Trump bagi Indonesia?
Pengaruhnya bagi Indonesia
Bagi Indonesia, pernyataan bernada rasisme dari Trump juga memiliki implikasi tersendiri.
Trump secara ekplisit menyatakan ketidaksukaannya terhadap imigran yang berasal dari
negara‐negara kurang makmur. Ia lebih menyukai imigran yang datang ke AS berasal
negara‐negara Eropa seperti Norwegia yang notabene masyarakatnya mayoritas ras kulit
putih. Dengan asumsi ini, imigran asal Indonesia jelas bukan imigran yang ideal di mata
Trump.
Padahal Trump sendiri memiliki kepentingan yang siginifikan di Indonesia. Menurut laporan
ABC News, Trump dan pengusaha Harry Tanoesoedibjo atau lebih dikenal dengan sebutan
Harry Tanoe menandatangani kesepakatan untuk mengembangkan Trump Internasional
Hotel and Tower Lido. Konstruksi jalan tol menuju lokasi ini yang tadinya sempat mangkrak
pada bulan Juni 2015, dilanjutkan kembali oleh pemerintah daerah. Dengan dibangunnya
jalan tol tersebut, harga properti Trump pun meningkat, diperkirakan mencapai tiga kali
lipat. Pertemuan bisnis antara Trump dan Harry Tanoe ini dikawal oleh wakil ketua DPR dan
politisi Fadli Zon. Kongkalikong yang mengawinkan politisi dan pengusaha ini disebut‐sebut
sebagai tidak etis, apalagi pembangunan jalan tol menuju properti tersebut dibangun atas
biaya pemerintah.
Selain di Lido, Trump dan Harry Tanoe juga menjalin kesepakatan bisnis di Bali. Mereka
membangun resort yang disebut‐sebut sebagai resort terbesar di Bali. Pemandangan yang
ditawarkan pun spektakuler: Pura Tanah Lot. Kepada ABC News Harry Tanoe mengatakan,
"Akan menjadi kompleks besar, lebih dari 100 hektar, akan dibangun hotel, vila,
kondominium, dan country club—yang bekerja sama dengan Trump.”
Berbisnis di Indonesia
Bagi pendukung Trump yang konservatif, kesepakatan bisnis Trump di Indonesia
sesungguhnya dianggap memiliki konflik kepentingan. Trump dikenal keras terhadap negara
Muslim dan membuat kebijakan bermuatan rasisme dan Islamofobia yang menganaktirikan
kaum Muslim. Contoh kebijakan yang keras dan diskriminatif adalah dikeluarkannya
keputusan presiden (executive order) yang melarang masuknya warga dari tujuh negara
berpenduduk mayoritas Islam ke AS. Entah bagaimana Trump bisa bersikap sama kerasnya
terhadap Indonesia yang merupakan negara dengan warga Muslim terbesar di dunia,
sementara ia berinvestasi di Indonesia dengan perantara Fadli Zon yang dekat dengan kaum
Islam garis keras di Indonesia. Hal yang sama pun dipertanyakan pada Fadli Zon, mengapa ia
mau menjalin relasi khusus dengan Trump yang jelas‐jelas sering menampakkan sikap
memusuhi kaum Muslim. Dalam hal ini, kekuatan uang yang berbicara.
Dalam satu tahun kepemimpinan Trump, belum ada sikap Trump yang menunjukkan
keberpihakan pada kaum Muslim—yang merupakan faktor penting bagi Indonesia dan
rakyatnya yang mayoritas Muslim. Trump justru kedapatan menghina agama Islam. Pada
bulan November 2017, di Twitter Trump me‐retweet tiga video bermuatan hoax yang
mendiskreditkan umat Islam. Pendukung‐pendukung fanatik Trump dari generasi tua seperti
Bill O' Reilly hingga deretan kaum muda Konservatif seperti Tomi Lahren pun tak jemu‐
jemunya memojokkan Islam. Kebencian yang diumbar terus‐menerus menjadi kebutuhan
bagi Trump untuk memuaskan pendukungnya yang kebanyakan memang tergolong
Islamofobia.
Tantangan imigran Indonesia
Bagi imigran asal Indonesia yang bermukim di AS, administrasi Presiden Trump merupakan
tantangan tersendiri terutama di area keimigrasian. Sebagai bagian dari kaum minoritas
kulit berwarna mereka gampang jadi sasaran perlakuan rasisme. Sikap Presiden yang tak
ramah pada imigran kulit berwarna menjadi amunisi bagi kaum rasis untuk mengekpresikan
kebencian mereka tanpa takut.
