1. Perundingan Sekali suatu negara memutuskan untuk memulai negosiasi dengan negara atau negara-negara lain untuk membuat perjanjian internasional maka langkah pertama yang harus ditempuh adalah mengangkat wakil-wakil untuk melakukan negosiasi. Persoalan siapakah yang dapat mewakili suatu negara dalam suatu perundingan internasional merupakan persoalan intern negara yang bersangkutan. Jelas penting bahwa setiap wakil itu harus diakreditasi sebagaimana mestinya ke negara lain dan harus dilengkapi dengan kuasa yang diperlukan yang bukan saja statusnya sebagai perutusan resmi, melainkan juga kewenangannya. Berdasarkan Konvensi Wina tahun 1969 Pasal 7, Ayat1 negara dapat menunjuk seseorang yang ditunjuk untuk mewakili negara tersebut dalam tahap-tahap pembuatan perjanjian internasional dengan membuat surat kuasa penuh (full powers). Surat kuasa penuh tidak diperlukan apabila dari praktek negara yang berunding mereka harus menganggap orang yang bersangkutan sebagai mewakili Negara pengirim dan melepaskan surat kuasa penuh. (Pasal 7 ayat 1 Konvensi Wina tahun 1969). Ayat2 menyatakan bahwa (a) Kepala Negara, kepala pemerintahan dan menteri luar negeri; (b) kepala perwakilan diplomatik dalam rangka mengadopsi perjanjian antara Negara pengirim dan negara penerima misi diplomatik; ( c) Perwakilan Negara pada suatu konfrensi internasional, organisasi internasional dan organnya dalam rangka mengadopsi perjanjian hasil konferensi, perjanjian dalam organisasi internasional dan organnya dalam rangka mengadopsi perjanjian hasil konferensi, perjanjian dalam organisasi internasional dan organnya; tidak memerlukan surat kuasa penuh. Dalam konferensi diplomatik yang diadakan untuk membuat instrumen multilateral, dipakai prosedur yang berbeda. Pada awal acara dilakukan pengangkatan Komite tentang Kuasa Penuh (Committee of Full Powers) untuk memberikan laporan umum kepada konferensi mengenai sifat surat kuasa penuh yang dimiliki setiap wakil pada konferensi tersebut. Namun dalam prakteknya, komite ini tidak pernah menuntut diserahkannya instrumen-instrumen resmi kuasa penuh tapi kadang-kadang untuk sementara menerima surat- surat kepercayaan (credentials). Tindakan-tindakan yang berkaitan dengan penutupan suatu perjanjian internasional yang dilakukan oleh seseorang yang tidak dilakukan oleh seseorang yang tidak mendapat surat kuasa penuh tidak dapat dianggap mewakili negara yang mengirimkannya tidak mempunyai akibat hukum kecuali jika kemudian dikonfirmasi oleh negara yang mengirim (Pasal 8 Konvensi Wina tahun 1969). Dalam melakukan negosiasi, para delegasi tetap memelihara hubungan dengan pemerintahannya dan pada setiap tahap dapat mengadakan konsultasi dengan pemerintahnnya. Adopsi atau penerimaan naskah perjanjian menurut Pasal 9 ayat 2 Konvensi Wina tahun 1969 menentukan bahwa penerimaan suatu naskah perjanjian internasional suatu konferensi internasional harus dilakukan melalui suara menyetujui dua per tiga negara yang hadir dan memberikan suara, kecuali dengan mayoritas yang sama negara-negara tersebut memutuskan untuk memakai aturan yang berbeda. 2. Penandatanganan Di zaman modern ini hubungan antar negara berlangsung dengan cepat sekali, karena itu dibuatlah prosedur yang cepat untuk menyatakan persetujuan mengikatkan dirinya pada suatu perjanjian internasional dengan penandatangan tanpa ratifikasi apabila memang hal itu menjadi maksud para peserta. Sehingga perjanjian tersebut dapat langsung berlaku tanpa menunggu dilakukannya ratifikasi. Pengaturannya ada dalam Pasal 12 Konvensi Wina tahun 1969 yaitu (dalam terjemahan bebas): (1) Persetujuan negara untuk diikat suatu perjanjian dapat dinyatakan dalam bentuk tandatangan wakil negara tersebut; a. Bila perjanjian tersebut yang menyatakannya; b. Bila terbukti bahwa negara-negara yang berunding menyetujuinya demikian; c. Bila full powers wakil-wakil negara menyebutkan demikian atau dinyatakan dengan jelas waktu perundingan. 