Anda di halaman 1dari 9

See

discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.net/publication/282946302

Tinjauan Aspek Kegempaan Pegunungan


Selatan

Conference Paper · November 2007


DOI: 10.13140/RG.2.1.2521.9288

CITATIONS READS

0 102

1 author:

Salahuddin Husein
Gadjah Mada University
49 PUBLICATIONS 26 CITATIONS

SEE PROFILE

All in-text references underlined in blue are linked to publications on ResearchGate, Available from: Salahuddin Husein
letting you access and read them immediately. Retrieved on: 07 September 2016
Tinjauan Aspek Kegempaan Pegunungan Selatan

Salahuddin Husein
Jurusan Teknik Geologi FT UGM

Abstrak

Gempabumi 27 Mei 2006 yang melanda Yogyakarta telah membuka informasi baru aspek
geodinamika kawasan Pegunungan Selatan. Sumber gempabumi yang berkekuatan 6,3 Mw
tersebut diperkirakan terjadi pada zona sesar Opak yang membatasi fisiografi Pegunungan
Selatan dan Cekungan Yogyakarta, meskipun sebagian ahli lainnya menempatkannya pada
batas fisiografi pegunungan Baturagung dengan Cekungan Wonosari; dimana lokasi kedua
tersebut terletak sekitar 10 km dari lokasi pertama. Hasil analisis mekanisme fokal
menunjukkan gempabumi tersebut dihasilkan oleh suatu pergerakan sesar geser sinistral
berarah TTL-BBD.

Secara historis, gempabumi besar dan dangkal di Pegunungan Selatan dilaporkan pernah
terjadi pada tahun 1867 di zona sesar Opak. Selain rekaman sejarah gempabumi, kehadiran
sesar aktif umumnya mudah diidentifikasi dari morfologi struktural yang berumur muda
dan seringkali menjadi batas pelamparan sedimen-sedimen Resen. Di Pegunungan Selatan,
kedua tanda tersebut juga hadir pada zona sesar Opak. Terlepas dari ketidakpastian lokasi
patahan aktif penyebab gempabumi 2006, gejala geologi penting berupa sobeknya
permukaan sebagai tanda reaktifasi suatu patahan akibat gempabumi tidak dijumpai di
sepanjang sesar Opak.

Data-data kegempaan tersebut menunjukkan adanya proses deformasi tektonik di


Pegunungan Selatan yang terus berlangsung hingga saat ini. Sebagaimana proses
terjadinya gempabumi di kawasan pesisir selatan Jawa, proses pengangkatan dan
pembentukan morfologi Pegunungan Selatan diduga tidak lepas dari aktifitas subduksi
lempeng Indo-Australia terhadap lempeng Eurasia; suatu proses tektonik regional yang
kini terjadi pada jarak 200 km di selatan garis pantai. Pengukuran deformasi dengan
telemetri pada Bukit Putih di Pegunungan Baturagung yang terletak di bagian utara
Pegunungan Selatan mengindikasikan pergerakan daerah perbukitan tersebut ke arah utara
sejauh 5 mm/bulan. Meskipun angka tersebut tampaknya sesuai dengan kecepatan rerata
pergerakan relatif lempeng Eurasia dan Indo-Australia, masih perlu banyak data tambahan
untuk melihat proses deformasi di Pegunungan Selatan dan hubungannya dengan
pergerakan lempeng-lempeng tektonik.

Pendahuluan

Aktifitas tektonik Jawa didominasi oleh proses subduksi Lempeng Samudera Indo-
Australia yang bergerak ke utara dibawah Lempeng Sunda (Eurasia) dengan kecepatan
relatif sekitar 6 cm/tahun. Lempeng Indo-Australia miring kearah utara-timurlaut dari
Palung Sunda dan mencapai kedalaman sekitar 200 km dibawah busur gunungapi (Gambar
1). Gempabumi yang mengguncang Yogyakarta dan Jawa Tengah pada tanggal 27 Mei
2006 terjadi di kedalaman yang dangkal pada Lempeng Sunda. Sehingga dapat diduga
bahwa gempabumi tersebut bukan disebabkan secara primer oleh proses penunjaman
lempeng itu sendiri, melainkan sebagai efek sekundernya, yaitu akibat gaya kompresi

1
berarah relatif utara-selatan yang menghasilkan deformasi (strain) pada patahan yang ada
di daratan.

