Anda di halaman 1dari 7

Duggan A.W, Hall J.G., Headley P.M..

Suppression Of Tranmission Of Nociceptive


Impulses By Morfine : Selective Effect Of Morfine Administerer In The Region Of
The Substantia Gelatinosa. Br. J. Pharmacol. 2004. 61

Pembahasan

Obat analgesik adalah obat yang dapat mengurangi atau menghilangkan rasa nyeri
dan akhirnya akan memberikan rasa nyaman pada orang yang menderita. Semua
senyawa nyeri (mediator nyeri) seperti histamine, bradikin, leukotriendan
prostaglandin merangsang reseptor nyeri (nociceptor )di ujung-ujung saraf bebasdi
kulit, mukosa serta jaringan lain dan demikian menimbulkan antara lain
reaksiradang dan kejang-kejang. Obat analgetika terbagi menjadi dua golongan
yaitu analgetika sentral yang bekerja ke SSP dan analgetika perifer yang bekerja
menghambat pembentukan mediator nyeri dan inflamasi sehingga sekaligus
berefek sebagai antiinflamasi yaitu golongan obat antiinflamasi non steroid
(AINS/NSAIDs) dan kortikosteroid. (Tjay dan Rahardja, 2007).

Pada percobaan kali ini yaitu “Pengujian Aktivitas Analgetika-Antiinflamasi”


dengan menggunakan metode Siegmund, praktikan menggunakan sediaan uji
golongan AINS/NSAIDs yaitu Aspirin, Asam mefenamat, Piroksikam,
Paracetamol dan Tramadol serta sediaan uji Kontrol. Obat NSAIDs memiliki efek
analgesik perifer maupun antiinflamasi dimana bekerja menghambat enzim
siklooksigenase sehingga menyebabkan terhambatnya sintesis prostaglandin.
Percobaan ini bertujuan untuk mengenal berbagai cara untuk mengevaluasi secara
eksperimental efek analgetika-antiinflamasi suatu obat yaitu piroksikam dan
memahami dasar-dasar perbedaan efektivitas analgetika-antiinflamasi suatu obat.

Pada pengujian kali ini, metode yang digunakan adalah metode Siegmund dimana
diberikan induksi kimia berupa asam asetat dengan rute intraperitonial. Kelompok
praktikan mendapatkan sediaan uji berupa piroksikam. Perlakuan yang diberikan
yaitu pertama-tama sediaan uji berupa piroksikam diberikan kepada mencit
sebanyak 0,364 mL sesuai perhitungan konversi dosis mencit dengan berdasarkan
berat badan. Hal ini dilakukan karena pada setiap mencit mempunyai berat badan
yang berbeda-beda dan piroksikam terdapat untuk dosis manusia sehingga perlu
dilakukan konversi dosis agar sediaan yang diberikan sesuai dengan keadaan tubuh
mencit tanpa adanya kekurangan maupun kelebihan dosis dan diberikan dengan
rute oral. Setelah pemberian piroksikam, ditunggu selama 30 menit sebelum
diinduksi nyeri. Hal ini bertujuan agar memberi waktu untuk piroksikam masuk dan
teradsorpsi ke dalam tubuh sehingga saat diberikan induksi, efek dari kerja
piroksikam sudah terasa atau berefek. Setelah 30 menit, mencit kemudian diinduksi
nyeri menggunakan asam asetat sebanyak 0,7 mL melalui rute intraperitonial.
Diberikan asam asetat bertujuan untuk menimbulkan rangsang nyeri melalui
rangsang kimia. Dalam hal ini asam asetat merupakan asam lemah yang tidak
terkonjugasi di dalam tubuh, sehingga pemberian sediaan asetat terhadap hewan
percobaan akan merangsang prostaglandin untuk menimbulkan rasa nyeri akibat
adanya kerusakan jaringan atau inflamasi. Prostaglandin akan menyebabkan
sensifitas reseptor nyeri terhadap stimulasi mekanik dan kimiawi sehingga
prostaglandin dapat menimbulkan keadaan hiperalgesia, kemudian mediator
kimiawi seperti bradikinin dan histamin akan merangsangnya dan menimbulkan nyeri,
sehingga mencit akan menggeliatkan kaki belakang saat efek dari penginduksi ini
bekerja. Setelah diinduksi nyeri, mencit kemudian diamati gerakan geliatnya yaitu
saat kedua pasang kaki ke depan dan dua pasang kaki yang lain ke belakang serta
perut menekan lantai yang muncul dalam waktu setiap 5 menit dalam 60 menit dan
dicatat jumlah geliatnya serta dihitung daya proteksi dan efektivitas analgetik.

