Anda di halaman 1dari 26

LAPORAN KASUS

DEMAM TIFOID

Oleh
Andrianus Stevanus Dau
030.08.027

Pembimbing
dr. Tri Yanti Rahayuningsih, Sp.A(K)

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KOTA BEKASI
PERIODE 22 JULI 2017 – 24 SEPTEMBER 2017
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK
LEMBAR PENGESAHAN

Laporan kasus dengan Judul


“Demam Tifoid”
Telah diterima dan disetujui oleh pembimbing, sebagai syarat untuk
menyelesaikan kepaniteraan klinik Ilmu Kesehatan Anak
Periode 22 juli – 24 september 2017

Bekasi, Agustus 2017


Pembimbing

dr. Tri Yanti Rahayuningsih, SpA(K)


DAFTAR ISI
Halaman
COVER
LEMBAR PENGESAHAN................................................................................... i
Daftar isi ............................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN............................................................................. 1
BAB II STATUS PASIEN......................................................................... 2
BAB III ANALISIS KASUS......................................................................... . 11
BAB IV TINJAUAN PUSTAKA.................................................................... 13
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 24
BAB I
PENDAHULUAN

Demam tifoid merupakan penyakit endemis di Indonesia penyakit infeksi


sistemik bersifat akut yang disebabkan oleh Salmonella typhii dan Salmonella
(1)
paratyphi. Penyakit ini ditandai oleh panas berkepanjangan, ditopang dengan
bakteremia tanpa keterlibatan struktur endotelial atau endokardial dan invasi bakteri
sekaligus mutiplikasi ke dalam sel fagosit mononuklear dari hati, limpa, kelenjar
(2)
limfe usus, dan Peyer’s patch. Sebagian besar kasus terjadi pada anak berusia
lebih dari 5 tahun tetapi gejala dan tanda klinisnya masih sangat luas sehingga sukar
didiagnosis.

BAB II
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
RS PENDIDIKAN : RSUD KOTA BEKASI

STATUS PASIEN
Nama Mahasiswa : Andrianus Dau Pembimbing : dr. Tri Yanti, Sp.A
NIM : 030.08.027 Tanda tangan :

I. IDENTITAS
Data Pasien Ayah Ibu
Nama An.S Tn. Y Ny. S

1
Umur 5 Tahun 33 Tahun 31 Tahun
Jenis Kelamin Perempuan Laki laki Perempuan
Alamat TELUK PUCUNG RT 5/4 No 13 Bekasi
Agama Islam Islam Islam
Suku bangsa Indonesia
Pendidikan - SMA SMP
Pekerjaan - Buruh Ibu Rumah
Tangga
Penghasilan - - -
Tanggal Masuk 24 Agustus 2017 - -
RS (IGD)

II. ANAMNESIS
Dilakukan secara autoanamnesis dan alloanamnesis kepada ibu kandung
pasien pada tanggal 26 Agustus 2017 di Bangsal Melati RSUD Kota Bekasi.

A. Keluhan Utama
Demam naik turun sejak 4 hari sebelum masuk rumah sakit.

B. Keluhan Tambahan
Mimisan 1 kali, mual (+), mual (+), nyeri kepala (+), benjolan di leher.

C. Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien anak usia 5 tahun datang ke IGD RSUD Kota Bekasi dengan
keluhan demam sejak 4 hari SMRS. Demam konstan sepanjang hari. Nafsu
makan menurun. Ibu pasien pasien mengatakan pada saat badannya panas tidak
disertai mengigau dan menggigil. Tidak ada kejang. Bintik merah disangkal.
Selain demam, ibu pasien mengeluhkan mimisan 1 kali pada tanggal 24
agustus 2017 dan terdapat bejolan di leher pasien. Pasien tidak mengalami batuk
dan tidak mengalami pilek. Pasien tidak muntah, hanya merasa mual. Bab dan
bak tidak ada kelainan.
Pasien post rawat di RS 5 hari dengan tifoid dan mendapat obat tapi tidak
ada perbaikan.

D. Riwayat Penyakit Dahulu

2
Penyakit Umur Penyakit Umur Penyakit Umur

Alergi - Candidiasis - Jantung -

Cacingan - Diare - Ginjal -

DBD - Kejang - Darah -

Thypoid - Gastritis - Radang paru -

Otitis - Herpes - Tuberkulosis -


Zooster paru

Parotis - Operasi - Morbili -

E. Riwayat Penyakit Keluarga :


Dalam keluarga tidak ada yang memiliki keluhan penyakit seperti pasien.

F. Riwayat Kehamilan dan Kelahiran :

Morbiditas kehamilan Tidak ditemukan


kelainan
KEHAMILAN Perawatan antenatal Kontrol rutin ke bidan
dan ke Rumah Sakit 1
kali sebulan.

