Anda di halaman 1dari 16

A.

Anatomi Kulit Manusia

Gambar 3. Anatomi kulit (Dikutip dari: surabayaplasticsurgery, 2008)


1. Epidermis

Merupakan lapisan kulit yang dinamis, senantiasa beregenerasi. Tebalnya antara 0,4-1,5 mm.
Penyusun terbesar epidermis adalah keratinosit. Terselip antara keratinosit adalah sel
Langerhans dan melanosit, kadang juga merkel dan limfosit. Stratum basal, spinosum, dan
granulosum biasa disebut stratum malphigi.
Terbagi atas beberapa lapisan yaitu :

a. Stratum basal

Lapisan basal atau germinativum, disebut stratum basal karena sel-selnya terletak dibagian
basal. Stratum germinativum menggantikan sel-sel di atasnya dan merupakan sel-sel induk.

b. Stratum spinosum

Lapisan ini merupakan lapisan yang paling tebal dan dapat mencapai 0,2 mm terdiri dari 5-8
lapisan.

c. Stratum granulosum

Stratum ini terdiri dari sel–sel pipih seperti kumparan. Sel–sel tersebut hanya terdapat 2-3 lapis
yang sejajar dengan permukaan kulit.

d. Stratum lusidum

Langsung dibawah lapisan korneum, terdapat sel-sel gepeng tanpa inti dengan protoplasma.

e. Stratum korneum

Stratum korneum memiliki sel yang sudah mati, tidak mempunyai inti sel dan mengandung zat
keratin.

2. Dermis

Dermis merupakan lapisan kedua dari kulit. Batas dengan epidermis dilapisi oleh membran
basalis dan disebelah bawah berbatasan dengan subkutis tetapi batas ini tidak jelas hanya yang
bisa dilihat sebagai tanda yaitu mulai terdapat sel lemak pada bagian tersebut. Dermis terdiri
dari dua lapisan yaitu bagian atas, pars papilaris (stratum papilar) dan bagian bawah pars
retikularis (stratum retikularis)

3. Subkutis

Subkutis terdiri dari kumpulan sel lemak dan di antara gerombolan ini berjalan serabut jaringan
ikat dermis. Sel-sel lemak ini bentuknya bulat dengan inti yang terdesak kepinggir, sehingga
membentuk seperti cincin. Lapisan lemak disebut penikulus adiposus yang tebalnya tidak sama
pada setiap tempat.
Fungsi penikulus adiposus adalah sebagai shock braker atau pegas bila terdapat tekanan trauma
mekanis pada kulit, isolator panas atau untuk mempertahankan suhu, penimbunan kalori, dan
tambahan untuk kecantikan tubuh. Dibawah subkutis terdapat selaput otot kemudian baru
terdapat otot. Vaskularisasi kulit diatur oleh dua pleksus, yaitu pleksus yang terletak dibagian
atas dermis (pleksus superficial) dan yang terletak di subkutis (pleksus profunda). Pleksus yang
terdapat pada dermis bagian atas mengadakan anastomosis di papil dermis, sedangkan pleksus
yang di subkutis dan di pars retikular juga mengadakan anastomosis, dibagian ini pembuluh
darah berukuran lebih besar. Bergandengan dengan pembuluh darah terdapat saluran getah
bening (Djuanda, 2003).

4. Adneksa Kulit

Adneksa kulit terdiri atas kelenjar-kelenjar kulit, rambut dan kuku.Kelenjar kulit terdapat di
lapisan dermis, terdiri atas kelenjar keringat dan kelenjar palit.Terdapat 2 macam kelenjar
keringat, yaitu kelenjar ekrin yang berukuran kecil, terletak dangkal pada bagian dermis dengan
sekret yang encer, dan kelenjar apokrin yang lebih besar, terletak lebih dalam dan sekretnya
lebih kental (Djuanda, 2003). Kelenjar apokrin mulai aktif saat pubertas, secret yang
dihasilkannya diurai oleh bakteri sehingga keluarlah bau.
B. Histologi Kulit

Pembagian kulit secara garis besar tersusun atas tiga lapisan utama yaitu lapisan epidermis,
lapisan dermis, dan lapisan subkutis. Tidak ada garis tegas yang memisahkan dermis dan
subkutis. Subkutis ditandai dengan adanya jaringan ikat longgar dan adanya sel dan jaringan
lemak (Tortora et al., 2009). Histologis pada bagian epidermis dimulai dari stratum korneum,
stratum korneum adalah lapisan kulit yang paling luar dan terdiri atas beberapa lapisan sel-sel
gepeng yang mati, tidak berinti, dan protoplasmanya telah berubah menjadi keratin (zat tanduk).