Hasil pengamatan yang diperoleh dengan menggunakan obat analgesil piroksikam


yaitu pada menit ke-5 hingga menit ke-60 atau dengan kata lain dalam 60 menit
didapatkan rata-rata jumlah geliat mencit sebanyak 2. Sehingga daya proteksi obat
uji piroksikam ini yaitu 93,32% dan efektivitas analgetik yang diperoleh sebesar
274,55%. Hal ini menunjukkan bahwa piroksikam memberikan efek yang cukup
baik atau efektif yang ditandai dengan jumlah geliat yang sedikit yang dilakukan
mencit dalam 60 menit setelah diberikan induksi berupa asam asetat. Dimana
mekanisme kerja dari piroksikam adalah anti-inflamasi non steroid yang
mempunyai aktifitas anti inflamasi, analgetik, dan antipiretik. Aktifitas kerja
piroksikam belum sepenuhnya diketahui, diperkirakan melalui interaksi beberapa
tahap respon imun dan inflamasi, antara lain : penghambatan enzim siklo-
oksigenase pada biosintesa prostaglandin, penghambatan agregasi netrofil dalam
pembuluh darah, penghambatan migrasi polimorfonuklear (PMN) dan monosit ke
daerah inflamasi. Metabolisme terjadi dalam hati dan diekskresi melalui urin, 5%
dalam bentuk utuh dalam urin dan feses. (SUMBER).

Pada pengujian obat analgetik menggunakan piroksikam ini, dilakukan oleh 2


kelompok yang dimana salah satunya adalah kelompok praktikan (kelompok 7) dan
kelompok 5. Pada kelompok 5, hasil rata-rata jumlah geliat mencit dalam 60 menit
adalah 7,0833 dimana daya proteksi yang diperoleh yaitu 76,33% dengan
efektivitas analgetik sebesar 224,56%. Ukuran untuk efektivitas analgetik dalam
sejumlah tersebut masih bisa dikatakan efektif karena tidak terlalu besar jumlah
geliat pada mencit selama proses pengamatan. Tetapi dibandingkan dengan
kelompok praktikan (kelompok 7), hasil ini lebih kurang. Seharusnya hasil yang
diperoleh sama atau sedikit mendekati, tetapi hasilnya hampir 50% perbedaan
efektivitas analgetiknya. Padahal dosis yang diberikan pada mencit adalah sama.
Hal ini bisa saja terjadi diakibatkan oleh pada saat percobaan yang mana bisa saja
karena kesalahan dari praktikan kelompok 5 dalam memberika piroksikam kepada
mencit yaitu pada saat diberika rute oral, tidak semua obat masuk ke dalam mulut
mencit atau bisa juga karena keterlambatan praktikan dalam memberikan induksi
nyeri asam asetat setelah diberikan sediaan uji piroksikam.

