Anda di halaman 1dari 26

https://faisalthahir.wordpress.

com/2013/12/18/potret-keberagamaan-masyarakat-muslim-
di-indonesia/
CORAK KEBERAGAMAN MASYARAKAT MUSLIM INDONESIA
Sesungguhnya, Islam yang bersumber dari al-Qur'an dan Sunnah dan diyakini sebagai kebenaran
tunggal, ditafsirkan penganutnya secara berbeda dan berubah-ubah, akibat perbedaan kehidupan sosial
penganut yang juga terus berubah. Dari perbedaan penafsiran itu lahirlah kemudian pemikiran fiqh dan teologi
yang berbeda.
Jika diuraikan berdasarkan kerangka ideologis, terdapat paling tidak empat kategorisasi umat Islam;
tradisionalis-konservatif, reformis-modernis, radikal-puritan, dan nasionalis-sekuler.[1]
Sebagaimana yang terjadi pada kemunculan beberapa pemikiran teologi dan filsafat di dunia Islam
pada abad klasik, kemunculan gagasan tentang pemikiran ideologis di atas tidak terlepas dari pengaruh
kondisi sosial, kepentingan dan kondisi sosial dan budaya bangsa yang sedang berkembang.[2]
Hal ini menandakan bahwa meskipun Islam itu satu dari sudut ajaran pokoknya, akan tetapi setelah
terlempar dalam konteks sosial-politik tertentu pada tingkat perkembangan sejarah tertentu pula agama
bisa memperlihatkan struktur interen yang berbeda-beda.[3] Maka, jika dilihat dari masalah yang
diperdebatkan di antara beberapa kelompok di atas, mereka berdebat bukan tentang pokok-pokok ajaran
Islam itu sendiri, akan tetapi bagaimana memanifestasikan ajaran Islam itu di dalam sistem kehidupan
sosial,[4] antara Islam sebagai model of reality dan Islam sebagai models for reality,[5]sehingga
menciptakan setidaknya dua bentuk komunitas beragama yaitu antara folk variant dan scholarly veriant,[6]
yang dalam konteks keindonesiaan terwujud dalam bentuk komunitas NU dan komunitas Muhammadiyah.
Yang pertama sering diklaim sebagai kelompok tradisionalis, dan yang kedua sebagai kelompok modernis.
Kelompok tradisionalis sering dikategorikan sebagai kelompok Islam yang masih mempraktekkan
beberapa praktek tahayyul, bid'ah, khurafat, dan beberapa budaya animisme, atau sering diidentikkan dengan
ekspresi Islam lokal, sementara kelompok modernis adalah mereka yang sudah tidak lagi mempraktekkan
beberapa hal di atas. Akan tetapi kategorisasi ini menjadi kurang tepat ketika ditemukan adanya praktek
budaya animisme yang dilakukan oleh kalangan muslim modernis, seperti yang pernah diungkap oleh Munir
Mulkhan dalam penelitiannya tentang Islam Murni dalam Masyarakat Petani. Di dalam penelitiannya ia
menemukan adanya empat varian masyarakat Muhammadiyah; yaitu Islam murni (kelompok al-Ikhlas), Islam
murni yang toleran terhadap praktek TBC (kelompok Kyai Dahlan), Islam neo-tradisionalis (kelompok MUNU,
Muhammadiyah-NU), dan Islam neosinkretis (kelompok MUNAS, Muhammadiyah-Nasionalis).[7]

Budaya Indonesia adalah seluruh kebudayaan nasional, kebudayaan lokal, maupun


kebudayaan asal asing yang telah ada di Indonesia sebelum Indonesia merdeka pada tahun
1945.
Kebudayaan nasional adalah kebudayaan yang diakui sebagai identitas nasional.
A. Corak Islam di Pulau Jawa

1. Sinkretisme Sebagai Bentuk dan Ciri Islam Jawa

Pertama, pada waktu itu sejarah Islam tercatat dalam periode kemunduran. Runtuhnya
Dinasti Abbasiyah oleh serangan Mongol pada 1258 M., dan tersingkirnya Dinasti Al-Ahmar
(Andalusia/Spanyol) oleh gabungan tentara Aragon dan Castella pada 1492 M menjadi
pertanda kemunduran politik Islam. Begitu juga arus keilmuan dan pemikiran Islam saat itu
terjadi stagnasi.
Hal ini berpengaruh pada tipologi penyiaran Islam yang elastis dan adaptif terhadap
kekuatan unsur-unsur lokal, mengingat kekuatan Islam baik secara politik maupun keilmuan
sedang melemah. Bertepatan pada akhir abad XV di mana terjadi Islamisasi secara besar-
besaran di tanah Jawa, maka metode dakwah Islam seperti pada umumnya waktu itu
bercorak apresiatif dan toleran terhadap budaya dan tradisi setempat.
Kedua, pandangan hidup masyarakat Jawa sangat tepo seliro dan bersedia membuka diri
serta berinteraksi dengan orang lain. Menurut Marbangun Hardjowirogo, masyarakat Jawa
lebih menekankan sikap atau etika dalam berbaur dengan seluruh komponen bangsa yang
bermacam-macam suku dan bahasa, adat dan termasuk agama. Karena manusia Jawa sadar
bahwa tak mungkin orang Jawa dapat hidup sendiri. Pandangan demikian senada dengan
filsafat Tantularisme khas Jawa yang mengajarkan humanisme dalam segala bidang dan
menentang segala bentuk ekslusivisme dan sektarianisme.[3]
Pandangan hidup masyarakat Jawa seperti ini lebih mempermudah dalam menerima ajaran
Islam yang kategorinya paham asing. Akhirnya proses interaksi antara keduanya tidak
bersifat konfrontatif, sebaliknya bersifat akomodatif dan toleran. Kedua hal itulah yang
melatarbelakangi sinkretisme Islam dengan budaya kejawen terjadi sangat mudah dan
seakan tanpa sekat.
Ketiga, sebelum Islam membumi di Jawa, yang membingkai corak kehidupan masyarakat
adalah agama Hindu-Budha serta kepercayaan animisme maupun dinamisme. Hindu, Budha,
animisme maupun dinamisme yang menjadi system kepercayaan atau agama tentunya
(sesuai agama-agama lain) telah mengajarkan konsep-konsep religiusitas yang mengatur
hubungan menusia dengan Tuhan yang diyakini sebagai pencipta alam.
Bahwasanya pada dasarnya semua system kepercayaan maupun agama telah membangun
nilai-nilai universal tentang tatanan hubungan manusia dengan Tuhan maupun dengan
sesamanya, merupakan esensi dan substansi ajaran yang terserap dalam tradisi-tradisi local
di tanah Jawa. Hal ini secara langsung mempengaruhi pemikiran masyarakat Jawa terhadap
nilai baru yang bernama Islam. Untuk meneropong universalisme budaya dan agama Jawa
terhadap substansi ajaran agama lain, dapat kita lihat dengan mendekatkan ajaran-ajaran
tersebut, yakni Hindu, Budha, animisme dan dinamisme yang menjadi prinsip
keberagamaan masyarakat Jawa Pra-Islam.
Spiritualitas dan religiusitas yang menjadi pijakan keberagamaan orang Jawa yang
terkandung dari keempat unsur tersebut jika kita benturkan dalam “kesalihan” Jawa tidak
lain adalah untuk mencapai satu titik tertinggi, yaitu kasunyatan atau kesejatian hidup. Tak
berbeda dengan Islam, sebagai ajaran agama nilai-nilai ajaran yang ada di dalamnya pun
memuat prinsip-prinsip kepercayaan masyarakat Jawa, khususnya berkaitan dengan
keberadaan sang pencipta atau Tuhan. Dalam semua tradisi tersebut, termasuk Islam, Tuhan
merupakan wujud kekuatan adikodrati yang mengendalikan segala sesuatu yang manusia
harus tunduk kepada-Nya dalam bentuk pengabdian.
Dengan menggunakan kerangka berpikir sedemikian, Islam menjadi mudah diterima dan
menyatu di dalam masyarakat merupakan sebuah keniscayaan yang tak terhindarkan.
Pandangan Jawa yang meyakini agama ageming aji, adalah falsafah yang mengajarkan
bahwa agama merupakan sebuah ajaran agar kehidupan yang dijalani mendapatkan
kebahagiaan dan ketentraman sesuai dengan norma-norma dan nilai-nilai kemanusiaan dan
nilai-nilai ketuhanan.