Gempabumi dangkal yang terjadi di daratan seperti tanggal 27 Mei 2006 lalu memang
jarang terjadi di Pegunungan Selatan Jawa Timur (USGS, 2006). Berbeda dengan
Pegunungan Selatan Jawa Barat, sebaran gempabumi dangkal di daerah tersebut
mengindikasikan aktifitas tektonik Pegunungan Selatan Jawa Barat lebih kuat daripada
Pegunungan Selatan Jawa Timur.

Gempabumi 27 Mei 2006

Gempabumi 27 Mei 2006 dengan magnitudo momen 6.3 selama 57 detik telah
menyebabkan 5.700 korban jiwa, 37.000 korban luka-luka, 139.000 bangunan hancur,
190.000 bangunan rusak (Husein et al., 2007a). Kerusakan parah dialami oleh Propinsi
Yogyakarta dan Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, dengan total kerugian sebesar 28 triliun
rupiah (Pujiyono, 2007).

Titik episentrum gempabumi tersebut dilaporkan berbeda-beda oleh beberapa institusi,


diantaranya BMG Indonesia, USGS Amerika Serikat, ANSS Amerika Serikat, EMSS
Eropa (Gambar 2). Namun semuanya berada di sekitar batas fisiografi Pegunungan Selatan
dengan Dataran Yogyakarta. Pada batas kedua fisiografi tersebut diketahui terdapat suatu
patahan normal yang menyebabkan terjadinya kontras morfologi (Untung et al., 1973;
Sudarno, 1997). Patahan tersebut dikenal dengan nama Sesar Opak karena jejaknya
dijumpai di sepanjang aliran Sungai Opak saat ini. Hubungan keruangan antara sebaran
titik episentrum dan Patahan Opak menimbulkan dugaan bahwa gempabumi 2006 lalu
disebabkan oleh reaktifasi Patahan Opak tersebut (Supartoyo, 2006).

Umumnya suatu gempabumi (mainshock) akan diikuti oleh gempabumi susulan


(aftershock) sebagai akibat dari pelepasan sisa energi menuju keseimbangan antar blok-
blok batuan yang bergerak ketika patahan terjadi. Sehingga letak episentrum mainshock
juga dapat diketahui dari sebaran episentrum aftershock. Pemantauan aftershock yang
direkam oleh Universitas Gadjah Mada bekerjasama dengan Universitas Kyushu Jepang
menunjukkan sebaran episentrum aftershock disekitar titik episentrum mainshock yang
ditetapkan oleh USGS (Fukuoka et al., 2007). Sehingga dapat disimpulkan bahwa titik
episentrum mainshock yang ditentukan oleh USGS adalah yang paling mendekati posisi
sesungguhnya.

Sejarah Kegempaan

Jarangnya gempabumi mengguncang Pegunungan Selatan Jawa Timur bagian barat juga
ditunjukkan oleh data gempabumi masa lalu. Rekaman catatan sejak era kolonial, yaitu
semenjak awal abad ke-19, hanya menunjukkan satu kali saja peristiwa gempabumi terjadi
di bagian Pegunungan Selatan ini (Visser, 1922).

Pada tanggal 10 Juni 1867 terjadi gempabumi dengan episentrum di 7.8oS - 110.5oE (Utsu,
2002). Gempabumi tersebut mengguncang daerah sekitarnya dengan intensitas tinggi, di
Kota Yogyakarta dilaporkan hingga skala-IX MMI dan merenggut nyawa 5 orang dan
mengakibatkan 372 bangunan hancur. Intensitas kerusakan diduga mengikuti pola struktur
Patahan Opak (Visser, 1922), meskipun tidak dilaporkan adanya bukti pergeseran sesar di

2
permukaan (Newcomb and McCann, 1987). Melihat dari sebaran intensitasnya, diduga
gempabumi ini berlangsung dengan magnitudo yang relatif sama dengan gempabumi 2006
lalu (Husein et al., 2007b).

