1. Candi Cetho
2. Candi Asu
Candi Asu adalah nama sebuah candi peninggalan
budaya Hindu yang terletak di Desa Candi Pos,
Kelurahan Sengi, kecamatan Dukun, Kabupaten
Magelang, Provinsi Jawa Tengah. Nama candi
tersebut merupakan nama baru yang diberikan oleh
masyarakat sekitarnya. Disebut Candi Asu karena
dahulu di dekat candi tersebut terdapat banyak
anjing.
Candi ini merupakan candi tertua yang dapat dihubungkan dengan angka tahun.
Berdasarkan prasasti Canggal yang ditemukan pada tahun 1879 di reruntuhan, candi ini
didirikan pada saat pemerintahan raja Sanjaya dari zaman Kerajaan Mataram Kuno, yaitu
pada tahun 732 M (654 tahun Saka). Prasasti ini memiliki banyak informasi berkait
dengan Kerajaan Medang atau Mataram Hindu. Berdasarkan prasasti ini, Candi Gunung
Wukir mungkin memiliki nama asli Shiwalingga atau Kunjarakunja.
4. Candi Prambanan
Nama Prambanan, berasal dari nama desa tempat candi ini berdiri, diduga merupakan
perubahan nama dialek bahasa Jawadari istilah teologi Hindu Para Brahman yang
bermakna "Brahman Agung" yaitu Brahman atau realitas abadi tertinggi dan teragung yang
tak dapat digambarkan, yang kerap disamakan dengan konsep Tuhan dalam agama Hindu.
Pendapat lain menganggap Para Brahman mungkin merujuk kepada masa jaya candi ini
yang dahulu dipenuhi oleh para brahmana. Pendapat lain mengajukan anggapan bahwa
nama "Prambanan" berasal dari akar kata mban dalam Bahasa Jawa yang bermakna
menanggung atau memikul tugas, merujuk kepada para dewa Hindu yang mengemban
tugas menata dan menjalankan keselarasan jagat.
Nama asli kompleks candi Hindu ini adalah nama dari Bahasa
Sansekerta; Siwagrha (Rumah Siwa) atau Siwalaya (Alam Siwa), berdasarkan Prasasti
Siwagrha yang bertarikh 778 Saka (856 Masehi). Trimurti dimuliakan dalam kompleks candi
ini dengan tiga candi utamanya memuliakan Brahma, Siwa, dan Wisnu. Akan tetapi Siwa
Mahadewa yang menempati ruang utama di candi Siwa adalah dewa yang paling dimuliakan
dalam kompleks candi ini.
Prambanan adalah candi Hindu terbesar dan termegah yang pernah dibangun di Jawa kuno,
pembangunan candi Hindu kerajaan ini dimulai oleh Rakai Pikatan sebagai tandingan candi
Buddha Borobudur dan juga candi Sewu yang terletak tak jauh dari Prambanan. Beberapa
sejarawan lama menduga bahwa pembangunan candi agung Hindu ini untuk menandai
kembali berkuasanya keluarga Sanjaya atas Jawa, hal ini terkait teori wangsa kembar
berbeda keyakinan yang saling bersaing; yaitu wangsa Sanjaya penganut Hindu dan
wangsa Sailendrapenganut Buddha. Pastinya, dengan dibangunnya candi ini menandai
bahwa Hinduisme aliran Saiwa kembali mendapat dukungan keluarga kerajaan, setelah
sebelumnya wangsa Sailendracenderung lebih mendukung Buddha aliran Mahayana. Hal ini
menandai bahwa kerajaan Medang beralih fokus dukungan keagamaanya, dari Buddha
Mahayana ke pemujaan terhadap Siwa.