B. Corak Islam di Minangkabau


Minangkabau adalah suatu gerakan perubahan yang terutama didorong oleh corak
keberagamaan masyarakat minangkabau. unsur dominan yang sangat mewarnai
perkembangan awal islam dinusantara ialah kuatnya pengaruh sufisme , terutama sufisme
tarekat. Yang paling menonnjol peranannya adalah tarekat syatariyah, qadariyah dan
naqsabandiyah. Islamisasi minangkabau lebih terbentuk melalui akulturasi budaya
ketimbang proses politik seperti proses islamisasi daerah lain di Indonesia Hal ini
mengakibatkan perkembangan islam terkesan sangat lamban karena proses yang terjadi
tidak melibatkan unsur pemaksaan kekuasaan politik

C. Corak Islam di Kalimantan

Keberagamaan adalah proses sosial budaya yang terus berlangsung sepanjang hidup
manusia. Dakwah yang disesuaikan dengan ragam kehidupan keagamaan sebagai proses
sosial budaya itulah yang disebut dakwah kultural. Dakwah yang semacam inilah yang
memungkinkan agama Islam diterima secara spektakuler oleh masyarakat pedalaman
Kalimantan Barat. Proses Islamisasi dengan memanfaatkan magi (magic).
Keberhasilan para penganut Islam sufistik dalam Islamisasi di pedalaman Kalimatan Barat
antara lain disebabkan karena Islam corak ini dalam beberapa segi tertentu ‘cocok’ dengan
latar belakang masyarakat setempat yang dipengaruhi asketisme Hindu-Budha dan
sinkretisme kepercayaan lokal.
Islam diklaim oleh penganutnya sebagai agama yang cocok untuk segala tempat dan masa.
Dengan kata lain Islam adalah agama universal. Klaim ini antara lain didasarkan atas
pandangan bahwa Islam adalah agama yang sesuai dengan nature atau fitrah kemanusiaan.
Implikasi selanjutnya dari pandangan ini adalah bahwa segala produk kemanusiaan yang
sesuai dengan fitrah kemanusiaan dengan sendiriannya bersifat Islami.
Umat Islam percaya bahwa ajaran Islam bersifat universal. Keuniversalan Islam menyakut
ajaran-ajaran dasar dan produk yang berlaku disemua tempat dan masa. Univesalisme Islam
terutama menyangkut ajaran dan nilai-nilai dasar yang diyakini berasal dari dari wahyu
Tuhan yang tidak berubah dan tidak boleh diubah. Karena hanya menyangkut ajaran dan
nilai-nilai dasar maka tidaklah semua persoalan kemanusiaan sudah disediakan jawabannya
secara teknis oleh Islam.
Hal tersebut meniscayakan ajaran Islam yang berasal dari wahyu tersebut bersentuhan
dengan dinamika historis masyarakat mau tidak mau melibatkan kreativitas pemahaman
manusia dan budaya dimana Islam hadir untuk membumikannya. Dengan demikian
akulturasi timbal balik antara Islam dan budaya lokal menjadi menjadi suatu keniscayaan.
Kenyataan ini diperkuat dengan watak agama Islam yang hadir bukan untuk suatu kelompok
atau golongan tertentu tetapi untuk seluruh manusia. Dengan demikian Islam yang pertama
kali turun di Arab tidaklah hanya bisa diartikulasikan dalam konteks budaya masyarakat
Arab. Keuniversalan mengakomodasi keragaman budaya manusia yang tersebar di segala
penjuru dunia. Oleh karena itu kebudayaan lokal tidak mungkin dan tidak harus dihilangkan
karena mereka menganut Islam. Inilah makna ungkapan al-Islam salih fi kulli makan wa fi
kulli zaman.

Di Aceh

Pembangunan masjid di Bali sejak abad XIV hingga sekarang mengalami


akulturasi dengan unsur arsitektur tradisional Bali atau menyerupai stil wantilan.
Akulturasi dua unsur seni yang diwujudkan dalam pembangunan masjid
menjadikan tempat suci umat Islam di Bali tampak berbeda dengan bangunan
masjid di Jawa maupun daerah lainnya di indonesia
Pemeluk agama Islam di Aceh merupakan mayoritas, dibandingkan dengan
agama-agama lain. Salah satu contoh corak keberagamaan masyarakat muslim di
Aceh terlihat dari Parlemen Aceh yang akhirnya mengesahkan Qanun Hukum
Jinayah sebagai pedoman baru pelaksanaan syariat Islam. Penerapan hukum Islam
berupa cambuk dan denda emas bagi pelanggar syariat, termasuk non-muslim dan
anak-anak, segera berlaku di provinsi itu. Peraturan tersebut tentu berbeda dengan
peraturan yang ada di provinsi selain Aceh.

Dengan disahkannya Qanun Hukum Jinayah, maka di Aceh akan berlaku


hukuman cambuk atau denda dengan bayar emas murni bagi pelaku pemerkosaan,
perzinaan, pelecehan seksual, praktik gay, lesbian, mesum, perjudian,
mengonsumsi minum keras dan bermesraan dengan pasangan bukan muhrim.
Bukan hanya pelaku, orang yang ikut menceritakan ulang perbuatan atau
pengakuan pelaku jarimah secara langsung atau melalui media juga dikenakan
hukuman cambuk.

Sanksi cambuk bukan hanya berlaku bagi mereka yang beragama Islam.
Warga non-muslim, anak-anak dan badan usaha yang menjalankan bisnisnya di
Aceh, jika melakukan pelanggaran syariat, juga akan dikenakan hukuman dalam
qanun ini. Hanya saja bagi non-muslim diberi kelonggaran yakni bisa memilih
apakah diproses dengan qanun atau hukum nasional yang berlaku.

Selain itu corak keberagamaan muslim di aceh terlihat dari tradisi orang
Aceh yang menganggap musholla lebih signifikan dibandingkan dengan masjid.
Menurut Andrew Beatty, karena hidup berkeluarga adalah arena utama dari
kehidupan social dan bidang di mana tindakan moral dibentuk dan dinilai, maka
musholla memiliki arti penting praktis yang lebih besar. Sebuah desa di Aceh dapat
bertahan tanpa masjid karena shalat Jumat dilakukan di sebuah mesjid kemukiman.
Tetapi tanpa mushalla (Meunasah), maka kesalehan akan terhenti menjadi patokan
normatik: kewajiban skriptual tetap kewajiban, tetapi solidaritas sesame muslim
akan memudar.

1. TANAH GAYO

Dataran Tinggi Gayo adalah daerah yang berada di salah satu bagian
punggung pegunungan Bukit Barisan yang membentang sepanjang
Pulau Sumatera.Secara administratif dataran tinggi Gayo meliputi wilayah
Kabupaten Aceh Tengah dan kabupatenBener Meriah serta kabupaten Gayo Lues.
Tiga kota utamanya yaitu Takengon, Blang Kejeren dan Simpang Tiga Redelong.

