Anda di halaman 1dari 15

KARYA SENI BERCORAK HINDU

1. Candi Cetho

Candi Ceto (hanacaraka: ejaan bahasa Jawa latin: cethå)


merupakan candi bercorak agama Hindu yang diduga kuat
dibangun pada masa-masa akhir era Majapahit (abad ke-15
Masehi). Lokasi candi berada di lereng Gunung Lawu pada
ketinggian 1496 m di atas permukaan laut[1], dan secara
administratif berada di Dusun Ceto,
Desa Gumeng, Kecamatan Jenawi, Kabupaten
Karanganyar.
Kompleks candi digunakan oleh penduduk setempat
dan juga peziarah yang beragama Hindu sebagai tempat
pemujaan. Candi ini juga merupakan tempat pertapaan
bagi kalangan penganut kepercayaan asli Jawa/Kejawen.
Laporan ilmiah pertama mengenai Candi Ceto dibuat oleh
van de Vlies pada tahun 1842[1]. A.J. Bernet Kempers juga
melakukan penelitian mengenainya. Ekskavasi
(penggalian) untuk kepentingan rekonstruksi dan
penemuan objek terpendam dilakukan pertama kali pada
tahun 1928 oleh Dinas Purbakala (Commissie vor
Oudheiddienst) Hindia Belanda. Berdasarkan keadaannya
ketika reruntuhannya mulai diteliti, candi ini diperkirakan
berusia tidak jauh berbeda dari Candi Sukuh, yang cukup berdekatan lokasinya. Ketika
ditemukan keadaan candi ini merupakan reruntuhan batu pada 14 teras/punden bertingkat,
memanjang dari barat (paling rendah) ke timur, meskipun pada saat ini tinggal 13 teras, dan
pemugaran dilakukan pada sembilan teras saja. Strukturnya yang berteras-teras ("punden
berundak") memunculkan dugaan akan sinkretisme kultur asli Nusantara dengan
Hinduisme. Dugaan ini diperkuat oleh aspek ikonografi. Bentuk tubuh manusia pada relief-
relief menyerupai wayang kulit, dengan wajah tampak samping tetapi tubuh cenderung
tampak depan. Penggambaran serupa, yang menunjukkan ciri periode sejarah Hindu-
Buddha akhir, ditemukan di Candi Sukuh.
Pemugaran pada akhir 1970-an yang dilakukan sepihak oleh Sudjono Humardani,
asisten pribadi Suharto (presiden kedua Indonesia) mengubah banyak struktur asli candi,
meskipun konsep punden berundak tetap dipertahankan. Pemugaran ini banyak dikritik oleh
para pakar arkeologi, mengingat bahwa pemugaran situs purbakala tidak dapat dilakukan
tanpa studi yang mendalam. Beberapa objek baru hasil pemugaran yang dianggap tidak
original adalah gapura megah di bagian depan kompleks, bangunan-bangunan dari kayu
tempat pertapaan, patung-patung yang dinisbatkan
sebagai Sabdapalon, Nayagenggong, Brawijaya V, serta phallus, dan bangunan kubus pada
bagian puncak punden.
Selanjutnya, Bupati Karanganyar periode 2003-2008, Rina Iriani, dengan alasan
untuk menyemarakkan gairah keberagamaan di sekitar candi, menempatkan arca Dewi
Saraswati, sumbangan dari Kabupaten Gianyar, pada bagian timur kompleks candi, pada
punden lebih tinggi daripada bangunan kubus.
Pada keadaannya sejak renovasi, kompleks Candi Ceto terdiri dari sembilan
tingkatan berundak. Sebelum gapura besar berbentuk candi bentar, pengunjung mendapati
dua pasang arca penjaga. Aras pertama setelah gapura masuk (yaitu teras ketiga)
merupakan halaman candi. Aras kedua masih berupa halaman. Pada aras ketiga
terdapat petilasan Ki Ageng Krincingwesi, leluhur masyarakat Dusun Ceto.
Sebelum memasuki aras kelima (teras ketujuh), pada dinding kanan gapura terdapat
inskripsi (tulisan pada batu) dengan aksara Jawa Kuno berbahasa Jawa Kuno
berbunyi pelling padamel irikang buku tirtasunya hawakira ya hilang saka kalanya wiku goh
anaut iku 1397[1]. Tulisan ini ditafsirkan sebagai fungsi candi untuk menyucikan diri (ruwat)
dan penyebutan tahun pembuatan gapura, yaitu 1397 Saka atau 1475 Masehi. Di teras
ketujuh terdapat sebuah tataan batu mendatar di permukaan tanah yang menggambarkan
kura-kura raksasa, surya Majapahit (diduga sebagai lambang Majapahit), dan
simbol phallus (penis, alat kelamin laki-laki) sepanjang 2 meter dilengkapi dengan
hiasan tindik (piercing) bertipe ampallang. Kura-kura adalah lambang penciptaan alam
semesta sedangkan penis merupakan simbol penciptaan manusia. Terdapat penggambaran
hewan-hewan lain, seperti mimi, katak, dan ketam. Simbol-simbol hewan yang ada, dapat
dibaca sebagai suryasengkala berangka tahun 1373 Saka, atau 1451 era modern. Dapat
ditafsirkan bahwa kompleks candi ini dibangun bertahap atau melalui beberapa kali
renovasi.
Pada aras selanjutnya dapat ditemui jajaran batu pada dua dataran bersebelahan
yang memuat relief cuplikan kisah Sudamala, seperti yang terdapat pula di Candi Sukuh.
Kisah ini masih populer di kalangan masyarakat Jawa sebagai dasar upacara ruwatan. Dua
aras berikutnya memuat bangunan-bangunan pendapa yang mengapit jalan masuk candi.
Sampai saat ini pendapa-pendapa tersebut digunakan sebagai tempat pelangsungan
upacara-upacara keagamaan. Pada aras ketujuh dapat ditemui dua arca di sisi utara dan
selatan. Di sisi utara merupakan arca Sabdapalon dan di selatan Nayagenggong, dua tokoh
setengah mitos (banyak yang menganggap sebetulnya keduanya adalah tokoh yang sama)
yang diyakini sebagai abdi dan penasehat spiritual Sang Prabu Brawijaya V.
Pada aras kedelapan terdapat arca phallus (disebut "kuntobimo") di sisi utara dan
arca Sang Prabu Brawijaya V dalam wujud mahadewa. Pemujaan terhadap
arca phallusmelambangkan ungkapan syukur dan pengharapan atas kesuburan yang
melimpah atas bumi setempat. Aras terakhir (kesembilan) adalah aras tertinggi sebagai
tempat pemanjatan doa. Di sini terdapat bangunan batu berbentuk kubus.
Di bagian teratas kompleks Candi Ceto terdapat sebuah bangunan yang pada masa
lalu digunakan sebagai tempat membersihkan diri sebelum melaksanakan upacara ritual
peribadahan (patirtan). Di timur laut bangunan candi, dengan menuruni lereng, ditemukan
sebuah kompleks bangunan candi yang kini disebut sebagai Candi Kethek ("Candi Kera").

