Anda di halaman 1dari 5

Nama : Kevin Henawan

NPM : 17.0201.0072
Kelas : B

Prosedur Perjanjian Internasional


1. Perundingan
Sekali suatu negara memutuskan untuk memulai negosiasi
dengan negara atau negara-negara lain untuk membuat
perjanjian internasional maka langkah pertama yang harus
ditempuh adalah mengangkat wakil-wakil untuk melakukan
negosiasi.
Persoalan siapakah yang dapat mewakili suatu negara
dalam suatu perundingan internasional merupakan persoalan
intern negara yang bersangkutan. Jelas penting bahwa setiap
wakil itu harus diakreditasi sebagaimana mestinya ke negara
lain dan harus dilengkapi dengan kuasa yang diperlukan yang
bukan saja statusnya sebagai perutusan resmi, melainkan juga
kewenangannya.
Berdasarkan Konvensi Wina tahun 1969 Pasal 7,
Ayat1
negara dapat menunjuk seseorang yang ditunjuk untuk
mewakili negara tersebut dalam tahap-tahap pembuatan
perjanjian internasional dengan membuat surat kuasa
penuh (full powers). Surat kuasa penuh tidak diperlukan
apabila dari praktek negara yang berunding mereka harus
menganggap orang yang bersangkutan sebagai mewakili
Negara pengirim dan melepaskan surat kuasa penuh.
(Pasal 7 ayat 1 Konvensi Wina tahun 1969).
Ayat2
menyatakan bahwa (a) Kepala Negara, kepala
pemerintahan dan menteri luar negeri; (b) kepala
perwakilan diplomatik dalam rangka mengadopsi
perjanjian antara Negara pengirim dan negara penerima
misi diplomatik; ( c) Perwakilan Negara pada suatu
konfrensi internasional, organisasi internasional dan
organnya dalam rangka mengadopsi perjanjian hasil
konferensi, perjanjian dalam organisasi internasional dan
organnya dalam rangka mengadopsi perjanjian hasil
konferensi, perjanjian dalam organisasi internasional dan
organnya; tidak memerlukan surat kuasa penuh.
Dalam konferensi diplomatik yang diadakan untuk
membuat instrumen multilateral, dipakai prosedur yang
berbeda. Pada awal acara dilakukan pengangkatan Komite
tentang Kuasa Penuh (Committee of Full Powers) untuk
memberikan laporan umum kepada konferensi mengenai sifat
surat kuasa penuh yang dimiliki setiap wakil pada konferensi
tersebut.
Namun dalam prakteknya, komite ini tidak pernah
menuntut diserahkannya instrumen-instrumen resmi kuasa
penuh tapi kadang-kadang untuk sementara menerima surat-
surat kepercayaan (credentials).
Tindakan-tindakan yang berkaitan dengan penutupan suatu
perjanjian internasional yang dilakukan oleh seseorang yang
tidak dilakukan oleh seseorang yang tidak mendapat surat kuasa
penuh tidak dapat dianggap mewakili negara yang
mengirimkannya tidak mempunyai akibat hukum kecuali jika
kemudian dikonfirmasi oleh negara yang mengirim (Pasal 8
Konvensi Wina tahun 1969).
Dalam melakukan negosiasi, para delegasi tetap
memelihara hubungan dengan pemerintahannya dan pada setiap
tahap dapat mengadakan konsultasi dengan pemerintahnnya.
Adopsi atau penerimaan naskah perjanjian menurut Pasal 9 ayat
2 Konvensi Wina tahun 1969 menentukan bahwa penerimaan
suatu naskah perjanjian internasional suatu konferensi
internasional harus dilakukan melalui suara menyetujui dua per
tiga negara yang hadir dan memberikan suara, kecuali dengan
mayoritas yang sama negara-negara tersebut memutuskan untuk
memakai aturan yang berbeda.
2. Penandatanganan
Di zaman modern ini hubungan antar negara berlangsung
dengan cepat sekali, karena itu dibuatlah prosedur yang cepat
untuk menyatakan persetujuan mengikatkan dirinya pada suatu
perjanjian internasional dengan penandatangan tanpa ratifikasi
apabila memang hal itu menjadi maksud para peserta.
Sehingga perjanjian tersebut dapat langsung berlaku tanpa
menunggu dilakukannya ratifikasi. Pengaturannya ada
dalam Pasal 12 Konvensi Wina tahun 1969 yaitu (dalam
terjemahan bebas):
(1) Persetujuan negara untuk diikat suatu perjanjian dapat