Stratum lusidum terdapat langsung dibawah lapisan korneum, merupakan lapisan sel-sel
gepeng tanpa inti dengan protoplasma yang berubah menjadi protein yang disebut eleidin.
Lapisan tersebut tampak lebih jelas di telapak tangan dan kaki (Djuanda, 2003). Stratum
granulosum merupakan 2 atau 3 lapis sel-sel gepeng dengan sitoplasma berbutir kasar dan
terdapat inti di antaranya. Butir-butir kasar ini terdiri atas keratohialin. Pada bagian selanjutnya
adalah stratum spinosum terdiri atas beberapa lapis sel yang berbentuk poligonal yang besarnya
berbeda-beda karena adanya proses mitosis.

Diantara sel-sel stratum spinosun terdapat jembatan-jembatan antar sel yang terdiri atas
protoplasma dan tonofibril atau keratin dan diantara sel-sel spinosum terdapat pula sel
langerhans. Sel-sel ini makin dekat kepermukaan makin gepeng bentuknya dengan inti terletak
ditengah-tengah. Protoplasma sel berwarna jenrih pada stratum spinosum karena mengandung
banyak glikogen (Djuanda, 2003).
Stratum germinativum atau basal terdiri atas sel-sel berbentuk kubus yang tersusun vertikal
pada perbatasan dermo-epidermal berbasis seperti pagar (palisade). Lapisan ini merupakan
lapisan epidermis yang paling bawah. Sel-sel basal ini mengalami mitosis dan berfungsi
reproduktif. Lapisan ini terdiri atas dua jenis sel yaitu sel-sel yang berbentuk kolumnar dengan
protoplasma basofilik inti lonjong dan besar, dihubungkan satu dengan lain oleh jembatan antar
sel, dan sel pembentuk melanin atau clear cell yang merupakan sel-sel berwarna muda, dengan
sitoplasma basofilik dan inti gelap, dan mengandung butir pigmen (Djuanda, 2003).

Pada bagian dermis, baik pars papilaris maupun pars retikularis terdiri dari jaringan ikat
longgar yang tersusun dari serabut-serabut yaitu serabut kolagen, serabut elastis dan serabut
retikulus. Serabut elastin biasanya bergelombang berbentuk amorf dan mudah mengembang
serta lebih elastis (Djuanda, 2003).

Lapisan subkutis adalah kelanjutan dermis yang terdiri atas jaringan ikat longgar berisi sel-sel
lemak didalamnya. Sel-sel ini membentuk kelompok yang dipisahkan satu dengan yang lain
oleh trabekula yang fibrosa. Lapisan sel-sel lemak disebut panikulus adiposa, berfungsi sebagai
cadangan makanan dan dilapisan ini terdapat ujung-ujung saraf tepi, pembuluh darah, dan
kelenjar getah bening.

Pada bagian adneksa terdapat banyak kelenjar-kelenjar kulit, rambut dan kuku. Pada bagian
kelenjar kulit terbagi lagi seperti kelenjar keringat contohnya yang memiliki kelenjar enkrin,
saluran kelenjar ini berbentuk spiral dan bermuara langsung di permukaan kulit. Terdapat
diseluruh permukaan kulit dan terbanyak di telapak tangan dan kaki, dahi, dan aksila. Sekresi
bergantung pada beberapa faktor dan dipengaruhi oleh saraf kolinergik, faktor panas, dan
emosional (Djuanda, 2003).