KELAHIRAN Tempat kelahiran Rumah Sakit

Penolong persalinan Dokter

Cara persalinan Normal

Masa gestasi 39 - 40 Minggu

3
Berat lahir tidak ingat
Panjang badan tidak
ingat
Keadaan bayi Lingkar kepala tidak
ingat
Nilai apgar tidak
diketahui
Tidak ada kelainan
bawaan

Kesan : baik ( tidak ada kelainan bawaan)


G. Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan :
Pertumbuhan gigi pertama : 6 bulan
Tengkurap dan berbalik sendiri : 7 bulan
Duduk : 8 bulan
Berjalan : 15 bulan
Berbicara : 18 bulan
Gangguan perkembangan : tidak terdapat keterlambatan
Kesan : Baik (perkembangan sesuai dengan usia)

H. Riwayat Makanan
Umur
ASI/PASI Buah/biscuit Bubur susu Nasi tim
(bulan)

0-2 ASI √ - -

2-4 ASI √ - -

4-6 ASI √ - -

6-8 ASI/PASI √ √ √

8-10 ASI/PASI √ √ √

10-12 ASI/PASI √ √ √

24 Susu formula √ √ √

36 Susu formula √ √ √

4
48 Susu formula √ √ √

Kesan: Pasien mendapatkan ASI sejak lahir hingga usia 6 bulan, dilanjutkan dengan
PASI setelah berusia 6 bulan.

I. Riwayat Imunisasi :
Vaksin Dasar (umur) Ulangan (umur)
BCG 2 bulan
DPT/DT 2 bulan 4 bulan 6 bulan 2 Tahun
POLIO Lahir 2 bulan 4 bulan 6 Bulan 2 Tahun
HEPATITIS B Lahir 1 bulan 6 bulan
CAMPAK 9 Bulan 2 tahun
Kesan: Riwayat imunisasi dasar lengkap

J. Riwayat Keluarga

Ayah Ibu

Nama Tn Y Ny S

Perkawinan ke 1 1

Umur saat menikah 29 26

Keadaan kesehatan Sehat Sehat

K. Riwayat Perumahan dan Sanitasi :

Pasien tinggal di rumah pribadi, dinding terbuat dari tembok, atap terbuat
dari genteng, dan ventilasi cukup. Menurut pengakuan keluarga pasien, keadaan
lingkungan rumah padat, ventilasi, dan pencahayaan baik, sumber air bersih
berasal dari PAM, sumber air minum dari air rebusan.

III. PEMERIKSAAN FISIK


Pemeriksaan dilakukan di Bangsal Melati pada tanggal 26 Agustus 2017
1. Status generalis
a. Keadaan umum : Tampak sakit sedang
b. Tanda Vital
 Kesadaran : Compos mentis
 Frekuensi nadi : 124 x/m

5
 Frekuensi pernapasan : 25 x/m
 Suhu tubuh : 37,5 0C
c. Data antropometri
 Berat badan : 17 kg
 Tinggi badan : 90 cm
 Status gizi (kurva who ): BB/U : -1 SD
TB/U : + 1 SD
Kesan : status gizi baik

d. Kepala
 Bentuk : Normocephali, simetris, ubun-ubun sudah menutup
 Rambut : Rambut hitam, distribusi merata, tidak mudah dicabut
 Mata : konjungtiva anemis -/-, sclera ikterik -/-
 Telinga : Normotia, sekret -/-
 Hidung :Bentuk normal, NCH -/-
 Mulut : Bibir kering (-), sianosis (-), typhoid tongue (+) ,
rampant caries (+)
 Leher : simetris, trakea ditengah, faring hiperemis (-) ,
tonsil T1-T1, pembesaran kelenjar getah bening (+)
e. Thorax
 Inspeksi : Pergerakan dinding dada simetris, retraksi -/-,
 Palpasi : Gerak napas simetris, vocal fremitus simetris
 Perkusi : Sonor pada kedua lapang paru
 Auskultasi
Pulmo : Suara napas vesikuler, ronki -/-, wheezing -/-
Cor : BJI dan II reguler, murmur (-) , gallop (-)
f. Abdomen
 Inspeksi : Perut datar,
 Auskultasi :Bising usus 3x/menit
 Palpasi : Supel, turgor kulit baik <1 detik, NT (+)
 Perkusi : Shifting dullness (-) , nyeri ketuk (-)
g. Kulit : Sawo matang, efloresensi (-)
h. Extremitas : Akral hangat, sianosis (-), oedem (-), ikterik(-),
CRT< 2 detik, efloresensi (-).
i. Status neurologis :
kesadaran kuantitatif : GCS (E4 V6 M5=15)
Pemeriksaan Kanan Kiri
Bisep - -

6
Trisep - -
Patela - -
Achiles - -

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan laboratorium tanggal 24 Agustus 2017.