Sebelumnya pada tanggal 14 Januari 1840 terjadi gempabumi dengan episentrum di


sebelah timur Banjarnegara, Jawa Tengah (Elnashai et al., 2006). Meski episentrumnya
terletak jauh dari Pegunungan Selatan, dilaporkan terjadi tsunami lokal di sepanjang pesisir
Wonosari hingga Pacitan (Newcomb and McCann, 1987). Diduga peristiwa ini disebabkan
gerakan massa berupa runtuhan batuan (rock fall) di sepanjang pesisir Pegunungan Selatan
Jawa Timur bagian barat akibat getaran gempabumi (Husein et al., 2007b).

Selain dari gempabumi 1840 yang memiliki efek sekunder terhadap Pegunungan Selatan
dan gempabumi 1867 yang terjadi langsung di Pegunungan Selatan, tidak ada lagi
gempabumi yang terjadi atau berpengaruh secara langsung terhadap Pegunungan Selatan.
Meski setelah itu banyak gempabumi yang mempengaruhi Yogyakarta, sebagian besar
terjadi di Samudera Hindia di selatan Pegunungan Selatan (Husein et al., 2007b).

Struktur Geologi Pegunungan Selatan

Sudarno (1997) berdasarkan penyelidikan geologi lapangan menafsirkan adanya 4 (empat)


trend struktur yang berkembang di Pegunungan Selatan Jawa Timur bagian barat, yaitu
(dari yang tertua) TL-BD, U-S, BL-Tg, dan B-T. Trend pertama (TL-BD) berkembang
sebagai sesar geser sinistral pada batuan dasar (basement) akibat gaya kompresi
penunjaman Lempeng Indo-Australia pada kala Eosen Akhir – Miosen Tengah. Untuk
selanjutnya berdasarkan kesesuaian dengan data regional Jawa, Sudarno (1997) menduga
bila trend-trend selain TL-BD bukan merupakan hasil reaktivasi sesar pada basement.
Trend kedua (U-S) hadir sebagai sesar geser sinistral di bagian barat Pegunungan Selatan
pada akhir Pliosen. Trend ketiga (BL-Tg) berkembang sebagai sesar geser dekstral yang
diduga muncul bersama-sama dengan trend kedua sebagai respon terhadap gaya kompresi
penunjaman Lempeng Indo-Australia di akhir Neogen. Trend keempat (B-T) hadir sebagai
sesar turun akibat gaya regangan yang disebabkan oleh pengangkatan Pegunungan Selatan
di awal Pleistosen. Gaya regangan tersebut juga mengaktifkan beberapa sesar geser tua
menjadi sesar turun, seperti yang dialami oleh Sesar Opak.

Diluar keempat trend tersebut, ada beberapa trend lain yang dapat teramati. Setiadji et al.
(2007) mengamati variasi dari trend pertama (TL-BD) berupa orientasi TTL-BBD dan
UTL-SBD, meski tidak diketahui persis hubungan pembentukan trend-trend tersebut satu
sama lainnya. Yang menarik adalah kehadiran trend struktur TTL-BBD, karena orientasi
tersebut ditunjukkan oleh hasil analisa terhadap data gempabumi 2006 (akan didiskusikan
pada bagian berikut). Trend TTL-BBD tentunya juga struktur tua karena mengontrol
pelamparan batuan basement di Perbukitan Jiwo Timur dan mengatur orientasi kuesta
Lajur Baturagung bagian timur yang tersusun oleh batuan volkaniklastik Oligo-Miosen
(Husein dan Srijono, 2007).

Solusi Mekanisme Fokal Gempabumi 2006

Gempabumi merupakan getaran bumi akibat adanya pelepasan energi dari suatu
pergerakan patahan. Sehingga peristiwa gempabumi dapat dipergunakan untuk
mempelajari aktifitas tektonik modern. Salah satu metode analisa yang menghubungkan

3
gempabumi dan pergerakan patahan yang populer dipergunakan adalah solusi tensor
momen atau mekanisme fokal. Dengan metode ini para ahli seismologi dapat menentukan
arah pergeseran, jenis dan orientasi patahan yang menyebabkan gempabumi (Cronin,
2004). Metode ini masih memerlukan kejelian interpretasi karena selalu memberikan 2
kemungkinan untuk bidang patahan yang aktif, yaitu bidang patahan itu sendiri dan yang
lain adalah bidang bantu (auxiliary plane) yang tidak memiliki arti secara struktur.
Lazimnya pengetahuan akan geologi regional sangat membantu dalam tahap ini ketika
harus memutuskan mana bidang patahan yang sesungguhnya dan bidang mana yang hanya
sebagai bidang bantu saja.

