Ghina
Ghina
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.1 Defenisi
2.1.2 Etiologi
3
dengue dapat bereplikasi pada nyamuk genus Aedes (Stegomyia) dan
Toxorhynchites..
2.1.3 Epidemiologi
3). Lingkungan : curah hujan, suhu, sanitasi dan kepadatan penduduk (WHO,
2000)
2.1.4 Patogenesis
4
Berdasarkan data yang ada, terdapat bukti yang kuat bahwa
mekanisme imunopatologis berperan dalam terjadinya demam berdarah
dengue dan sindrom renjatan dengue.
Respon imun yang diketahui berperan dalam patgenesis DBD adalah:
a). Respon humoral berupa pembentukan antibodi yang berperan dalam proses
netralisasi virus, sitolisis yang dimediasi komplemen dan sitotoksisitas
yang dimediasi antibody. Antibodi terhadap virus dengue berperan dalam
mempercepat replikasi virus pada monosit atau makrofag. Hipotesis ini
disebut antibody dependent enhancement (ADE)
b). Limfosit T baik T-helper (CD-4) dan T-sitotoksik (CD8) berperan dalam
respon imun seluler terhadap virus dengue. Diferensiasi T helper yaitu
TH1 akan memproduksi interferon gamma, IL-2 dan limfokin, sedangkan
TH2 memproduksi IL-4, IL-5, IL-6 dan IL-10
c). Monosit dan makrofag berperan dalam fagositosis virus dengan opsonisasi
antibody. Namun proses fagositosis ini meyebabkan peningkatan replikasi
virus dan sekresi sitokin oleh makrofag;
5
Pada umumnya pasien mengalami fase demam selama 2-7 hari, yang
diikuti fase kritis selama 2-3 hari. Pada waktu fase ini pasien sudah tidak
demam, akan tetapi mempunyai risiko untuk terjadi renjatan jika tidak
mendapat pengobatan adekuat.
2.1.6 Diagnosis
a. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik
Masa inkubasi dalam tubuh manusia sekitar 4-6 hari rentang 3-14
hari), timbul gejala prodormal yang tidak khas seperti: nyeri kepala,
nyeri tulang belakang dan perasaan lelah.
Dengue high fever (DHF). Berdasarkan kriteria WHO 1997 diagnosis
DBD ditegakkan bila semua hal di bawah ini dipenuhi:
- Demam atau riwayat demam akut, antara 2-7 hari, biasanya bifasik.
- Terdapat minimal satu dari manifestasi perdarahan berikut:
Uji bending positif.
Petekie, ekimosis, purpura.
Perdarahan mukosa (tersering epistaksis atau perdarahan gusi),
atau perdarahan bdari tempat lain.
Hematemesis atau melena
b. Laboratorium
6
Parameter Laboratorium yang dapat diperiksa antara lain:
- Leukosit; dapat normal atau menurun. Mulai hari ke-3 dapat ditemui
limfositosis relative (>45% dari total leukosit) disertai adanya limfosit
plasma biru (LPB) >15% dari jumlah total leukosit yang pada fase syok
akan meningkat.
- Trombosit: umumnya terdapat trombositopenia pada hari ke 3-8
- Hematokrit: kebocoran plasma dibuktikan dengan ditemukannya
peningkatan hematokrit >20% dari hematokrit awal , umumnya dimulai
pada hari ke-3 demam.
- Hemostasis: dilakukan pemeriksaan PT, APTT, Fibrinogen, D-Dimer atau
FDP pada keadaan yang dicurigai terjadi perdarahan atau kelainan
pembekuan darah.
- Protein/albumin: dapat terjadi hipoproteinemia akibat kebocoran plasma
- SGOT/SGPT dapat meningkat
- Ureum, kreatinin: bila didapatkan gangguan fungsi ginjal.
- Elektrolit: sebagai parameter pemantauan pemberian cairan
- Golongan darah dan cross match (uni cocok serasi): bila akan diberikan
transfusi darah atau komponen darah.
- Imunoserologi dilakukan pemeriksaan IgM dan IgG terhadap dengue.
IgM: terdeteksi mulai hari ke 3-5, meningkat sampai minggu ke-3,
menghilang setelah 60-90 hari.
igG: pada infeksi primer, IgG mulai terdeteksi pada hari ke-14, pada
infeksi sekunder IgG mulai terdeteksi hari ke-2
- Uji HI; dilakukan pengambilan bahan pada harii pertama serta saat pulang
dari perawatan, uji ini digunakan untuk kepentingan surveilans.
- NS1; antigen NS1 dapat dideteksi pada awal dmam hari ertama sampai
hari ke delapan. Sensitivitas antigen NS1 berkisar 63%-93,4% dengan
spesifisitas 100% sama tingginya dengan spesifisitas gold standard kultur
virus. Hasil negative antigen NS1 tidak menyingkirkan adanya adanya
infeksi virus dengue.