CORAK KEBERAGAMAAN ISLAM MASYARAKAT GAYO

a. Sistem pemerintahan

Meskipun sistem pemerintahan dari kerajaan Islam Aceh, mempunyai pola


umum yang sama untuk seluruh wilayahnya, tetapi sistem pemerintahan di Tanah
Gayo mempunyai “ciri-ciri” tersendiri.

Sistem yang berdasarkan Hukum Adat.Hukum Adat bersumber dan


berlandaskan hukum Islam.Hukum Adat tidak tertulis.Tetapi hukum Islam adalah
hukum tertulis, berdasarkan Qur’an dan Hadits Nabi.Jadi meskipun hukum adat
tidak tertulis, tetapi sumber dan landasannya adalah hukum tertulis yaitu dari
Qur’an dan Hadist Nabi.

Keputusan mengenai hukum adat yang bertentangan dengan hukum Islam,


maka setelah mendengarkan pendapat Imam, hukum adat harus dikesampingkan
dan hukum Islam yang harus dilaksanakan. Hukum Islam adalah kuat terhadap
hukum adat dalam pelaksanaan hukum di Tanah Gayo. Hubungan antara kedua
hukum adat dan hukum agama ini adalah jalin berjalin yang sangat erat,
sebagaimana dilukiskan dalam kata-kata adat Gayo “Hukum ikanung edet, edet
ikanung Agama”. Artinya setiap hukum mengandung adat, dan setiap adat
mengandung agama. Hukum adat adalah anak kandung dari hukum agama.

Dengan perkataan lain, hukum adat di dalam pemerintahan Tanah Gayo pada
hakikatnya adalah merupakan “pancaran dari hukum Islam.” Walaupun demikian
sering juga terjadi praktek sengketa antara hukum adat dengan hukum agama yang
kadang-kadang hukum Islam dikesampingkan. Hal ini dapat terjadi dalam hal,
apabila sang raja tidak mengerti ajaran agama dan hukum-hukum Islam atau karena
sang raja berlaku sewenang-wenang atau oleh faktor-faktor lain.

Prinsip-prinsip yang terkandung dalam kata-kata adat Gayo ini


menggambarkan sesuatu pemerintahan berdasarkan hukum adat yang bersumber
dari hukum Islam dengan mengindahkan prinsip musyawarah untuk mufakat.
Suatu prinsip gotong royong yaitu semacam sistem demokrasi yang dikenal zaman
ini.
b. Struktur Sosial Masyarakat Gayo

Lapisan ulama merupakan lapisan sosial yang sangat mulia di mata


masyarakat etnik Gayo. Lapisan ini muncul berdasarkan penguasaan ilmu agama
Islam yang luas.Lapisan ulama ini tidak dapat diturunkan kepada anaknya, sebab
yang menjadi ulama ditentukan oleh dasar tingginya ilmu agama yang dikuasainya.
Siapa saja berhak menjadi alim ulama, asal mampu memenuhi syarat-syarat sebagai
seorang ulama, yaitu selain tinggi ilmu agamanya, juga pembawaannya haruslah
kelihatan mempunyai wibawa yang tinggi di mata masyarakat, pandai berdakwah,
jujur, bijaksana, rajin dan harus yang rajin beribadah.

Agar menjadi anak yang saleh, maka sejak berumur 6 tahun, anak-anak suku
Gayo pada saat itu diharuskan belajar mengaji Al Qur’an, belajar rukun
sembahyang, rukun Islam, rukun Iman dan lain-lainnya yang berhubungan dengan
keagamaan.

Pada waktu dulu banyak anak-anak lelaki Gayo pergi menuntut ilmu agama
ke pesantren-pesantren kenamaan seperti di Padang, Bukit Tinggi, dan bahkan ada
pula yang sampai menyeberang ke pulau Jawa sana, yaitu di pesantren Tebu Ireng,
Gontor, dan sebagainya. Setelah menamatkan pendidikannya di Pesantren-
Pesantren tersebut, mereka akan kembali ke tanah asalnya dan membawa banyak
perubahan pada masyarakat Gayo, terutama mereka umumnya banyak yang
mendirikan sekolah-sekolah keagamaan di kampung mereka.

c. Bidang Kepercayaan
Dalam bidang kepercayaan masyrakat etnik Gayo juga mempercayai adanya
kekuatan gaib dan kekuatan sakti.Mengenai wujud dari kekuatan-kekuatan gaib
tersebut dapat dilihat dalam bentuk kegiatan talak bele (menolak bahaya). Jika ada
wabah penyakit yang melanda daerah mereka, maka masyarakat setempat akan
bersama-sama untuk melakukan upacara tolak bele, agar mereka terhindar dari
penyakit tersebut.

Upacara ini dilakukan pada tempat-tempat yang dianggap angker atau


keramat, misalnya dibawah pohon besar atau di tepi Danau Laut Tawar. Upacara
ini dilakukan dengan cara menyediakan sesaji berupa makanan agar balum bidi dan
telege (sumur) Reje Linge tidak mengambil atau menelan orang yang mandi di
sungai atau di danau Laut Tawar tersebut.

Upacara keagamaan pada hari-hari besar Islam juga dirayakan, seperti


upacara Maulid Nabi sebagai upacara bersejarah bagi umat Islam yang dilakukan
pada setiap tahunnya pada bulan Rabiulawal. Dahulu setiap mersah melakukan
upacara ini dengan mengundang tamu-tamu dari mersah lainnya. Bagi mereka yang
cukup mampu selalu membawa hidangan makanan untuk dimakan pada acara
tersebut, dan bagi mereka yang kurang mampu akan melakukan kerjasama dengan
rumah-rumah lain untuk sama-sama membuat sebuah hidangan untuk disajikan
pada acara itu juga.

Pelaksanaan upacara selalu dipimpin oleh Imam mersah masing-masing.


Setelah upacara selesai, maka akan disertai dengan zikir sampai selesai, dan pada
akhir acara tersebut, tibalah saatnya untuk makan bersama-sama. Sekarang proses
upacara yang besar seperti ini sudah sangat jarang sekali dilakukan pada masyarakat
suku Gayo. Saat ini, mereka hanya melakukan upacara Maulid Nabi SAW dengan
acara sederhana tanpa ada acara hiburan rakyat lagi, mereka memperingati acara
tersebut dengan sangat sederhana, Begitu juga dengan upacara-upacara
lainnya.(Rusdi dkk., 1998:91-92).

2. SIDODADI

Sidodadi merupakan salah satu gampong yang ada di kecamatan Simoang Kanan,
Kabupaten Aceh Singkil, Provinsi Aceh, Indonesia

CORAK KEBERAGAMAAN MASYARAKAT ISLAM SIDODADI

Kenyataannya muslim Sidodadi memang memiliki sebutan tersendiri terkait


orientasikeagamaan mereka, yakni orang Sunnah dan orang Yasin.

 Istilah orang Sunnahterkadang digunakan secara bertukaran dengan istilah


orang Pengajian

 istilah orang Yasin juga digunakan bertukaran dengan orang Perwiridan


(muslim tradisionalis

Perbedaan

Orang Sunnah Orang Yasin


Tidak menyelenggarakan tahlil Secara berkala membaca tahlil
bersama, termasuk tahlil untuk
orang meninggal

Seorang muslim tidak Mentradisikan orang lebih muda


membungkukkan badan mencium tangan orang lebih tua.
sedikitpun saat bersalaman

Bersalam-salaman tidak harus Melakukan salaman setelah shalat


dilakukan setelah selesai shalat

Kontestasi kesalehan antara kedua kelompok berlangsung dinamis, dalam beberapa


kasus memunculkan ketegangan sosial dan rekonsiliasi antara kedua belah pihak.

 Orang Yasin misalnya mendukung tradisi pesejeuk (kenduri) saat mendirikan


rumah, baca yasin bersama, tahlilan, membacakan talkin untuk mayat yang
barudikuburkan, sampai dengan pementasan orgen tunggal dalam acara resepsi
pernikahan.

