Anda di halaman 1dari 8

1.

Pengertian Hukum Pajak Internasional

Pengertian tentang Hukum Pajak Internasional pada bagian ini dikutip dari empat orang ahli, yaitu Prof.
Dr. PJ.A Adriani dan Prof. Dr. Rochmat Soemitro, Rosendorff sebagaimana dikutip Santoso Broo Diharjo, P.
Verloren van Themaat, berikut penjelasannya :

1. Prof. Dr. PJ.A Adriani


Beliau mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan hukum pajak internasional adalah suatu
kesatuan hukum yang mengupas suatu persoalan yang diatur dalam UU Nasional mengenai pemajakan
terhadap orang-orang luar negeri, peraturan-peraturan nasional untuk menghindarkan pajak ganda dan
traktat-traktat, Prof. Dr. PJ.A Adriani menekankan bahwa hukum pajak internasional merupakan
hukum pajak nasional yang didalamnya mengatur pengenaan pajak terhadap orang asing.
2. Prof. Dr. Rochmat Soemitro
Beliau mengemukakan bahwa hukum pajak internasional adalah hukum pajak nasional yang terdiri
atas kaidah baik berupa kaidah-kaidah nasional maupun kaidah-kaidah yang berasal dari traktat-traktat
antar negara dan dari prinsip atau kebiasaan yang telah diterima, baik oleh negara-negara di dunia
untuk mengatur soal-soal perpajakan dan dapat ditunjukkan adanya unsur asing, baik mengenai subjek
nya maupun mengenai objeknya. Prof. Dr. Rochmat Soemitro mengemukakan juga bahwa hukum
pajak internasional terdiri dari norma-norma nasional yang diterapkan pada hubungan internasional.
3. Rosendorff
Rosendorff sebagaimana dikutip Santoso Broo Diharjo, menyatakan bahwa hukum pajak internasional
adalah keseluruhan dari hokum pajak nasional semua Negara.
4. P. Verloren van Themaat
Beliau menyatakan bahwa hukum pajak internasonal adalah keseluruhan norma (kebiasaan atau
traktat) internasional yang membatasi kedaulatan suatu Negara dalam soal pajak.

Pendapat keempat orang ahli tersebut nampaknya tidak berbeda jauh. Keempatnya menekankan pada
adanya unsur yang sama yaitu unsur hukum pajak nasional atau norma-norma nasional serta adanya unsur
asing dalam hal subjek maupun objeknya. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa hukum pajak
internasional pada hakikatnya adalah hukum pajak nasional yang diangkat menjadi hukum pajak internasional
yang diikat dengan suatu kesepakatan atau perjanjian dengan negara lain.

Hukum pajak internasional merupakan norma-norma yang mengatur perpajakan karena adanya unsur
asing, baik subjek maupun objeknya. Maksud unsur asing pada objeknya adalah bahwa objek pajak tersebut
berada di luar negeri, tetapi dimiliki oleh Wajib Pajak atau WP yang berada atau bertempat tinggal di
Indonesia. Atau sebaliknya, objek pajak berada di Indonesia, tetapi dimiki oleh orang asing yang berada di
luar negeri. Sementara itu, unsur asing pada subjeknya, misalnya, orang asing yang tunduk pada hukum pajak
dari negara orang asing tersebut, tetapi mempunyai penghasilan di Indonesia. Atau sebaliknya, subjek pajak
orang Indonesia yang berada atau bertempat tinggal di luar negeri dan mempunyai penghasilan di luar negeri.

Khusus untuk WP atau wajib pajak luar negeri yang memperoleh penghasilan dari Indonesia, diatur
dalam Pasal 26 yang menyatak sebagai berikut : atas penghasilan tersebut dibawah ini, dengan nama dan dalam
bentuk apapun, yang dibayarkan, disediakan untuk dibayarkan, atau telah jatuh tempo pembayarannya oleh
badan pemerintah, subjek pajak dalam negeri, penyelanggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan
perusahaan luar negeri lainnya kepada wajib pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap di Indonesia dipotong
pajak sebesar 20% (dua puluh persen) dari jumlah bruto oleh pihak yang wajib membayarkan, yaitu :

a) Dividen
b) Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian
utang
c) Royalty, sewa, dan penghasilan lain sehubungan lain penggunaan harta

