Anda di halaman 1dari 10

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 06 Tahun 2014 Tentang Desa

(UU No. 06 Tahun 2014) pada tanggal 15 Januari tahun 2014, pengaturan tentang Desa

mengalami perubahan secara signifikan. Dari sisi regulasi, Desa (Nagari) tidak lagi

menjadi bagian dari Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan

Daerah. Desa-desa di Indonesia akan mengalami pendekatan baru dalam pelaksanaan

pembangunan dan tata kelola pemerintahannya.

Dalam UU No. 06 Tahun 2014 Pasal 1 (1), dijelaskan bahwa Desa adalah

kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk

mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat

berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui

dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Sebagai daerah administratif, Desa memiliki kewenangan dalam penyelenggaraan

administrasi Pemerintahan Desa dan pengelolaan keuangan Desa. Hal ini tentu saja

berimplikasi pada kemampuan Pemerintah Desa sebagai pelaksana kewenangan otonom

dan sumber keuangan potensial yang harus ditemukan. Selain itu juga memberi jaminan

yang lebih pasti bahwa setiap Desa akan menerima dana dari pemerintah melalui

anggaran negara dan daerah yang jumlahnya di atas jumlah yang selama ini tersedia

dalam anggaran Desa. Kebijakan ini memiliki konsekuensi terhadap proses

pengelolaannya yang seharusnya dilaksanakan secara profesional, efektif dan efisien,

1
serta akuntabel yang didasarkan pada prinsip-prinsip manajemen publik yang baik agar

terhindarkan dari resiko terjadinya penyimpangan, penyelewengan dan korupsi.

Ditetapkannya UU No. 06 Tahun 2014, telah berhasil menggabungkan fungsi

self governing community dengan local self government, sehingga Desa memenuhi

syarat sebagai entitas pelaporan, karena bentuk umum Desa menurut peraturan

perundang-undangan berciri pemisahan kekuasaan Desa dari Kabupaten/Kota,

pembentukan Desa dari proses politik, memiliki karakteristik otonomi secara memadai,

mempunyai kekayaan Desa yang tidak termasuk dalam kekayaan Kabupaten, menerima

alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan

dan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten, mempunyai sistem kepemerintahan dengan

perangkat Desa dan kelembagaan setara Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD),

menggunakan sistem anggaran mandiri terlepas dari APBD Kabupaten

(http://www.ksap.org/sap/desa/).

Entitas Desa memiliki kewenangan yang lebih besar dalam hal belanja termasuk

kewenangan untuk membentuk Badan Usaha Desa. Konsekuensi kewenangan

membentuk Badan Usaha Desa mencerminkan adanya wewenang untuk melakukan

pengeluaran pembiayaan seperti pada entitas pelaporan. Kegagalan entitas pelaporan

Pemerintah Desa dalam menyusun laporan keuangan yang wajar, mengakibatkan saat

laporan keuangan penggabungan di tingkat Pemerintah Daerah (Pemda) disusun juga

menjadi tidak wajar, saat laporan keuangan konsolidasi di tingkat Pemerintah Provinsi

(Pemprov) dan Pemerintah Pusat (Pempus) juga menjadi tidak wajar (Junaidi, 2015).

2
Pemerintah memiliki komitmen yang kuat terkait pelaksanaan UU No. 06 Tahun

2014, yang dibuktikan dengan telah disetujuinya Anggaran Dana Desa sejumlah Rp.

20,7 triliun dalam APBNP 2015 yang akan disalurkan ke 74.093 Desa di seluruh

Indonesia. Kemudian pada tahun 2016 mengalami peningkatan yang sangat signifikan

yaitu naik sebesar 125% sehingga menjadi Rp. 46,98 triliun. Sehingga, jika pada tahun

2015 setiap Desa rata-rata menerima Rp. 300.000.000,- maka pada tahun 2016 masing-

masing Desa mendapatkan anggaran mulai dari Rp. 600.000.000,- hingga

Rp.800.000.000,-. Selain menerima dana langsung dari pusat, sumber pembiayaan

keuangan Desa yang besar juga berasal dari transfer dana pusat melalui APBD yang

dikenal dengan Alokasi Dana Desa (ADD). Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor

43 tahun 2014 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Desa (PP No. 43 Tahun 2014),

formulasi perhitungan ADD adalah minimal 10% dari dana transfer pusat ke daerah

dikurangi Dana Alokasi Khusus (DAK).