Kelenjar apokrin dipengaruhi oleh saraf adrenergik, terdapat di aksila, areola mamae, pubis,
labia minora, dan saluran telinga luar. Fungsi apokrin pada manusia belum jelas, pada waktu
lahir berukuran kecil, tetapi pada pubertas mulai besar dan mengeluarkan sekret, seperti
keringat mengandung air, elektrolit, asam laktat, dan glukosa, biasanya pH sekitar 4-6,8
(Djuanda, 2003)
C. Eflorosensi Kulit

a. Ruam kulit primer

1) Makula adalah efloresensi primer yang berbatas tegas, hanya berupa perubahan warna
kulit tanpa perubahan bentuk, seperti pada tinea versikolor, morbus Hansen, melanoderma,
leukoderma, purpura, petekie, ekimosis

.2) Eritema adalah kemerahan pada kulit yang disebabkan pelebaran pembuluh kapiler yang
reversible.

3) Papula adalah penonjolan superficial pada permukaan kulit dengan massa zat padat,
berbatas tegas, berdiameter < 1cm.
4) Nodus adalah massa padat sirkumskrip, terletak di kutan atau subkutan, dapat menonjol.
(jika diameter < 1 cm disebut nodulus).

5) Vesikula adalah gelembung yang berisi cairan serum, beratap, mempunyai dasar dengan
diameter < 1 cm misalnya pada varisela, herpes zoster.
6) Bula adalah vesikel dengan diameter > 1 cm, misal pada pemfigus, luka bakar. Jika
vesikel/bula berisi darah disebut vesikel/bula hemaragik . Jika bula berisi nanah disebut bula
purulen.

7) Pustula adalah vesikel berisi nanah, seperti pada variola, varisela, psoriasis pustulosa.

8) Urtika adalah penonjolan di atas kulit akibat edema setempat dan dapat hilang perlahan-
lahan, misalnya pada dermatitis medikamentosa dan gigitan serangga.

9) Tumor adalah penonjolan di atas permukaan kulit berdasarkan pertumbuhan sel atau
jaringan tubuh.

10) Kista adalah penonjolan di atas permukaan kulit berupa kantong yang berisi cairan serosa
atau padat atau setengah padat, seperti pada kista epidermoid.

11) Plak (plaque) adalah peninggian di atas permukaan kulit, permukaannya rata dan berisi
zat padat (biasanya infiltrate), diameternya 2 cm atau lebih. Contonya papul yang melebar atau
papulpapul yang berkonfluensi pada psoriasis.

12) Abses adalah kumpulan nanah dalam jaringan / dalam kutis atau subkutis.

b. Ruam kulit sekunder


1) Skuama adalah pelepasan lapisan tanduk dari permukaan kulit. Dapat berupa sisik halus
(TV), sedang (dermatitis), atau kasar (psoriasis). Skuma dapat berwarna putih (psoriasis),
cokelat (TV), atau seperti sisik ikan (iktiosis).

2) Krusta adalah onggokan cairan darah, kotoran, nanah, dan obat yang sudah mengering di
atas permukaan kulit, misalnya pada impetigo krustosa, dermatitis kontak. Krusta dapat
berwarna hitam (pada jaringan nekrosis), merah (asal darah), atau cokelat (asal darah,
nanah, serum).

3) Erosi adalah kelainan kulit yang disebabkan oleh kehilangan jaringan yang tidak melampui
stratum basal.

4) Ekskoriasi adalah kerusakan kulit sampai ujung stratum papilaris sehingga kulit tampak
merah disertai bintik-bintik perdarahan. Ditemukan pada dermatitis kontak dan ektima.

5) Ulkus adalah kerusakan kulit (epidermis dan dermis) yang memiliki dasar, dinding, tepi
dan isi. Misal ulkus tropikum, ulkus durum.

6) Rhagaden adalah belahan-belahan kulit dengan dasar yang sangat kecil/dalam misal pada
keratoskisis, keratodermia.
7) Parut (sikatriks) adalah jaringan ikat yang menggantikan epidermis dan dermis yang
sudah hilang. Jaringan ikat ii dapat cekung dari kulit sekitarnya (sikatriks atrofi), dapat
lebih menonjol (sikatriks hipertrofi), dan dapat normal (eutrofi/luka sayat). Sikatriks tampak
licin, garis kulit dan adneksa hilang.