Kemudian sediaan uji yang lainnya yaitu ada aspirin hasilnya dalam 60
menit jumlah geliat mencit adalah 19,75 dengan daya proteksi sebesar 33,99%.
Pada efektivitas analgetik, aspirin digunakan sebagai pembanding sediaan uji yang
lain karena ini merupakan standar dalam menilai efek obat sejenis (Wilmana dan
Gan, 2007) sehingga saat menghitung efektivitas analgetik aspirin menjadi
pembanding. Dalam hal ini, dapat diketahui bahwa aspirin mempunyai daya
proteksi atau perlindungan terhadap adanya sensasi nyeri berkurang karena
digunakan secara luas dan dalam golongan obat bebas. Mekanisme kerja dari
aspirin adalah Prostaglandin E2 (PGE2) diduga mensensitasi ujung syaraf terhadap
efek bradikinin, histamin, dan mediator kimiawi lainnya yang dilepaskan secara
lokal oleh proses inflamasi. Jadi dengan menurunkan sintesis PGE2, asetosal dan
AINS lainnya menekan sensasi rasa sakit (Mycek et al., 2001). Aspirin paling
efektif untuk mengurangi nyeri dengan intensitas ringan sampai sedang. Ia bekerja
secara perifer melalui efeknya terhadap inflamasi, tetapi mungkin juga
menghambat rangsangan nyeri pada daerah subkortikal (Katzung, 1998).
Pengujian obat analgetik selanjutnya yaitu asam mefenamat. Pada mencit
yang diberikan sediaan uji asam mefenamat, hasilnya dalam 60 menit, geliat mencit
berjumlah sebanyak 4,25 dimana daya proteksinya sebesar 85,7939% dan
efektivitas analgetik sebesar 252,39%. Hal ini menunjukkan bahwa asam
mefenamat cukup efektif dalam memberikan proteksi atau perlindungan terhadap
sensasi nyeri yang dihasilkan oleh prostaglandin akibat diberikan asam asetat
sebagai induksi nyeri dan efektivitas analgetiknya cukup baik dan efektiv.
Mekanisme kerja dari asam mefenamat yaitu merupakan kelompok anti inflamasi
non steroid, bekerja dengan menghambat sintesa prostaglandin dalam jaringan
tubuh dengan menghambat enzim siklooksigenase, sehingga mempunyai efek
analgesik, anti inflamasi dan antipiretik. Cara Kerja Asam mefenamat adalah
seperti OAINS (Obat Anti-Inflamasi Non-Steroid atau NSAID) lain
yaitu menghambat sintesa prostaglandin dengan menghambat kerja enzim
cyclooxygenase (COX-1 & COX-2). Asam mefenamat merupakan satu-satunya
fenamat yang menunjukan kerja pusat dan juga kerja perifer. Dengan mekanisme
menghambat kerja enziim sikloogsigenase ( Goodman, 2007 ).
Sediaan uji yang digunakan untuk analgetik selanjutnya yaitu Tramadol.
Hasilnya dalam 60 menit pengamatan, mencit hanya menggeliat rata-rata sebanyak
1,5 sehingga pada daya proteksinya didapatkan sebesar 94,99% dan efektivitas
analgetik sebesar 279,46%. Hal ini menunjukkan bahwa tramadol merupakan obat
analgetik yang sangat baik dan optimal serta efektif dalam proteksi atau
perlindungan terhadap adanya rangsangan nyeri yang diakibatkan oleh pemberian
asam asetat dan dihasilkan oleh prostaglandin. Tramadol merupakan obat analgesik
yang bekerja secara sentral, bersifat agonis opioid (memiliki sifat seperti
opium/morfin), dapat diberikan peroral, parenteral, intravena, intramuscular, dalam
beberapa penelitian menunjukkan efek samping yang ditimbulkan oleh karena
pemberian tramadol secara bolus intravena diantaranya adalah mual, muntah,
pusing, gatal, sesak nafas, mulut kering dan berkeringat, selain itu tramadol
menunjukkan penggunaannya lebih aman bila dibandingkan dengan obat analgesik
jenis morfin yang lain.1 Dalam perkembangan untuk untuk mendapatkan analgesik
yang ideal, tramadol menjadi drug of choice sebagai analgesik, tramadol adalah
campuran rasemik dari dua isomer, salah satu obat analgesik opiat (mirip morfin),
termasuk golongan aminocyclohexanol, yang bekerja secara sentral pada
penghambat pengambilan kembali noradrenergic dan serotonin neurotransmission,
dapat diberikan peroral, parenteral, intravena, intramuscular (Duggan et al, 2004:
61). Mekanisme kerja tramadol terdiri dari 2 macam yang saling memperkuat yaitu
(Rerungan, 2002: 36):
1. Berikatan dengan reseptor opioid yang ada di spinal dan otak sehingga
menghambat transmisi sinyal nyeri dari perifer ke orak.