Nama Test Hasil Unit Nilai Rujukan


Darah Rutin DHF
Leukosit 7.6 ribu/ul 5-10
Hemoglobin 12,2 g/dl 12-16
Hematokrit 36,9 % 40-54
Trombosit 393 ribu/uL 150-400
IMUNOSEROLOGI

S. Typhi-O 1/320 Negatif – 1/80

S. Paratyphi AO 1/80 Negatif – 1/80

V. RESUME

Pasien anak usia 5 tahun datang ke IGD RSUD Kota Bekasi dengan
keluhan demam sejak 4 hari SMRS. Demam konstan sepanjang hari. Selama
dirumah, suhu badan hanya diperiksa menggunakan perabaan tangan sehingga
tidak tahu sampai seberapa tinggi suhunya. Ibupasien pasien mengatakan pada
saat badannya panas tidak disertai mengigau dan menggigil. Tidak ada kejang.
Bintik merah disangkal.
Selain demam, ibu pasien mengeluhkan mimisan 1 kali pada tanggal
24 agustus 2017 dan terdapat bejolan di leher pasien. Pasien tidak mengalami
batuk dan tidak mengalami pilek. Pasien tidak muntah, hanya merasa mual. Bab
dan bak tidak ada kelainan. Pasien post rawat di RS 5 hari dengan tifoid dan
mendapat obat tapi tidak ada perbaikan.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan BB = 17 kg, TB = 90 cm dengan
status gizi baik. KU = Baik, Kesadaran = Compos Mentis. S :37,5o CHR: 124
x/menit, RR: 25 x/menit. Status generalis ditemukan typhoid tongue (+),

7
rampant caries (+). Pada pemeriksaan laboratorium ditemukan hematokrit
menurun, S. Typhi-O (+).

VI. DIAGNOSIS KERJA


- Demam Tifoid
VII.PEMERIKSAAN ANJURAN
- Foto thoraks
- Foto abdomen
VIII. PENATALAKSANAAN
Non Medikamentosa
1. Pasien inap di bangsal anak.
2. Komunikasi-Informasi-Edukasi kepada orang tua pasien mengenai keadaan
pasien.
3. Tirah baring.
4. Observasi tanda vital.
5. Makan makanan yang memenuhi gizi seimbang.

Medikamentosa
1. IVFD RL 350cc/hari
2. Seftriaxon 1 x1,5 gr
3. Sanmol syrup 3 x 2 cth
4. Deksametason 3 x 4 mg IV
5. Ranitidin 2 x ¼ amp

IX. PROGNOSIS
 Ad vitam : ad bonam
 Ad fungsionam : ad bonam
 Ad sanationam : dubia ad bonam

X. FOLLOW UP
Tgl S O A P
24/8/2017 - Demam (+) KU : tampak sakit sedang Demam
- Mual (+) Kesadaran: CM Tifoid - IVFD RL 350
TTV : cc/hari (5tpm)
Nadi : 124 x/m - Ranitidin 2x1/4
Suhu : 37,5 0 C amp
RR : 25 x/ m - Sanmol syr
Kepala : normocephali 3x2cth
Mata : CA -/- SI -/-
Hidung : nch -/-
Mulut : tifoid tongue + , rampant
caries +, kering -, sianosis -

8
Wajah : ruam merah (-)
Leher : kgb pembesaran
Tho : sn vesikuler, rh -/-, wh -/-,
BJ I-II reg, m (-), gallop (-).
Ruam merah (-)
Abdomen : supel, nyeri tekan
(+)epigastrium, bu (+) 3x/menit.
- Hepar dbn
- Lien dbn
Ekstremitas : akral hangat +/+
25/8/2017 - Demam (+) KU : tampak sakit sedang Demam
Kesadaran: CM Tifoid - IVFD RL 350
TTV : cc/ hari (5tpm)
Nadi : 100 x/m - Ceftriaxon 1 x
Suhu : 36,50 C 1,5 gr dalam
RR : 20 x/ m Nacl 100 ml
Kepala : normocephali untuk 30 menit
Mata : CA -/- SI -/- - Sanmol syr 3 x
Hidung : nch -/- 2 cth
Mulut : tifoid tongue + , rampant - Ranitidin 2 x ¼
caries +, kering (-) sianosis (-) amp
Wajah : ruam merah (-) - Dexametason 3
Leher : kgb membesar x 4 mg IV
Tho : sn vesikuler, rh -/-, wh -/-, (3hari)
BJ I-II reg, m (-), gallop (-).
Ruam merah (-)
Abdomen : supel, nyeri tekan
(+)epigastrium, bu (+) 3x/menit.
- Hepar dbn
- Lien dbn
Ekstremitas : akral hangat +/+

