Anda di halaman 1dari 11

Makalah Al–Islam Kemuhammadiyahan

Hal-Hal Yang Bid’ah (Terlarang) Berkaitan Dengan Kematian

Kelompok IV

Dosen Pembimbing : Cici Ermaneli, S.Pd.i

Disusun Oleh :
Siti Istiqomah (702013071)

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PALEMBANG
2013/2014

1
HAL-HAL YANG BID’AH (TERLARANG)

BERKAITAN DENGAN KEMATIAN

I. Beberapa Perbuatan yang Harus Dijauhi Seputar Pelaksanaan (Penyelenggaraan


Jenazah)

1. Meratap
Meratap atau yang dalam bahasa arab disebut “niyahah” adalah perbuatan
yang dilarang di dalam agama. Meskipun begitu, bukan berarti keluarga mayat
sama sekali tidak boleh bersedih atau menangis saat anggota keluarga mereka
meninggal dunia, sedangkan Rasulullah saw saja bersedih dan menangis
mengeluarkan air mata saat cucu beliau wafat seraya berkata, “Ini (kesedihan ini-
red) adalah rahmat yang Allah jadikan di hati para hamba-Nya, dan Allah
hanyalah merahmati hamba-hambanya yang mengasihani (ruhama’/punya sifat
rahmat)” (HR. Bukhari). Rasulullah saw juga menangis saat menjelang wafatnya
putra beliau yang bernama Ibrahim, bahkan beliau juga menangis di makam salah
seorang putri beliau dan di makam ibunda beliau sehingga orang yang
bersamanya pun ikut menangis sebagaimana diriwayatkan di dalam hadis-hadis
shahih.
Maka meratap yang diharamkan dan disebut niyahah adalah menangisi
mayat dengan suara keras, meraung, atau menggerung, apalagi diiringi dengan
ekspresi berlebihan seperti merobek kantong baju, memukul-mukul atau
menampar pipi, menarik-narik rambut, atau menaburi kepala dengan tanah, dan
lain sebagainya.
Meratapi mayat hukumnya adalah haram dengan kesepakatan ulama.
Meratapi juga termasuk perkara jahiliah dan dosa besar, karena Nabi shalallahu
‘alayhi wasallam mengancam pelakunya dengan adzab.

2
Sebagaimana sabda Nabi saw :

“Dari Abu Malik Asy’ari, bahwa Nabi saw bersabda : Ditengah-tengah umatku
ada empat hal dari jahiliyah yang belum mereka tinggalkan; 1. Membanggakan
kedudukan, 2. Mencela keturunan, 3. Minta hujan kepada binatang, dan 4.
Meratapi mayat. Dan bersabda : Wanita yang meratapi mayat bila tidak bertobat
sebelum matinya, akan dibangkitkan di hari kiamat dengan pakaian dari pada
getah dan baju dari pada koreng”. (HR. Ahmad dan Muslim).

Al-Qurthubi rahimahullah berkata, “Semua itu adalah haram dan


termasuk perkara jahiliah tanpa ada perselisihan ulama.”

2. Merobek-robek baju dan memukuli diri

Sebagaimana sabda Nabi saw :


“Dari idari ibnu mas’ud, bahwa Nabi saw bersabda : Bukan golongan kami,
orang yang menampar pipi dan merobek-robek pakaian serta berteriak-teriak
cara jahiliyah”. (HR. Bukhari-Muslim).

Kemudian di dalam hadits lain,Nabi saw bersabda :

“Dari Abu Burdah, bahwa Abu Musa berkata ketika ia siuman dari pingsannya:
Aku cuci tangan dari mereka, sebagaimana halnya Rasulullah saw cuci tangan;
yaitu Rasulullah saw cuci tangan dari perempuan yang meratapi, mencukur
rambutnya dan merobek-robek pakaian (pada waktu kematian)”. (HR. Bukhari-
Muslim).

