-temanku yang rata rata laki laki. Itu sudah menjadi rutinitasku sehari hari. Aku
merasakan kehidupan yang bebas dan merdeka. Seperti surga. Yah, aku akui aku
memang anak bandel. Tepatnya anak jalanan. Namun kehidupanku berubah. Berubah
360 derajat. Setelah lulus SMP, orangtuaku menyekolahkanku di tempat yang begitu
asing di fikiranku. Tak pernah terfikir anak jalanan sepertiku bias berada ditempat
yang biasa disebut”Pesantren”.

Disinilah petualangan hidupku dimulai. Aku merasa agak aneh dengan


peraturan disini. Yang harus memkai ikat kepalalah(yang sebelumya aku tak pernah
menjumpainya), yang memakai rok panjanglah(yang sebelumnya aku selalu memakai
celana pendek), dan tak boleh membawa hp(ini yang membuatku tersiksa). Disini, aku
meninggalkan semua yang pernah aku lakukan dulu. Tapi karena aku melihat bahwa
sebagian besar keluarga dari ayahku mondok dan sukses, aku berfikir ulang. Tak ada
salahnya mencoba. Siapa tahu aku juga sukses seperti mereka.

Pada awal-awal masuk, aku seperti anak ndeso yang tak tahu apa-apa tentang
dunia perpondokan. Padahal sebelumnya aku anak gaul yang selalu update . aku juga
masih merasa rishi dengan gamis dan jilbab syar’i yang aku kenakan. Seminggu, dua
minggu, tiga minggu. Aku mulai merasa jenuh berada disini. Rutinitasnya selalu
sama. Sehabis sekolah hanya diisi mengaji, mengaji, mengaji daaaannn… mengaji.
Aku capek. Untung saja ada kursus Bahasa Inggris di sini. Jadi, aku sedikit terhibur.
Aku bahkan pernah berfikir untuk keluar sejenak dari sini. Sayangnya, peraturan
disini lumayan ketat. Uh, sudahlah.
Akhirnya pada suatu malam, aku nekat untuk keluar. Tepat sebelum mengaji
kelas diniyyah terpisah jauh. Kelas diniyyah berada di lantai 3, sedangkan kamar
mandi berada di lantai 1 dan 2, dekat dengan kamar mandi.

Aksiku berjalan lancer. Sangat lancar malah. Lantai 1 dan 2 sudah sangat sepi
karena penghuninya mengaji, jadi aku bisa berjalan dengan aman. Cara ini memang
sudah kufikirkan sejak pagi tadi. Aku langsung menuju kamar dan mengambil tas
kecilku dan berjalan pelan agar tak menimbulkan suara.

Baiklah, ini adalah keputusan terkonyolkuku. Tapi aku benar benar jenuh disini.
Saat langkahkusudah semakin jauh, aku berhenti sejenak. Aku bisa mendengar seperti
suara musik dari kejauhan. Karena penasaran, akhirnya aku mengikuti arah sumber
suara. Aku terdiam setelah melihatnya. Variasi suara alat musik yang indah. Aku
berdiri sambal termangu menatap sumber suara. Itu apa sih?, batinku.

Sejenak aku melupakan niatku dari awal. Aku begitu terhanyut iram musik.
Aku tak tahu itu music apa. Tapi aku menebak itu pasti sholawat. Saking khusyuknya
sampai aku tak sadar jika malam itu aku bernasib buruk. Dua orang santri putra yang
menjadi petugas keamanan memergokiku. Selesai sudah. Aku begitu terkejut dengan
kedatangan mereka. Aku berusaha kabur. Tapi, rupanya mereka cukup cerdik
mengetahui keberadaanku. Dan beberapa argumenku pun dengan argumen maut
mereka. Usai sudah segalanya.

Akhirnya aku diantar pulang ke pondok. Aku harus menahan malu karena di
ta’zir berdiri didepan pondok putra pada keesokan harinya. Ah, aku berjanji tak akan
mengulangi lagi. Tapi, pikiranku berkecamuk. Sejak malam itu, aku terus musik yang
indah itu. Aku belum pernah mendengar sebelumnya. Dan kutahu dari temanku
ternyata namanya “hadroh”. Memang alat musiknya sangat sederhana. Tapi, entah
kenapa aku begitu menyukainya bahkan tergila gila dengan hadroh. Dan karena
hadrohnya pula yang mengantarkanku pada sebuah peristiwa yang luar biasa bagiku.

Hingga satu tahun berlalu. Aku sudah mulai terbiasa hidup disini. Meskipun
setiap hari selalu sama. Mengaji, mengaji, mengaji, daaaaannnn…. Mengaji.
Alhamdulillah semua itu berhasil kulewati dengan ikhlas. Terlebih jika jenuh, aku
biasa menyetel sholawat di musicbox. Untunglah, di pondokku membolehkannya.

Dan yang membuatku begitu terpukau adalah alat musik bass dan darbuka.
Sangat keren, menurutku. Bahkan aku pun memiliki cita-cita setelah sekian lamaaku
tak pernah memikirkannya. Aku ingin menjadi pemain bass hadroh. Wah… wah…
aku tak bisa membayangkan jika mimpi itu terwujud. Tapi, aku sedikit kecewa, karena
disini pemain hadroh semuanya laki-laki. Tak ada yang perempuan. Yaaaahhh….
Sayang sekali, padahal aku ingin sekali menjadi pemain bass hadroh.

Kini, aku memiliki kebiasaan baru yang entah kenapa tak bisa kutinggalkan.
Yaitu memukul benda apa saja yang berada disekitarku. Dimanapun, kapanpun, aku
selalu berlatih bass dengan memukul benda apa saja.

Pernah suatu ketika aku sedang mencuci baju. Setelah selesai membilas, seperti
biasa tanganku tak bisa diajak kompromi. Alhasil, ember temanku menjauh sasaran.

“Bhia! Kamu make emberku ya?”, tanya Ningsih yang tiba-tiba muncul. Sontak
membuatku terkejut.

“Iya Ning. Aku pinjem bentar ya?”, pintaku.

“Yaudah, nanti balikin ya! Soalnya mau tak pake juga”, kata Ningsih yang
sudah hafal betul dengan kebiasaanku.
“Aman!”, jawabku sambal mengacungkan jempol. Ningsih segera berlalu.
Meninggalkanku yang masih tenggelam dalam duniaku. Sibuk memukul dengan kayu
berukuran sedang yang biasanya dipakai untuk mengambil hanger.

Tapi, pukulanku yang Maha Heboh membuat sejarah baru. Kayu yang
kugunakan untuk memukul seketika menerobos menembus ember temanku. Dan itu
berarti embernya bolong. Oh tidak! EMBERNYAAA…!!! Aduh bagaimana ini? Apa
pukulanku terlalu kuat, ya? Aaaaarrrggghhhtttt….!! Pikiranku kacau. Aku panik.
Waduh, aku harus bilang apa pada Ningsih.

Anda mungkin juga menyukai