Bangunan ini pertama kali dibangun sekitar tahun 850 Masehi oleh Rakai Pikatan dan
secara berkelanjutan disempurnakan dan diperluas oleh Raja Lokapala dan raja Balitung
Maha Sambu. Berdasarkan prasasti Siwagrha berangka tahun 856 M, bangunan suci ini
dibangun untuk memuliakan dewa Siwa, dan nama asli bangunan ini dalam bahasa
Sanskerta adalah Siwagrha (Sanskerta:Shiva-grha yang berarti: 'Rumah Siwa')
atau Siwalaya (Sanskerta:Shiva-laya yang berarti: 'Ranah Siwa' atau 'Alam Siwa').[5] Dalam
prasasti ini disebutkan bahwa saat pembangunan candi Siwagrha tengah berlangsung,
dilakukan juga pekerjaan umum perubahan tata air untuk memindahkan aliran sungai di
dekat candi ini. Sungai yang dimaksud adalah sungai Opak yang mengalir dari utara ke
selatan sepanjang sisi barat kompleks candi Prambanan. Sejarawan menduga bahwa
aslinya aliran sungai ini berbelok melengkung ke arah timur, dan dianggap terlalu dekat
dengan candi sehingga erosi sungai dapat membahayakan konstruksi candi. Proyek tata air
ini dilakukan dengan membuat sodetan sungai baru yang memotong lengkung sungai
dengan poros utara-selatan sepanjang dinding barat di luar kompleks candi. Bekas aliran
sungai asli kemudian ditimbun untuk memberikan lahan yang lebih luas bagi pembangunan
deretan candi perwara (candi pengawal atau candi pendamping).
Beberapa arkeolog berpendapat bahwa arca Siwa di garbhagriha (ruang utama) dalam
candi Siwa sebagai candi utama merupakan arca perwujudan raja Balitung, sebagai arca
pedharmaan anumerta dia.[6]
Kompleks bangunan ini secara berkala terus disempurnakan oleh raja-raja Medang
Mataram berikutnya, seperti raja Daksa dan Tulodong, dan diperluas dengan membangun
ratusan candi-candi tambahan di sekitar candi utama. Karena kemegahan candi ini, candi
Prambanan berfungsi sebagai candi agung Kerajaan Mataram, tempat digelarnya berbagai
upacara penting kerajaan. Pada masa puncak kejayaannya, sejarawan menduga bahwa
ratusan pendeta brahmana dan murid-muridnya berkumpul dan menghuni pelataran luar
candi ini untuk mempelajari kitab Weda dan melaksanakan berbagai ritual dan upacara
Hindu. Sementara pusat kerajaan atau keraton kerajaan Mataram diduga terletak di suatu
tempat di dekat Prambanan di Dataran Kewu.
Sekitar tahun 930-an, ibu kota kerajaan berpindah ke Jawa Timur oleh Mpu Sindok, yang
mendirikan Wangsa Isyana. Penyebab kepindahan pusat kekuasaan ini tidak diketahui
secara pasti. Akan tetapi sangat mungkin disebabkan oleh letusan
hebat Gunung Merapi yang menjulang sekitar 20 kilometer di utara candi Prambanan.
Kemungkinan penyebab lainnya adalah peperangan dan perebutan kekuasaan. Setelah
perpindahan ibu kota, candi Prambanan mulai telantar dan tidak terawat, sehingga pelan-
pelan candi ini mulai rusak dan runtuh.
Bangunan candi ini diduga benar-benar runtuh akibat gempa bumi hebat pada abad ke-16.
Meskipun tidak lagi menjadi pusat keagamaan dan ibadah umat Hindu, candi ini masih
dikenali dan diketahui keberadaannya oleh warga Jawa yang menghuni desa sekitar. Candi-
candi serta arca Durga dalam bangunan utama candi ini mengilhami dongeng rakyat Jawa
yaitu legenda Rara Jonggrang. Setelah perpecahan Kesultanan Mataram pada tahun 1755,
reruntuhan candi dan sungai Opak di dekatnya menjadi tanda pembatas antara
wilayah Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta (Solo).
Penduduk lokal warga Jawa di sekitar candi sudah mengetahui keberadaan candi ini. Akan
tetapi mereka tidak tahu latar belakang sejarah sesungguhnya, siapakah raja dan kerajaan
apa yang telah membangun monumen ini. Sebagai hasil imajinasi, rakyat setempat
menciptakan dongeng lokal untuk menjelaskan asal-mula keberadaan candi-candi ini;
diwarnai dengan kisah fantastis mengenai raja raksasa, ribuan candi yang dibangun oleh
makhluk halus jin dan dedemit hanya dalam tempo satu malam, serta putri cantik yang
dikutuk menjadi arca. Legenda mengenai candi Prambanan dikenal sebagai kisah Rara
Jonggrang.