 Orang Sunnah menentang semua tradisi tersebut karena tidak ditemukanlandasan


hukumnya dalam al-Qur'an dan hadist. Tradisi baca yasin bersama menurutorang
sunnah sama bid'ahnya dengan pementasan orgen tunggal saat resepsi pernikahan.

Meskipun orientasi keberagamaan orang Sunnah berbeda dari orang Yasin,


keduanya masih tetap berpijak pada landasan yang sama. Al-Quran dan hadis tetap
dijadikan acuan utama dalam membangun otoritas kehidupan agama. Definisi serta
wilayah cakupan agama juga diturunkan oleh keduanya melalui dua sumber ajaran
Islam ini. Tetapi masing-masing pihak ingin merealisasikan ideal yang terkandung
dalam teks suci ke dalam kehidupan nyata dalam versinya masing-masing. Kedua
belah pihak menempuh jalan yang berbeda dalam menghampiri Islam.

1. Palembang

Menurut sejarah, Islam masuk ke Palembang diperkirakan pada awal abad ke-1 H atau awal abad ke-8 Masehi.
Sepanjang abad ke-7 sampai abad ke-14 Masehi, Islam di kota Palembang tumbuh dan berkembang pesat
sehingga berdiri sebuah kerajaan Islam Kesultanan Palembang. Kesultanan Palembang Darussalam adalah
suatu kerajaan Islam di Indonesia yang berlokasi di sekitar kota Palembang, Sumatera Selatansekarang.
Kerajaan ini diproklamirkan oleh Sri Susuhunan Abdurrahman dari Jawa dan dihapuskan oleh pemerintah
kolonial Belanda pada 7 Oktober 1823.

(Sumber: http://www.badilag.net/arsip/data/petabadilag/Palembang.htm)

Sudah menjadi kebiasaan bahwa hari-hari terakhir di Bulan Sya’ban selalu dimanfaatkan
oleh kaum muslimin untuk berziarah, baik ke makam anggota keluarga yang telah
mendahului, maupun ke makam ulama dan para wali Allah. Suasana tersebut juga dirasakan
di Kota Palembang, terlebih dengan digelarnya Ziarah Kubra Ulama dan Auliya Palembang
Darussalam.

Ziarah Kubra adalah tradisi turun temurun yang diwariskan oleh para salafus sholeh, baik
dari kaum alawiyyin maupun para muhibbin di Kota Palembang. Selain untuk mengamalkan
anjuran Rasulullah s.a.w. yaitu untuk mengingat kematian, ziarah kubra ini juga bertujuan
untuk mendoakan para salafus sholeh serta mengharap keberkahan dari mereka yang
memiliki kedekatan dengan Allah s.w.t.
(Sumber: http://bimbimelevens.blogspot.co.id/2013/03/keanekaragaman-budaya-daerah-
sumatera_12.html)

Sebagai acara pembuka adalah Haul Al-‘Arif Billah Al-Habib Abdullah bin Idrus Shahab dan
Al-‘Arif Billah Al-Habib Abdurrahman bin Hamid. Habib Abdullah bin Idrus adalah salah satu
tokoh kebanggaan masyarakat Palembang, semasa hidupnya ia mempunyai kedudukan yang
tinggi karena ilmu dan akhlaknya yang mulia, itu terjadi dimanapun ia berada, bahkan di
Hadhramaut sekalipun ia mendapatkan penghormatan yang lebih dari para habib. Didalam
kitab Tuhfatu Al-Ahbab fi Manaqib Al-Habib Alwi bin Abdullah bin Idrus bin Shahab
disebutkan bahwa setiap kali Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi, Seiwun datang ke kota
Tarim, beliau selalu memuliakan dan mengutamakan Habib Abdullah untuk menjadi imam
shalat baik di majlis umum maupun khusus. “Aku melihat semua hati manusia mencintainya
dan tidak ada satupun yang memusuhinya”, katanya. Habib Abdullah adalah ayah dari Habib
Alwi Qolbu Tarim, Hadramaut.

Sedangkan Habib Abdurrahman bin Ahmad Al-Bin Hamid merupakan seorang habib yang
mulia, ia banyak menimba ilmu dari para habib baik di Palembang maupun dari Hadramaut,
diantaranya Habib Abdullah bin Idrus bin Shahab. Murid-muridnya antara lain putranya
sendiri Habib Ahmad, Habib Muhammad bin Hamid bin Syech Abubakar dan Habib Ahmad
bin Zein bin Shahab. Haul diadakan di rumah panggung peninggalan Habib Abdullah bin
Idrus Shahab dan Habib Abdurrahman Al-Bin Hamid di perkampungan Alawiyyin Sungai
Bayas, Kuto Batu Palembang. Selain para ulama dan sesepuh kota Palembang, hadir juga
beberapa ulama dan puluhan tamu dari luar kota dan luar negeri, diantaranya Habib Umar
bin Abdurrahman Al-Jufri (Madinah), Ustadz Abul Aswad Jumadil Kubro (Malaysia) dan
Habib Hamid Naqib BSA (Bekasi). Di luar, puluhan pembawa bendera dan umbul-umbul
serta grup marawis yang didominasi oleh anak-anak dan pemuda mengatur barisan serta
melakukan persiapan untuk memandu peziarah selama perjalanan. Demikian pula Laskar
Kesultanan Palembang Darussalam yang siap siaga memayungi para habib dan tamu
kehormatan dengan payung kesultanan.

2. Tasikmalaya

(Sumber: http://peta-kota.blogspot.co.id/2011/07/peta-kabupaten-tasikmalaya.html)

Pada sekitar abat ke 7 sampai dengan abad ke 12, Wilayah Tasikmalaya yang kini dikenal
dengan sebutan Kabuptaten Tasikmalaya, telah dikenal suatu bentuk Pemerintahan yang
berlevel Kebataraan atau kasepuhan, dengan pusat pemerintahaan kala itu di daerah sekitar
Gunung Galunggung. Tasik pada abad-abad tersebut pemerintahannya pernah dipimpin oleh
sang Batara Semplakwaja, kemudian Batara Kuncung Putih, Batara Kawindu, Batara
Wastuhayu, dan Batari Hyang, yang kemudian terjadinya transformasi bentuk pemerintahan
dari Kebataraan menjadi Kerajaan. Kerajaan ini bernama Kerajaan Galunggung yang
berdasarkan Prasasti Geger Hanjuang yang berada di bukit Geger Hanjuang, Desa
Linggawangi, Kecamatan Leuwisari, Tasikmalaya, berdiri pada 13 Bhadrapada 1033 Saka
atau sekitar 21 Agustus 1111 dengan raja pertamanya adalah Batari Hyang. Salah satu
prestasi Batari Hyang adalah hadirnya ajaran yang dikenal dengan Sang Hyang Siksakanda
ng Karesian, yang hingga masa era kekuasaan Prabu Siliwangi (1482-1521 M) ajaran ini
masih menjadi ajaran resmi yang dianut. Sejarah Kerajaan Galunggung ini bertahan hingga
enam generasi yang semuanya keturunan dari Batari Hyang. Sejarah berlanjut hingga
tibanya masa pemerintahan Sri Gading Anteg di Sukakerta dengan ibukota di Dayeuh Tengah
(sekarang termasuk dalam Kecamatan Salopa, Tasikmalaya). Sri Gading Anteg hadir
sezaman dengan Prabu Siliwangi, dan wilayah yang dulu masuk dalam Kerajaan Galunggung
telah menjadi bagian dari Kerajaan Siliwangi yang berpusat di Pakuan Pajajaran. Kerajaan
Siliwangi pada masa pemerintahan Prabu Surawisesa (1521-1535 M) pengganti tahta dari
Prabu Siliwangi, mengalami desakan dari pergerakan kerajaan Islam yang mulai menguasai
tanah Jawa termasuk Tanah Sunda. Pergerakan kerajaan Islam yang dipelopori Kerajaan
Cirebon dan Demak ini cukup menyudutkan eksistensi kerajaan Siliwangi, apalagi setelah
Sunan Gunung Jati sejak tahun 1528 berkeliling ke seluruh wilayah tanah Sunda untuk
mengajarkan Agama Islam.