Untuk gempabumi 27 Mei 2006, ada dua solusi mekanisme fokal yang dapat dipelajari,
yaitu yang dipublikasikan oleh Pusat Informasi Gempabumi Nasional USGS (NEIC) dan
oleh Proyek Centroid-Moment Tensor (CMT) Harvard. Hasil analisa mekanisme fokal
USGS menunjukkan pergeseran sesar geser sinistral pada kedalaman 37 km dengan arah
bidang sesar N241oE/85o dan slip 10o dengan bidang bantu N150oE/80o dan slip 175o .
Gaya kompresi diperkirakan berasal dari N15oE. Sedangkan hasil analisa mekanisme fokal
Harvard mengindikasikan pergeseran sesar geser sinistral pada kedalaman 33 km dengan
orientasi bidang sesar N51oE/90o dan slip 14o dengan bidang bantu N321oE/76o dan slip
180o. Gaya kompresi dihitung berasal dari N186oE.

Hasil kedua analisa tersebut diatas cukup identik, yaitu patahan yang aktif bersifat geser
sinistral (rake of slip < 20o) akibat gaya kompresi horisontal relatif U-S. Orientasi bidang
patahan kedua analisa tersebut memiliki selisih sebesar 10o, namun keduanya
menunjukkan trend TTL-BBD. Dengan kedalaman sekitar 33 km tentunya sesar yang
bergerak termasuk sesar basement atau sesar tua yang mengalami reaktifasi kembali. Hal
ini semakin menegaskan bahwa struktur dengan orientasi TTL-BBD merupakan sesar tua
yang melibatkan basement (Setiadji et al., 2007; Husein dan Srijono, 2007).

Patahan Aktif di Pegunungan Selatan

Adanya indikasi keberadaan patahan aktif dengan orientasi TTL-BBD membutuhkan bukti
morfologi. Selain rekaman gempabumi, kehadiran sesar aktif umumnya mudah
diidentifikasi dari morfologi struktural yang berumur muda dan seringkali menjadi batas
pelamparan sedimen-sedimen Resen.

Meski demikian, tampaknya untuk menentukan keberadaan sesar aktif penyebab


gempabumi 2006 di Pegunungan Selatan berdasarkan morfologi bukan suatu pekerjaan
mudah. Di lokasi sekitar titik episentrum mainshock USGS tidak dijumpai adanya
kelurusan morfologi struktural dengan orientasi TTL-BBD (Setiadji et al., 2007). Dilihat
dari posisinya, titik episentrum USGS tidak berada pada batas pelamparan sedimen-
sedimen Resen dan tidak juga berada pada batas morfologi struktural. Hal ini
mengindikasikan patahan aktif tersebut tidak merobek permukaan (blind fault), seperti
yang pernah dilaporkan untuk patahan penyebab gempabumi 1867 (Newcomb and
McCann, 1987).

Kondisi tersebut sebetulnya telah dapat diprediksi bila morfogenesa Pegunungan Selatan
dikaji dengan baik. Kompleksitas geomorfologi Pegunungan Selatan sesungguhnya
dihasilkan dari interaksi yang rumit dalam kurun waktu yang panjang antara proses
endogenik berupa struktur geologi dan aktifitas tektonika dengan proses eksogenik berupa
erosi dan peneplainisasi (Husein dan Srijono, 2007). Struktur dengan orientasi TTL-BBD