Pada tahun 1733, candi ini ditemukan oleh CA. Lons seorang berkebangsaan Belanda.
Candi ini menarik perhatian dunia ketika pada masa pendudukan Britania atas Jawa. Ketika
itu Colin Mackenzie, seorang surveyor bawahan Sir Thomas Stamford Raffles, menemukan
candi ini. Meskipun Sir Thomas kemudian memerintahkan penyelidikan lebih lanjut,
reruntuhan candi ini tetap telantar hingga berpuluh-puluh tahun. Penggalian tak serius
dilakukan sepanjang 1880-an yang sayangnya malah menyuburkan praktik penjarahan
ukiran dan batu candi. Kemudian pada tahun 1855 Jan Willem IJzerman mulai
membersihkan dan memindahkan beberapa batu dan tanah dari bilik candi. Beberapa saat
kemudian Isaäc Groneman melakukan pembongkaran besar-besaran dan batu-batu candi
tersebut ditumpuk secara sembarangan di sepanjang Sungai Opak. Arca-arca dan relief
candi diambil oleh warga Belanda dan dijadikan hiasan taman, sementara warga pribumi
menggunakan batu candi untuk bahan bangunan dan pondasi rumah.
Pemugaran dimulai pada tahun 1918, akan tetapi upaya serius yang sesungguhnya dimulai
pada tahun 1930-an. Pada tahun 1902-1903, Theodoor van Erp memelihara bagian yang
rawan runtuh. Pada tahun 1918-1926, dilanjutkan oleh Jawatan Purbakala (Oudheidkundige
Dienst) di bawah P.J. Perquin dengan cara yang lebih sistematis sesuai kaidah arkeologi.
Sebagaimana diketahui para pendahulunya melakukan pemindahan dan pembongkaran
beribu-ribu batu secara sembarangan tanpa memikirkan adanya usaha pemugaran kembali.
Pada tahun 1926 dilanjutkan De Haan hingga akhir hayatnya pada tahun 1930. Pada tahun
1931 digantikan oleh Ir. V.R. van Romondt hingga pada tahun 1942 dan kemudian
diserahkan kepemimpinan renovasi itu kepada putra Indonesia dan itu berlanjut hingga
tahun 1993 [7].
Upaya renovasi terus menerus dilakukan bahkan hingga kini. Pemugaran candi Siwa yaitu
candi utama kompleks ini dirampungkan pada tahun 1953 dan diresmikan oleh Presiden
pertama Republik Indonesia Sukarno. Banyak bagian candi yang direnovasi, menggunakan
batu baru, karena batu-batu asli banyak yang dicuri atau dipakai ulang di tempat lain.
Sebuah candi hanya akan direnovasi apabila minimal 75% batu asli masih ada. Oleh karena
itu, banyak candi-candi kecil yang tak dibangun ulang dan hanya tampak fondasinya saja.
Kini, candi ini termasuk dalam Situs Warisan Dunia yang dilindungi oleh UNESCO, status ini
diberikan UNESCO pada tahun 1991. Kini, beberapa bagian candi Prambanan tengah
direnovasi untuk memperbaiki kerusakan akibat gempa Yogyakarta 2006. Gempa ini telah
merusak sejumlah bangunan dan patung.
Pada awal tahun 1990-an pemerintah memindahkan pasar dan kampung yang merebak
secara liar di sekitar candi, menggusur kawasan perkampungan dan sawah di sekitar candi,
dan memugarnya menjadi taman purbakala. Taman purbakala ini meliputi wilayah yang luas
di tepi jalan raya Yogyakarta-Solo di sisi selatannya, meliputi seluruh kompleks candi
Prambanan, termasuk Candi Lumbung, Candi Bubrah, dan Candi Sewu di sebelah utaranya.
Pada tahun 1992 Pemerintah Indonesia Perusahaan milik negara, Persero PT Taman
Wisata Candi Borobudur, Prambanan, dan Ratu Boko. Badan usaha ini bertugas mengelola
taman wisata purbakala di Borobudur, Prambanan, Ratu Boko, serta kawasan sekitarnya.