3. Azan dalam kubur


Tidak ada dalil yang mensyari’atkan azan di atas kubur, tetapi azan ini
disyari’atkannya untuk :
Panggilan shalat fardlu.

3
Sebagaiman firman Allah dalam surat al-Jumu’ah ayat 9:
‫ّللاِ َوذَ ُروا ْال َب ْي َع ذَ ِل ُك ْم َخيْر لَ ُك ْم ِإ ْن ُك ْنت ُ ْم‬
َ ‫صال ِة ِم ْن َي ْو ِم ْال ُج ُم َع ِة فَا ْس َع ْوا ِإلَى ِذ ْك ِر‬ َ ‫َيا أَيُّ َها الَذِينَ آ َمنُوا ِإذَا نُود‬
َ ‫ِي ِلل‬
َ‫ت َ ْعلَ ُمون‬
Artinya : “hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan
shalat pada hari jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat
Allah (shalat) dan tinggalkan jual beli. Yang demikian itu lebih baik
bagimu jika kamu mengetahui”. (QS.Al- Jumu’ah : 9)

Kemudian sabda Nabi saw :


“Dari Mali bin Huwarits. Sesungguhnya Rasulullah saw telah bersabda : Apabila
datang waktu shalat, hendaklah azan salah seorang di antara kamu, dan
hendaklah yang tertua di antara kamu menjadi imam”. (HR. Bukhari-Muslim)

4. Talqin di atas kubur


Kata Talqin berasal dari “Laqqana” yang berarti ajaran atau mengajar.
Jadi menalqinkan mayat artinya mengajari orang mati, sedangkan mayat di dalam
kuburnya tidak Nampak (ghaib) dari pandangan mata, dengan kata lain mengajari
orang mati yang tidak tampak. Oleh karena itu, tidak logis mengajari orang sudah
di alam barzah.
Dengan demikian, orang yang dapat diajari itu tentu yang masih hidup
atau ketika menjelang ajal, jika telah mati tentulah sudah terlambat. Oleh
karenanya talqin itu dilakukan bukan di atas kubur, menlainkan menjelang ajal
(sakaratul maut).

Sebagaimana sabda Nabi saw :


“Ajarilah orang yang hampir mati dengan kalimat “La ilaha illalla”. Tidak ada
tuhan yang patut disembah melainkan Allah”. (HR.Muslim)

II. Upacara / Do’a / Bacaan yang Tidak Disunnahkan Rasul

1. Membaca surat yasin, tasbih, tahmid dan tahlil bersama (tahlilan)

4
Surat yasin adalah bagian dari al-qur’an, maka membaca yasin berarti
membaca al-qur’an. Wajib bagi seoarang muslim membacanya dan Allah pasti
memberikan pahala terutama bagi yang membaca dan mendengarkan bacaannya.
Tetapi tidak dianjurkan membaca Al-qur’an secara bersama-sama. Sebagaimana
firman Allah :
ِ ‫ئ ْالقُ ْرآنُ فَا ْست َِمعُوا لَهُ َوأ َ ْن‬
َ‫صتُوا لَ َعلَ ُك ْم ت ُ ْر َح ُمون‬ َ ‫َوإِذَا قُ ِر‬

Artinya : “ Dan apabila dibacakan al-qur’an, maka dengarkanlah dan diamlah,


agar kamu mendapat rahmat”. (QS. Al-A’raf: 204)

Selanjutnya Nabi saw bersabda :