Di luar urusan keimigrasian dan kecenderungan tindak‐tanduk Trump yang bernuansa
rasisme, bagaimana pun AS dan Indonesia sama‐sama memiliki kepentingan untuk tetap
menjaga hubungan baik. Yang paling gampang melintas dalam ingatan adalah bercokolnya
perusahaan tambang Freeport McMoran. Indonesia, khususnya Papua, merupakan faktor
berpengaruh bagi kepentingan ekonomi AS. Tak hanya sekadar investasi ekonomi, ia juga
mewarnai kepentingan politik di kedua negara. Kepentingan ekonomi pula yang membuat
Trump tak bisa bertindak terlalu keras melarang warga Indonesia datang ke AS, seperti yang
ia lakukan pada tujuh negara berpenduduk mayoritas Islam. Pada akhirnya kepentingan
ekonomi hingga kini masih menjadi faktor penentu yang melampaui kepentingan ideologi,
bahkan mengatasi antipati dan sentimen agama.
https://www.dw.com/id/apa‐efek‐setahun‐pemerintahan‐donald‐trump‐bagi‐indonesia/a‐
42179422
Amerika Dan Kebijakan Ekonomi Trump Yang Mengkhawatirkan
Pertemuan para Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral negara‐negara G20 yang
juga dihadiri Menteri Keuangan Sri Mulyani di Baden‐Baden, Jerman, 18 Maret, lalu berakhir
tidak mengenakkan. Di saat semua negara berharap perdagangan dunia yang semakin
bebas, Amerika Serikat justru menarik diri dan bersikap proteksionis. Sikap ini memaksa
komunike pertemuan tadi berakhir tanpa adanya komitmen untuk terus membebaskan
sistem perdagangan global.
AS menyodorkan proposal pengenaan penalti pajak bagi perusahaan yang mengimpor lebih
banyak ketimbang ekspor. Proposal ini tidak hanya dikecam oleh berbagai lembaga
internasional, tapi juga menimbulkan perdebatan sengit di kalangan perusahaan besar di AS.
Hypermart seperti Walmart atau Target, misalnya, kelabakan karena sebagian besar
produknya impor dari Cina dan negara‐negara berkembang. Mereka akan dikenakan pajak
tinggi dibandingkan General Electric atau Boeing yang sebagian besar produknya diekspor.
Dua perusahan eksportir ini bakal menerima potongan pajak yang sangat besar.
Kebijakan proteksionisme AS dinila berpotensi menimbulkan kekacauan dalam perdagangan
dunia. Sebagaimana dikutip Reuters, Menteri Sri Mulyani mengatakan hasil pertemuan
Menteri Keuangan G20 di Baden‐Baden telah menciptakan ketidakpastian tentang
koordinasi kebijakan negara‐negara maju soal perdagangan bebas.
Sri Mulyani menegaskan perdagangan bebas adalah sumber pertumbuhan ekonomi yang
sangat penting bagi negara‐negara berkembang. Perdagangan bebas juga berperan besar
dalam mengentaskan kemiskinan di dunia dalam 50 tahun terakhir ini.
Dalam wawancaranya dengan Financial Times, Sri Mulyani juga mengkritisi kebijakan
proteksionisme pemerintahan Donald Trump yang dikatakan menghambat arus globalisasi
yang selama ini memperkuat perekonomian negara‐negara berkembang di Asia. Kegagalan
pertemuan di Baden‐Baden yang mengecam proteksionisme juga membuat perekonomian
banyak negara di Afrika dan di kawasan lainnya menjadi rentan. Padahal mereka mencoba
bangkit dari krisis global yang sudah berlangsung delapan tahun.
Jika dicermati, pandangan Sri Mulyani ini mewakili kekhawatiran banyak negara akan
dampak kebijakan pemerintahan Amerika di bawah kepemimpinan Donald Trump. Sikap
proteksionisme yang merupakan bagian dari kebijakan “American First” telah memunculkan
wajah Amerika yang tidak bersahabat di hampir semua bidang.
American First
Di samping tidak bersahabat, aneka kebijakan Trump tidak hanya membuat bingung dunia
internasional tetapi juga warga Amerika sendiri. Saat ini ritual warga Amerika setiap bangun
tidur adalah menonton berita di TV. Berita gosip dan “kebijakan ala opera sabun” gaya
Trump menjadi tayangan populer. Namun kenyataannya mereka sebenarnya bimbang
dengan masa depan negaranya.
Kebimbangan ini, antara lain, disebabkan karena kebijakan proteksionisme dipandang
bukannya memakmurkan rakyat Amerika tetapi justru berpotensi menyengsarakan mereka.
Kebijakan pajak penalti impor jelas akan membuat harga‐harga naik. Perusahaan yang
banyak mengimpor mengurangi karyawannya hingga justru terjadi ledakan pengangguran di
Amerika.
Di arena internasional, semua pihak cemas dengan AS yang nampaknya sedang
mempersiapkan langkah‐langkah dagang melawan Cina, yang dianggap selama ini
menikmati surplus perdagangan yang sangat besar namun lebih banyak protektif ketimbang
membuka pasar domestiknya terhadap perusahaan‐perusahaan AS. Belum diketahui apa
langkah Washington untuk memaksa Beijing tunduk pada keinginannya.