Prambanan adalah salah satu daya tarik wisata terkenal di Indonesia yang banyak
dikunjungi wisatawan dalam negeri ataupun wisatwan mancanegara.
Tepat di seberang sungai Opak dibangun kompleks panggung dan gedung pertunjukan
Trimurti yang secara rutin menggelar pertunjukan Sendratari Ramayana. Panggung terbuka
Trimurti tepat terletak di seberang candi di tepi Barat sungai Opak dengan latar belakang
Candi Prambanan yang disoroti cahaya lampu. Panggung terbuka ini hanya digunakan pada
musim kemarau, sedangkan pada musim penghujan, pertunjukan dipindahkan di panggung
tertutup. Tari Jawa Wayang orang Ramayana ini adalah tradisi adiluhung keraton Jawa yang
telah berusia ratusan tahun, biasanya dipertunjukkan di keraton dan mulai dipertunjukkan di
Prambanan pada saat bulan purnama sejak tahun 1960-an. Sejak saat itu Prambanan telah
menjadi daya tarik wisata budaya dan purbakala utama di Indonesia.
Setelah pemugaran besar-besaran tahun 1990-an, Prambanan juga kembali menjadi pusat
ibadah agama Hindu di Jawa. Kebangkitan kembali nilai keagamaan Prambanan adalah
karena terdapat cukup banyak masyarakat penganut Hindu, baik pendatang dari Bali atau
warga Jawa yang kembali menganut Hindu yang bermukim di Yogyakarta, Klaten dan
sekitarnya. Tiap tahun warga Hindu dari provinsi Jawa Tengah dan Yogyakarta berkumpul di
candi Prambanan untuk menggelar upacara pada hari suci Galungan, Tawur Kesanga,
dan Nyepi.[8][9]
Pada 27 Mei 2006 gempa bumi dengan kekuatan 5,9 pada skala Richter (sementara United
States Geological Survey melaporkan kekuatan gempa 6,2 pada skala Richter)
menghantam daerah Bantul dan sekitarnya. Gempa ini menyebabkan kerusakan hebat
terhadap banyak bangunan dan kematian pada penduduk sekitar. Gempa ini berpusat pada
patahan tektonik Opak yang patahannya sesuai arah lembah sungai Opak dekat
Prambanan. Salah satu bangunan yang rusak parah adalah kompleks Candi Prambanan,
khususnya Candi Brahma. Foto awal menunjukkan bahwa meskipun kompleks bangunan
tetap utuh, kerusakan cukup signifikan. Pecahan batu besar, termasuk panil-panil ukiran,
dan kemuncak wajra berjatuhan dan berserakan di atas tanah. Candi-candi ini sempat
ditutup dari kunjungan wisatawan hingga kerusakan dan bahaya keruntuhan dapat
diperhitungkan. Balai arkeologi Yogyakarta menyatakan bahwa diperlukan waktu berbulan-
bulan untuk mengetahui sejauh mana kerusakan yang diakibatkan gempa ini.[10][11] Beberapa
minggu kemudian, pada tahun 2006 situs ini kembali dibuka untuk kunjungan wisata. Pada
tahun 2008, tercatat sejumlah 856.029 wisatawan Indonesia dan 114.951 wisatawan
mancanegara mengunjungi Prambanan. Pada 6 Januari 2009 pemugaran candi Nandi
selesai.[12] Pada tahun 2009, ruang dalam candi utama tertutup dari kunjungan wisatawan
atas alasan keamanan.
5. Candi Gunung Sari
Candi Gunung Sari adalah salah satu candi
Hindu Siwa yang ada di Jawa. Lokasi candi
ini berdekatan dengan Candi Gunung Wukir
tempat ditemukannya Prasasti Canggal.
Lokasi candi ini berada di puncak Bukit Sari
(Gunung Sari), tidak jauh dari Candi Gunung
Wukir tempat ditemukannya Prasasti
Canggal.
Dilihat dari ornamen, bentuk, dan
arsitekturnya kemungkinan lebih tua
daripada Candi Gunung Wukir.
Candi ini memang tidak begitu terkenal
seperti candi Borobudur dan juga candi Prambanan, oleh karena itu pengunjungnyapun
jarang. Tapi bagi para pecinta traveling sejati, yang masih sepi pengunjung inilah yang bakal
dicari.