“Sesungguhya Allah SWT menyenangi diam pada tiga perkara: pada waktu
dibaca al-qur’an, pada waktu bertempur dan pada sisi jenazah”. (HR. Thabrani
dari Zaid bin Arqam)
Selanjutnya tentang membaca tasbih, tahmid dan tahlil itu juga bacaan
yang wajib dikerjakan oleh setiap Muslim, karena semua bacaan tersebut adalah
zikrullah. Disetiap saat kita mesti berzikir; ketika mendapat musibah
mengucapkan istirja’, saat mendapat nikmat mengucapkan hamdalah, mau makan
dan minum ada zikir bahkan datang atau keluar WC pun berzikir, dan lebih utama
zikir ba’da shalat.
Sedang zikir bersama-sama ketika ada musibah dan ditentukan pada
malam ketiga, ketujuh, keempat puluh itu merupakan campuran antara syari’at
Islam dengan budaya agama lain. Mengakui ajaran agama lain sebagai ajaran
Islam dilarang oleh Allah SWT, di dalam firman-Nya :

َ‫اط ِل َوتَ ْكت ُ ُمواْ ْال َح َق َوأَنت ُ ْم تَ ْعلَ ُمون‬


ِ َ‫سواْ ْال َح َق بِ ْالب‬
ُ ِ‫َولَ ت َْلب‬
Artinya : “Dan janganlah kamu campur adukkan kebenaran dengan kebatilan,
dan (janganlah) kamu sembunyikan kebenaran, sedangkan kamu
mengetahuinya”. (QS. Al-Baqarah: 42)

5
Dengan demikian jelas ajaran tahlilan itu tidak berdasarkan contoh dari
Rasulullah saw, dengan kata lain itu bukan ajaran Islam, dan berdosa
menjadikannya sebagai amalan atau mengajarkannya.

2. Mengirim pahala dari bacaan tahlilan untuk si mayat


Maksud mengirim pahala dari amalan para takziah untuk si mayat itu
memang baik dan diyakini dapat membantu meringankan dosa si mayat, tetapi
semua perbuatan tidak ada keterangan tentang mengirim pahala atau dosa kepada
orang lain, baik kepada orang hidup atau orang mati. Sebab mengenai pahala dan
dosa itu adalah hak mutlak bagi Allah SWT memberikan ganjaran atas amal
perbuatan baik atau buruk seorang hamba. Beberapa dalil Al-qur’an :
Di dalam surat Al-Zalzalah :7-8, Allah berfirman yang Artinya :
“ Barang siapa berbuat kebaikan seberat benda yang terkecilpun, niscaya ia
akan melihatnya. Dan barang siapa berbuat keburukan seberat benda yang
terkecilpun, niscaya ia akan melihatnya”, (QS. Al-Zalzalah: 7-8).
Di dalam surat lain, Allah berfirman :
َ ‫ان ِإ َل َما‬
‫سعَى‬ ِ ‫س‬َ ‫ْل ْن‬ َ ‫َوأ َ ْن لَي‬
ِ ْ ‫ْس ِل‬
Artinya : “ Dan bahwasanya sorang manusia tiada memperoleh selain apa yang
telah diusahakannya”. (QS. An-Najm: 39).

Selanjutnya di dalam surat lain, Allah berfirman :


Artinya : “ Barang siapa mengerjakan amal yang saleh, maka (pahalanya) untuk
dirinya sendiri, dan barang siapa yang berbuat jahat, maka (dosanya)
atas dirinya sendiri”. (QS. Fushshilat: 46).

Di dalam surat lain lagi Allah berfirman :


Artinya : “(Yaitu) bahwasanya seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa
orang lain dan bahwasanya seorang manusia tidak memperoleh selain
apa yang telah diusahakannya”. (QS. An-Najmi: 38-39).

6
3. Mengadakan jamuan makanan dan minuman di ruah ahli musibah
Sebagaiman sabda Nabi saw:
“Dari Hariri bin Abdullah Bajali, katanya: Kami menganggap bahwa berkumpul
di rumah keluarga yang kematian dan mengadakan jamuan sesudah mayat
dikubur itu termasuk ratapan (yang dilarang)”. (HR. Ahmad).