Masyarakat Kampung Naga masih memegang teguh adat istiadat dan kebudayan warisan
karuhun (leluhur) orang Sunda. Dapat dikatakan Kampung Naga sebagai gambaran
masyarakat Sunda zaman dahulu yang masih ada pada zaman sekarang. Pada saat
kebudayaan warisan leluhur hampir punah akibat arus globalisasi dan modernisasi,
Kampung Naga masih mampu mempertahankannya. Salah satunya adalah tradisi jampe
masyarakat tersebut. Jampe adalah bacaan mantra atau do’a- do’a yang digunakan untuk
mengobati sakit. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Dalam penerapan metode ini
meliputi tahapan sebagai berikut; tahap pengumpulan data yang melalui observasi,
interview, dokumentasi, analisis data, dan laporan penelitian. Penelitian ini juga
menggunakan pendekatan antropologis. Pendekatan antropologis merupakan landasan
untuk memahami perilaku manusia sesuai latar belakang kepercayaan dan kebudayaannya
secara manusiawi. Pada masyarakat Kampung Naga, jampe digunakan untuk mengobati
sakit yang bersifat sasalad (medis) dan kabadi (magis) serta ada pula jampe yang digunakan
ketika hendak melakukan suatu pekerjaan (jampe pamake). Jampe tergolong pengobatan
tradisional dan memiliki keunikan tersendiri serta local wisdom yang terwariskan dari
generasi ke generasi masyarakat adat Kampung Naga. Jampe dalam masyarakat adat
Kampung Naga tergolong unik, karena terdapat akulturasi dalam prakteknya dan dalam
bacaannya yang menggabungkan bahasa Sunda Buhun (kuno) bahkan terkadang terdapat
bahasa Jawa Kuno dan bahasa Arab. Selain menggunakan bacaan jampe dari seorang Tukang
Nyampe (tabib), jampe juga terkadang menggunakan perangkat tambahan berupa ramuan-
ramuan tradisional herbal dan benda-benda tertentu dalam pengobatannya, misalnya Cai
Barokah (air berkah), Sawen, dan wafak. Jampe pada masyarakat Kampung Naga memiliki
fungsi pengobatan, sosialbudaya, dan ekonomi. fungsi sosial jampe yaitu menjaga
kesinambungan struktur sosial; fungsi budaya yaitu sebagai suatu karya sastra yang
mengandung nilai-nilai dan ajaran luhur yang berguna bagi bidang pendidikan; fungsi
ekonomi yaitu sebagai metode pengobatan yang relatif ekonomis dan dapat menjaga
kesederhanaan hidup serta persamaan di antara mereka.

Hampir semua masyarakat jawa barat beragama Islam. Hanya sebagiankecil yang tidak beragama Islam.
Praktek-praktek sinkretisme dan mistik masih dilakukan. Pada dasarnya seluruh kehidupan orang Sunda (Jawa
Barat) ditujukan untuk memelihara keseimbangan alam semesta. Keseimbangan magis dipertahankan dengan
upacara-upacara adat, sedangkan keseimbangan sosial dipertahankan dengan kegiatan saling memberi
(gotong royong). Hal yang menarik dalam kepercayaan Sunda, adalah lakon pantun Lutung Kasarung, salah
satu tokoh budaya mereka,yang percayaadanya Allah yang tunggal (Guriang Tunggal) yang menitiskan
sebagian kecil dirinya ke dalam dunia untuk memelihara kehidupan manusia (titisan Allah ini disebut Dewata)

3. Kalimantan Barat
(Sumber: http://dikbud.kalbarprov.go.id/petunjuk-pelaksanaan-perda-nomor-1-tahun-2013/)

Menurut pendapat yang dikemukakan oleh Sendam, 1970:35, “Islam Masuk di Kalimantan Barat yaitu sekitar
abad ke 15 M, melalui perdagangan dan tidak melalui organisasi misi, tetapi merupakan kegiatan perorangan”.
Ada dua proses berlangsungnya penyebaran Islam. Pertama penduduk pribumi berhubungan dengan agama
Islam, kemudian menganutnya. Kedua, orang-orang asing Asia (Arab,India, Cina dan lain-lain) yang telah
memeluk agama Islam dan bertempat tinggal secara permanen di suatu wilayah kemudian melakukan
perkawinan campuran dan menjadi anggota masyarakat lainnya. Seperti pada kerajaan Tanjungpura, Sambas,
Mempawah, Kubu, Pontianak dan lain sebagainya.

Berbagai tadisi unik menyambut Hari Raya Idul Fitri kemarin dapat ditemui di berbagai daerah di Indonesia.
Mulai dari keunikan kuliner, busana, ziarah sampai keunikan dalam bentuk hiburan. Salah satunya adalah
tradisi unik yang ada di Kota Pontianak, dimana Meriam Karbit menjadi alat untuk meriahkan hari raya besar
umat Islam ini. Ratusan meriam kayu yang berjejer hampir di sepanjang tepian Sungai Kapuas menjadi
kekhasan tersendiri bagi Kota Pontianak dengan daerah lainnya. Meriam tersebut bukan hanya sekedar
pajangan belaka, namun bisa mengeluarkan dentuman yang menggelegar dan memekakkan telinga bak
meriam sungguhan apabila pemicunya disulutkan api. Meriam karbit, demikian sebutannya oleh masyarakat
Kota Pontianak. Permainan meriam karbit yang kemudian menjadi tradisi permainan rakyat secara turun
temurun ini sudah dimulai sejak puluhan tahun silam. Permainan meriah karbit biasanya digelar setiap
menyambut Hari Raya Idul Fitri.

Keberagamaan adalah proses sosial budaya yang terus berlangsung sepanjang hidup
manusia. Dakwah yang disesuaikan dengan ragam kehidupan keagamaan sebagai proses
sosial budaya itulah yang disebut dakwah kultural. Dakwah yang semacam inilah yang
memungkinkan agama Islam diterima secara spektakuler oleh masyarakat pedalaman
Kalimantan Barat.