Sejauh ini Cina berusaha menarik hati Trump dengan memberikan sejumlah konsesi bagi
kerajaan bisnisnya yang beroperasi di Cina. Tapi di saat bersamaan, negara ini sudah
mempersiapkan kondisi yang terburuk.
Reuters mengabarkan Cina meyakini AS akan mengenakan tarif impor hanya untuk
beberapa produk saja, seperti baja, furniture, dan aneka barang produksi BUMN Cina. Jika
ini terjadi, Cina akan membatasi ekspansi perusahaan AS yang beroperasi di Cina bersamaan
dengan penurunan volume ekspor telepon genggam atau laptop dari AS.
Indikasi “perang dagang” AS‐Cina akan diketahui setelah Presiden Xi Jinping bertemu
Presiden Trump pada April mendatang. Meskipun demikian, banyak pihak mengatakan baik
Cina maupun AS sama‐sama ingin menghindari perang. Apa pun hasilnya, sudah jelas
banyak waktu terbuang, sementara fomulasi kebijakan ekonomi untuk Cina masih
mengambang. Presiden Trump sudah terlalu banyak menghabiskan energinya untuk
membenahi posisinya di dalam negeri yang terus kedodoran dan digerus oleh aksi unjuk
rasa yang berlangsung setiap hari, di berbagai kota di Amerika.
Kebijakan Trump yang proteksionis ini bertumpu pada pandangannya bahwa Amerika telah
berbuat banyak untuk dunia ini, sementara dunia tidak memberi banyak atau setidaknya
setimpal. Negara‐negara lain dianggap Trump merongrong perekonomian Amerika. Trump
melihat bahwa pengambil kebijakan AS selama ini hanya membuang dana triliunan dolar
untuk memakmurkan negara‐negara lain, baik secara ekonomi, politik bahkan kecanggihan
dalam persenjataan mereka.
Sementara itu, karena rezim pasar bebas membuat warga Amerika kehilangan pekerjaan
bahkan dipecat karena kalah bersaing dalam soal gaji dengan para imigran yang bersedia
digaji rendah. Ketika Amerika menuntut agar negara lain memberikan perlakuan yang sama,
perusahaan Amerika justru dipersulit seperti kejadian di Cina dan Jepang.
Kejengkelan inilah yang kemudian mencetuskan slogan Make American Great Again, yang
sederhananya “dari Amerika untuk Amerika”. Amerika harus didahulukan dari kepentingan
mana pun. Turunan dari slogan Donald Trump tersebut adalah proteksionis bahkan
cenderung fasis dan rasis seperti kebijakan pembuatan dinding perbatasan dengan Meksiko
atau melarang kedatangan warga negara dari tujuh negara Islam.
Kebijakan Presiden Trump ini oleh Jessica T. Mathews dalam esainya, “What Trump is
Throwing Out the Window”, di New York Review of Book, berseberangan dengan tiga
prinsip yang selalu dipakai oleh para presiden AS sejak tahun 1945
Prinsip pertama, keamanan dan keselamatan Amerika bergantung pada kerjasama dan
aliansi yang mendalam dengan para sekutunya. Kedua, ekonomi dunia yang terbuka bukan
soal menang‐kalah karena sistem yang demikian justru membuat AS makmur dan juga
negara lain di dunia ini.
Prinsip ketiga yang juga menjelaskan mengapa kebijakan luar negeri AS kerap dibilang
berstandar ganda adalah soal tirani diktator dan demokrasi. Para presiden AS sebelum
Trumph memegang teguh prinsip bahwa pemerintahan yang diktator harus di kelola, diberi
ruang atau dilawan, namun haslmya harus sama, yakni kemenangan prinsip‐prinsip
kebebasan dan demokrasi.
Komentator CNN Fareed Zakaria yang belum lama ini memaki Trump dengan sebutan
bulls**t mengatakan bahwa tiga prinsip ini telah menciptakan perdamaian yang panjang
sejak 1945, yang membuat dunia lebih makmur, termasuk menjadikan Amerika sebagai
negara adidaya yang disegani. Karena itu, Fareed mengatakan kebijakan Trump yang
menarik Amerika dari pergaulan internasional dan mau menang sendiri adalah kebijakan
seorang pecundang.
Komentar kasar ini sebenarnya mewakili kegelisahan dunia yang terus menebak‐nebak
kebijakan Presiden Trump dalam berbagai bidang. Dunia tidak kuasa menyaksikan Amerika
limbung karena getarannya akan sangat dashyat dirasakan oleh negara‐negara berkembang.