2. Candi Asu
Candi Asu adalah nama sebuah candi peninggalan
budaya Hindu yang terletak di Desa Candi Pos,
Kelurahan Sengi, kecamatan Dukun, Kabupaten
Magelang, Provinsi Jawa Tengah. Nama candi
tersebut merupakan nama baru yang diberikan oleh
masyarakat sekitarnya. Disebut Candi Asu karena
dahulu di dekat candi tersebut terdapat banyak
anjing.

Candi ini terletak di lereng Gunung Merapi di


dekat pertemuan Sungai Pabelan dan Sungai
Telingsing, kira-kira 10 km di sebelah timur laut
dari Candi Ngawen. Di dekatnya juga terdapat 2
buah candi Hindu lainnya, yaitu Candi
Pendem dan Candi Lumbung.
Candi Asu menghadap ke barat. Candi ini berdenah bujur sangkar dengan panjang
sisi 7,94 meter. Tinggi kaki candi 2,5 meter, tinggi tubuh candi 3,35 meter. Tinggi bagian
atap candi tidak diketahui karena telah runtuh dan sebagian besar batu hilang. Dengan
ukuran tersebut, candi ini termasuk candi kecil.
Di dekat Candi Asu telah diketemukan dua buah prasasti batu berbentuk tugu
(lingga), yaitu prasasti Sri Manggala I (874 M) dan Sri Manggala II (874 M).

3. Candi Gunung Wukir


Candi Gunung Wukir
adalah candi Hindu yang berada di Dusun
Canggal, Desa Kadiluwih,
Kecamatan Salam, Kabupaten
Magelang, Jawa Tengah.

Candi ini berada di atas Bukit Wukir, yang


oleh masyarakat sekitar disebut Gunung
Wukir, di lereng barat Gunung Merapi. Lokasi
ini berada di sebelah timur laut
Kecamatan Muntilan Kabupaten Magelang. Candi Gunung Wukir dapat dicapai dengan
angkutan umum ke arah Kecamatan Ngluwar hingga Desa Kadiluwih Dusun Canggal, yang
disambung dengan berjalan kaki ke atas bukit lebih kurang 300 meter dpl.

Candi ini merupakan candi tertua yang dapat dihubungkan dengan angka tahun.
Berdasarkan prasasti Canggal yang ditemukan pada tahun 1879 di reruntuhan, candi ini
didirikan pada saat pemerintahan raja Sanjaya dari zaman Kerajaan Mataram Kuno, yaitu
pada tahun 732 M (654 tahun Saka). Prasasti ini memiliki banyak informasi berkait
dengan Kerajaan Medang atau Mataram Hindu. Berdasarkan prasasti ini, Candi Gunung
Wukir mungkin memiliki nama asli Shiwalingga atau Kunjarakunja.

Kompleks tempat reruntuhan candi ini berada mempunyai ukuran 50 m × 50 m.


Bangunan candi sendiri terbuat dari jenis batu andesit setidaknya terdiri atas satu candi
induk dan tiga candi perwara. Selain prasasti, di kompleks candi ini juga
ditemukan yoni, lingga (lambang dewa Siwa), dan arca lembu betina atau Nandi.

4. Candi Prambanan

Candi Prambanan atau Candi Roro


Jonggrang adalah
kompleks candi Hindu terbesar di Indonesia yang
dibangun pada abad ke-9 masehi. Candi ini
dipersembahkan untuk Trimurti, tiga dewa utama
Hindu yaitu Brahma sebagai dewa
pencipta, Wishnu sebagai dewa pemelihara,
dan Siwa sebagai dewa pemusnah.
Berdasarkan prasasti Siwagrha nama asli
kompleks candi ini adalah Siwagrha (bahasa
Sanskerta yang bermakna 'Rumah Siwa'),
dan memang di garbagriha (ruang utama) candi ini bersemayam arca Siwa Mahadewa
setinggi tiga meter yang menujukkan bahwa di candi ini dewa Siwa lebih diutamakan.
Kompleks candi ini terletak di kecamatan Prambanan, Sleman dan kecamatan Prambanan,
Klaten,[1] kurang lebih 17 kilometer timur laut Yogyakarta, 50 kilometer barat
daya Surakarta dan 120 kilometer selatan Semarang, persis di perbatasan
antara provinsi Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta.[2] Letaknya sangat unik,
Candi Prambanan terletak di wilayah administrasi desa Bokoharjo, Prambanan, Sleman,
sedangkan pintu masuk kompleks Candi Prambanan terletak di wilayah adminstrasi
desa Tlogo, Prambanan, Klaten.
Candi ini adalah termasuk Situs Warisan Dunia UNESCO, candi Hindu terbesar di
Indonesia, sekaligus salah satu candi terindah di Asia Tenggara. Arsitektur bangunan ini
berbentuk tinggi dan ramping sesuai dengan arsitektur Hindu pada umumnya dengan candi
Siwa sebagai candi utama memiliki ketinggian mencapai 47 meter menjulang di tengah
kompleks gugusan candi-candi yang lebih kecil.[3] Sebagai salah satu candi termegah di
Asia Tenggara, candi Prambanan menjadi daya tarik kunjungan wisatawan dari seluruh
dunia.[4]
Menurut prasasti Siwagrha, candi ini mulai dibangun pada sekitar tahun 850 masehi
oleh Rakai Pikatan, dan terus dikembangkan dan diperluas oleh Balitung Maha Sambu,
pada masa kerajaan Medang Mataram

Nama Prambanan, berasal dari nama desa tempat candi ini berdiri, diduga merupakan
perubahan nama dialek bahasa Jawadari istilah teologi Hindu Para Brahman yang
bermakna "Brahman Agung" yaitu Brahman atau realitas abadi tertinggi dan teragung yang
tak dapat digambarkan, yang kerap disamakan dengan konsep Tuhan dalam agama Hindu.
Pendapat lain menganggap Para Brahman mungkin merujuk kepada masa jaya candi ini
yang dahulu dipenuhi oleh para brahmana. Pendapat lain mengajukan anggapan bahwa
nama "Prambanan" berasal dari akar kata mban dalam Bahasa Jawa yang bermakna
menanggung atau memikul tugas, merujuk kepada para dewa Hindu yang mengemban
tugas menata dan menjalankan keselarasan jagat.
Nama asli kompleks candi Hindu ini adalah nama dari Bahasa
Sansekerta; Siwagrha (Rumah Siwa) atau Siwalaya (Alam Siwa), berdasarkan Prasasti
Siwagrha yang bertarikh 778 Saka (856 Masehi). Trimurti dimuliakan dalam kompleks candi
ini dengan tiga candi utamanya memuliakan Brahma, Siwa, dan Wisnu. Akan tetapi Siwa
Mahadewa yang menempati ruang utama di candi Siwa adalah dewa yang paling dimuliakan
dalam kompleks candi ini.