4
hanya dijumpai pada batuan basement dan batuan volkaniklastik Oligo-Miosen, dimana
kedua batuan tersebut terdapat di bagian utara Pegunungan Selatan dan membentuk
Perbukitan Jiwo serta Lajur Baturagung. Di bagian tengah dan bagian selatan Pegunungan
Selatan didominasi oleh batuan karbonat Mio-Pliosen yang membentuk topografi kars
Gunung Sewu dan Cekungan Wonosari. Antara batuan volkaniklastik Oligo-Miosen dan
batuan karbonat Mio-Pliosen terjadi ketidakselarasan lokal akibat pengangkatan Lajur
Baturagung pada awal Miosen Tengah (Van Bemmelen, 1949; Husein dan Srijono, 2007).
Proses pengangkatan pertama Lajur Baturagung tersebut ditafsirkan telah melibatkan
struktur dengan orientasi TTL-BBD sebagai struktur tertua, karena pengangkatan
berikutnya pada Pleistosen Tengah dan Pleistosen Akhir melibatkan orientasi yang
berbeda, yaitu BL-Tg dan BBL-TTg (Husein dan Srijono, 2007). Kedua orientasi terakhir
tersebut diatas, yaitu BL-Tg dan BBL-TTg, berkembang ekstensif di bagian tengah dan
selatan Pegunungan Selatan. Pada lokasi di sekitar titik episentrum USGS, kedua orientasi
tersebut dapat dengan mudah dikenali sebagai batas morfologi baratdaya Cekungan
Wonosari terhadap Gunung Sewu.

Dari pemaparan di atas dapat ditafsirkan bahwa di daerah titik episentrum USGS, orientasi
struktural TTL-BBD yang berkembang pada batuan Oligo-Miosen tertutup oleh orientasi
struktur yang lebih muda dan berkembang pada batuan Mio-Pliosen, yaitu BL-Tg dan
BBL-TTg. Sehingga reaktifasi struktur TTL-BBD akibat gempabumi dengan magnitudo
6.3 Mw tersebut kecil kemungkinannya dapat merobek batuan Mio-Pliosen yang tebalnya
mungkin mencapai 400 m (angka ini diperkirakan secara kasar dengan mengambil separuh
ketebalan maksimum Formasi Wonosari berdasarkan data stratigrafi regional) dan
didominasi oleh orientasi BL-Tg dan BBL-TTg.

Penutup

Data-data kegempaan di Pegunungan Selatan menunjukkan adanya proses deformasi


tektonik di Pegunungan Selatan yang terus berlangsung hingga saat ini. Sebagaimana
proses terjadinya gempabumi di kawasan pesisir selatan Jawa, proses pengangkatan dan
pembentukan morfologi Pegunungan Selatan diduga tidak lepas dari aktifitas subduksi
lempeng Indo-Australia terhadap lempeng Eurasia; suatu proses tektonik regional yang
kini terjadi pada jarak 200 km di selatan garis pantai Pegunungan Selatan. Pengukuran
deformasi dengan telemetri pada Bukit Putih di Pegunungan Baturagung yang terletak di
bagian timur Lajur Baturagung mengindikasikan pergerakan daerah perbukitan tersebut ke
arah utara sejauh 5 mm/bulan (hasil pengukuran selama 2 bulan, Desember 2006 – Januari
2007; komunikasi pribadi dengan Ratdomopurbo, Februari 2007). Meskipun angka
tersebut tampaknya sesuai dengan kecepatan rerata pergerakan relatif Lempeng Indo-
Australia, masih perlu banyak data tambahan untuk melihat proses deformasi di
Pegunungan Selatan dan hubungannya dengan pergerakan lempeng-lempeng tektonik.

Penyelidikan keberadaan patahan aktif di Pegunungan Selatan harus terus dilakukan


sebagai upaya untuk meminimalkan dampak bencana gempabumi. Kesulitan identifikasi
patahan aktif bila hanya berdasarkan pada indikator morfologi seperti yang terjadi pada
gempabumi 2006, membuat para peneliti harus memaksimalkan pemanfaatan metode-
metode geofisika.

Selain penyelidikan patahan aktif, para peneliti hendaknya juga terus mengembangkan
penelitian terhadap kondisi geologi lokal pada daerah padat penduduk di sekitar
Pegunungan Selatan. Penelitian yang dilakukan oleh Jurusan Teknik Geologi UGM di

5
daerah Bantul memperlihatkan karakter tanah yang dapat bersifat memperkuat getaran
gempa ternyata lebih berperan dalam menentukan tingkat kerusakan yang dialami bila
terjadi gempabumi (Karnawati et al., 2007).