Sahabat-sahabat Nabi menerangkan bahwa mengadakan makan-makan


karena sebab kematian, dosanya sama dengan meratap, sebagaimana sabda Nabi
saw :
“Berkata Jarir bin Abdullah al- Bajalli: adakah kami (sahabat-sahabat Nabi)
menganggap bahwa berkumpul di rumah keluarga mayat dan membikin
(mengadakan) makanan sesudah mayat dikuburkan, masuk hukum meratap”.
(HR. Ahmad dan Ibnu Majjah).

III. Haul (Ulang Tahun) Kematian

1. Definisinya

Haul yang sering disebut dengan khol adalah berasal dari kata Arab
“haul” yang artinya secara bahasa adalah “tahun”. Adapun yang dimaksud
dengan perayaan haul sebagaimana yang lazim berjalan di masyakat tanah air
ialah acara peringatan hari ulang tahun kematian.

2. Waktu dan tempat

Acara ini biasanya diselenggarakan di halaman kuburan mayat yang


diperingati atau sekitarnya, tetapi ada pula yang diselenggarakan di rumah,
masjid, dan lain-lain. Adapun waktunya, biasanya diselenggarakan tepat pada hari
ulang tahun wafat mayat yang diperingati, yang lazimnya tergolong orang yang
berjasa kepada Islam dan kaum muslimin semasa hidupnya. Acara ini biasanya
berlangsung sampai tiga hari tiga malam dengan aneka variasi acara. Dan bagi
yang diselenggarakan secara pribadi, biasanya hanya secara sederhana dengan

7
memakan waktu beberapa saat dengan sekadar penyelenggaraan acara tahlilan
dan hidangan makan sesudahnya.

3. Suasana acara

Apabila acara haul ini untuk seorang yang berpengaruh besar di masa
hidupnya, maka biasanya diselenggarakan besar-besaran dengan dibentuk panitia
lengkap dengan bagian-bagiannya. Acara tersebut berjalan dengan meriah dengan
berbagai acara seperti tilawah al-Qur‘an, bacaan tahlil secara massal dengan
selingan acara kesenian seperti seni hadhroh (pemukulan rebana dengan bacaan
sholawat Nabi).

4. Maksud dan Tujuan Acara

Maksud penyelenggaraan acara ini antara lain untuk kirim pahala bacaan
ayat-ayat suci al-Quran dan bacaan-bacaan lainnya, di samping itu juga untuk
tujuan seperti tawassul, tabarruk (ngalap berkah), istighotsah, dan pelepasan
nadzar kepada si mayit.

Disebutkan bahwa tujuan inti dari acara tersebut diadakan adalah dalam
rangka mengenang sejarah atau biografi seorang yang ditokohkan. Oleh sebab itu,
momentum haul selalu dinanti oleh umat Islam dengan tujuan, menapaktilasi dan
meneladani rekam jejak perjuangan orang yang di-haul-i.

5. Sejarah Perayaan Haul

Perayaan haul ini tidaklah dikenal di zaman Nabi saw, para sahabat, para
tabi’in dan tabi’ut tabi’in. Perayaan tersebut tidak pula dikenal oleh imam-imam
madzhab: Abu Hanifah, Malik, Ahmad, dan Syafi’i. Karena memang perayaan ini
adalah perkara baru dalam agama Islam. Adapun yang pertama kali
mengadakannya adalah kelompok Rofidhoh (Syi’ah) yang menjadikan hari
kematian Husain pada bulan Asyuro yang telah diingkari oleh para ulama.

8
6. Hukum Perayaan Haul

Menghukumi sesuatu ini boleh atau tidak bukanlah perkara yang amat
mudah. Tidak boleh kita gegabah dalam menghukumi, apalagi tentang
permasalahan ini yang sudah mendarah daging di masyarakat hingga saat ini.
Marilah kita tinggalkan semua fanatisme golongan, hawa nafsu, dan adat yang
tidak berdasar. Marilah kita kembalikan semua perselisihan kepada al-Qur‘an dan
sunnah Rosululloh shalallahu ‘alayhi wasallam,

sebagaimana firman Allah:

َ ْ‫اخ ِر َوٱ ْل َي ْو ِم ٰذَ ِلكَ َخيْر َوأَح‬


‫سن‬ َ ‫ٱلرسو ِل ِإن كنت ْم تؤْ ِمنونَ ِب‬
ِ ‫ٱّللِ ٱ ْل َء‬ َ ‫فَ ِإن تَنَـ َزعْت ْم فِى ش َْىء فَردُّوه ِإلَى‬
َ ‫ٱّللِ َو‬
ً ‫تَأ ْ ِو‬
‫يل‬

Artinya : “Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka


kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur‘an) dan Rasul (sunnahnya),
jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian.
yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya. (QS. an-Nisa‘ : 59)

Ada beberapa argumen yang menguatkan batilnya perayaan haul ini


sebagai berikut:

Pertama :

Seandainya perayaan ini disyari’atkan, tentu akan dijelaskan oleh


Nabi saw sebelum wafatnya karena Allah SWT telah menyempurnakan agama-
Nya.

‫سلَـ َم دِينًا‬ َ ‫ٱ ْليَ ْو َم أ َ ْك َم ْلت لَك ْم دِينَك ْم َوأَتْ َم ْمت‬


ِ ْ ‫علَيْك ْم نِ ْع َمتِى َو َر ِضيت لَكم‬
ْ ‫ٱْل‬

Artinya : “Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu, dan telah
Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku dan telah Kuridhoi Islam sebagai
agamamu. (QS. al-Ma‘idah : 3)

9
Kedua :

Nabi saw bersabda:

“Barang siapa mengamalkan suatu amalan yang tidak ada contohnya dari kami
maka tertolak.”(HR. Muslim: 3243)

Hadits ini dan yang semakna dengannya menunjukkan tercelanya bid’ah


dalam agama sekalipun dianggap baik oleh manusia. Dan perayaan haul termasuk
perkara yang bid’ah dalam agama karena tidak pernah dicontohkan oleh Nabi saw
dan para sahabatnya radhiyallahu ‘anhum.

Ketiga :

Seandainya perayaan haul ini disyari’atkan, niscaya tidak akan


ditinggalkan oleh para sahabat radhiyallahu ‘anhum dan para generasi utama
yang dipuji oleh Nabi saw :

“Sebaik-baik manusia adalah masaku.” (HR. al-Bukhori: 3651, Muslim: 2533)

Seandainya perayaan haul ini baik, tentu para salaf lebih berhak
mengerjakannya daripada kita karena mereka jauh lebih cinta kepada Nabi saw
dan mereka lebih bersemangat dalam melaksanakan kebaikan.

Keempat :

Perayaan haul termasuk acara slametan (selamatan, Jawa) kematian atau


tahlilan yang dilarang dalam hadits dan pendapat ulama dari berbagai madzhab.

Sebagaimana sabda Nabi saw :

Dari Jarir bin Abdillah al-Bajali radhiallahu ‘anhu berkata, “Kami (para
sahabat) menganggap (dalam riwayat lain berpendapat) bahwa berkumpul-
kumpul kepada ahli mayat dan membuat makanan setelah (si mayat) dikubur
termasuk kategori niyahah (meratapi).”

10
Di antaranya al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah berkata:

“Dan saya membenci berkumpul-kumpul (dalam kematian) sekalipun tanpa


diiringi tangisan karena hal itu akan memperbaharui kesedihan dan
memberatkan tanggungan (keluarga mayat) serta berdasarkan atsar (hadits)
yang telah lalu.”

Ucapan al-Imam asy-Syafi’i di atas sangat jelas menunjukkan bahwa


beliau melarang peringatan kematian/slametan/tahlilan/haul karena tiga alasan:

1. Mengingatkan kembali rasa kesedihan

2. Menyusahkan diri

3. Hadits yang menegaskan bahwa hal itu termasuk meratapi mayit.

11

Anda mungkin juga menyukai