Terkait dengan besarnya anggaran yang akan diterima oleh Desa, Komisi

Pemberantasan Korupsi (2015) telah melakukan kajian pengelolaan keuangan Desa.

Secara umum tujuan dari kajian ini adalah melakukan pemetaan dan analisis terhadap

kelemahan sistem administrasi yang berisiko menimbulkan fraud dan korupsi dalam

pengelolaan keuangan Desa khususnya dalam pengelolaan Dana Desa dan Alokasi

Dana Desa. Berdasarkan hasil analisis atas regulasi dan temuan di lapangan pada saat

observasi yang dilakukan oleh KPK, terdapat (14) empat belas potensi masalah

pengelolaan Dana Desa. Potensi masalah dalam kajian ini terbagi ke dalam 4 (empat)

bagian yakni potensi masalah dalam regulasi dan kelembagaan, tata laksana,

pengawasan dan sumber daya manusia. .

3
Kemudian berdasarkan kajian Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan

(2015), salah satu pendekatan pengawasan yang dapat dilakukan adalah dengan melihat

risiko-risiko yang dapat menghambat pencapaian tujuan pengelolaan dana tersebut.

Beberapa Risiko yang dapat terjadi dalam pengelolaan keuangan Desa tingkat entitas

Pemerintahan Desa antara lain:

1. Program dan Kegiatan pada RPJM Des, RKP Des, dan APB Des tidak sesuai
aspirasi/kebutuhan masyarakat Desa.
2. Kegagalan menyelenggarakan siklus pengelolaan keuangan Desa yang sehat.
3. Kegagalan atau keterlambatan penyusunan Laporan Penyelenggaraan
Pemerintah Desa, termasuk Laporan Pertanggungjawaban Realisasi Pelaksanaan
APB Des.
4. Pengelolaan Aset Desa yang tidak efisien dan efektif.
5. Penggunaan Kas Desa secara tidak sah.
6. Mark up dan atau Kick Back pada pengadaan barang/jasa.
7. Penggunaan aset Desa untuk kepentingan pribadi Aparat Desa secara tidak sah.
8. Pungutan liar layanan Desa.
9. Kesalahan penetapan nilai tagihan.
10. Penerimaan kas tidak disetor seluruhnya/sebagian ke Kas Desa.

Sebagai pedoman dalam pengelolaan keuangan Pemerintah Desa, Pemerintah

telah menetapkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 113 tahun 2014 tentang

Pengelolaan Keuangan Desa (Permendagri No. 113 Tahun 2014). Pada Pasal 1 (6)

dijelaskan bahwa pengelolaan keuangan Desa merupakan seluruh rangkaian kegiatan

yang dimulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan hingga

pertanggung jawaban yang dilaksanakan dalam satu tahun anggaran terhitung 1 Januari

sampai dengan 31 Desember. Pengelolaan keuangan Desa dilaksanakan berdasarkan

azas transparan, akuntabel, partisipatif, tertib dan disiplin anggaran.

4
Dari data dan informasi yang diperoleh dalam pengelolaan keuangan Desa pada

Tahun Anggaran 2015, masih banyak terdapat permasalahan dalam proses perencanaan,

pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, pertanggungjawaban dan pengawasan. Pada

proses perencanaan penyusunan APB Desa belum sesuai dengan prioritas penggunaan

dana Desa yang diatur dalam Peraturan Menteri Desa nomor 05 tahun 2015 (Permendes

No. 5 Tahun 2015), dimana terdapat empat prioritas penggunaan Dana Desa, yakni

pemenuhan kebutuhan dasar, pembangunan sarana dan prasarana Desa, pengembangan

potensi ekonomi lokal, dan pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan secara

berkelanjutan. Pada tahun 2015 juga masih banyak terjadi keterlambatan pencairan

Dana Desa di Kabupaten/Kota di Indonesia. Teknis pencairan dana Desa dilakukan

dalam tiga tahap, pada bulan April (40 persen), Agustus (40 persen) dan Oktober (20

persen). Untuk pencairan Dana Desa tahap pertama tahun 2015 baru mencapai 80

persen pada bulan April, keterlambatan tersebut karena belum ditetapkannya Peraturan

Daerah oleh Pemerintah Kabupaten/Kota tentang acuan pencairan Dana Desa.