9
BAB III
ANALISIS KASUS

Pada kasus ini didiagnosis demam tifoid ditinjau dari


Anamnesis dan pemeriksaan fisik
Pada kasus demam tifoid, perlu digali informasi mengenai demam dan
gangguan pencernaan. Pada setiap keluhan demam perlu ditanyakan berapa lama
demam berlangsung; karakteristik demam apakah timbul mendadak, remitten,
intermitten, kontinou, apakah terutama saat malam hari, dsb.
Pada anamnesa gangguan pencernaan perlu digali informasi mengenai apakah
diare atau konstipasi, kapan terjadi; apakah diare disertai bercak darah atau lendir,
berapa kali bab sehari, pola makan. Gejala lain yang menyertai juga penting termasuk
nafsu makan menurun, mual, muntah, nyeri kepala, nyeri perut, adanya kejang,
penurunan kesadaran, dan ikterus.
Pada pasien ditemukan :
a. Didahului oleh demam yang naik turun sejak 4 hari SMRS
b. Nafsu makan menurun

Penunjang
Hasil laboratorium untuk kejang demam:
 pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan rutin DHF, imunoserologi
A. Pada pasien
Hematokrit menurun, S. typhi-O 1/320. S. paratyphi 1/80

Penatalaksanaan berdasarkan referensi


Prinsip penatalaksanaan pada pasien demam tifoid adalah pemberian antibiotik
untuk mengeleminasi bakteri, serta penatalaksanaan suportif untuk demam dan batuk
pilek seperti antipiretik, antibiotic, tirah baring, dan pemenuhan kebutuhan cairan dan
nutrisi.

10
Penatalaksanaan pada pasien ini :
1.IVFD RL 350 cc/hari (5 tpm)
2.Ceftriaxon 1x1,5 gr dalam Nacl 100 ml
3.Sanmol syr 3 x 2 cth
4.Ranitidin 2 x ¼ amp
5. Desametason 3 x 4 mg IV (3hari)

11
BAB IV

TINJAUAN PUSTAKA

1. Definisi
Demam tifoid adalah suatu penyakit infeksi sistemik bersifat akut yang

disebabkan oleh Salmonella typhii. Penyakit ini ditandai oleh panas berkepanjangan,

ditopang dengan bakteremia tanpa keterlibatan struktur endotelial atau endokardial dan

invasi bakteri sekaligus mutiplikasi ke dalam sel fagosit mononuklear dari hati, limpa,

kelenjar limfe usus, dan Peyer’s patch. (2)

2. Epidemiologi
Demam tifoid masih merupakan penyakit endemis di berbagai negara yang
sedang berkembang. Diperkirakan lebih dari 21,7 juta kasus tifoid dan lebih dari
200.000 kematian terjadi, yang sebagian besar terjadi di Asia. Selain itu, diperkirakan
5,4 juta kasus disebabkan oleh paratifoid terjadi per tahunnya. Di negara yang
berkembang, angka kejadian tifoid 900/100.000 per tahun. Studi berdasarkan populasi
dari Asia Selatan menunjukkan bahwa insidensi tifoid paling tinggi terjadi pada anak
<5 tahun. Sedangkan umur penderita yang terkena di Indonesia (daerah endemis)
dilaporkan antara 3-19 tahun mencapai 91%. (10)
Salmonella typhi dapat hidup dalam tubuh manusia. Penderita demam tifoid
akan didapatkan Salmonella typhi dalam sirkulasi darah dan sistem gastrointestinal
yang dapat dieksresikannya melalui sekret saluran nafas, urin, dan tinja. Selain itu, ada
sebagian orang yang disebut karier (penderita tifoid yang telah sembuh namun tetap
didapatkan bakteri dalam tubuhnya) yang juga dapat mengeksresikannya dalam urin
dan tinja. S. thypi hanya dapat hidup kurang dari 1 minggu pada raw sewage, dan
mudah dimatikan dengan pasteurisasi dan klorinasi (suhu 63oC). (8,12)
Terjadinya penularan Salmonella typhi sebagian besar melalui makanan atau
minuman yang tercemar oleh kuman yang berasal dari penderita, biasanya keluar
bersama-sama dengan tinja (melalui rute oral fekal). Di beberapa bagian negara, tiram

12
dan kerang yang dibudidayakan dalam air yang terkontaminasi oleh limbah juga
merupakan salah satu penyabab penularan.(8,10)

3. Faktor Resiko
Faktor resiko demam tifoid erat kaitannya dengan higiene pribadi dan
sanitasi lingkungan, seperti higiene perorangan, higiene makanan, lingkungan
yang kumuh, kebersihan tempat-tempat umum yang kurang serta perilaku
masyarakat yang tidak mendukung untuk hidup sehat dan umur. (4)
Dari penjelasan diatas, faktor resiko untuk demam tifoid yaitu:
 Umur (lebih dari 5 tahun)
 Kebiasaan tidak mencuci tangan sebelum makan
 Kebiasaan tidak mencuci tangan setelah buang air besar
 Sering makan di luar rumah atau jajan yang tidak terjamin kebersihannya