Prambanan adalah candi Hindu terbesar dan termegah yang pernah dibangun di Jawa kuno,
pembangunan candi Hindu kerajaan ini dimulai oleh Rakai Pikatan sebagai tandingan candi
Buddha Borobudur dan juga candi Sewu yang terletak tak jauh dari Prambanan. Beberapa
sejarawan lama menduga bahwa pembangunan candi agung Hindu ini untuk menandai
kembali berkuasanya keluarga Sanjaya atas Jawa, hal ini terkait teori wangsa kembar
berbeda keyakinan yang saling bersaing; yaitu wangsa Sanjaya penganut Hindu dan
wangsa Sailendrapenganut Buddha. Pastinya, dengan dibangunnya candi ini menandai
bahwa Hinduisme aliran Saiwa kembali mendapat dukungan keluarga kerajaan, setelah
sebelumnya wangsa Sailendracenderung lebih mendukung Buddha aliran Mahayana. Hal ini
menandai bahwa kerajaan Medang beralih fokus dukungan keagamaanya, dari Buddha
Mahayana ke pemujaan terhadap Siwa.
Bangunan ini pertama kali dibangun sekitar tahun 850 Masehi oleh Rakai Pikatan dan
secara berkelanjutan disempurnakan dan diperluas oleh Raja Lokapala dan raja Balitung
Maha Sambu. Berdasarkan prasasti Siwagrha berangka tahun 856 M, bangunan suci ini
dibangun untuk memuliakan dewa Siwa, dan nama asli bangunan ini dalam bahasa
Sanskerta adalah Siwagrha (Sanskerta:Shiva-grha yang berarti: 'Rumah Siwa')
atau Siwalaya (Sanskerta:Shiva-laya yang berarti: 'Ranah Siwa' atau 'Alam Siwa').[5] Dalam
prasasti ini disebutkan bahwa saat pembangunan candi Siwagrha tengah berlangsung,
dilakukan juga pekerjaan umum perubahan tata air untuk memindahkan aliran sungai di
dekat candi ini. Sungai yang dimaksud adalah sungai Opak yang mengalir dari utara ke
selatan sepanjang sisi barat kompleks candi Prambanan. Sejarawan menduga bahwa
aslinya aliran sungai ini berbelok melengkung ke arah timur, dan dianggap terlalu dekat
dengan candi sehingga erosi sungai dapat membahayakan konstruksi candi. Proyek tata air
ini dilakukan dengan membuat sodetan sungai baru yang memotong lengkung sungai
dengan poros utara-selatan sepanjang dinding barat di luar kompleks candi. Bekas aliran
sungai asli kemudian ditimbun untuk memberikan lahan yang lebih luas bagi pembangunan
deretan candi perwara (candi pengawal atau candi pendamping).
Beberapa arkeolog berpendapat bahwa arca Siwa di garbhagriha (ruang utama) dalam
candi Siwa sebagai candi utama merupakan arca perwujudan raja Balitung, sebagai arca
pedharmaan anumerta dia.[6]
Kompleks bangunan ini secara berkala terus disempurnakan oleh raja-raja Medang
Mataram berikutnya, seperti raja Daksa dan Tulodong, dan diperluas dengan membangun
ratusan candi-candi tambahan di sekitar candi utama. Karena kemegahan candi ini, candi
Prambanan berfungsi sebagai candi agung Kerajaan Mataram, tempat digelarnya berbagai
upacara penting kerajaan. Pada masa puncak kejayaannya, sejarawan menduga bahwa
ratusan pendeta brahmana dan murid-muridnya berkumpul dan menghuni pelataran luar
candi ini untuk mempelajari kitab Weda dan melaksanakan berbagai ritual dan upacara
Hindu. Sementara pusat kerajaan atau keraton kerajaan Mataram diduga terletak di suatu
tempat di dekat Prambanan di Dataran Kewu.

Sekitar tahun 930-an, ibu kota kerajaan berpindah ke Jawa Timur oleh Mpu Sindok, yang
mendirikan Wangsa Isyana. Penyebab kepindahan pusat kekuasaan ini tidak diketahui
secara pasti. Akan tetapi sangat mungkin disebabkan oleh letusan
hebat Gunung Merapi yang menjulang sekitar 20 kilometer di utara candi Prambanan.
Kemungkinan penyebab lainnya adalah peperangan dan perebutan kekuasaan. Setelah
perpindahan ibu kota, candi Prambanan mulai telantar dan tidak terawat, sehingga pelan-
pelan candi ini mulai rusak dan runtuh.
Bangunan candi ini diduga benar-benar runtuh akibat gempa bumi hebat pada abad ke-16.
Meskipun tidak lagi menjadi pusat keagamaan dan ibadah umat Hindu, candi ini masih
dikenali dan diketahui keberadaannya oleh warga Jawa yang menghuni desa sekitar. Candi-
candi serta arca Durga dalam bangunan utama candi ini mengilhami dongeng rakyat Jawa
yaitu legenda Rara Jonggrang. Setelah perpecahan Kesultanan Mataram pada tahun 1755,
reruntuhan candi dan sungai Opak di dekatnya menjadi tanda pembatas antara
wilayah Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta (Solo).
Penduduk lokal warga Jawa di sekitar candi sudah mengetahui keberadaan candi ini. Akan
tetapi mereka tidak tahu latar belakang sejarah sesungguhnya, siapakah raja dan kerajaan
apa yang telah membangun monumen ini. Sebagai hasil imajinasi, rakyat setempat
menciptakan dongeng lokal untuk menjelaskan asal-mula keberadaan candi-candi ini;
diwarnai dengan kisah fantastis mengenai raja raksasa, ribuan candi yang dibangun oleh
makhluk halus jin dan dedemit hanya dalam tempo satu malam, serta putri cantik yang
dikutuk menjadi arca. Legenda mengenai candi Prambanan dikenal sebagai kisah Rara
Jonggrang.
Pada tahun 1733, candi ini ditemukan oleh CA. Lons seorang berkebangsaan Belanda.
Candi ini menarik perhatian dunia ketika pada masa pendudukan Britania atas Jawa. Ketika
itu Colin Mackenzie, seorang surveyor bawahan Sir Thomas Stamford Raffles, menemukan
candi ini. Meskipun Sir Thomas kemudian memerintahkan penyelidikan lebih lanjut,
reruntuhan candi ini tetap telantar hingga berpuluh-puluh tahun. Penggalian tak serius
dilakukan sepanjang 1880-an yang sayangnya malah menyuburkan praktik penjarahan
ukiran dan batu candi. Kemudian pada tahun 1855 Jan Willem IJzerman mulai
membersihkan dan memindahkan beberapa batu dan tanah dari bilik candi. Beberapa saat
kemudian Isaäc Groneman melakukan pembongkaran besar-besaran dan batu-batu candi
tersebut ditumpuk secara sembarangan di sepanjang Sungai Opak. Arca-arca dan relief
candi diambil oleh warga Belanda dan dijadikan hiasan taman, sementara warga pribumi
menggunakan batu candi untuk bahan bangunan dan pondasi rumah.