Kesimpulan

ƒ Gempabumi 27 Mei 2006 terjadi di Pegunungan Selatan Jawa Timur bagian barat
sebagai efek sekunder dari proses penunjaman Lempeng Indo-Australia dibawah
Lempeng Sunda (Eurasia), yaitu akibat gaya kompresi berarah relatif utara-selatan
yang menghasilkan deformasi (strain) pada patahan yang ada di daratan.
ƒ Data historis menunjukkan gempabumi pernah terjadi di Pegunungan Selatan pada 10
Juni 1867, diduga dengan episentrum, mekanisme dan intensitas kekuatan yang identik
dengan gempabumi 2006.
ƒ Hasil analisa mekanisme fokal menunjukkan reaktifasi patahan basement yang bersifat
geser sinistral akibat gaya kompresi horisontal relatif U-S dengan orientasi bidang
patahan TTL-BBD
ƒ Reaktifasi sesar TTL-BBD tersebut tidak terekspresikan di permukaan karena tertutup
oleh orientasi struktur yang lebih muda dan berkembang pada batuan Mio-Pliosen,
yaitu BL-Tg dan BBL-TTg. Untuk mengatasi permasalahan ini, penyelidikan
keberadaan patahan aktif di Pegunungan Selatan hendaknya memaksimalkan metode-
metode geofisika.

Daftar Pustaka

Cronin, V. (2004) A Draft Primer on Focal Mechanism Solutions for Geologist. 13 p.


Elnashai, A.S., S.J. Kim, G.J. Yun, and D. Sidarta (2006) The Yogyakarta Earthquake of
May 27, 2006, MAE Center Report No. 07-02, University of Illinois at Urbana-
Champaign, 57 p.
Fukuoka, K., S. Ehara, Y. Fujimitsu, U. Harmoko, A. Setyawan, L.D. Setiadji, A.
Harijoko, S. Pramumijoyo, Y. Setiadi, Wahyudi (2007) Interpretation of the 27 May
2006 Yogyakarta Earthquake Hypocenter and Subsurface Structure Deduced From
the Aftershock and Gravity Data. In: D. Karnawati, S. Pramumijoyo, R. Anderson,
and S. Husein (eds.), The Yogyakarta Earthquake of May 27, 2006. Star Publisher,
New York.
Husein, S., D. Karnawati, S. Pramumijoyo, A. Ratdomopurbo (2007a) Kontrol Geologi
terhadap Respon Lahan dalam Gempabumi Yogyakarta 27 Mei 2006: upaya
pembuatan peta zonasi mikro di daerah Bantul. Proceeding Seminar Nasional 2007
Geotechnics for Earthquake Engineering, Universitas Katolik Parahyangan,
Bandung, pp. 6.1–6.12.
Husein, S., S. Pramumijoyo, M. Thant, T. Naing, and J. Murjaya (2007b) A Short Note on
the Seismic History of Yogyakarta Prior to the May 27, 2006 Earthquake. In: D.
Karnawati, S. Pramumijoyo, R. Anderson, and S. Husein (eds.), The Yogyakarta
Earthquake of May 27, 2006. Star Publisher, New York.
Husein, S. dan Srijono (2007) Tinjauan Geomorfologi Pegunungan Selatan DIY/Jawa
Tengah: telaah peran faktor endogenik dan eksogenik dalam proses pembentukan
pegunungan. Seminar Potensi Geologi Pegunungan Selatan dalam Pengembangan
Wilayah, Pusat Survei Geologi, Yogyakarta, 27-28 November 2007.
Karnawati, D., S.Husein, S. Pramumijoyo, A. Ratdomopurbo, K. Watanabe, R. Anderson
(2007) Earthquake Microzonation and Hazard Maps of the Bantul Area, Yogyakarta,