KEDIRI

Adat dan Kebudayaan Masyarakat Islam di Kediri

 Ngerampong Macan

Untuk merayakan Hari Lebaran setelah berpuasa sebulan penuh, zaman dulu di alun-
alun diadakan berbagai macam keramaian. Ibaratnya, semua penduduk hadir di alun-
alun, menonton keramaian menyambut Lebaran. Berhubung Idul Fitri merupakan
Hari Raya yang hanya sekali dalam setahun, maka saat eksekusi terhadap harimau
yang tertangkap tadi dijatuhkan bersamaan dengan jatuhnya Hari Pertama Idul Fitri,
atau tepatnya tanggal 1 Syawal, sekaligus dijadikan tontonan atau hiburan.
Menjelang pukul delapan para penggede atau priyayi bersiap dengan berdandan
habis-habisan, memakai kampuh dan kuluk, duduk lesehan, masing-masing
membawa
tikar atau alas duduk. Sekitar pukul delapan tiga puluh, secara serentak para
pembesar tadi masuk ke Paseban (tempat untuk menghadap para pembesar) dan
menggunakan payung untuk berlindung dari terik matahari. Perjalanan mereka
diiringi dengan Gendhing Monggang. Di Paseban para pembesar tadi diterima oleh
sang Bupati dengan salam selamat datang. Sedangkan para pembesar dari negeri
seberang menyampaikan penghormatan kepada Bupati, kemudian dilanjutkan
dengan
arak -arakan encek yang mengelilingi arena dan berhenti di depan pendapa.
Acara dilanjutkan dengan membawa hidangan dari pendopo Kabupaten yang
selanjutnya diserahkan kepada Pengulu di Masjid, untuk diadakan doa selamat.
Setelah acara selesai, para pembesar kembali ke peristirahatan untuk berganti
baju keprajuritan. Mereka memakai celana, jas tutup hitam yang biasa digunakan
untuk menghadap bupati (sikep), ikat kepala (udheng) dan topi pet, membawa
keris dan selanjutnya diselipkan di punggung; kemudian mencari tempat duduk
sesuai dengan golongan, wilayah, dan kedudukannya, di sekitar Beringin Kurung.
Sedang para tamu dari negeri seberang, Nyonya dan Tuan, para bangsawan putri ,
nonton dari atas panggung.
Setelah barisan priyayi tadi keluar dari mesjid, para lurah sudah bersiaga dalam
barisan sesuai dengan tempatnya. Semua menancapkan tumbaknya ke tanah, berjajar
dengan jarak sekitar 30 sentimeter, mengelilingi arena hingga empat atau lima
lapis. Tombak yang tangkainya pendek diletakkan di depan, yang tangkainya
panjang di belakang. Pukul sebelas, bupati, patih, dan mantri kabupaten
serentak masuk barisan. Bupati mengendarai kuda abu-abu, menerabas untuk
memundurkan barisan yang terlalu maju. Setelah semua siap dan tertata rapi, sang
Bupati naik ke atas panggung bersama para tamu. Hal tersebut merupakan isyarat
bahwa rampogan segera dimulai.
Di antara barisan di beringin kurung dan barisan di pinggir ada peti kayu
dengan panjang sekitar 1,5 meter, dengan tinggi sekitar 60 sentimeter, ditata
menghadap keluar, membelakangi barisan dalam. Itulah kerangkeng harimaunya,
yang
masih terkunci dengan dipantek bambu, ditutup dengan papan, diberi pengait
panjang hampir mencapai Beringin Kurung. Tukang melepas harimau yang disebut
gandek juga sudah bersiaga di barisan bagian dalam.
Tepat pukul dua belas, gandek diberi isyarat untuk melepas harimau. Biasanya,
yang dikukuhkan menjadi gandek adalah Kepala Desa yang pemberani dalam
menghadapi macan. Setelah menyembah Bupati, gandek naik ke atas kerangkeng,
menebas pantek bambu. Setelah selesai, ia turun dan masuk ke dalam barisan.
Selanjutnya tali ditarik, kerangkeng-kerangkeng berantakan papan penutupnya,
jatuh menimpa si harimau.
Si harimau menengok ke kanan dan ke kiri, mungkin karena silau, atau pusing
karena kejatuhan papan. Bahkan, ada harimau yang lucu, keluar dari kerangkeng
hanya terbengong sekitar lima menit, berjalan pelan, termenung sebentar kemudian
menguap, termenung lagi, bergulung-gulung di rerumputan, terlentang, berpanas
matahari. Orang-orang yang menonton bersorak-sorak gegap gempita, dengan
maksud
agar harimau segera lari menerabas barisan tombak. Jika harimau tidak
menghiraukan, kemudian ada yang melempar kembang api, didatangi, digoda serta
diacungi tombak
Ketika ada rampogan, di pekarangan yang berdekatan dengan alun-alun-alun,
dibuatkan kandhang macan yang terbuat dari ruyung (pohon aren/kelapa) atau besi
ukuran 2 X 2 X 2 M, yang diatur berjajar. Tentu saja kandang tadi dijaga siang
malam. Harimau yang besar, kandangnya terbuat dari ruyung. Alasannya, supaya
harimau tidak bisa keluar dari krangkeng karena takut terselusup (tlusupen, Jawa)
ruyung. Sebaliknya, jika hanya menggunakan besi, meski besarnya sebesar
tangkai sabit, tetap bisa dijebol. Kandang tadi dipasangi pintu seperti pintu bagasi
mobil, sedang bagian atas diberi atap yang terdiri atas 2 bagian papan yang menjadi
atapnya.

Gambar 1 : Tradisi masyarakat kediri pada saat hari lebaran


Sumber : http://wongkediri.net/sejarah/tradisi-kuno-kediri-rampog-matjan.htm
Bersamaan dengan keramaian rampogan, arena yang luas di alun-alun dikelilingi
ribuan orang, yang berdiri tegak memegang tumbak. Semua mata tertuju ke kandang
macan. Dengan peralatan yang dapat menarik pintu ke arah atas, maka tatkala
tali ditarik dari kejauhan, kerangkeng itu akan rusak berantakan, dan menimpa
harimau di dalamnya. Karena terkejut, harimau lari keluar, yang akan disambut
dengan ribuan tombak yang runcing. Inilah yang disebut rampogan, atau dengan
kata lain membunuh harimau dengan cara dirampog atau dikeroyok dengan ribuan
senjata.
Sekitar pukul 14.00 rampogan sudah selesai. Kalau sudah begitu, banyak orang
menyesali tombaknya. Katanya, tombaknya takut macan, baru diarahkan saja si
tombak sudah letoi, mlungker. Kepercayaan orang waktu itu, memang ada tombak
yang penakut. Sambil memukuli si tombak, orang tersebut mengomel, “Tombak
macam
apa ini, disayang-sayang, dihormati, dan dikutuki (dibakarkan kemenyan) setiap
hari Jumat, tapi saat dibawa ngrampog kok memalukan. Baru lihat gerak-gerik
macan saja, sudah letoi. Awas ya, jika sudah sampai di rumah akan kugadaikan
kamu!”, begitu omelnya kepada si tombak miliknya.
Menurut kepercayaan orang-orang di masa itu, ampuh tidaknya suatu tombak bisa
dilihat pada saat ada rampogan tersebut. Menurut pembicaraan umum, kalau
tombaknya ampuh, konon saat si harimau lewat di hadapannya, bahu dari si
pemegang tombak serasa seperti ditarik oleh sesuatu. Meskipun hanya terasa
sesaat saja, si harimau akan terimbas. Ada lagi cerita, kalau kerisnya ampuh,
manakala berjumpa dengan harimau, si keris akan menongolkan diri dan melompat
sendiri. Maka tidak heran saat membawa jenis yang seperti itu, si keris haruslah
dibungkus terlebih ahulu

 Tradisi Suro’an

Tradisi suro’an ini merupakan tradisi kuno yang sudah lama berkembang di Jawa
Timur terutama berkembang dan sampai saat ini masih dilakukan di Wilayah Selatan,
seperti Kediri, Tulungagung, dan Blitar. Tradisi suroan yang akan saya bahas adalah
tradisi yang ada setiap peringatan bulan suro, tepatnya malam satu suro dan
dilaksanakan di Setiap perempatan di desa, upacara ini dilakukan untuk tujuan
membersihkan desa dari (balak) atau mala petaka yang menimpa desa (Bersih Desa),
pada kegiatan ini semua masyarakat beramai-ramai berkumpul dalam satu tepat
(perempatan) untuk melakukan Do’a bersama. Doa bersama ini biasanya dipimpin
oleh sesepuh desa atau yang di tuakan di desa, acara ini dimulai sehabis magrib
sampai menjelang isya’.