Pemugaran dimulai pada tahun 1918, akan tetapi upaya serius yang sesungguhnya dimulai
pada tahun 1930-an. Pada tahun 1902-1903, Theodoor van Erp memelihara bagian yang
rawan runtuh. Pada tahun 1918-1926, dilanjutkan oleh Jawatan Purbakala (Oudheidkundige
Dienst) di bawah P.J. Perquin dengan cara yang lebih sistematis sesuai kaidah arkeologi.
Sebagaimana diketahui para pendahulunya melakukan pemindahan dan pembongkaran
beribu-ribu batu secara sembarangan tanpa memikirkan adanya usaha pemugaran kembali.
Pada tahun 1926 dilanjutkan De Haan hingga akhir hayatnya pada tahun 1930. Pada tahun
1931 digantikan oleh Ir. V.R. van Romondt hingga pada tahun 1942 dan kemudian
diserahkan kepemimpinan renovasi itu kepada putra Indonesia dan itu berlanjut hingga
tahun 1993 [7].
Upaya renovasi terus menerus dilakukan bahkan hingga kini. Pemugaran candi Siwa yaitu
candi utama kompleks ini dirampungkan pada tahun 1953 dan diresmikan oleh Presiden
pertama Republik Indonesia Sukarno. Banyak bagian candi yang direnovasi, menggunakan
batu baru, karena batu-batu asli banyak yang dicuri atau dipakai ulang di tempat lain.
Sebuah candi hanya akan direnovasi apabila minimal 75% batu asli masih ada. Oleh karena
itu, banyak candi-candi kecil yang tak dibangun ulang dan hanya tampak fondasinya saja.
Kini, candi ini termasuk dalam Situs Warisan Dunia yang dilindungi oleh UNESCO, status ini
diberikan UNESCO pada tahun 1991. Kini, beberapa bagian candi Prambanan tengah
direnovasi untuk memperbaiki kerusakan akibat gempa Yogyakarta 2006. Gempa ini telah
merusak sejumlah bangunan dan patung.

Pada awal tahun 1990-an pemerintah memindahkan pasar dan kampung yang merebak
secara liar di sekitar candi, menggusur kawasan perkampungan dan sawah di sekitar candi,
dan memugarnya menjadi taman purbakala. Taman purbakala ini meliputi wilayah yang luas
di tepi jalan raya Yogyakarta-Solo di sisi selatannya, meliputi seluruh kompleks candi
Prambanan, termasuk Candi Lumbung, Candi Bubrah, dan Candi Sewu di sebelah utaranya.
Pada tahun 1992 Pemerintah Indonesia Perusahaan milik negara, Persero PT Taman
Wisata Candi Borobudur, Prambanan, dan Ratu Boko. Badan usaha ini bertugas mengelola
taman wisata purbakala di Borobudur, Prambanan, Ratu Boko, serta kawasan sekitarnya.
Prambanan adalah salah satu daya tarik wisata terkenal di Indonesia yang banyak
dikunjungi wisatawan dalam negeri ataupun wisatwan mancanegara.
Tepat di seberang sungai Opak dibangun kompleks panggung dan gedung pertunjukan
Trimurti yang secara rutin menggelar pertunjukan Sendratari Ramayana. Panggung terbuka
Trimurti tepat terletak di seberang candi di tepi Barat sungai Opak dengan latar belakang
Candi Prambanan yang disoroti cahaya lampu. Panggung terbuka ini hanya digunakan pada
musim kemarau, sedangkan pada musim penghujan, pertunjukan dipindahkan di panggung
tertutup. Tari Jawa Wayang orang Ramayana ini adalah tradisi adiluhung keraton Jawa yang
telah berusia ratusan tahun, biasanya dipertunjukkan di keraton dan mulai dipertunjukkan di
Prambanan pada saat bulan purnama sejak tahun 1960-an. Sejak saat itu Prambanan telah
menjadi daya tarik wisata budaya dan purbakala utama di Indonesia.
Setelah pemugaran besar-besaran tahun 1990-an, Prambanan juga kembali menjadi pusat
ibadah agama Hindu di Jawa. Kebangkitan kembali nilai keagamaan Prambanan adalah
karena terdapat cukup banyak masyarakat penganut Hindu, baik pendatang dari Bali atau
warga Jawa yang kembali menganut Hindu yang bermukim di Yogyakarta, Klaten dan
sekitarnya. Tiap tahun warga Hindu dari provinsi Jawa Tengah dan Yogyakarta berkumpul di
candi Prambanan untuk menggelar upacara pada hari suci Galungan, Tawur Kesanga,
dan Nyepi.[8][9]
Pada 27 Mei 2006 gempa bumi dengan kekuatan 5,9 pada skala Richter (sementara United
States Geological Survey melaporkan kekuatan gempa 6,2 pada skala Richter)
menghantam daerah Bantul dan sekitarnya. Gempa ini menyebabkan kerusakan hebat
terhadap banyak bangunan dan kematian pada penduduk sekitar. Gempa ini berpusat pada
patahan tektonik Opak yang patahannya sesuai arah lembah sungai Opak dekat
Prambanan. Salah satu bangunan yang rusak parah adalah kompleks Candi Prambanan,
khususnya Candi Brahma. Foto awal menunjukkan bahwa meskipun kompleks bangunan
tetap utuh, kerusakan cukup signifikan. Pecahan batu besar, termasuk panil-panil ukiran,
dan kemuncak wajra berjatuhan dan berserakan di atas tanah. Candi-candi ini sempat
ditutup dari kunjungan wisatawan hingga kerusakan dan bahaya keruntuhan dapat
diperhitungkan. Balai arkeologi Yogyakarta menyatakan bahwa diperlukan waktu berbulan-
bulan untuk mengetahui sejauh mana kerusakan yang diakibatkan gempa ini.[10][11] Beberapa
minggu kemudian, pada tahun 2006 situs ini kembali dibuka untuk kunjungan wisata. Pada
tahun 2008, tercatat sejumlah 856.029 wisatawan Indonesia dan 114.951 wisatawan
mancanegara mengunjungi Prambanan. Pada 6 Januari 2009 pemugaran candi Nandi
selesai.[12] Pada tahun 2009, ruang dalam candi utama tertutup dari kunjungan wisatawan
atas alasan keamanan.
5. Candi Gunung Sari
Candi Gunung Sari adalah salah satu candi
Hindu Siwa yang ada di Jawa. Lokasi candi
ini berdekatan dengan Candi Gunung Wukir
tempat ditemukannya Prasasti Canggal.
Lokasi candi ini berada di puncak Bukit Sari
(Gunung Sari), tidak jauh dari Candi Gunung
Wukir tempat ditemukannya Prasasti
Canggal.
Dilihat dari ornamen, bentuk, dan
arsitekturnya kemungkinan lebih tua
daripada Candi Gunung Wukir.
Candi ini memang tidak begitu terkenal
seperti candi Borobudur dan juga candi Prambanan, oleh karena itu pengunjungnyapun
jarang. Tapi bagi para pecinta traveling sejati, yang masih sepi pengunjung inilah yang bakal
dicari.

Candi Gunungsari adalah candi peninggalan abad ke 6 sampai abad ke-8. Secara otomatis
diduga candi ini berusia lebih jauh daripada candi Borobudur atau juga candi Prambanan.
Oleh karena itu akan sangat disayangkan jika bertandang ke Magelang tidak menengok
sesepuh candi dari berbagai candi yang tersebar ini yakni Candi Gunungsari. Menurut cerita
awal mula ditemuaknnya adalah bagian ketidaksengajaan penduduk pada tahun 1996 dan
tahu 1980.
Keasrian sekitar candi ini membuat daya tarik tersendiri. Sesampainya di candi Gunungsari
kalian akan melihat pemandangan dari atas ketinggian. Batu-batu di candi Gunungsari ini
merupakan hasil dari dari temuan di berbagai lokasi selain yang ada di puncak bukit. Ada
pula batu yang ditemukan di jalan menuju ke puncak. Dari strukturnya di duga kuat gerbang
utama candi masih terpedndam tanah.