4. Etiologi
Demam tifoid disebabkan oleh Salmonella enterica serevoar Typhi (S. Typhi),
bakteri Gram-negatif. Bakteri ini merupakan famili Enterobacteriaciae. Bakteri ini
mempunyai flagel, tidak berkapsul, tidak membentuk spora, fakultatif anaerob. Bakteri
ini mempunyai antigen somatik (O) yang terdiri dari oligosakarida, flagelar antigen Hd
(H) yang terdiri dari protein, dan envelope antigen Vi (K) yang terdiri dari polisakarida.
Bakteri ini mempunyai makromolekular lipopolisakarida kompleks yang membentuk
lapisan luar dari dinding sel dan dinamakan endotoksin. (8,9)
Beberapa terminologi lain yang erat kaitannya adalah demam paratifoid yang
secara patologik maupun klinis adalah sama dengan demam tifoid namun biasanya
lebih ringan. Penyakit ini disebabkan oleh Salmonella paratyphi A dan jarang
disebabkan oleh Salmonella paratyphi B (Schotmulleri) dan Salmonella paratyphi C
(Hirscfeldii). Rasio terjadinya penyakit yang disebabkan oleh Salmonella thypi dan
Salmonella parathypi adalah 10 :1, meskipun infeksi Salmonella parathypi meningkat
di beberapa bagian di dunia yang mana belum jelas alasannya. (10)
Salah satu dari produk gen yang paling spesifik adalah kapsul polisakarida Vi
(virulensi), yang selalu ada sekitar 90% dari semua S. Thypi yang terisolasi dan
memiliki efek proteksi melawan aksi bakterisidal dalam serum pasien yang terinfeksi.

13
Kapsul ini meupakan bahan untuk pembuatan vaksin yang telah ada secara komersial.
(10,11)

5. Patogenesis
Demam tifoid terjadi melalui masuknya Salmonella thypi bersama makanan
atau minuman ke dalam tubuh melalui mulut.(8)

Gambar
Patogenesis Demam Tifoid (Atlas of Pathofisiology)

Dosis infeksi pada pecobaan relawan didapatkan sekitar 105- 10 9


bakteri,
dengan periode inkubasi bervariasi dari 4 – 14 hari. Salmonella thypi harus melewati
pertahanan asam lambung untuk mencapai usus halus, suasana asam lambung (pH < 2)
merupakan mekanisme pertahanan yang penting. Keadaan-keadaan sepeti aklorhidiria
karena faktor usia, gastrektomi, pengobatan dengan antagonis reseptor H 2, penghambat
pompa proton, antasida dalam jumlah yang besar, akan mengurangi dosis infeksi. (8,10)
Bakteri yang masih hidup akan mencapai usus halus. Di usus halus, bila respon
imunitas humoral mukosa Ig A usus kurang baik, maka bakteri melekat pada mukosa
dan kemudian menginvasi mukosa usus halus. Sel M, sel epitel khusus yang melapisi
Peyer’s patches, merupakan tempat internalisasi dari Salmonella typhi. Kemudian
bakteri mencapai folikel limfe usus halus, mengikuti aliran ke kelenjar bening
mesenterika, dan kemudian melewati sirkulasi sistemik via limfatik yang
mengakibatkan bakteremia pertama yang biasanya asimtomatik dan hasil kultur darah
biasanya negatif pada saat ini. Bakteri yang terdapat di pembuluh darah menyebar ke
seluruh tubuh dan berkolonisasi di jaringan sistem retikuloendotelial (RES) terutama di
organ hati dan limpa. Salmonella typhi mengalami multiplikasi di dalam sel fagosit

14
mononuklear (makrofag) di dalam folikel limfe, kelenjar limfe mesenterika, hati, dan
limpa.(8,10)
Setelah melalui periode waktu tertentu (periode inkubasi), yang lamanya
ditentukan oleh banyak dan virulensi kuman, serta respon imun host maka Salmonella
typhi akan keluar dari sel fagosit dan melalui duktus torasikus masuk ke dalam sirkulasi
sistemik (bakteremia kedua) dengan disertai tanda tanda infeksi sistemik, seperti
demam, malaise, dan nyeri perut. Masa inkubasi biasanya 7 sampai 14 hari. Pada saat
bakteremia terjadi, Salmonella thypi dapat menyebar ke seluruh organ. Tempat paling
sering untuk infeksi sekunder adalah hati, limpa, sumsum tulang, kandung empedu, dan
Peyer’s patches dari ileum terminal. Invasi kandung empedu dapat terjadi secara
langsung dari darah atau retrograde dari empedu. Ekskresi organisme dari empedu
dapat mengnvasi ulang dinding usus atau dikeluarkan melalui tinja.(8,10)

6. Manifestasi Klinis
Pada anak, periode inkubasi demam tifoid antara 5-40 hari dengan rata rata

antara 10 – 14 hari. Manifestasi klinis bervariasi dari gejala klinis ringan seperti demam

yang tidak terlalu tinggi, malaise, batuk kering sampai gejala klinis yang berat seperti

nyeri perut dan berbagai macam komplikasi. Variasi gejala ini disebabkan oleh lamanya

sakit sebelum mendapatkan terapi yang baik, pilihan antimikroba, pajanan sebelumnya

atau riwayat imunisasi, virulensi bakteri, banyaknya bakteri yang tertelan, dan status

imunologi host.(8)

Semua pasien demam tifoid selalu menderita demam pada awal penyakit.