Gambar 2 : Tradisi malam suro’an masyarakat Kediri


Sumber : http://www.indonesiakaya.com/kanal/detail/perayaan-satu-suro-tradisi-
malam-sakral-masyarakat-jawa
Upacara yang berisi doa-doa bersama dan makan-makan ini merupakan tradisi rutin
setiap menjelang bulan Suro. Makanan yang dibawa disini biasanya makanan
tradisional, seperti Tumpeng Komplit dan aneka jajan pasar, hal ini yang menjadi hal
unik tersendiri. Tradisi ini berawal ketika Sultan Agung menetapkan penanggalan
jawa untuk pertama kali, bulan suro dipercaya keramat sehingga muncul
kepercayaan 1 suro dengan beragam ritual, ritual yang awalnya berpusat di Keraton
Surakarta dan Yogyakarta. Pada tanggal ini pula, para penggemar tosan aji akan
melakukan ritual jamasan (pencucian benda-benda pusaka).
Khusus di Kediri biasanya ada ritual Larung Sesaji di sungai Brantas, dan upacara-
upacara di tempat Petilasan Sang Prabu Sri Aji Joyoboyo, untuk mengenang dan
tentunya mendoakan serta sebagai sarana untuk meneladani sifat-sifat arif Joyoboyo,
khususnya bagi warga masyarakat Kediri.

 Larangan Menikah Bagi Warga Kediri: Antara Etan Kali dan Kulon Kali

Tradisi melarang pernikahan yang melibatkan pasangan (calon), yang berasal dari
barat sungai dan timur sungai, tradisi ini merupakan tradisi turun-temurun yang
dipercaya dan diwariskan kepada keturunan utama Kediri (utama: asli jawa), kali
(sungai) yang dimaksudkan disini adalah sungai Brantas, yang dahulunya merupakan
pembatas kerajaan Panjalu dan Jenggala akibat adanya perebutan kekuasaan,
sehingga terjadilah peperangan diantara keduanya. Inilah yang menjadi awal
muculnya tradisi ini dan berlaku sampai saat ini. Jika masih dipaksakan maka kelak
keluarganya akan ditimpa berbagai musibah, terutama bagi pihak laki-laki (yang dari
timur sungai), namun larangan ini biasanya dapat diselesaikan dengan ritual-ritual
khusus (penyembelihan Ayam Cemani dan melemparkannya ke sungai ketika
rombongan pengantin melewati jembatan), kepercayaan ini dilaksanakan oleh
sebagian besar orang-orang tua di Kediri dalam pengambilan keputusan untuk
sebuah pernikahan, selain pencocokan tanggal (weton). Tradisi-tradisi yang menjadi
kepercayaan masyarakat ini merupakan warisan budaya yang sangat istimewa, dan
hendaknya kita sebagai penerus mampu menjaga dan melestarikannya, mengambil
hikmahnya dan mengamalkannya.
3. Corak Peninggalan Bangunan Islam di Kediri\

 Masjid agung kota kediri

Masjid Agung Kota Kediri, adalah Masjid yang di didirikan pertama kali pada tahun
1771 Masehi, itu menurut Prasasti pertama yang diukir dalam kayu jati. Namun,
menurut Prasasti kedua yang diukir dengan kayu, Masjid Agung Kota Kediri dibangun
pada tahun 1261 pada kalender Hijriah atau pada tahun 1841 pada kalender Masehi.
Karena bangunan sudah rusak maka, diadakan perbaikan/ penyegaran pada tahun
1347 pada kalender Hijriah atau pada tahun 1928 pada kalender Masehi1347 1928
M Masjid ini berlokasi di Jl.Panglima Sudirman, tepat di depan Alun- alun kota Kediri,
dan berdampingan dengan Kantor Bupati Kediri. Hingga sampai sekarang, Bangunan
Masjid Agung Kota Kediri masih berdiri kokoh setelah penyegaran pada tahun 1928.
Selain untuk Ibadah, tempat ini juga untuk acara- acara penting lainnya, seperti ijab
qobul, dan lain-lain. Para wisatawan Kediri pun juga sering mampir ke Masjid ini
walau sekedar untuk melepas lelah, setelah sekian lama mengelilingi Kota Kediri yang
luas ini.

Gambar 3 : Masjid
agung kota kediri
Sumber : http://www.kediriraya.com/2011/08/masjid-agung-kediri.html
Masjid Agung Kota Kediri berada tepatnya di jalan panglima sudirman atau juga tepat
di depan alun-alun kota Kediri dan sebelah timur dari sungai brantas serta berada di
persimpangan jalan jurusan Surabaya dan Tulung agung. Dari kejauhan mugkin
sudah nampak menara Masjid Agung Kota Kediri yang menulang tinggi dengan kubah
warna hijaunya yang eksotik nan mempesona.
Bangunan masjid tiga lantai yang baru rampung pada tahun 2006 lalu ini memang
klasik dan bergaya semi eropa, dengan dihiasi pilar-pilar megah didepan dan
disamping masjid menambah ke’eksotikan Masjid Agung Kota Kediri. Selain untuk
beribadah, Masjid Agung Kota Kediri juga sering kali dipakai sebagai acara-acara ke
agamaan maupun ijab qobul pernikahan karna di lantai dasarnya terdapat ruang
serba guna yang dapat dimanfaatkan warga umum. Tempat parkirnya juga cukup
luas, serta wudhu yang berada di bawah tanah juga merupakan ciri masjid
modern.Tak heran Masjid Agung Kota Kediri dijadikan tempat solat Ied bagi warga
Kediri yang jamaahnya bisa membludak sampai di halaman alun-alun. Ingin sekedar
foto-foto, Masjid Agung Kota Kediri juga merupakan tempat yang memorible
disini,selain arsiteknya yang modern dan megah ,juga menjadi tempat rujukan bagi
orang-orang yang berkunjung ke Kediri maupun mau berwisata religi.
 Masjid Setono Gedong