Batuan candi Gunung Sari juga nampak unik. Ada dalam bentu silinder dengan ujung
setengah lingkaran yang mana bagian dalamnya berongga dan juga memiliki lubang.

Menurut cerita yang ada lubang tersebut untuk menyimpan abu jenazah. Di candi ini juga
terdapat sebuah yoni berukuran bsar tanpa lingga yang berada di tengah kompleks candi
Gunungsari Magelang.

6. Arca Gupolo

Arca Gupolo adalah kumpulan dari 7 buah arca


berciri agama Hindu yang terletak di dekat candi Ijo
dan candi Barong, di wilayah kelurahan Sambirejo,
kecamatan Prambanan, Yogyakarta. Gupolo adalah
nama panggilan dari penduduk setempat terhadap
patung Agastya yang ditemukan pada area situs.
Walaupun bentuk arca Agastya setinggi 2 meter ini
sudah tidak begitu jelas, namun senjata Trisula
sebagai lambang dari dewa Siwa yang dipegangnya
masih kelihatan jelas. Beberapa arca yang lain,
kebanyakan adalah arca dewa Hindu dengan posisi
duduk.

Menurut legenda rakyat setempat, Gupolo adalah


nama patih (perdana menteri) dari raja Ratu Boko--
yang diabadikan sebagai nama candi Ratu Boko--
(ayah dari dewi Rara Jonggrang dalam legenda candi Prambanan). Patih Gupolo
memasukkan dan mengubur tokoh sakti Bandung Bondowoso di dalam sumur Jalatunda,
karena telah membunuh raja Ratu Boko. Namun karena kesaktiannya, Bandung Bondowoso
bisa bangkit kembali, bahkan berkeinginan untuk memperistri dewi Rara Jonggrang yang
cantik jelita. Keinginan dari Bandung Bondowoso ini tidak terkabul, karena permintaan dari
dewi Rara Jonggrang untuk membuatkan 1000 candi dalam waktu satu malam tidak bisa
dipenuhi (masih kurang satu candi pada saat fajar menyingsing). Pada akhir cerita, Bandung
Bondowoso mengutuk dewi Rara Jonggrang menjadi arca batu/candi yang masih kurang
satu itu (menjadi salah satu candi dalam kompleks candi Prambanan), sebagai pelampiasan
atas kemarahannya karena tidak bisa mempersunting Rara Jonggrang.
7. Candi Cangkuang

Candi Cangkuang adalah sebuah candi


Hindu yang terdapat di Kampung Pulo,
wilayah Cangkuang, Kecamatan Leles,
Garut, Jawa Barat. Candi inilah juga
yang pertama kali ditemukan di Tatar
Sunda serta merupakan satu-satunya
candi Hindu di Tatar Sunda.

Desa Cangkuang dikelilingi oleh empat


gunung besar di Jawa Barat, yang
antara lain Gunung Haruman, Gunung Kaledong, Gunung Mandalawangi dan Gunung
Guntur. Nama Candi Cangkuang diambil dari nama desa tempat candi ini berada. Kata
'Cangkuang' sendiri adalah nama tanaman sejenis pandan (pandanus furcatus), yang
banyak terdapat di sekitar makam, Embah Dalem Arief Muhammad, leluhur Kampung Pulo.
Daun cangkuang dapat dimanfaatkan untuk membuat tudung, tikar atau pembungkus.
Cagar budaya Cangkuang terletak di sebuah daratan di tengah danau kecil (dalam bahasa
Sunda disebut situ), sehingga untuk mencapai tempat tersebut melalui jalur utama,
pengunjung harus menyeberang dengan menggunakan rakit. Aslinya Kampung Pulo
dikelilingi seluruhnya oleh danau, akan tetapi kini hanya bagian utara yang masih berupa
danau, bagian selatannya telah berubah menjadi lahan persawahan. Selain candi, di pulau
itu juga terdapat pemukiman adat Kampung Pulo, yang juga menjadi bagian dari kawasan
cagar budaya.[1]
Candi Cangkuang terdapat di sebuah pulau kecil yang bentuknya memanjang dari barat ke
timur dengan luas 16,5 ha. Pulau kecil ini terdapat di tengah danau Cangkuang pada
koordinat 106°54'36,79" Bujur Timur dan 7°06'09" Lintang Selatan. Di Wikimapia [1]. Selain
pulau yang memiliki candi, di danau ini terdapat pula dua pulau lainnya dengan ukuran yang
lebih kecil.
Lokasi danau Cangkuang ini topografinya terdapat pada satu lembah yang subur kira-kira
600-an m l.b.l. yang dikelilingi pegunungan: Gunung Haruman (1.218 m l.b.l.) di sebelah
timur - utara, Pasir Kadaleman (681 m l.b.l.) di timur selatan, Pasir Gadung (1.841 m l.b.l.) di
sebelah selatan, Gunung Guntur (2.849 m l.b.l.) di sebelah barat-selatan, Gunung Malang
(1.329 m l.b.l.) di sebelah barat, Gunung Mandalawangi di sebelah barat-utara, serta
Gunung Kaledong (1.249 m l.b.l.) di sebelah utara.
Candi ini pertama kali ditemukan pada tahun 1966 oleh tim peneliti Harsoyo dan Uka
Tjandrasasmita berdasarkan laporan Vorderman dalam buku Notulen Bataviaasch
Genotschap terbitan tahun 1893 mengenai adanya sebuah arca yang rusak serta makam
kuno di bukit Kampung Pulo, Leles. Makam dan arca Syiwa yang dimaksud memang
diketemukan. Pada awal penelitian terlihat adanya batu yang merupakan reruntuhan sebuah
bangunan candi.[1] Makam kuno yang dimaksud adalah makam Arief Muhammadyang
dianggap penduduk setempat sebagai leluhur mereka. Selain menemukan reruntuhan candi,
terdapat pula serpihan pisau serta batu-batu besar yang diperkirakan merupakan
peninggalan zaman megalitikum. Penelitian selanjutnya (tahun 1967 dan 1968) berhasil
menggali bangunan makam.
Walaupun hampir bisa dipastikan bahwa candi ini merupakan peninggalan
agama Hindu (kira-kira abad ke-8 M, satu zaman dengan candi-candi di situs
Batujaya dan Cibuaya?), yang mengherankan adalah adanya pemakaman Islam di
sampingnya.
Pada awal penelitian terlihat adanya batu yang merupakan reruntuhan bangunan candi dan
di sampingnya terdapat sebuah makam kuno berikut sebuah arca Syiwa yang terletak di
tengah reruntuhan bangunan. Dengan ditemukannya batu-batu andesit berbentuk balok, tim
peneliti yang dipimpin Tjandrasamita merasa yakin bahwa di sekitar tempat tersebut semula
terdapat sebuah candi. Penduduk setempat seringkali menggunakan balok-balok tersebut
untuk batu nisan.
Berdasarkan keyakinan tersebut, peneliti melakukan penggalian di lokasi tersebut. Di dekat
kuburan Arief Muhammad peneliti menemukan fondasi candi berkuran 4,5 x 4,5 meter dan
batu-batu candi lainnya yang berserakan. Dengan penemuan tersebut Tim Sejarah dan
Lembaga Kepurbakalaan segera melaksanakan penelitian didaerah tersebut. Hingga tahun
1968 penelitian masih terus berlangsung. Proses pemugaran Candi dimulai pada tahun
1974-1975 dan pelaksanaan rekonstruksi dilaksanakan pada tahun 1976 yang meliputi
kerangka badan, atap dan patung Syiwa serta dilengkapi dengan sebuah joglo museum
dengan maksud untuk dipergunakan menyimpan dan menginventarisir benda-benda
bersejarah bekas peninggalan kebudayaan dari seluruh Kabupaten Garut. Dalam
pelaksanaan pemugaran pada tahun 1974 telah ditemukan kembali batu candi yang
merupakan bagian-bagian dari kaki candi. Kendala utama rekonstruksi candi adalah batuan
candi yang ditemukan hanya sekitar 40% dari aslinya, sehingga batu asli yang digunakan
merekonstruksi bangunan candi tersebut hanya sekitar 40%. Selebihnya dibuat dari adukan
semen, batu koral, pasir dan besi.
Candi Cangkuang merupakan candi pertama dipugar, dan juga untuk mengisi kekosongan
sejarah antara Purnawarman dan Pajajaran. Para ahli menduga bahwa Candi Cangkuang
didirikan pada abad ke-8, didasarkan pada tingkat kelapukan batuannya, serta
kesederhanaan bentuk (tidak adanya relief).
Bangunan Candi Cangkuang yang sekarang dapat kita saksikan merupakan hasil
pemugaran yang diresmikan pada tahun 1978. Candi ini berdiri pada sebuah lahan persegi
empat yang berukuran 4,7 x 4,7 m dengan tinggi 30 cm. Kaki bangunan yang
menyokong pelipit padma, pelipit kumuda, dan pelipit pasagi ukurannya 4,5 x 4,5 m dengan
tinggi 1,37 m. Di sisi timur terdapat penampil tempat tangga naik yang panjangnya 1,5 m
dan lébar 1,26 m.
Tubuh bangunan candi bentuknya persegi empat 4,22 x 4,22 m dengan tinggi 2,49 m. Di sisi
utara terdapat pintu masuk yang berukuran 1,56 m (tinggi) x 0,6 m (lebar). Puncak candi ada
dua tingkat: persegi empat berukuran 3,8 x 3,8 m dengan tinggi 1,56 m dan 2,74 x 2,74 m
yang tingginya 1,1 m. Di dalamnya terdapat ruangan berukuran 2,18 x 2,24 m yang
tingginya 2,55 m. Di dasarnya terdapat cekungan berukuran 0,4 x 0,4 m yang dalamnya 7
m.
Di antara sisa-sisa bangunan candi, ditemukan juga arca (tahun 1800-an) dengan posisi
sedang bersila di atas padmasana ganda. Kaki kiri menyilang datar yang alasnya
menghadap ke sebelah dalam paha kanan. Kaki kanan menghadap ke bawah beralaskan
lapik. Di depan kaki kiri terdapat kepala sapi (nandi) yang telinganya mengarah ke depan.
Dengan adanya kepala nandi ini, para ahli menganggap bahwa ini adalah arca Siwa. Kedua
tangannya menengadah di atas paha. Pada tubuhnya terdapat penghias perut, penghias
dada dan penghias telinga.
Keadaan arca ini sudah rusak, wajahnya datar, bagian tangan hingga kedua
pergelangannya telah hilang. Lebar wajah 8 cm, lebar pundak 18 cm, lebar pinggang 9 cm,
padmasana 38 cm (tingginya 14 cm), lapik 37 cm & 45 cm (tinggi 6 cm dan 19 cm), tinggi 41
cm.
Candi Cangkuang sebagaimana terlihat sekarang ini, sesungguhnya adalah hasil rekayasa
rekonstruksi, sebab bangunan aslinya hanyalah 40%-an. Oleh sebab itu, bentuk bangunan
Candi Cangkuang yang sebenarnya belumlah diketahui.
Candi ini berjarak sekitar 3 m di sebelah selatan makam Arif Muhammad/Maulana Ifdil
Hanafi.
8. Candi Gedong Songo