2. Meningkatkan aktivitas saraf penghambat monoaminergik yang
berjalan dari otak ke spinal sehingga terjadi inhibisi transmisi sinyal
nyeri.
Sehingga dapat dikatakan bahwa obat analgetik dari golongan AINS/ NSAIDs yang
paling optimal dan efektivitasnya tinggi sehingga daya proteksi tinggi adalah
Tramadol.
Sediaan uji selanjutnya yang digunakan sebagai obat analgetik yaitu
Paracetamol. Hasil yang diperoleh dari pengujian menggunakan paracetamol yaitu
jumlah geliat mencit dalam 60 menit yaitu 11,6667 dengan daya proteksi sebesar
61,01% dan efektivitas analgetiknya yaitu sebesar 179,49%. Hal ini menandakan
bahwa daya proteksi pada paracetamol kurang optimal yang ditandai dengan sedikit
kecil nilai pada daya proteksinya dan efektivitas analgetiknya pun hanya sebesar
179,49%. Mekanisme kerja dari paracetamol yaitu menghambat siklooksigenase
sehingga konversi asam arakhidonat menjadi prostaglandin terganggu. Parasetamol
hanya mempunyai efek ringan pada siklooksigenase perifer (Dipalma, 1986). Inilah
yang menyebabkan parasetamol hanya menghilangkan atau mengurangi rasa nyeri
ringan sampai sedang. Parasetamol tidak mempengaruhi nyeri yang ditimbulkan
efek langsung prostaglandin, ini menunjukkan bahwa parasetamol menghambat
sintesa prostaglandin dan bukan blokade langsung prostaglandin (Wilmana, 1995).
Pada uji kontrol, mencit diberikan larutan CMC-Na dimana CMC-Na
berperan sebagai kontrol serta pembanding dalam daya proteksi setiap sediaan uji
yaitu obat analgetik dan larutan CMC-Na merupakan …. dan hasil pengamatan
geliat mencit pada uji control ini adalah sebanyak 29,9167.
Berdasarkan hasil yang diperoleh dan perhitungan daya proteksi dan
efektivitas analgetik serta mekanisme kerja dari beberapa sediaan uji yang dibahas,
praktikan mengurutkan obat analgetik dari yang efeknya paling terasa atau kuat
sampai obat yang kurang kuat atau lemah dalam memberikan efek analgetik pada
mencit. Maka, dapat diurutkan sebagai berikut:
1. Tramadol
2. Piroksikam
3. Asam mefenamat
4. Aspirin
5. Paracetamol
Pada hasil daya proteksi, nilai daya proteksi Aspirin lebih kecil daripada
paracetamol. hal ini bisa terjadi karena Aspirin merupakan senyawa obat dengan
golongan non narkotik yakni turunan asam salisilat yang bekerja dengan
menghambat biosintesis prostaglandin karena adanya proses asetilasi gugus aktif
serin pada COX2. Aspirin bereaksi secara kovalen dimana ikatan yang kovalen
akan sulit terlepas/ terurai , maka dari itu ikatan ini menghasilkan reaksi ang
irreversibel. Hal ini menunjukkan bahwa asetosal dapat menjadi obat analgesik
yang cukup baik untuk antiflogistik.
Sedangkan Paracetamol merupakan senyawa obat yang juga golongan non
narkotik yakni turunan anilin (golongan fenasetin). Parasetamol adalah obat
analgetik untuk pasien yang yang tidak tahan terhadap asetosal (dikenal dengan
nama popular : aspirin). Parasetamol adalah derivet p-aminofenol yang mempunyai
sifat antipiretik/analgetik. Sifat antipiretik disebabkan oleh gugus aminobenzen dan
mekanismenya diduga berdasarkan efek sentral. Sifat analgetik parasetamol dapat
mrnghilangkan rasa nyeri ringan sampai sedang.
Parasetamol yang merupakan metabolit fenasetin mempunai ciri khusus karena
kerja antipireutik dan analgetikanya yang baik. Namun memiliki antiflogistik yang
sangat rendah. Hal ini karena tidak adanya afinitas terhadap jaringan ikat
siklooksigenase (COX). Maka dari itu jika dibandingkan, kekuatan Aspirin
memiliki efek yang lebih kuat dibandingkan paracetamol karena asetosal
mengasetilasi gugus serin dan berikatan kovalen dengan gugus serin. Hal ini
menyebabkan prostaglandin tidak dapat terbentuk. Sedangkan parasetamol
mengurangi rasa nyeri dengan cara menghambat enzim siklooksigenase , karena
enzimnya terhambat maka prostaglandin semakin sedikit yang terbentuk sehingga
nyeri yang timbul berkurang. Analgesik paracetamol lebih rendah. (Hartwig, 2006:
1063-1103).

KESIMPULAN! MENJAWAB TUJUAN!!


DAPUS JANGAN LUPA! ADA YANG DI HALAMAN PERTAMA TUH
LIATIN SAMA ADA YANG DI FOTO GALERRY HP SOALNYA GABISA
DICOPY!!

Anda mungkin juga menyukai