Demam pada demam tifoid biasanya naik perlahan lahan dan banyak orang tua yang

melaporkan bahwa demam lebih tinggi saat sore hari dan malam hari dibandingkan

dengan pagi harinya. Pada minggu kedua biasanya demam tinggi (39 0 C – 400 C). Pada

demam sudah tinggi, pada kasus demam tifoid dapat disertai gejala sistem saraf pusat,

seperti kesadaran berkabut atau delirium atau penurunan kesadaran sampai koma. (8)

15
Gejala sistemik lain yang menyertai timbulnya demam adalah nyeri kepala,

mialgia, nyeri perut, hepatosplenomegali, nausea, dan anoreksia. Gejala gastrointestinal

pun bervariasi. Pada anak, diare dapat terjadi pada stadium awal dan kemudian diikuti

dengan konstipasi. Pada sebagian pasien lidah tampak kotor dengan putih di tengah

sedang tepi dan ujungnya kemerahan (coated tongue). Pada anak Indonesia lebih

banyak dijumpai hepatomegali dibandingkan splenomegali. (8,10)

Pada 25% kasus, terdapat ruam makulopapular yang bewarna merah dengan

ukuran 1- 5 mm, sering kali dijumpai pada daerah abdomen, toraks, ekstrimitas, dan

punggung pada orang kulit putih, namun tidak pernah dilaporkan ditemukan pada anak

Indonesia. Ruam ini muncul pada hari ke 7 – 10 dan bertahan selama 2 – 3 hari.

Bradikardi relatif jarang dijumpai pada anak. (8)

Jika tidak terjadi komplikasi, gejala klinis akan perlahan lahan menghilang

dalam 2 sampai 4 minggu.(10,11)

16
Common clinical features of thypoid fever in children
TA BLE
Feature Rate (%)
1.
High grade fever 95

Coated tongue 76

Anorexia 70

Muntah 39

Hepatomegali 37

Diare 36

Nyeri abdomen 29

Splenomegali 17

Konstipasi 7

Nyeri kepala 4
GEJALA KLINIS DEMAM TIFOID

7. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis berupa demam, gangguan
gastrointestinal, dan mungkin disertai perubahan atau gangguan kesadaran, dengan
kriteria ini maka seorang klinisi dapat membuat diagnosis tersangka demam tifoid.
Diagnosis definitif demam tifoid dapat ditegakkan dengan isolasi S. typhi dari darah
atau dari lesi anatomi lainnya. Hasil dari kultur darah positif pada 40-60% kasus
demam tifoid pada minggu awal perjalanan penyakit, dan kultur urin maupun feses
positif setelah minggu pertama. Namun biakan yang dilakukan pada urin dan fese,
kemungkinan keberhasilan lebih kecil. Biakan spesimen yang berasal dari aspirasi
sumsum tulang mempunyai sensitivitas tertinggi, hasil positif didapat pada 90% kasus.
Akan tetapi prosedur ini sangat invasif. (8)
Hasil dari laboratorium biasanya nonspesifik. Jumlah leukosit biasanya rendah,
namun jarang dibawah 3000/uL3. Trombositopeni sering dijumpai, kadang kadang
berlangsung selama beberapa minggu. (8)
Uji serologi Widal suatu metode serologik yang memeriksa antibodi aglutinasi
terhadap antigen somatik (O), flagela (H) banyak dipakai untuk membuat diagnosis
demam tifoid. Pemeriksaan ini memiliki sensitifitas dan spesifitas yang rendah bila di

17
daerah endemis karena dapat timbul positif palsu pada daerah endemis.. Di Indonesia
pengambilan angka titer O aglutinin > 1/40 dengan memakai uji Widal menunjukkan
nilai ramal positif 96%. Banyak tempat yang mengatakan jika titer O aglutinin sekali
periksa > 1/200 atau pada titer sepasang teradi kenaikan 4 kali maka diaganosis demam
tifoid dapat ditegakkan. Aglutinin H banyak dikaitkan dengan pasca imunisasi atau
infeksi masa lampau, sedang Vi aglutinin dipakai pada deteksi pembawa kuman S.
typhi (karier). (8)
Tes TUBEX® merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif yang
sederhana dan cepat (kurang lebih 2 menit) dengan menggunakan partikel yang
berwarna untuk meningkatkan sensitivitas. Spesifisitas ditingkatkan dengan
menggunakan antigen O yang benar-benar spesifik yang hanya ditemukan pada
Salmonella serogrup D. Tes ini sangat akurat dalam diagnosis infeksi akut karena
hanya mendeteksi adanya antibodi IgM dan tidak mendeteksi antibodi IgG dalam
waktu beberapa menit.