Namun para pemimpin dunia agaknya sedang mempersiapkan langkah‐langkah darurat
sekiranya kebijakan AS dipandang makin ngawur.
Banyak pihak yang memandang cara berunding dengan Trump adalah tidak takut akan
gertakannya, karena para menteri dan pejabat di bawahnya sebenarnya juga tidak dibekali
oleh doktrin kebijakan yang ketat karena masih dibuat. Kebijakan Trump nampaknya lebih
bersifat sementara, transaksional bilateral dengan target kepentingan jangka pendek
sampai para menteri Trump paham betul garis kebijakan yang diinginkan presidennya. Dan
perlu banyak waktu untuk meyakinkan Presiden Trump bahwa dunia tidak bisa dikelola ala
reality shownya “The Apprentice.”
Indonesia akan bersentuhan dengan kebijakan baru Amerika pada April mendatang. Wakil
Presiden AS Mike Pence akan ke Indonesia dalam rangkaian lawatannya ke Jepang, Korea
Selatan, dan Australia. Lawatan ini memberi sinyal bahwa AS memandang Indonesia negara
penting di kawasan Asia, tapi sedang bermasalah dengan PT Freeport Indonesia.
Karenanya, sangat menarik mencermati dialektika kasus Freeport ke depan. Dan ini akan
menjadi salah satu hasil lawatan Pence yang sekaligus memberi arahan penting bagi kita
untuk menebak Amerika itu mau apa dari Indonesia.
Menakar Kebijakan AS di Tangan Donald Trump
Jakarta, CNN Indonesia ‐‐ Taipan real‐estate Donald Trump telah berhasil menunjukan
kepada publik Amerika Serikat, bahkan dunia, bahwa dirinya mampu keluar sebagai
pemenang dalam pemilu dan terpilih sebagai Presiden AS ke‐45.
Hasil perhitungan cepat menunjukkan Trump memperoleh 288 electoral votes di 29 negara
bagian AS, jauh meninggalkan rival, Hillary Clinton, yang hanya mampu meraup 215
electoral votes. Dibutuhkan minimal 270 electoral votes untuk mampu melenggang ke
Gedung Putih. Meski masih ada satu tahapan lagi sebelum meresmikan Trump sebagai
presiden, yakni electoral college, namun nampaknya posisi Trump saat ini tak tergoyahkan.
"Jika dalam popular vote sudah menang, biasanya kandidat tersebut dalam tahap electoral
college sudah pasti menang," ucap Diandra Dewi, pengamat Hubungan Internasional dari
Universitas Parahyangan Bandung saat dihubungi CNN Indonesia.com, Rabu (9/11).Dosen
pengajar matakuliah Politik Global Amerika Serikat itu menuturkan, kemenangan Trump
dalam pemilu popular jelas memperbesar kesempatan pria berusia 70 tahun itu untuk resmi
menjadi presiden AS setelah tahapan electoral college pada Desember mendatang."Pada
electoral college biasanya jika tidak terjadi hal‐hal besar, tidak akan mempengaruhi hasil
pemilu popular," kata Diandra.
Hal serupa turut diutarakan oleh peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)
Siswanto yang mengatakan, hasil electoral college biasanya berbanding lurus dengan hasil
pemilu popular. Siswanto menyatakan, kemenangan dalam pemilu biasanya turut
menghantarkan seorang capres meraih kemenangan di tahap electoral college nanti,
walaupun, tidak selalu mutlak.
Siswanto menyatakan, akan ada perubahan menarik dalam pemerintahan AS di tangan
Trump. Taipan real‐estate itu, tutur Siswanto, akan lebih berfokus pada politik dalam negeri
AS.Ia berujar, khusus mengenai kebijakan ekonomi AS, Trump dinilai akan menekankan
beberapa kebijakan ekonomi yang terfokus pada penguatan iklim pengusaha dan pebisnis
dalam negeri. "Merujuk pada kampanye Trump, kebijakan ekonomi Trump nampaknya lebih
berpihak pada kalangan menengah atas seperti dalam permasalahan pajak dan juga
memperkuat para pengusaha lokal di sana," kata Siswanto.Hal ini senada dengan
pernyataan Trump dalam pidato kemenangan pemilu dihadapan para pendukungnya di
Hotel Hilton Midtown, Manhattan, pada Rabu (9/11).
Dengan bangga dan lantang, Trump berjanji akan memulai pemerintahannya dengan sebuah
proyek pembangunan yang dapat memperluas dan meningkatkan pertumbuhan serta
pembaharuan nasional. Selain itu, Trump juga berjanji terus memperbaiki infrastrukur
publik dan memberi pekerjaan bagi jutaan warga AS. "Saya akan memanfaatkan orang‐
orang kreatif, berbakat, dan cerdas untuk dimanfaatkan dalam membangun bangsa ini bagi
kebaikan dan manfaat bagi semua warga AS," kata Trump.