PENDAHULUAN
Kondisi terkini HIV dan AIDS di Papua memperlihatkan bahwa Provinsi Papua
menduduki Prevalensi HIV tertinggi di Indonesia, dimana prevalensi orang asli Papua adalah 2,9%
(Studi STBP 2013). Sementara pelayanan kesehatan dasar dikampung-kampung masih sangat
memprihatinkan. Oleh karena itu, program kesehatan di Provinsi Papua difokuskan pada Papua
Sehat untuk Bangkit Mandiri Sejahtera 2013 – 2018. Berdasarkan Peraturan Presiden No:72 tahun
2012 tentang Sistem Kesehatan Nasional maka disusunlah 15 program prioritas, diantaranya
program Pengendalian Penyakit Menular terfokus ATM. Dalam hal pembiayaan layanan
kesehatan , saat ini sedang dilakukan Sinkronisasi Jaminan Pembiayaan dan Kartu Papua Sehat
(KPS). Pertimbangan sinkronisasi tersebut adalah : Sesuai Perda / Perdasus Kesehatan No 7 Tahun
2014, Orang Asli Papua (OAP) berhak mendapat 2 Jaminan Pembiayaan baik sebagai warga
negara RI dan OAP, KPS digunakan sebagai "Cost Sharing" pada komponen yang tidak
ditanggung atau kurang dalam jaminan Pembiayaan tersebut. KPS menopang pelaksanaan
Jaminan Kesehatan Nasional. Hal ini dianggap memungkinkan karena 15% Dana Otonomi Khusus
dialokasikan untuk Bidang Kesehatan terutama untuk Layanan Kesehatan Dasar.
Sumber-sumber pembiayaan untuk Penanggulangan AIDS di Indonesia digambarkan oleh
peneliti Mardiati Nadjib dari Universitas Indonesia. Peningkatan respon International terhadap
HIV dan AIDS terutama pemberian bantuan finansial terus meningkat sejak 2006–2012.
Pengelolaan pembiayaan tersebut perlu mekanisme pemantauan dengan tracking pemanfaatannya
secara rinci untuk memastikan akuntabilitas dari penggunaan sumber-sumber dana upaya
penanggulangan HIV dan AIDS. Sumber pendanaan HIV dan AIDS dapat dibagi dalam beberapa
kelompok yaitu, dana yang bersumber dari : Publik melalui APBN dan APBD (minus Jamkesmas
dan Jamkesda) yang menyangkut 17 Sektor dan 12 Provinsi; Donor internasional yaitu:
multilateral (Global Fund, UN Agencies, dan EU), dan donor Bilateral (Pemerintah Australia
melalui DFAT dan Pemerintah Amerika melalui USAID); dan Private (Swasta) contohnya
Indonesian Business Coalition on AIDS (IBCA ). Dengan adanya dinamika perubahan sosial,
ekonomi, dan politik saat ini, beberapa tantangan muncul dalam pendanaan upaya penanggulangan
HIV dan AIDS di Indonesia, yaitu: Sumber dana donor asing : Global Fund sebagai kontributor
utama program HIV dan AIDS akan berakhir di tahun 2017. Apa yang harus disiapkan untuk
melanjutkan upaya penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia? Sumber dana Pemerintah adalah
bagaimana meningkatkan peran pemda dimana HIV dan AIDS sebagai salah satu target MDGs
belum diterjemahkan ke dalam Standard Pelayanan Minimum (SPM); dan Sumber dana pribadi
adalah melihat sejauh mana kepedulian dunia usaha terhadap upaya penanggulangan HIV dan
AIDS? Terkait pembiayaan penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia, seorang peneliti
independen dan penggiat AIDS, Aang Sutrisna mengemukakan bahwa di antara Negara ASEAN,
pertumbuhan infeksi baru HIV di Indonesia adalah yang tertinggi. Namun demikian sebagian besar
program pengendalian HIV masih didominasi oleh pendanaan mitra internasional. Perkembangan
terakhir menunjukkan dana lokal cenderung meningkat dan terbesar sebagai sumber dana belanja
program HIV dan AIDS sepanjang tahun 2006-2012, di ikuti Global Fund (GF) dan DFAT
Australia. Distribusi dana dari donor sebagian besar adalah untuk Pencegahan dan Penelitian
sedangkan dana lokal digunakan untuk pengobatan dan perlindungan sosial. Pertanyaannnya
kemudian adalah bagaimana keberlanjutan komposisi pendanaan ini bila dana sumber donor luar
negeri dihentikan? Indonesia yang sudah masuk dalam kategori negara lower middle income
country wajib hukumnya mengembangkan strategi pembiayaan yang lebih besar untuk mengatasi
kekurangan sumber dana kesehatan penanggulangan HIV da AIDS pasca GF. Alokasi untuk
pembiayaan HIV dan AIDS di Indonesia masih terbilang lebih rendah, yaitu 42 %, dibandingkan
dengan negara lain Philipina (52%) atau Malaysia (97%) (Gap Report, UNAIDS 2014).