6
Indonesia. In: D. Karnawati, S. Pramumijoyo, R. Anderson, and S. Husein (eds.), The
Yogyakarta Earthquake of May 27, 2006. Star Publisher, New York.
Nakano, M., Kumagai, H., Miyakawa, K., Yamashina, T., Inoue, H., Ishida, M., Aoi, S.,
Morikawa, N., and Harjadi, P. (2006) Source Estimates of the May 2006 Java
Earthquake. EOS Transactions, 87 (45), 493-494. American Geophysical Union.
Newcomb K. R., and W.R. McCann (1987) Seismic History and Seismotectonics of the
Sunda Arc. Journal of Geophysical Research, vol. 92, no. B1, p 421-439.
Pujiono, P. (2007) National Policy Reform for Disaster Risk Reduction. In: D. Karnawati,
S. Pramumijoyo, R. Anderson, and S. Husein (eds.), The Yogyakarta Earthquake of
May 27, 2006. Star Publisher, New York.
Rahardjo, W., Sukandarrumidi, and H.M.D. Rosidi (1995) Peta Geologi Lembar
Yogyakarta, Jawa. Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, Bandung.
Setiadji, L.D., D.H. Barianto, K. Watanabe, K. Fukuoka, S. Ehara, W. Rahardjo, Ign.
Sudarno, S. Shimoyama, A. Susilo, and T. Itaya (2007) Searching for the Active
Fault of the Yogyakarta Earthquake 2006 Using Data Integration on Aftershocks,
Cenozoic Geo-History, and Tectonic Geomorphology. In: D. Karnawati, S.
Pramumijoyo, R. Anderson, and S. Husein (eds.), The Yogyakarta Earthquake of
May 27, 2006. Star Publisher, New York.
Sudarno, Ign. (1997) Kendali Tektonik Terhadap Pembentukan Struktur pada Batuan
Paleogen dan Neogen di Pegunungan Selatan, Daerah Istimewa Yogyakarta dan
Sekitarnya. Tesis Magister pada Program Studi Geologi Program Pascasarjana
Institut Teknologi Bandung, 167 p (tidak dipublikasikan).
Supartoyo (2006) Gempabumi Yogyakarta Tanggal 27 Mei 2006. Merapi, 3, 36-55
USGS (2006) M6.3 Java Earthquake of 26 May 2006. http://earthquake.usgs.gov/eqcenter/
eqinthenews/2006/usneb6/, diunduh pada bulan Oktober 2006.
Untung, M., K. Ujang, dan E. Ruswandi (1973) Penyelidikan Gaya Berat di Daerah
Yogyakarta – Wonosari, Jawa Tengah. Publikasi Teknik Seri Geofisika, no. 3,
Direktorat Geologi, Bandung.
Utsu, T. (2002) A List of Deadly Earthquakes in the World 1500-2000, International
Handbook of Earthquake & Engineering Seismology, Part A, Academic Press,
London, p. 691-717.
Visser, S. (1922) Inland and Submarine Epicentra of Sumatra and Java Earthquakes.
Koninklijk Magnetisch en Meteorologisch Observatorium te Batavia, 9, p. 1-14.

7
Gambar 1. Penampang sebaran titik hiposentrum gempabumi Jawa Tengah M > 4 semenjak 1964 hingga
2006 (USGS, 2006). Segitiga kuning adalah gunungapi modern. Bintang kuning mengindikasikan estimasi
pertama USGS terhadap lokasi episentrum gempabumi 27 Mei 2006. Estimasi terakhir bergeser sejauh 10 km
ke arah timurlaut.

1867
Wonogiri

Yogyakarta

Nakano
Supartoyo

ANSS USGS
Wonosari
BMG

EMSS

Samudera Hindia
N
10 km

Gambar 2. Sebaran titik estimasi episentrum (simbol bintang kuning) gempabumi 27 Mei 2006 (mainshock)
dari berbagai institusi: BMG (Badan Meteorologi dan Geofisika), Supartoyo (Pusat Survey Geologi), Nakano
et al., USGS (United States Geological Survey), ANSS (Advanced National Seismic System), EMSS
(European-Mediterranian Seismological Centre). Lingkaran garis putus-putus kuning adalah sebaran
episentrum gempabumi susulan (aftershock) yang dipantau oleh Universitas Gadjah Mada dan Kyushu
University (Fukuoka et al., 2007). Titik estimasi episentrum gempabumi 10 Juni 1867 ditunjukkan oleh
lingkaran kuning (Utsu, 2002). Garis putus-putus merah adalah lokasi Sesar Opak (Rahardjo, et al., 1995).
8

Anda mungkin juga menyukai