Candi Gunungsari adalah candi peninggalan abad ke 6 sampai abad ke-8. Secara otomatis
diduga candi ini berusia lebih jauh daripada candi Borobudur atau juga candi Prambanan.
Oleh karena itu akan sangat disayangkan jika bertandang ke Magelang tidak menengok
sesepuh candi dari berbagai candi yang tersebar ini yakni Candi Gunungsari. Menurut cerita
awal mula ditemuaknnya adalah bagian ketidaksengajaan penduduk pada tahun 1996 dan
tahu 1980.
Keasrian sekitar candi ini membuat daya tarik tersendiri. Sesampainya di candi Gunungsari
kalian akan melihat pemandangan dari atas ketinggian. Batu-batu di candi Gunungsari ini
merupakan hasil dari dari temuan di berbagai lokasi selain yang ada di puncak bukit. Ada
pula batu yang ditemukan di jalan menuju ke puncak. Dari strukturnya di duga kuat gerbang
utama candi masih terpedndam tanah.
Batuan candi Gunung Sari juga nampak unik. Ada dalam bentu silinder dengan ujung
setengah lingkaran yang mana bagian dalamnya berongga dan juga memiliki lubang.
Menurut cerita yang ada lubang tersebut untuk menyimpan abu jenazah. Di candi ini juga
terdapat sebuah yoni berukuran bsar tanpa lingga yang berada di tengah kompleks candi
Gunungsari Magelang.
6. Arca Gupolo
Candi Gedong Songo belum diketahui kapan dibangunnya candi ini hingga sekarang,
bahkan para arkeolog pun belum bisa memecahkan problem ini. Sehingga candi ini sampai
sekarang masih sering dijadikan sebagai bahan penelitian di bidang arkeologi. Namun, ada
beberapa yang berpendapat bahwa candi ini dibangun di masa pemerintahan dinasti
Sanjaya Hindu di Jawa yaitu sekitar abad ke-8. Hal ini pun ditinjau dari segi bangunannya
dan coraknya.
Bentuk dan relief itu telah dijadikan bukti bahwa candi ini dibangun di masa
pemerintahan dinasti Sanjaya. Hal inilah yang menguatkan mereka berpendapat bahwa
candi ini di bangun pada abad ke-8. Namun, belum ada yang memastikan bahkan tahun
pembangunan candi ini pun belum dikonvensionalkan oleh beberapa ahli.
Candi Gedong Songo yang terletak di area perbukitan ini berfungsi sebagai tempat
pemujaan para pemeluk agama Hindu. Konon, telah dipercaya oleh umat Hindu bahwa
gunung merupakan tempat para dewa alias khayangan atau surganya para dewa. Sehingga
dapat dikatakan bahwa candi ini dapat dijadikan sebagai tempat pemujaan bagi para
pemeluk agam Hindu. (Baca juga: Sejarah Kota Tua Jakarta)
Selain karena letaknya berada di area perbukitan, candi ini memiliki bentuk yang mirip
dengan komplek Candi Dieng. Sehingga bukti inilah yang membuat umat Hindu menjadikan
Candi Gedong Songo sebagai tempat pemujaan mereka. Bahkan hingga sekarang Anda
akan masih menemukan umat agama Hindu yang sering datang ke Candi Gedong Songo.
Apalagi di hari raya umat Hindu seperti hari Raya Nyepi dan lain sebagainya. (Baca
juga: Sejarah Jembatan Ampera)
Sejarah Candi Gedong Songo mulai dimasukkan ke dalam serajah Nusantara ini sejak
tahun 1740 yang telah dikemukakan oleh Sir Thomas Stamford Raffles. Waktu itu, Raffles
menemukan 7 buah bangunan berupa candi. Sehingga, dulu candi ini masih memiliki nama
sebagai ‘Candi Gedong Pitu’. Kata ‘Gedong’ ini merupakan bahasa Jawa dari ‘Bangunan’
atau ‘Candi’ dan kata ‘Pitu’ berasal dari bahasa Jawa dari ‘Tujuh’.
9. Candi Pringapus