8) Keloid adalah hipertrofi yang pertumbuhannya melampaui batas.

9) Abses adalah efloresensi sekunder berupa kantong berisi nanah di dalam


jaringan. Misalnya abses bartholini dan abses banal.

10) Likenifikasi adalah penebalan kulit sehingga garis-garis lipatan/relief kulit tampak lebih
jelas, seperti pada prurigo, neurodermatitis.

11) Guma adalah efloresensi sekunder berupa kerusakan kulit yang destruktif, kronik,
dengan penyebaran pertiginosa. Misal pasa sifilis gumosa.

12) Hiperpigmentasi adalah penimbunan pigmen berlebihan sehingga kulit tampak lebih
hitam dari sekitarnya. Misal pada melasma, dan pasca inflamasi.

13) Hipopigmentasi adalah kelainan yang menyebabkan kulit menjadi lebih putih dari
sekitarnya, misalnya pada skleroderma dan vitiligo.

c. Ruam kulit khusus

1) Kanalikuli adalah ruam kulit berupa saluran-saluran pad stratum korneum, yang timbul
sejajar denga permukaan kulit, seperti yang terdapat pada skabies.

2) Milia (= White head) adalah penonjolan di atas permukaan kulit yang berwarna putih, yang
ditimbulkan oleh penyumbatan saluran kelenjar sebasea, seperti pada akne sistika.
3) Komedo (=Black head) adalah ruam kulit berupa bintik-bintik hitam yang timbul akibat
proses oksidasi udara terhadap sekresi kelenjar sebasea dipermukaan kulit, seperti agne.

4) Eksantema adalah ruam permukaan kulit yang timbul serentak dalam waktu singkat dan
tidak berlangsung lama, biasanya didahului demam, seperti pada demam berdarah.

5) Roseola ialah eksantema lentikuler berwarna merah tembaga seperti pada sifilis dan
frambusia.

6) Purpura yaitu perdarahan di dalam/di bawah kulit yang tampak medikamentosa

7) Lesi target. Terdiri dari 3 zona yang berbentuk lingkaran, lingkaran pertama mengandung
purpura atau vesikel di bagian tengah yang dikelilingi oleh lingkaran pucat (lingkaran kedua),
lingkaran ketiga adalah lingkaran eritema. Lesi target biasanya dijumpai di telapak tangan
penderita eritema multiforme (gambaran seperti mata sapi).

8) Burrow adalah terowongan yang berkelok-kelok yang meninggi di epidermis superficial


yang ditimbulkan oleh parasit.

9) Teleangiektasi adalah pelebaran pembuluh darah kecil superficial (kapiler, arteriol, dan
venul) yang menetap pada kulit.

10) Vegetasi adalah pertumbuhan berupa penonjolan-penonjolan bulat atau runcing menjadi
satu
ANMAL
1a. Bagaimana anatomi dan histologi kulit?
1i. Bagaimana mekanisme lecet dan keropeng pada kasus?
Akantolisis timbulnya vesikel  adanya komponen histamine menyebabkan gatal
pada vesikel vesikel digarukVesikel pecah terdapat lesi/ lecet  ekskoriasi
keluarnya darah karena lesi mencapai dermis  darah koagulasi  keropeng
2a. Apa hubungan keluhan tambahan dengan keluahan utama pada kasus?
Demam, malaise, serta batuk merupakan gejala prodromal dari infeksi Varicella
zoster. Timbulnya vesikel pada kulit merupupakan ciri khas dari infeksi Varicella.
5b. Bagaimana mekanisme abnormal dari pemeriksaan dermatologikus?