7
c. Pemeriksaan radiologis
8
DBD II Gejala di atas ditambah - Trombositopenia
perdarahan spontan. (<100.000/ul)
- Bukti ada
kebocoran plasma
DBD derajat III dan IV juga disebut sindrom syok dengue (SSD)
2.1.9 Penatalaksanaan
Tidak ada terapi yang spesifik untuk demam dengue, prinsip utama
adalah terapi suportif. Dengan terapi suportif yang adekuat, angka kematian
dapat diturunkan hingga kurang dari 1%. Pemeliharaan volume cairan
sirkulasi merupakan tindakan yang paling penting dalam penanganan kasus
DBD. Asupan cairan pasien harus tetap dijaga, terutama cairan oral. Jika
asupan cairan oral pasien tidak mampu dipertahankan, maka dibutuhkan
suplemen cairan melalui intravena untuk mencegah dehidrasi dan
hemokonsentrasi secara bermakna.
Perhimpunan Dokter Ahli Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI)
bersama dengan Divisi Hematologi dan Onkologi Medik Fakultas Kedokteran
9
Universitas Indonesia telah menyusun protocol penatalaksanaan DBD pada
pasien dewasa berdasarkan criteria:
- Penatalaksanaan yang tepat dengan rancangan tindakan yang dibuar sesuai
atas indikasi
- Praktis dalam pelaksanaannya
- Mempertimbangkan cost effectiveness
1. Tirah baring.
2. Pemberian cairan. Bila belum ada nafsu makan dianjurkan untuk minum
banyak 1,5-2 liter dalam 24 jam (susu, air dengan gula/sirup, atau air tawar
ditambah dengan garam saja).
3. Medikamentosa yang bersifat simtomatis. Untuk hiperpireksia dapat
diberikan kompres kepala, ketiak atau inguinal. Antipiretik sebaiknya dari
golongan asetaminofen, eukinin atau dipiron. Hindari pemakaian asetosal
karena bahaya perdarahan. 4. Antibiotik diberikan bila terdapat kekuatiran
infeksi sekunder.
Pasien DHF perlu diobservasi teliti terhadap penemuan dini tanda
syok, yaitu:
1. Keadaan umum memburuk.
2. Terjadi pembesaran hati.
3. Masa perdarahan memanjang karena trombositopenia.
4. Hematokrit meninggi pada pemeriksaan berkala.
Jika ditemukan tanda-tanda dini tersebut, infus harus segera
dipersiapkan dan terpasang pada pasien. Observasi meliput pemeriksaan tiap
jam terhadap keadaan umum, nadi, tekanan darah, suhu dan pernafasan; serta
Hb dan Ht setiap 4-6 jam pada hari-hari pertama pengamatan, selanjutnya
setiap 24 jam. Terapi untuk sindrom syok dengue bertujuan utama untuk
10
mengembalikan volume cairan intravaskular ke tingkat yang normal, dan hal
ini dapat tercapai dengan pemberian segera cairan intravena.
Jenis cairan dapat berupa NaCl 0,9%, Ringer’s lactate (RL) atau bila
terdapat syok berat dapat dipakai plasma atau ekspander plasma. Jumlah
cairan disesuaikan dengan perkembangan klinis.
Kecepatan permulaan infus ialah 20 ml/kg berat badan/ jam, dan bila
syok telah diatasi, kecepatan infus dikurangi menjadi 10 ml/kg berat badan/
jam.
Pada kasus syok berat, cairan diberikan dengan diguyur, dan bila tak
tampak perbaikan, diusahakan pemberian plasma atau ekspander plasma atau
dekstran atau preparat hemasel dengan jumlah 15-29 ml/kg berat badan.
Dalam hal ini perlu diperhatikan keadaan asidosis yang harus dikoreksi
dengan Na-bikarbonat. Pada umumnya untuk menjaga keseimbangan volume
intravaskular, pemberian cairan intravena baik dalam bentuk elektrolit maupun
plasma dipertahankan 12-48 jam setelah syok selesai.
Pada tahun 1997, WHO merekomendasikan jenis larutan infus yang
dapat diberikan pada pasien demam dengue/DBD:
1. Kristaloid.
a. Larutan ringer laktat (RL) atau dekstrosa 5% dalam larutan ringer laktat
(D5/RL).
b. Larutan ringer asetat (RA) atau dekstrosa 5% dalam larutan ringer asetat
(D5/RA).
c. Larutan NaCl 0,9% (garam faali/GF) atau dekstrosa 5% dalam larutan
faali (D5/GF).
2. Koloid (plasma).
Transfusi darah dilakukan pada:
1. Pasien dengan perdarahan yang membahayakan (hematemesis dan
melena).
2. Pasien sindrom syok dengue yang pada pemeriksaan berkala,
menunjukkan penurunan kadar Hb dan Ht.
11
Pemberian transfusi profilaksis trombosit atau produk darah masih
banyak dipraktikkan. Padahal, penelitian Lum et al. (2003) menemukan
bukti bahwa praktik ini tidak berguna dalam pencegahan perdarahan yang
signifikan.
Pemberian kortikosteroid tidak memberikan efek yang bermakna. Pada
pasien dengan syok yang lama, koagulopati intravaskular diseminata
(disseminated intravascular coagulophaty, DIC) diperkirakan merupakan
penyebab utama perdarahan. Bila dengan pemeriksaan hemostasis terbukti
adanya
2.1.10 Komplikasi
Menurut widagdo (2012) komplikasi dbd adalah sebagai berikut :
a. Gagal ginjal
b. Efusi pleura
c. Hepatomegaly
d. Gagal jantung
12