Infeksi konjungtivitis akut merupakan suatu keadaan yang umum. Meskipun pada
beberapa kasus konjungtivitis viral maupun bakterial dapat dibedakan berdasarkan
gejala klinis yang muncul, keduanya tidak selalu mudah untuk dibedakan satu
sama lain. Oleh karena itu, tidak mengherankan bahwa pada sebagian besar pasien
yang diteliti, agen etiologi adalah adenovirus. Meskipun agen antibakterial tidak
akan diindikasikan pada kasus konjungtivitis viral, karena kesulitan dalam
membedakan penyebab bakteri dan virus, tidak masuk akal untuk meresepkan
antimikroba spektrum luas sebelum memperoleh hasil kultur. Oleh karena itu,
perlu dicatat bahwa walaupun resep kloramfenikol telah turun, penggunaannya
telah meningkat karena ketersediaannya di beberapa tempat.
Pada beberapa infeksi non-okuler, penggunaan antimikroba yang
berlebihan dan tidak sesuai telah mendorong ke keadaan peningkatan organisme
resisten10 dan pengawasan terhadap suseptibilitas dan resistensi terhadap
antimikroba penting untuk dilakukan. Oleh karena itu, sangat menarik bahwa
selama periode penelitian tidak ada bukti peningkatan resistensi antimikroba
terhadap antimikroba topikal yang biasa diresepkan. Breakpoints BSAC yang
digunakan untuk pengujian kerentanan diturunkan untuk antimikroba yang
diberikan secara sistemik. Oleh karena itu, diperlukan untuk menginterpretasikan
pola resistensi terhadap agen yang diaplikasikan secara topikal. Meskipun model
untuk breakpoint topikal untuk kasus keratitis saat ini telah tersedia,11 tidak ada
breakpoint interpretatif untuk antimikroba topikal untuk kasus konjungtivitis.
Berdasarkan breakpoint sistemik, resistensi terhadap kloramfenikol dinilai
stabil sejak tahun 2005 ketika kloramfenikol tersebar luas di pasaran. Di antara
bakteri gram positif, sensitivitas terhadap kloramfenikol masih cukup tinggi.
Dibandingkan dengan agen antibakteri topikal lainnya, kloramfenikol dinilai
sangat baik dalam hal penetrasi intraocular melalui pemberian secara topikal.12
Hal ini mirip dengan studi penelitian dari Amerika Serikat yang telah
dilaporkan,5,6 S. aureus merupakan organisme yang paling umum ditemukan
menjadi agen etiologi infeksi. Prevalensi terhadap methicillin-resistant S. aureus
(MRSA) lebih rendah dibandingkan yang dilaporkan di Jepang13 dan Amerika
Serikat5,6 serta angkanya berkurang secara signifikan selama periode waktu
penelitian ini. Penurunan infeksi MRSA selama periode waktu ini telah
ditunjukkan melalui infeksi lainnya,14 dan hal ini telah dikaitkan dengan
peningkatan skrining dan dekolonisasi pasien dengan MRSA dalam beberapa
tahun terakhir.
Keterbatasan dari penelitian ini adalah adalah tingkat isolasi positif-
rendah. Studi penelitian lainnya telah menunjukkan tingkat variabel dari isolat
positif,15 dan ada satu studi penelitian yang memiliki tingkat isolasi yang mirip
dengan penelitian ini (15,8%),16 Perbedaan ini mungkin dapat dijelaskan melalusi
inklusi semua bakteri yang terisolasi pada beberapa peneliian dibandingkan
dengan bakteri pathogen saja. Sebagai tambahan, tingkat isolasi pada penelitian
ini kemungkinan lebih rendah dikarenakan swab diambil dari semua pasien
dengan dugaan konjungtivitis. termasuk mereka yang mengalami konjungtivitis
viral. Banyak pasien hadir setelah mereka telah memulai perawatan antibiotik
topikal, dimana hal ini mungkin telah mengurangi tingkat isolasi positif.
Meskipun kloramfenikol masih menjadi terapi yang dapat diandalkan
terhadap konjungtivitis bakterial, khususnya untuk kasus konjungtivitis Gram
positif, kloramfenikol ini sendiri tidak boleh digunakan jika pasien mengunakan
lensa kontak atau jika Pseudomonas aeruginosa dicurigai terlibat sebagai agen
infeksi.
Meskipun ketersediaan kloramfenikol di pasaran telah ada selama 7 tahun
terakhir, tidak ada peningkatan resistensi kloramfenikol atau perubahan spektrum
bakteri dalam kelompok pasien ini.