1
d) Imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan
e) Hadiah dan penghargaan
f) Pensiun dan pembayaran berkala lainnya
g) Premis swap dan transaksi lindung nilai lainnya
h) Keuntungan karena pembebasan utang

2. Kedaulatan Hukum Pajak Internasional Indonesia

Berbicara masalah Hukum Pajak Internasional, khususnya hukum pajak internasional Indonesia secara
umum dapat dikatakan berlaku terbatas hanya pada subjek dan objek yang berada di wilayah Indonesia saja.
Dengan kata lain terhadap orang atau badan yang tidak bertempat tinggal atau berkedudukan di Indonesia pada
dasarnya tidak akan dikenakan pajak berdasarkan undang-undang Indonesia. Namun demikian, hukum pajak
internasional Indonesia dapat berkaitan dengan subjek maupun objek yang berada di luar wilayah Indonesia
sepanjang ada hubungan yang erat, yaitu dalam hal terdapat hubungan ekonomis atau hubungan kenegaraan
dengan Indonesia .
Undang-undang nomor 7 tahun 1993 tentang pajak penghasilan sebagai mana telah diubah dengan undang-
undang nomor 17 tahun 2000 (undang-undang PPh) khususnya dalam pasal 26 diatur bahwa terhadap wajib
pajak luar negeri yang memperoleh penghasilan dari Indonesia antara lain berupa bunga, royalty, sewa, hadiah,
dan penghargaan, akan dikenakan pajak penghasilan (PPh) sebesar 20% dari jumlah bruto. Pasal ini
menunjukan contoh adanya hubungan ekonomis antara orang asing dengan penghasilan yang di perolehnya
di Indonesia. Sedangkan contoh yang menunjukan adanya hubungan kewarganegaraan dapat dilihat dalam
ketentuan pasal 24 undang-undang PPh yang menyatakan bahwa terhadap Wajib pajak dalam negeri yang
menerima atau memperoleh penghasilan dari luar negeri (world wide income) dapat mengkreditkan pajak yang
telah dibayarnya di luar negeri terhadap pajak terutang yang ada di indonesia sebesar PPh yang telah dibayar
atau terutanf di luar negeri tetapi tidak boleh melebihi penghitungan pajak terutang berdassarkan undang-
undang PPh Indonesia.
Dalam hukum internasional antar negara terdapat suatu asas mengenai kedaulatan negara yang telah
dinyatakan sebagai kedaulatan setiap negara untuk dengan bebas dapat mengatur kepentingan-kepentingan
rumah tangganya sendiri, dalam batas-batas yang ditentukan oleh hukum antar negara dan bebas dari pengaruh
kekuasaan atau campurtangan negara lain. Sesuai dengan asas yang dimaksud di muka, maka kedaulatan
pemajakan sebagai spesial dari gengsi kedaulatan negera dapat dinyatakan sebagai kedaulatan suatu negara
untuk bertindak merdeka dalam pengaturan lapangan pajak.

3. Sumber-sumber Pajak Internasional

Prof. Dr. Rochmat Soemitro dalam bukunya, hukum pajak internasional Indonesia, menyebutkan bahwa ada
beberapa sumber hukum pajak internasional, yaitu:

1) Hukum pajak nasional/unilateral yang mengandung unsur asing. Dalam hal ini di ambil contoh dari
undang-undang PPh dan undang-undang PPN, misalnya:

a) Pasal 5 undang-undang PPh mengenai bentuk usaha tetap (BUT). Yang dimaksud dengan bertempat
tinggal atau badan yang tidak didirikan dan tidak berkedudukan di indonesiaa namun menjalankan
usaha atau melakukan kegiatannya di Indonesia

b) Pasal 26 undang-undang PPh mengenai pembayaran antara lain berupa dividen,


bunga,sewa,royalty,kepada wajib pajak luar negeri yang dikenakan pajak sebesar 20%

c) Pasal 4 undang-undang PPN (undang-undang nomor 18 tahun 2000) mengenai pemanfaatan jasa kena
pajak dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean akan dikenakan PPN sebesar 10%

2
2) Traktat, yaitu kaedah hukum yang dibuat menurut perjanjian antarnegara baik secara bilateral maupun
multilateral. Perjanjian secara bilateral yang telah dilakukan Indonesia dengan Negara-negara lain
sampai saat ini telah mencatat 49 negara dalam bentuk perjanjian penghindaran pajak berganda (Tax
Treaty).