Candi Gedong Songo adalah nama sebuah


komplek bangunan candi peninggalan budaya
Hindu yang terletak di Desa Candi,
Kecamatan Ambarawa, Kabupaten Semarang,
Jawa Tengah, Indonesia tepatnya di lereng
Gunung Ungaran. Di kompleks candi ini
terdapat lima buah candi.
Candi ini diketemukan oleh Raffles pada
tahun 1804 dan merupakan peninggalan
budaya Hindu dari zaman Wangsa
Syailendra abad ke-9 (tahun 927 masehi).[1]
Candi ini memiliki persamaan dengan kompleks Candi Dieng di Wonosobo. Candi ini
terletak pada ketinggian sekitar 1.200 m di atas permukaan laut sehingga suhu udara disini
cukup dingin (berkisar antara 19-27 °C)
Lokasi 9 candi yang tersebar di lereng Gunung Ungaran ini memiliki pemandangan alam
yang indah. Selain itu, objek wisata ini juga dilengkapi dengan pemandian air panas
dari mata air yang mengandung belerang, area perkemahan, dan wisata berkuda
Untuk menempuhnya, diperlukan perjalanan sekitar 40 menit dari Kota Ambarawa dengan
jalanan yang naik, dan kemiringannya sangat tajam (rata-rata mencapai 40 derajat). Lokasi
candi juga dapat ditempuh dalam waktu 10 menit dari objek wisata Bandungan. Berikut
daftar jarak tempuh menuju candi ini.

 Gedong Songo - Ungaran : 25 km


 Gedong Songo - Ambarawa : 15 km
 Gedong Songo - Semarang : 45 km

Candi Gedong Songo belum diketahui kapan dibangunnya candi ini hingga sekarang,
bahkan para arkeolog pun belum bisa memecahkan problem ini. Sehingga candi ini sampai
sekarang masih sering dijadikan sebagai bahan penelitian di bidang arkeologi. Namun, ada
beberapa yang berpendapat bahwa candi ini dibangun di masa pemerintahan dinasti
Sanjaya Hindu di Jawa yaitu sekitar abad ke-8. Hal ini pun ditinjau dari segi bangunannya
dan coraknya.

Bentuk dan relief itu telah dijadikan bukti bahwa candi ini dibangun di masa
pemerintahan dinasti Sanjaya. Hal inilah yang menguatkan mereka berpendapat bahwa
candi ini di bangun pada abad ke-8. Namun, belum ada yang memastikan bahkan tahun
pembangunan candi ini pun belum dikonvensionalkan oleh beberapa ahli.

