Anda di halaman 1dari 6

PENERAPAN PASAL PIDANA DALAM PENYIDIKAN

Merumuskan suatu pasal tindak pidana dalam proses


penyidikan bertujuan untuk menentukan secara awal
apakah suatu perbuatan seseorang telah memenuhi
unsur dari salah satu pasal dari suatu tindak pidana
(Delict). Dari pandangan hukum positif, selanjutnya
penyidik berdasarkan bukti awal yang cukup
menentukan tersangka apakah sudah memenuhi
persyaratan hukum pidana untuk diajukan kepada
penuntut umum, atau dapat diambil langkah lain yang
merupakan pertanggungjawaban dalam hukum pidana
atas perbuatan yang dilakukan atau yang disebut
dengan “criminal responsibility”.

Dalam suatu proses rangkaian kegiatan manajemen


(planning, organizing, actuating dan controlling)
penyelidikan dan penyidikan baik dilakukan secara
konvensional (logika berdasarkan fakta) maupun
dilakukan secara ilmiah (methode dan peralatan)
penyidik dapat menggambarkan perbuatan yang
tadinya bersifat umum/general menjadi kesimpulan
yang focus dan factual lengkap dengan proses
pembuktiannya. Hasil administrasi penyidikan yang
disajikan kepada penuntut umum (melalui atasan)
yang sudah memenuhi persyaratan formil dan materiil
merupakan karya nyata bagi setiap penyidik (Polri).

Penyidik merupakan jabatan (fungsional) yang


Penyidik merupakan jabatan (fungsional) yang
harus didukung oleh suatu keahlian pola pikir dan
ketrampilan untuk melakukan suatu proses tindakan
penanganan perkara (tindak pidana). Mulai dari
menganalisa Informasi/Laporan, menerapkan pasal
yang sesuai sampai pada penerimaan putusan dari
pengadilan.

Ada beberapa bentuk penerapan pasal dalam


penyidikan tindak pidana yang perlu dipahami oleh
penyidik sebagai langkah awal penggambaran
pembuatan surat dakwaan yang selanjutnya menjadi
porsi tugas profesi penuntut umum (Jaksa) ; yaitu :

a. Pasal Tunggal

Penerapan pasal hanya satu/tunggal tidak ada pilihan


lain maupun pengganti atau komulasi /kombinasi.
Digunakan bila berdasar pembuktian terhadap
materi perkara hanya satu tindak pidana saja. Tidak
terdapat kemungkinan-kemungkinan alternatif atau
kemungkinan untuk merumuskan tindak pidana
lain sebagai penggantinya atau kemungkinan untuk
mengkumulasikan atau mengkombinasikan tindak
pidana.

Contoh : Melanggar Pasal : 359 KUHP.

b. Pasal Alternatif

Tersusun dari beberapa pasal tindak pidana yang


Tersusun dari beberapa pasal tindak pidana yang
antara tindak pidana yang satu dengan tindak pidana
yang lain bersifat saling mengecualikan. Dasar
pertimbangan penggunaan pasal alternatif karena
penyidik belum yakin benar tentang kualifikasi atau
pasal yang tepat untuk diterapkan pada tindak pidana
tersebut. Biasanya digunakan dalam hal antara
kualifikasi tindak pidana yang satu dengan kualifikasi
tindak pidana yang lain menunjukan corak/ciri yang
sama atau hampir bersamaan. Misal :

– Pencurian atau Penadahan


– Penipuan atau Penggelapan

– Pembunuhan atau Penganiayaan

Pembuktiannya lebih sederhana karena dakwaan


tidak perlu dibuktikan secara ber-urut tetapi langsung
kepada tindak pidana yang terbukti.

Contoh : Primer : Pasal : 378 KUHP (penipuan) atau


Subsider 372 KUHP (penggelapan)

Dalam bentuk pasal alternative apabila salah satu


pasal telah dinyatakan terbukti maka pasal lainnya
tidak perlu dipertimbangkan lagi. Bila tuduhan primer
tidak terbukti baru diberlakukan tuduhan subsider-nya.

c. Pasal Subsider / Berlapis

Subsider (–pasal urutan kedua menggantikan


Subsider (–pasal urutan kedua menggantikan
pasal pertama). Dakwaan subsider adalah sebagai
pengganti dari pada dakwaan primer dan seterusnya.
Bentuk ini dipergunakan apabila suatu akibat yang
ditimbulkan oleh suatu tindak pidana menyentuh atau
menyinggung beberapa ketentuan pidana.

Kualifikasi tindak pidananya maupun mengenai pasal


yang dilanggar masih ragu. Susunan pasal Subsider
adalah tindak pidana yang diancam dengan pidana
pokok terberat ditempatkan pada lapisan atas dan
yang lebih ringan berada dibawahnya.. Meskipun
terdapat beberapa pasal tindak pidana tetapi yang
akan dibuktikan hanya salah satu saja.

Ditinjau dari system pembuktiannya penerapan


pasal ini ada kemiripan dengan penerapan pasal
alternatif, karena hanya satu pasal saja yang akan
dibuktikan. Perbedaannya ialah pembuktian pasal
subsider dilakukan secara ber-urut dengan mulai
pada pasal tindak pidana yang diancam dengan
pidana terberat sampai kepada pasal yang dipandang
terbukti. Sedangkan pada penerapan pasal alternative
pembuktiannya langsung dilakukan kepada lapisan
dakwaan yang dipandang terbukti, tanpa perlu
dibuktikan lebih dahulu pasal-pasal sebelumnya.

Pada penerapan pasal Subsider pasal tindak pidana


yang diancam dengan pidana terberat ditempatkan
pada urutan teratas, disusul dengan ancaman yang
lebih ringan. Pada pasal alternatif cara penempatan
lebih ringan. Pada pasal alternatif cara penempatan
lapisan demikian tidak dikenal. Pada penerapan pasal
alternatif antara pasal yang satu dengan pasal yang
lain dipisah oleh kata-kata atau, sedangkan pada
subsider tidak dikenal.

Contoh penyusunan pasal Subsider :

– Primer : melanggar pasal 340 KUHP

– Subsider : melanggar pasal 338 KUHP

– Lebih Subsider : melanggar pasal 335 KUHP

– Lebih Subsider lagi : melanggar pasal 353 KUHP

– Lebih-lebih Subsider lagi : melanggar pasal 351 ayat


3 KUHP

Satu hal yang perlu diperhatikan bahwa dalam


penggunaan pasal subsider ialah dalam satu tindak
pidana yang akibatnya menyentuh pula beberapa
ketentuan pidana. Bukan dalam pengertian satu tindak
pidana yang melanggar beberapa ketentuan pidana.

d. Pasal Komulatif

Disebut juga dengan istilah pasal dakwaan berangkai,


menggambarkan bahwa dalam pasal dakwaan itu
terdapat beberapa tindak pidana yang didakwakan
dan kesemuanya harus dibuktikan.Bentuk
dan kesemuanya harus dibuktikan.Bentuk
seperti ini dipergunakan dalam hubungannya
dengan samenloop/concursus atau deelneming.
Dipergunakan dalam hal menghadapi seorang yang
melakukan beberapa tindak pidana atau beberapa
orang yang melakukan satu tindak pidana, terjadinya
suatu komulasi, baik komulasi perbuatan maupun
komulasi pelakunya.

Masalah penerapan pasal ini menjadi cukup rumit


apabila kurang adanya persamaan persepsi antara
penyidik dengan penuntut umum. Karena dalam pasal
yang sama bisa saja terjadi pemahaman yang berbeda.
Terakhir diubah: 1 Okt 2018

Anda mungkin juga menyukai