dinyatakan dalam bentuk tandatangan wakil negara
tersebut;
a. Bila perjanjian tersebut yang menyatakannya;
b. Bila terbukti bahwa negara-negara yang berunding
menyetujuinya demikian;
c. Bila full powers wakil-wakil negara menyebutkan
demikian atau dinyatakan dengan jelas waktu perundingan.
3. Pengesahan
Pengesahan diartikan sebagai sebuah ekspresi untuk terikat
pada sebuah perjanjian internasional. Permasalahan utama yang
timbul terkait dari diatur mengenai pengesahan (baik ratifikasi,
aksesi, pertukaran nota, penandatangan dsb) adalah mengenai
bagaimana apabila dalam sebuah perjanjian internasional tidak
diatur mengenai pengesahan.
Mengenai hal ini telah terjadi perdebatan doktrin yang panjang.
Pada satu pihak, McNair dan Harvard Research berpendapat:
“ratification is required when the treaty or the attendant
circumstances don not indicate an intention to dispense with
ratification”.
Sebagai pendapat yang bersebrangan dari pendapat
tersebut, Fritzmaurice dalam sebuah tulisan mengatakan :
“the necessity for ratification is not inherent and depends in
the last resort, not on any general rules, but on the intention
of the parties; and that where no intention to ratify is apparent
it may be assumed that none exists”.
Sedangkan Blix berpendapat :
“whenever states intend to bring treaties into force by some
procedure other than signature, that intention is evidenced by
express provisions or by cogent implication and that in the
present practice of states the treaties in which there is no clear
evidence, express or implied of the parties intentions as to the
mode of entry into force, almost without exception enter into
force by signature”.
Penandatangan suatu perjanjian belum menciptakan ikatan
hukum bagi para pihaknya. Bagi perjanjian yang demikian
penandatangan perjanjian tersebut harus disahkan oleh badan
yang berwenang di negaranya.
Pengesahan demikian disebut ratifikasi. Pembedaan antara
tandatangan dan ratifikasi dianggap perlu yang akan
memungkinkan pejabat negara yang memiliki treaty making
power untuk mencek apakah para utusan yang ditugaskan
berunding tidak keluar dari instruksi63. Mengenai ratifikasi ini
diatur dalam Pasal 14 Konvensi Wina tahun 1969 (dalam
terjemahan bebas):
(1) Bahwa persetujuan negara untuk diikat suatu perjanjian
dinyatakan dalam bentuk ratifikasi apabila:
a. Perjanjian tersebut mengharuskan supaya persetujuan
diberikan dalam bentuk raitifikasi;
b. Bila terbukti bahwa negara-negara yang ikut berunding
setuju untuk mengadakan ratifikasi;
c. Bila utusan-utusan negara menandatangani perjanjian
tersebut dengan syarat untuk meratifikasinya kemudian,
atau;
d. Full powers deligasi itu sendiri menyatakan bahwa
ratifikasi diharuskan kemudian.
Selain dengan ratifikasi, perstujuan untuk mengikatkan diri
terhadap suatu perjanjian dapat dilakukan juga dengan cara
pernyataan turut serta (accession)64, menerima (acceptance)
atau persetujuan (approval).
Dilihat dari prosedur atau tahap pembentukannya perjanjian
internasional terbagi atas dua golongan yaitu :
1. perjanjian internasional yang melalui dua tahap;
biasanya merupakan perjanjian yang isinya bersifat
teknis, mengenai hal-hal yang tidak begitu besar dan
penting dan
2. perjanjian internasional yang melalui tiga tahap yang
dilakukan karena isi atau materi dari perjanjian tersebut
demikian penting artinya bagi negara yang bersangkutan
sehingga perlu adanya ketelitian dan pertimbangan yang
matang sebelum menyatakan terikat pada perjanjian
selain juga sebagai kontrol atas kepercayaan yang
diberikan pemerintah terhadap wakil- wakilnya.

Referensi :
 Starke, …An Introduction to International Law.
 Sinclair, The Vienna Convention on The Law of Treaties

Anda mungkin juga menyukai