Candi Gedong Songo yang terletak di area perbukitan ini berfungsi sebagai tempat
pemujaan para pemeluk agama Hindu. Konon, telah dipercaya oleh umat Hindu bahwa
gunung merupakan tempat para dewa alias khayangan atau surganya para dewa. Sehingga
dapat dikatakan bahwa candi ini dapat dijadikan sebagai tempat pemujaan bagi para
pemeluk agam Hindu. (Baca juga: Sejarah Kota Tua Jakarta)

Selain karena letaknya berada di area perbukitan, candi ini memiliki bentuk yang mirip
dengan komplek Candi Dieng. Sehingga bukti inilah yang membuat umat Hindu menjadikan
Candi Gedong Songo sebagai tempat pemujaan mereka. Bahkan hingga sekarang Anda
akan masih menemukan umat agama Hindu yang sering datang ke Candi Gedong Songo.
Apalagi di hari raya umat Hindu seperti hari Raya Nyepi dan lain sebagainya. (Baca
juga: Sejarah Jembatan Ampera)

Awal Publikasi Candi Gedong Songo

Sejarah Candi Gedong Songo mulai dimasukkan ke dalam serajah Nusantara ini sejak
tahun 1740 yang telah dikemukakan oleh Sir Thomas Stamford Raffles. Waktu itu, Raffles
menemukan 7 buah bangunan berupa candi. Sehingga, dulu candi ini masih memiliki nama
sebagai ‘Candi Gedong Pitu’. Kata ‘Gedong’ ini merupakan bahasa Jawa dari ‘Bangunan’
atau ‘Candi’ dan kata ‘Pitu’ berasal dari bahasa Jawa dari ‘Tujuh’.

9. Candi Pringapus

Candi Pringapus adalah candi di desa


Pringapus, Ngadirejo, Temanggung 22 Km
arah barat laut ibu kota kabupaten
Temanggung. Arca-arca berartistik Hindu
yang erat kaitanya dengan Dewa Siwa
menandakan bahwa Candi Pringapus
bersifat Hindu Sekte Siwaistis. Candi
tersebut dibangun pada tahun tahun 772 C
atau 850 Masehi menurut prasasti yang
ditemukan di sekitar candi ketika diadakan
restorasi pada tahun 1932.
Candi Candi Pringapus dibangun pada tahun tahun 772 C atau 850 Masehi menurut
prasasti yang ditemukan di sekitar candi ketika diadakan restorasi pada tahun 1932. Candi
ini merupakan replika Mahameru, nama sebuah gunung tempat tinggal para dewata. Hal ini
terbukti dengan adanya adanya hiasan antefiks dan relief Hapsara-hapsari yang
menggambarkan makhluk setengah dewa.
Candi Pringapus merupakan candi yang menggunakan tataletak Jawa Tengah. Pola yang
terlihat adalah adanya candi induk yang dihadap oleh candi perwara. Dalam hal Candi
Pringapus ini, candi yang telah direkonstruksi (menghadap ke timur) adalah candi perwara,
yang di dalamnya terdapat arca nandi. Sementara itu, di sekitar candi terdapat banyak batu
bagian dari bangunan-bangunan lain di kompleks candi ini.
Candi Pringapus bersifat Hindu sekte Siwaistis. Hal ini terlihat dari adanya arca-arca bersifat
Hindu yang erat kaitannya dengan Dewa Siwa.
Pada bagian lain terdapat arca Durga Mahesasuramardhini. Durga merupakan salah satu
perwujudan Uma sebagai dewi cantik dengan berbagai macam senjata anugerah dewa.
Sebagai Durga, Uma menurut legenda berhasil mengalahkan raksasa sakti berwujud kerbau
yang mengganggu para Brahmana. Di kompleks ini juga terdapat yoni yaitu salah satu
perwujudan Uma (istri Siwa) yang berfungsi sebagai alas arca Siwa atau perwujudannya
(biasanya berupa lingga). Persatuan lingga dan yoni merupakan simbol penciptaan alam
semesta sekaligus simbol kesuburan.
Sebagai saksi kebesaran sejarah masa silam, hal lain yang menarik dari Candi Pringapus
adalah hiasa Kala berdagu seperti umumnya Kala tipe Jawa Timur.
Pada libur, candi ini banyak dikunjungi anak sekolah, turis domestik dan juga mancanegara
seperti Amerika, Belanda, dan Belgia
10. Candi Sukuh