8. Komplikasi
Komplikasi dapat terjadi pada pasien sekitar 10% - 15% dan biasaya terjadi
pada pasien yang sudah sakit lebih dari 2 minggu. Komplikasi yang paling sering
biasanya perdarahan gastrointestinal, perforasi usus halus, dan ensefalopati tifoid. (9)
Perdarahan gastrointestinal adalah yang paling sering, terjadi lebih dari 10%.
Perdarahan ini berasal dari erosi dari Peyer’s patch yang nekrosis yang menembus
dinding pembuluh darah usus. Pada sebagian kasus, perdarahan minimal dan dapat
diatasi tanpa pemberian transfusi darah. (8,9)
Perforasi usus halus (biasanya ileum) merupakan komplikasi yang sangat serius,
yang terjadi pada 0,5% - 3% pasien. Pada perforasi usus halus ditandai dengan nyeri
abdomen lokal (biasanya pada kuadran kanan bawah). Kemudian diikuti muntah, nyeri
pada perabaan abdomen, defance muscular, dan munculnya gejala peritonitis lain.
Komplikasi -komplikasi ini biasanya didahului oleh peningkatan frekuensi nadi,
penurunan tekanan darah, dan suhu. Peningkatan dari hitung jenis leukosit (shift to left)
dan adanya udara pada foto abdomen 3 posisi dapat ditemukan pada perforasi usus
halus. (8,9)

18
Komplikasi neuropsikiatri jarang didapatkan pada demam tifoid anak. Sebagian
besar bermanifestasi gangguan kesadaran, disorientasi, delirium, stupor, bahkan koma.
Selain itu, bisa juga bermanifestasi sebagai ataxia cerebelar ataxia, chorea, tuli, sindrom
Guillain-barre. Meskipun pasien dengan komplikasi neuropsikiatri bisa berakibat fatal,
namun jarang yang dilaporkan adanya sekuele. (8)
Hepatitis tifosa asimtomatik dapat dijumpai pada kasus demam tifoid ditandai
peningkatan kadar transaminase yang tidak mencolok. Ikterus dengan atau tanpa
disertai kenaikan kadar transaminase, maupun kolesistitis akut dapat dijumpai, sedang
kolesistitis kronik yang terjadi pada penderita setelah mengalami demam tifoid dapat
dikaitkan dengan adanya penderita karier. (10)
Relaps dapat terjadi pada 5-10% kasus demam tifoid, biasanya demam timbul
kembali dua sampai tiga minggu setelah masa resolusi. Pada umumnya, relaps lebih
ringan dibandingkan gejala demam tifoid sebelumnya dan lebih singkat.(10)
Sebagian pasien dengan demam tifoid, masih dapat mengeluarkan bakteri
Salmonella thypi melalui urin pada saat sakit maupun sembuh. Bila pasien sudah
sembuh, hal ini disebut pasien karier. Namun pada anak biasanya jarang terjadi.

IMPORTANT COMPLICATIONS

OF TYPHOID FEVER.

Abdominal

Gastrointestinal perforation

Gastrointestinal hemorrhage

Hepatitis

Cholecystitis (usually subclinical)

Cardiovascular

Asymptomatic electrocardiographic changes

Myocarditis

Shock

19
Neuropsychiatric

Encephalopathy

Delirium

Psychotic states

Meningitis

Impairment of coordination

Respiratory

Bronchitis

Pneumonia (Salmonella enterica serotype typhi,

Streptococcus pneumoniae)

Hematologic

Anemia

Disseminated intravascular coagulation

(usually subclinical)

Other

Focal abscess

Pharyngitis

Miscarriage

Relapse

Chronic carriage

9. Diagnosis Banding
Pada stadium dini demam tifoid, beberapa penyakit dapat menjadi diagnosis
bandingnya yaitu influenza, gastroenteritis akut, bronkitis, bronkopneumonia. Beberapa
penyakit yang disebabkan oleh mikroorganisme intraseluler seperti tuberkulosis,

20
malaria, bruselosis, dan infeksi virus seperti demam dengue, hepatitiss akut juga perlu
dipikirkan. (8,10)