3. Pengesahan Pengesahan diartikan sebagai sebuah ekspresi untuk terikat pada sebuah perjanjian internasional. Permasalahan utama yang timbul terkait dari diatur mengenai pengesahan (baik ratifikasi, aksesi, pertukaran nota, penandatangan dsb) adalah mengenai bagaimana apabila dalam sebuah perjanjian internasional tidak diatur mengenai pengesahan. Mengenai hal ini telah terjadi perdebatan doktrin yang panjang. Pada satu pihak, McNair dan Harvard Research berpendapat: “ratification is required when the treaty or the attendant circumstances don not indicate an intention to dispense with ratification”. Sebagai pendapat yang bersebrangan dari pendapat tersebut, Fritzmaurice dalam sebuah tulisan mengatakan : “the necessity for ratification is not inherent and depends in the last resort, not on any general rules, but on the intention of the parties; and that where no intention to ratify is apparent it may be assumed that none exists”. Sedangkan Blix berpendapat : “whenever states intend to bring treaties into force by some procedure other than signature, that intention is evidenced by express provisions or by cogent implication and that in the present practice of states the treaties in which there is no clear evidence, express or implied of the parties intentions as to the mode of entry into force, almost without exception enter into force by signature”. Penandatangan suatu perjanjian belum menciptakan ikatan hukum bagi para pihaknya. Bagi perjanjian yang demikian penandatangan perjanjian tersebut harus disahkan oleh badan yang berwenang di negaranya. Pengesahan demikian disebut ratifikasi. Pembedaan antara tandatangan dan ratifikasi dianggap perlu yang akan memungkinkan pejabat negara yang memiliki treaty making power untuk mencek apakah para utusan yang ditugaskan berunding tidak keluar dari instruksi63. Mengenai ratifikasi ini diatur dalam Pasal 14 Konvensi Wina tahun 1969 (dalam terjemahan bebas): (1) Bahwa persetujuan negara untuk diikat suatu perjanjian dinyatakan dalam bentuk ratifikasi apabila: a. Perjanjian tersebut mengharuskan supaya persetujuan diberikan dalam bentuk raitifikasi; b. Bila terbukti bahwa negara-negara yang ikut berunding setuju untuk mengadakan ratifikasi; c. Bila utusan-utusan negara menandatangani perjanjian tersebut dengan syarat untuk meratifikasinya kemudian, atau; d. Full powers deligasi itu sendiri menyatakan bahwa ratifikasi diharuskan kemudian. Selain dengan ratifikasi, perstujuan untuk mengikatkan diri terhadap suatu perjanjian dapat dilakukan juga dengan cara pernyataan turut serta (accession)64, menerima (acceptance) atau persetujuan (approval). Dilihat dari prosedur atau tahap pembentukannya perjanjian internasional terbagi atas dua golongan yaitu : 1. perjanjian internasional yang melalui dua tahap; biasanya merupakan perjanjian yang isinya bersifat teknis, mengenai hal-hal yang tidak begitu besar dan penting dan 2. perjanjian internasional yang melalui tiga tahap yang dilakukan karena isi atau materi dari perjanjian tersebut demikian penting artinya bagi negara yang bersangkutan sehingga perlu adanya ketelitian dan pertimbangan yang matang sebelum menyatakan terikat pada perjanjian selain juga sebagai kontrol atas kepercayaan yang diberikan pemerintah terhadap wakil- wakilnya.
Referensi : Starke, …An Introduction to International Law. Sinclair, The Vienna Convention on The Law of Treaties