Candi Sukuh adalah sebuah kompleks


candi agama Hindu yang secara
administrasi terletak di wilayah
Desa Berjo, Kecamatan
Ngargoyoso, Kabupaten Karanganyar,Jawa
Tengah. Candi ini dianggap kontroversial
karena bentuknya yang kurang lazim dan
karena penggambaran alat-alat kelamin
manusia secara eksplisit pada beberapa
figurnya.
Candi Sukuh telah diusulkan ke UNESCO untuk menjadi salah satu Situs Warisan
Dunia sejak tahun 1995.
Situs candi Sukuh dilaporkan pertama kali pada masa pemerintahan Britania Raya di
tanah Jawa pada tahun 1815 oleh Johnson, Residen Surakarta. Johnson kala itu ditugasi
oleh Thomas Stanford Raffles untuk mengumpulkan data-data guna menulis bukunya The
History of Java. Setelah masa pemerintahan Britania Raya berlalu, pada tahun 1842, Van
der Vlis, arkeolog Belanda, melakukan penelitian. Pemugaran pertama dimulai pada
tahun 1928.
Lokasi candi Sukuh terletak di lereng kaki Gunung Lawu pada ketinggian kurang lebih
1.186 meter di atas permukaan laut pada koordinat 07o37, 38’ 85’’ Lintang Selatan dan
111o07,. 52’65’’ Bujur Barat. Candi ini terletak di Dukuh Sukuh, Desa Berjo,
Kecamatan Ngargoyoso, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah. Candi ini berjarak kurang
lebih 20 kilometer dari kota Karanganyar dan 36 kilometer dari Surakarta.
Bangunan candi Sukuh memberikan kesan kesederhanaan yang mencolok pada para
pengunjung. Kesan yang didapatkan dari candi ini sungguh berbeda dengan yang
didapatkan dari candi-candi besar di Jawa Tengah lainnya yaitu Candi Borobudur dan Candi
Prambanan. Bentuk bangunan candi Sukuh cenderung mirip dengan peninggalan budaya
Maya di Meksiko atau peninggalan budaya Inca di Peru. Struktur ini juga mengingatkan para
pengunjung akan bentuk-bentuk piramida di Mesir.
Kesan kesederhanaan ini menarik perhatian arkeolog termashyur Belanda, W.F.
Stutterheim, pada tahun 1930. Ia mencoba menjelaskannya dengan memberikan tiga
argumen. Pertama, kemungkinan pemahat Candi Sukuh bukan seorang tukang batu
melainkan tukang kayu dari desa dan bukan dari kalangan keraton. Kedua, candi dibuat
dengan agak tergesa-gesa sehingga kurang rapi. Ketiga, keadaan politik kala itu dengan
menjelang keruntuhan Majapahit, tidak memungkinkan untuk membuat candi yang besar
dan megah.
Para pengunjung yang memasuki pintu utama lalu memasuki gapura terbesar akan melihat
bentuk arsitektur khas bahwa ini tidak disusun tegak lurus namun agak miring, berbentuk
trapesium dengan atap di atasnya.
Batu-batuan di candi ini berwarna agak kemerahan, sebab batu-batu yang dipakai adalah
jenis andesit..
Pada teras pertama terdapat gapura utama. Pada gapura ini ada
sebuah sengkala memet dalam bahasa Jawa yang berbunyi gapura buta aban
wong ("raksasa gapura memangsa manusia"), yang masing-masing memiliki makna 9, 5, 3,
dan 1. Jika dibalik maka didapatkan tahun 1359 (Saka) (1437 Masehi). Angka tahun ini
sering dianggap sebagai tahun berdirinya candi ini, meskipun lebih mungkin adalah tahun
selesainya dibangun gapura ini. Di sisi sebelahnya juga terdapat relief sengkala memet
berwujud gajah bersorban yang menggigit ekor ular. Ini dianggap melambangkan
bunyi gapura buta anahut buntut ("raksasa gapura menggigit ekor"), yang juga dapat
ditafsirkan sebagai 1359 Saka.
Gapura pada teras kedua sudah rusak. Di kanan dan kiri gapura terdapat patung penjaga
pintu atau dwarapala yang biasa ada, namun dalam keadaan rusak dan sudah tidak jelas
bentuknya lagi. Gapura sudah tidak beratap dan pada teras ini tidak terdapat banyak
patung-patung. Pada gapura ini terdapat sebuah candrasangkala dalam bahasa Jawa yang
berbunyi gajah wiku anahut buntut yang berarti “Gajah pendeta menggigit ekor” dalam
bahasa Indonesia. Kata-kata ini memiliki makna 8, 7, 3, dan 1. Jika dibalik maka didapatkan
tahun 1378 Saka atau tahun 1456 Masehi.
Pada teras ketiga ini terdapat pelataran besar dengan candi induk dan beberapa panel
berelief di sebelah kiri serta patung-patung di sebelah kanan.
Tepat di atas candi utama di bagian tengah terdapat sebuah bujur sangkar yang
kelihatannya merupakan tempat menaruh sesajian. Di sini terdapat bekas-
bekas kemenyan, dupa dan hio yang dibakar, sehingga terlihat masih sering dipergunakan
untuk bersembahyang.
Kemudian pada bagian kiri candi induk terdapat serangkaian panel dengan relief yang
menceritakan mitologi utama Candi Sukuh, Kidung Sudamala. Urutan reliefnya adalah
sebagai berikut.
Di bagian kiri dilukiskan sang Sahadewa atau Sadewa, saudara kembar Nakula dan
merupakan yang termuda dari para Pandawa Lima. Kedua-duanya adalah putra Prabu
Pandu dari Dewi Madrim, istrinya yang kedua. Madrim meninggal dunia ketika Nakula dan
Sadewa masih kecil dan keduanya diasuh oleh Dewi Kunti, istri utama Pandu. Dewi Kunti
lalu mengasuh mereka bersama ketiga anaknya dari Pandu: Yudhistira, Bima dan Arjuna.
Relief ini menggambarkan Sadewa yang sedang berjongkok dan diikuti oleh
seorang punakawan atau pengiring. Berhadapan dengan Sadewa terlihatlah seorang tokoh
wanita yaitu Dewi Durga yang juga disertai seorang punakawan.
Pada relief kedua ini dipahat gambar Dewi Durga yang telah berubah menjadi seorang
raksasi (raksasa wanita) yang berwajah mengerikan. Dua orang raksasa mengerikan;
Kalantaka dan Kalañjaya menyertai Batari Durga yang sedang murka dan mengancam akan
membunuh Sadewa. Kalantaka dan Kalañjaya adalah jelmaan bidadara yang dikutuk karena
tidak menghormati Dewa sehingga harus terlahir sebagai para raksasa berwajah buruk.
Sadewa terikat pada sebuah pohon dan diancam dibunuh dengan pedang karena tidak mau
membebaskan Durga. Di belakangnya terlihat antara lain ada Semar. Terlihat wujud hantu
yang melayang-layang dan di atas pohon sebelah kanan ada dua ekor burung hantu.
Lukisan mengerikan ini kelihatannya ini merupakan lukisan di hutan Setra Gandamayu
(Gandamayit) tempat pembuangan para dewa yang diusir dari sorga karena pelanggaran.
Pada bagian ini digambarkan bagaimana Sadewa bersama
punakawannya, Semar berhadapan dengan pertapa buta bernama Tambrapetra dan
putrinya Ni Padapa di pertapaan Prangalas. Sadewa akan menyembuhkannya dari
kebutaannya.
Adegan di sebuah taman indah memperlihatkan sang Sadewa sedang bercengkerama
dengan Tambrapetra dan putrinya Ni Padapa serta seorang punakawan di pertapaan
Prangalas. Tambrapetra berterima kasih dan memberikan putrinya kepada Sadewa untuk
dinikahinya. Panel ini menggambarkan adegan adu kekuatan antara Bima dan kedua
raksasa Kalantaka dan Kalañjaya. Relief hanya menunjukkan salah satu dari kedua raksasa.
Bima dengan kekuatannya yang luar biasa sedang mengangkat raksasa tersebut untuk
dibunuh dengan kuku pañcanakanya. Inskripsi bertulisan aksara Kawi berbahasa Jawa
Kuno, berbunyi padamel rikang buku[r] tirta sunya, yang merupakan sengkalan berarti 1361
Saka (1439 M).
Lalu pada bagian kanan terdapat dua buah patung Garuda yang merupakan bagian dari
cerita pencarian tirta amerta (air kehidupan) yang terdapat dalam kitab Adiparwa, kitab
pertama Mahabharata. Pada bagian ekor sang Garuda terdapat sebuah inskripsi (tatahan
tulisan) berbunyi lawase rajeg wesi duk pinerp kapeteg dene wong medang ki hempu rama
karubuh alabuh geni harbut bumi kacaritane babajang mara mari setra hanang tang
bango menurut bacaan Darmosoetopo (1984). Pada intinya inskripsi ini
merupakan suryasengkala yang melambangkan tahun 1363 Saka (1441 M)[1].
Kemudian sebagai bagian dari kisah pencarian amerta tersebut di bagian ini terdapat pula
tiga patung kura-kura yang melambangkan bumi dan penjelmaan Dewa Wisnu. Bentuk kura-
kura ini menyerupai meja dan ada kemungkinan memang didesain sebagai tempat menaruh
sesajian. Sebuah piramida yang puncaknya terpotong melambangkan Gunung Mandaragiri
yang diambil puncaknya untuk mengaduk-aduk lautan mencari tirta amerta.
Selain candi utama dan patung-patung kura-kura, garuda serta relief-relief, masih ditemukan
pula beberapa patung hewan berbentuk celeng (babi hutan) dan gajah berpelana. Pada
zaman dahulu para ksatria dan kaum bangsawan berwahana gajah.
Lalu ada pula bangunan berelief tapal kuda dengan dua sosok manusia di dalamnya, di
sebelah kiri dan kanan yang berhadapan satu sama lain. Ada yang berpendapat bahwa
relief ini melambangkan rahim seorang wanita dan sosok sebelah kiri melambangkan
kejahatan dan sosok sebelah kanan melambangkan kebajikan. Namun hal ini belum begitu
jelas.
Kemudian ada sebuah bangunan kecil di depan candi utama yang disebut candi pewara. Di
bagian tengahnya, bangunan ini berlubang dan terdapat patung kecil tanpa kepala. Patung
ini oleh beberapa kalangan masih dikeramatkan sebab seringkali diberi sesajian.

Anda mungkin juga menyukai