Asal mula Desa Setono Gedong menurut beberapa cerita m ketua takmir Setono
Gedong tanah Kediri. Pertama kali yang menemukan adalah Waliyullah, Syah
Sulaiman Syamsudin al-Wasil (Mbah Wasil). Mbah Wasil adalah orang arab dari
Mekah. Pada waktu itu ia akan dijadikan pemimpin negara setempat, tetapi beliau
menolaknya, sebab ia lebih cinta pada Allah SWT. Lalu ia mengasingkan diri atau
hijrah ke Indonesia, tepatnya di Kediri Desa Setono Gedong. Mbah Wasil punya
pengikut-pengikut atau santri-santri yang kesehariannya diajak mengaji bersama.
Dalam kisahnya, Mbah wasil hendak membangun masjid dalam waktu satu malam,
tetapi disaat dini hari terdengar suara wanita yang memukul lesung menumbuk padi.
Dan rencana Mbah wasil urung terselesaikan. Hasilnya adalah hanya pondasi yang
sampai saat ini masih ada.Kurang lebih tahun 1897 masjid yang belum jadi itu pernah
dijadikan tempat ibadah penduduk setempat. Dan pada tahun 1967 oleh takmir,
depannya masjid dibangun masjid yang diberi nama Masjid Aulia’ Setono Gedong.
Konon saat penggalian pondasi masjid Aulia’ ditemukan menara berukir relief
Garuda, dan ternyata gambar tersebut akhirya menjadi lambang negara kita. Pada
tahun 1967 takmir mensertifikatkan tanah negara tersebut untuk wakaf masjid
hingga sekarang.
Gambar 4 : Masjid setono gendong
Sumber : http://www.thearoengbinangproject.com/situs-setono-gedong-kediri/
Letak halaman Masjid maupun makamnya terbagi manjadi tiga bagian yang semakin
ke belakang semakin suci. Ketiga halaman itu juga merupakan hasil akulturasi dari
pembuatan halaman candi di tanah mendatar yang mengandung makna kaki, lereng,
dan puncak gunung,karena umat Hindu Jawa pada masa lalu dalam membuat seni
bangun berlandaskan pada bentuk Gunung Himalaya sebagai gunung yang disucikan
di India. Begitu juga dengan Masjid Setono Gedong yang juga memiliki tiga
halaman, halaman pertama yang sekarang adalah masjid Induk, kedua adalah
pendopo yang dibangun di atas reruntuhan Candi Hindu dan di keliling. Sedangkan
pada halaman terakhir adalah Makam Syeh Wasil Syamsudin. Hiasan masjid makam
memiliki fungsi ganda, yaitu sebagai fungsi teknis dan fungsi dekoratif. Sebagai fungsi
teknis, hiasan pada masjid-makam berkaitan dengan kegunaan praktis atau sebagai
teknis bangunan. Sedangkan fungsi dekoratif, pada dinding masjid-makam digunakan
untuk memperindah bangunan. Selain itu juga menyimpan pesan dan media untuk
memenuhi tujuan religi-magis. Misalnya ukir-ukiran teratai, daun-daunan, dan lain-
lain.
Pintu gerbang jalan menuju Masjid Setono Gedong dibuat pada tahun 2002 dengan
gaya kombinasi antara seni tradional dan modern. Gaya tradisional tampak pada
hiasan yang memakai modif daun-daunan berjumlah tiga serta atasnya ditambah
dengan modif bunga matahari pada masing-masing bagian sisi kanan dan kiri gapura.
Sedangkan pada bagian atas gapura terdapat arca Garudeya(Garuda) dengan
membawa sebuah kendi di atas kepalanya. Pembuatan gapura luar ini ternyata
sedikit mengadopsi dari ukir-ukiran maupun relief kuno kuno yang terdapat pada
masjid-makam Syeh Wasil Syamsudin. Paling menarik dari pintu gerbang jalan
menuju Masjid-Makam Setono Gedong adalah adanya arca Garuda membawa sebuah
kendi, dan di bagian belakang kepalanya juga di tambah relief berupa kepala rajawali.
Hal tersebut dapat dipahami, bahwa masyarakat yang menyusun konsep pembuatan
gapura tersebut percaya bahwa burung rajawali adalah personifikasi dari Garuda.
Meskipun arca tersebut adalah hanya sebagai pelengkap bangunan gapura luar dan
hasil pesanan dari pemahat arca modern, akan tetapi Burung Garudeya(Garuda)
dalam dalam filosofi Hindu mengandung makna keberanian, kegagahan, dan
pengorbanan. Karena di dalam filosofis tersebut, Garudeya diceritakan memiliki sifat
rela berkorban sampai menuruti syarat kakak ular untuk mencuri air suci (Amertha)
milik para Dewa-Dewa Hindu demi menyelamatkan ibundanya bernama Winata yang
ditawan oleh Dewi Kadru sebagai ibu dari ular-ular jahat, sampai rela mengorak-
ngabrik khayangan demi mendapatkan air suci (Amertha) yang diminta oleh kepada
kakak ular untuk menebus Ibunya. Kemudian Dewa Wisnu berhasil merebut Amertha
kembali dari tangan ular ketika Garuda telah berhasil membawa kabur ibunya dari
istana ular. Akan tetapi pada akhirnya dia menjaditunggangan atau wahana dari
Dewa Wisnu seperti apa yang telah dijanjikannya sebelum membawa Amertha ke
Istana Ular.Dari cerita di atas, Arca tiruan(Tunulad) dari Garuda(Garudeya) yang
diletakkan di atas gapura jalan Masjid Setono Gedong ternyata secara tidak langsung
memiliki arti pengorbanan, karena digambarkan Garuda membawa sebuah kendi
yang sebenarnya itu bukan bentuk dari guci amertha yang sesungguhnya seperti pada
relief Candi Kidal-Malang. Akan tetapi, hal tersebut sebagai bukti bahwa masyarakat
di sekitar masjid tersebut ternyata juga mengetahui dan memahami dari filosofis
cerita Garuda(Garudeya) yang sebenarnya. Menurut Soekmono (1973:58) lambang
dari Kerajaan Kadhiri yang terakhir sebagai kerajaan otonom pada masa
pemerintahan Prabu Krtajaya(Dandang Gendis) sebelum di hancurkan oleh Ken Arok
menggunakan lencana negara berupa Garudhamuka, seperti yang digambarkan pada
gapura luar masjid tersebut. Masyarakat Setono Gedong dalampemesanan arca
tinulad tersebut dapat juga terinspirasi dari tinggalan arkeologis yang sekarang
diletakkan di sebelah timur pendopo barat belakang masjid yang berupa relief garuda
di masing-masing sisi sebuah bekas lapik arca Dewa Wisnu. Selain itu burung garuda
sudah tidak asing lagi diketahui oleh masyarakat kediri pada umumnya secara turun
temurun, karena gambar burung tersebut sampai sekarang juga menjadi lambang
dari Pemerintahan Kota Kediri. kemudian masyarakat mengambil bentuk dari arca
tinulad yang terdapat di depan Museum Airlangga-Kota Kediri dengan
menyempurnakannya dengan membawa sebuah kendi yang disamakan samakan
guci amertha seperti konsep sebenarnya yang ada di Candi Kidal-Malang. Sedangkan
kendi amertha tersebut dapat dimaknai sebagai lambang kesucian. Jadi dapat
disimpulkan, lambang Garuda pada gerbang jalan menuju Masjid Setono Gedong oleh
masyarakat sekitar dilambangkan sifat dari Syeh Wasil Syamsudin yang dalam
mitosnya beliau penuh pengorbanan dan semangat telah menyebarkan Agama Islam
yang dianggap suci oleh penganutnya.Makna lain digunakannya lambang tersebut
pada gapura luar dan juga sebagai lambang Pemerintahan Kota Kediri sekarang ini
adalah bentuk inspirasi untuk mengembalikan lagi

 Pesantren lirboyo

Lirboyo, awalnya adalah nama sebuah desa terpencil yang terletak di Kecamatan
Mojoroto Kota Kediri Jawa Timur. Dahulu desa ini merupakan sarang penyamun dan
perampok, hingga pada suatu ketika atas prakarsa Kyai Sholeh, seorang yang Alim
dari desa Banjarmelati dan dirintis oleh salah satu menantunya yang bernama KH.
Abdul Karim, seorang yang Alim berasal dari Magelang Jawa Tengah.
Sejarah berdirinya Pondok Pesantren Lirboyo erat sekali hubungannya dengan awal
mula KH. Abdul Karim menetap di Desa Lirboyo sekitar tahun 1910 M. setelah
kelahiran putri pertama beliau yang bernama Hannah dari perkawinannya dengan
Nyai Khodijah (Dlomroh), putri Kyai Sholeh Banjarmelati.
Perpindahan KH. Abdul Karim ke desa Lirboyo dilatar belakangi, dorongan dari
mertuanya sendiri yang pada waktu itu menjadi seorang da’i, karena Kyai Sholeh
berharap dengan menetapnya KH. Abdul Karim di Lirboyo, maka syiar Islam lebih
luas. Disamping itu, juga atas permohonan kepala desa Lirboyo kepada Kyai Sholeh
agar berkenan menempatkan salah satu menantunya di desa Lirboyo. Dengan hal ini
diharapkan Lirboyo yang semula angker dan rawan kejahatan menjadi sebuah desa
yang aman dan tentram.
Harapan kepala desa menjadi kenyataan. Konon ketika pertama kali kyai Abdul Karim
menetap di Lirboyo, tanah tersebut diadzani, saat itu juga semalaman penduduk
Lirboyo tidak bisa tidur karena perpindahan makhluk halus yang lari tunggang
langgang menyelamatkan diri.
Tiga puluh lima hari setelah menempati tanah waqaf tersebut, KH. Abdul Karim
mendirikan surau mungil nan sederhana untuk mendekatkan diri kepada sang
pencipta.

Anda mungkin juga menyukai