TEMPLATE
d. Faktor resiko
- Komplikasi berat dapat terjadi pada penderita dengan immunocomprimise
- Bayi dapat mengalami varicella kongenital bila sang ibu terinfeksi varicella pada 3-5
hari sebelum melahirkan

i. Pemeriksaan fisik dan penunjang


Pemeriksaan Laboratorium
Pada pemeriksaan darah tidak memberikan gambaran yang spesifik.
Untuk pemeriksaan varicella bahan diambil dari dasar vesikel dengan cara kerokan
atau apusan dan dicat dengan Giemsa dan Hematoksilin Eosin, maka akan terlihat sel-
sel raksasa (giant cell) yang mempunyai inti banyak dan epitel sel berisi Acidophilic
Inclusion Bodies atau dapat juga dilakukan pengecatan dengan pewarnaan
imunofluoresen, sehingga terlihat antigen virus intrasel.
Isolasi virus dapat dilakukan dengan menggunakan fibroblast pada embrio manusia.
Bahan diambil dari kerokan dasar vesikel, kadang-kadang ada darah.
Antibodi terhadap varicella dapat dideteksi dengan pemeriksaan Complemen
Fixation Test, Neurailization Test, FAMA, IAHA, dan ELISA.

Direct Methods
1. Cytology - smears of scrapings of the base of the lesions will reveal characteristic
multinucleate giant cells, also known as Tzanck cells. However this technique will not
distinguish between HSV and VZV infection.
2. Electron microscopy - herpesvirus particles can be seen in fluid taken from the early
vesicles of either varicella or zoster. This technique cannot distinguish between HSV
and VZV.
3. Immunofluorescence cytology - smears of the base of lesions can be examined by
immunofluorescence cytology, as in the case for HSV. This technique is more sensitive
than EM but is more labour intensive and requires greater technical expertise.
4. Molecular Methods - PCR assays for VZV are available and have been reported to be
of use in the diagnosis of VZV meningoencephalitis from CSF specimens.
B. Virus isolation
This remains the definitive method for diagnosing VZV infections. Human fibroblasts
are used in most laboratories. Vesicle fluid and scrapings form the base of fresh lesions
are the most suitable specimens. Virus can rarely be recovered from crusted lesions.
Biopsy material can also be cultured. The CPE produced by VZV is so characteristic
that most laboratories do not undertake further identification of the isolates.
Immunofluorescence of the cell sheet by monoclonal antibodies is the method of choice
for identification. Virus isolation for VZV is rarely carried out because of the long
length of time required for a result to be available.

Cytopathic effect caused by VZV in cell culture. (Courtesy of Linda Stannard,


University of Cape Town, S.A.)

3. Serology
The most important use for serology is the determination of immune status before the
administration of prophylactic therapy. Serological diagnosis of primary varicella
infection can be reliably carried out using paired acute and convalescent sera. However,
this is less reliable in the case of herpes zoster where there is specific antibodies present
already. Therefore it is essential to obtain the first sample as soon as possible after the
onset of the rash in order to demonstrate a rising titre. The sharing of antigens between
HSV and VZV can make the interpretation of results very difficult. Where possible, the
serological diagnosis should be backed up by virus isolation.
a. CFT - this is the most frequently used test. It is perfectly adequate for the diagnostic
purposes but is too insensitive for immune status screening.
b. IF - immunofluorescence is appreciably more sensitive than CFT and is used for the
determination of immune status in many laboratories.
c. RIA and EIA - these are the most sensitive methods available and therefore are the
preferred method for determining immune status. EIA are rapidly becoming the most
commonly used method for the determination of immune status.
d. Detection of VZV specific IgM - VZV IgM can be determined by IF and capture RIA
or EIA. VZV IgM is produced in primary varicella and herpes zoster and thus it is not
possible to distinguish between the two. However, the VZV IgM tests are likely to
prove invaluable in determining the nature of congenital varicella infections.

DAFTAR PUSTAKA

1. Diseases of the skin : clinical dermatology." APA (6th ed.) James, W. D., Elston, D.
M., Berger, T. G., & Andrews, G. C. (2011).
2. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, edisi ke-7. Jakarta: Badan Penerbit FKUI.
3. Fitzpatrick's Dermatology in General Medicine, 8th Edition. New York: McGraw-Hill.
4. (https://emedicine.medscape.com/article/969773-overview) diakses pada 16 Oktober
2018

Anda mungkin juga menyukai