Kemudian pencairan Dana Desa tahap ketiga juga mengalami keterlambatan,

seharusnya dana Desa tahap ketiga sudah dicairkan pada pekan kedua Oktober. Namun,

hingga memasuki pekan kedua Desember banyak Desa yang belum mencairkan

dananya, sehingga mengganggu pelaksanaan program/kegiatan dan penyusunan

administrasi keuangan. Realisasi dana Desa per tanggal 21 Oktober 2015 sudah

mencapai Rp. 16,61 triliun atau 80 persen dari total Dana Desa. Penyebab penundaan

pencairan Dana Desa tahap ketiga karena masih banyak daerah yang belum melaporkan

realisasi Dana Desa tahap I dan II (http://sekolahdesa.or.id/tag/dana-desa/). Pada tahun

2016 sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 49/PMK.07/2016 tentang Tata

5
Cara Pengalokasian, Penyaluran, Penggunaan, Pemantauan Dan Evaluasi Dana Desa

(Permenkeu No. 49/PMK.07.2016) maka paenyaluran Dana Desa dilakukan dua tahap,

dimana Tahap I pada Bulan Maret sebesar 60 % dan Tahap II pada bulan Agustus

sebesar 40%.

Terkait dengan bertambah besarnya jumlah dana yang akan dikelola oleh

Pemerintahan Desa, maka diperlukan kesiapan pengelola keuangan Desa. Pemberian

dana ke Desa yang begitu besar, jumlah pelaporan yang beragam serta adanya titik-titik

kritis dalam pengelolaan keuangan desa tentunya menuntut tanggung jawab yang besar

pula oleh Aparat Pemerintah Desa. Oleh karena itu Pemerintah Desa harus bisa

menerapkan prinsip akuntabilitas, transparansi, partisipasi, dan disiplin anggaran dalam

pengelolaan keuangan Desa, dimana semua akhir kegiatan penyelenggaraan

Pemerintahan Desa harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat Desa sesuai

dengan ketentuan sehingga terwujud tata kelola Pemerintahan Desa yang baik.

Beberapa penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti sebelumnya terkait

dengan pengelolaan keuangan Desa (Nagari) antara lain dilakukan oleh Furqani (2010)

yang meneliti tentang Pengelolaan Keuangan Desa dalam Mewujudkan Good

Governance, hasil penelitiannya menunjukkan bahwa dalam pengelolaan keuangan

Desa prinsip transparansi terjadi hanya ketika proses perencanaan. Hampir semua

proses tidak memenuhi prinsip tanggung jawab. Sementara akuntabilitas sangat rendah

karena tanggung jawab tidak melibatkan masyarakat dan Badan Permusyawaratan Desa

(BPD).

6
Setelah diberlakukannya UU No. 6 Tahun 2014 masih sangat sedikit penelitian

yang khususnya mengenai evaluasi pengelolaan keuangan Desa. Junaidi (2015)

melakukan penelitian tentang Perlakuan Akuntansi Sektor Publik Desa di Indonesia,

adapun aspek yang diteliti meliputi kebijakan akuntansi, proses penyusunan anggaran,

pelaksanaan anggaran dan analisis keuangan Desa. Hasil penelitiannya adalah; (1)

Diperlukan suatu peraturan yang sifatnya teknis dan terpadu yang dapat dijadikan acuan

bagi Pelaksana Teknis Pengelola Keuangan Desa (PTPKD) untuk menyusun laporan

keuangan keuangan Desa. (2) Kompilasi, analisis dan publikasi laporan keuangan antar

Desa menjadi tugas Pemerintah Daerah agar terjadi budaya kompetitif untuk

mensejahterakan Desa. (3) Diperlukan landasan hukum untuk memanfaatan dana

cadangan guna diinvestasikan pada instrument keuangan untuk memperoleh return

yang relatif besar.

Pemerintah Kabupaten Pesisir Selatan sebagai salah satu Kabupaten di Sumatera

Barat, pada tahun 2015 menerima Dana Desa sebanyak Rp. 36.000.000.000 dari

Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) dan Dana Alokasi Umum Nagari yang

bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) sebanyak

Rp.38.000.000.000, serta dana stimulus Nagari sebesar Rp. 4.500.000.000, dengan

adanya dana tersebut, maka total dana yang bakal diterima seluruh Nagari mencapai Rp.