10. Penatalaksaan
Pada area yang endemis, lebih dari 60-90% kasus demam tifoid dapat dirawat di
rumah dengan tirah baring dan antibiotik. Sedangkan untuk pasien yang dirawat di
rumah sakit, pemberian antibiotik yang baik, pemenuhan kebutuhan cairan, elektrolit,
dan nutrisi yang cukup serta observasi kemungkinan timbulnya kompikasi perlu
dilakukan. Pengobatan antibiotik merupakan pengobatan utama karena pada dasarnya
patogenesis infeksi Salmonella typhi berhubungan dengan keadaan bakteremia. (8)
Kloramfenikol masih merupakan pilihan pertama pada pengobatan penderita
demam tifoid. Dosis yang diberikan adalah 100mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 kali
pemberian selama 10 – 14 hari atau sampai 5 -7 hari setelah demam turun, sedangkan
pada kasus malnutrisi, pengobatan dapat berlangsung hingga 21 hari. Salah satu
kelemahan kloramfenikol adalah tingginya angka relaps dan karier. (8)
Akhir - akhir ini cefixime oral 10 – 15 mg/kgBB/hari selama 10 hari dapat
diberikan sebagai alternatif, terutama apabila jumlah leukosit < 2000/ ul atau dijumpai
resistensi terhadap S.thypi. (8)
Pada demam tifoid kasus berat seperti delirium, obtundasi, stupor, koma,
pemberian deksametason intravena (3 mg/kgBB diberikan dalam 30 menit untuk dosis
awal, dilanjutkan dengan 1 mg/kg tiap 6 jam sampai 48 jam) disamping antibiotik yang
memadai, dapat menurunkan angka mortalitias dari 35%- 55% menjadi 10%. (8)
Demam tifoid dengan komplikasi perdarahan usus kadang kadang memerlukan
transfusi darah. Laparatomi harus segera dilakukan pada perforasi usus disertai
penambahan metronidazol dapat memperbaiki prognosis. Transfusi trombosit
dianjurkan untuk pengobatan trombositopenia yang dianggap cukup berat hingga
menyebabkan perdarahan saluran cerna pada pasien pasien yang masih dalam
pertimbangan untuk dilakukan intervensi bedah.(8)
Ampisilin atau amoksisilin dosis 40 mg/kgBB/hari dalam 3 dosis peroral
ditambah dengan probenecid 30 mg/kg/hari dalam 3 dosis peroral atau TMP-SMZ
selama 4 – 6 minggu memberikan angka kesembuhan 80% pada karier tanpa penyakit
saluran empedu. Bila terdapat kolelitiasis, pemberian antibiotik saja jarang berhasil,
kolesistektomi dianjurkan setelah pemberian antibiotik (ampisilin 200mg/kgBB/hari

21
dalam 4-6 dosis IV selama 7 – 10 hari), setelah kolesistektomi dilanjutkan dengan
amoksisilin 30 mg/kgBB/hari dalam 3 dosis peroral selama 30 hari. (8)

11. Prognosis
Prognosis demam tifoid tergantung ketepatan terapi, usia, keadaan kesehatan
sebelumnya, dan ada tidaknya komplikasi. Di negara berkembang, angka mortalitasnya
>10% biasanya karena keterlambatan diagnosis, perawatan, dan pengobatan. Munculna
kompikasi mengakibatkan morboditas dan mortalitas yang tinggi. (8,10)
Walaupun mendapat terapi yang sesuai, relaps dapat timbul beberapa kali pada
2-4% kasus. Individu yang mengeluarkan Salmonella thypi > 3 bulan setelah infeksi
umumnya menjadi karier kronis. Risiko menjadi karier pada anak - anak rendah (<2%
pada anak - anak yang terinfeksi) dan meningkat sesuai usia. Karier urin kronis juga
dapat terjadi pada individu dengan skistosomiasis. (10)

DAFTAR PUSTAKA

1. Prof. Dr. dr. Sastroasmoyo, Sudigdo, SpA(K). 2015. Panduan Praktis Klinis
Departemen Ilmu Kesehatan Anak. RSCM. Jakarta. Divisi infeksi tropik: 157.
2. Soedarmo SSP, Garna H, Hadinegoro SRS. Buku Ajar Infeksi & Pediatri Tropis
edisi kedua. Jakarta : Balai Penerbit FKUI. 2012
3. Hirz, DG. Febrile Seizures. Ped in Rev 1997; 18:5-9
4. Depkes RI. (2006). Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
364/MENKES/SK/V/2006 tentang Pedoman Pengendalian Demam Tifoid.
Jakarta: Departeman Kesehatan Republik Indonesia.

22
5. Waldo. E., Neelson, MD. 2000. Ilmu Kesehatan Anak (Neelson Textbook Of
Pediatri). Edisi 15. Jakarta. EGC.
6. Thypoid fever. 2013. Available at:
http://www.cdc.gov/nczved/divisions/dfbmd/diseases/typhoid_fever/. Accesed
in 23 April 2014

7. Masnsjoer, dkk. 1999. Kapita Selekta Kedokteran. Media Aesculapius Fakultas


Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.
8. ILAE, Commission on Epidemiology and Prognosis. Epilepsia. 1993;34; 592-B
9. Christopher P, Dougan G, White N, Farrar J. Review Article Thypoid Fever. The
New England Journal of Medicine. 2002.p. 1770-82.
10. Kliegman, Stanton, Schor, Behrman, St Geme. Nelson Textbook of Pediatrics.
Edisi 19. Philadelpia : Elsevier, 2011. P. 954-58

23

Anda mungkin juga menyukai