78.500.000.000 miliar untuk 182 Nagari. Kemudian pada tahun 2016 terjadi

peningkatan jumlah Dana Desa yang diterima yaitu sebanyak Rp. 112.965.680.000,

sedangkan dari Alokasi Dana Nagari sebanyak Rp. 87.268.570.200.

7
Berdasarkan pengamatan dan dan informasi yang diperoleh selama ini dalam

pengelolaan keuangan Nagari di Kabupaten Pesisir Selatan masih banyak permasalahan

yang terjadi, antara lain; keterlambatan pencairan anggaran dan pelaksanaan

program/kegiatan, kesalahan dalam penatausahaan keuangan dan pembuatan surat

pertanggungjawaban, keterlambatan penyusunan dan penyampaian laporan keuangan,

dan masih terdapat temuan-temuan dari hasil pemeriksaan Inspektorat Daerah.

Berdasarkan uraian di atas, maka Penulis tertarik untuk mengadakan penelitian

pada Pemerintahan Nagari di Kabupaten Pesisir Selatan dengan judul “Evaluasi

Pengelolaan Keuangan Pemerintah Nagari di Kabupaten Pesisir Selatan (Studi

Kasus Pemerintah Nagari Talang Koto Pulai Tapan)”.

1.2 Perumusan Masalah

Dalam penelitian ini akan dilakukan evaluasi pengelolaan keuangan Pemerintah

Nagari, yang secara rinci diuraikan sebagai berikut:

a. Bagaimanakah pengelolaan keuangan Pemerintah Nagari Talang Koto Pulai

Tapan berdasarkan Peraturan Perundang-undangan dan Petunjuk

Pelaksanaan yang telah ditetapkan?

b. Apakah kendala-kendala yang ditemui dalam pengelolaan keuangan

Pemerintah Nagari Talang Koto Pulai Tapan?

8
1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang telah diuraikan

sebelumnya, maka tujuan dari penelitian ini adalah :

a. Untuk mengevaluasi pengelolaan keuangan Pemerintah Nagari Talang Koto

Pulai Tapan tahun 2016.

b. Untuk mengetahui kendala-kendala dalam pengelolaan keuangan

Pemerintahan Nagari Talang Koto Pulai Tapan tahun 2016.

1.4 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini, antara lain:

a. Bagi Peneliti

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi tambahan ilmu pengetahuan,

wawasan dan pengalaman praktis bagi peneliti dalam menerapkan teori yang

telah di dapat selama berada di bangku perkuliahan.

b. Bagi Akademisi

Sebagai bahan acuan untuk penelitian-penelitian selanjutnya dan diharapkan

dapat menambah wawasan kepada akademisi mengenai pengelolaan

keuangan Pemerintah Desa (Nagari).

c. Bagi Pemerintah

Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai sumber informasi dan

diharapkan dapat memberikan masukan terhadap pengelolaan keuangan

Pemerintahan Nagari di Kabupaten Pesisir Selatan.

9
1.5 Batasan Penelitian

Penulis membatasi ruang lingkup penelitian ini pada evaluasi pengelolaan

keuangan Pemerintah Nagari Talang Koto Pulai Tapan, Kecamatan Ranah Ampek Hulu

Tapan, Kabupaten Pesisir Selatan berdasarkan peraturan perundangan-undangan dan

petunjuk pelaksanaan.

1.6 Sistematika Penulisan

BAB I PENDAHULUAN, Pada bab ini akan diuraikan tentang latar belakang,

perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, serta sistematika penulisan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, pada bab ini berisi teori-teori dan peraturan-

peraturan sebagai dasar hukum yang melandasi pembahasan dari masalah yang akan

diteliti.

BAB III METODOLOGI PENELITIAN, menguraikan secara jelas tentang metode

penelitian

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN, mengemungkakan tentang

hasil penelitian dan pembahasan

BAB V PENUTUP, pada bab ini memuat kesimpulan akhir dari penelitian,

keterbatasan penelitian, implikasi penelitian, serta saran-saran bagi kemungkinan

pengembangan penelitian lanjutan.

10

Anda mungkin juga menyukai