3) Keputusan hakin nasional atau komisi internasional tentang pajak-pajak internasional. Keputusan
hakim nasional maupun komisi internasional yang memberikan putusan yang menyangkut adanya
unsur internasional merupakan sumber hukum yang sifatnya mengikat juga bagi hukum pajak
Indonesia.

Sedangkan dalam buku “Pengantar Ilmu Hukum Pajak” karangan R. Santoso Brotodihardjo, S.H.
menyatakan bahwa sumber-sumber formal dari hukum pajak internasional, yaitu:

Asas-asas yang terdapat dalam hukum antar Negara :


 Peraturan-peraturan unilateral (sepihak) dari setiap negara yang maksudnya tidak ditujukan kepada
negara lain.
 Traktat-traktat (perjanjian) dengan negera lain, seperti:
 Untuk meniadakan atau menghindarkan pajak berganda.
 Untuk mengatur pelakuan fiskal terhadap orang-orang asing.
 Untuk mengatur soal pemecahan laba di dalam hal suatu perusahaan atau seseorang mempunyai
cabang-cabang atau sumber-sumber pendapatan di negara asing.

4. Terjadinya Pajak Berganda Internasional

Dalam bukunya “Basic Problems in International Fiscal Law (1979) Knechtle member penjeasan
secara rinci. Secara luas pajak berganda meliputi setiap bentuk pembebanan pajak dan pungutan lainnya lebih
dari satu kali, dapat dua kali atau lebih terhadap suatu fakta fiscal. Secara sempit pajak berganda dianggap
terjadi pada semua kasus pemajakan beberapa kali terhadap suatu subjek dan/atau objek pajak dalam satu
administrasi pjak yang sama.

Secara teoritis dan normative, istilah pajak berganda internasional meliputi beberapa unsur:

1) Pengenaan pajak oleh beberapa otoritas pemajakan terhadap beberapa criteria identitas
2) Identitas Subjek pajak (Wajib pajak yang sama)
3) Identitas objek pajak yang sama
4) Identitas masa pajak
5) Identitas (atau kesamaan) pajak

Dari unsure tersebut, terjadinya pajak berganda internasional terjadi apabila beberapa Negara
mengenakan pajak yang sama terhadap satu wajib pajak atas objek pajak yang sama untuk masa pajak
yang sama pula.

Velkenbond memberikan pengertian bahwa pajak berganda internasional terjadi apabila pengenaan pajak
dari dua negara atau lebih saling menindih sedemikian rupa, sehingga orang-orang yang dikenakan pajak
di negara-negara yang lebih dari satu memikul beban pajak yang lebih besar daripada jika mereka dikenakan
pajak di satu negara saja. Beban tambahan yang terjadi tidak semata-mata disebabkan karena perbedaan
tarif dari negara-negara yang bersangkutan, melainkan karena dua negara atau lebih secara bersamaan
memungut pajak atas objek dan subjek yang sama. Selanjutnya Prof rochmat Soemitro menjelaskan bahwa
ada beberapa sebab yang menimbulkan pajak berganda internasional, yaitu:

1) Subjek pajak yang sama dikenakan pajak yang sama dibeberapa Negara yang dapat terjadi karena:
 Domisili rangkap

3
 Kewarganegaraan rangkap
 Bentrokan asas domisili dan asas kewarganegaraan
2) Objek pajak yang sama dikenakan pajak yang sama di beberapa Negara

Subjek pajak yang sama dikenakan pajak di negara tempat tinggal berdasarkan asas wold wide income,
sedangkan di negara domisili dikenakan pajak berdasarkan asas sumber. Adapun beberapa bentuk pajak
berganda internasional, yaitu :
1) Pajak penjualan

Pajak berganda dapat terjadi apabila Negara pengekspor menganut prinsip Negara asal (original
principle), sedang Negara pengimpor menganut prinsip Negara tujuan (destination principle). Tapi
umumnya negara-negara menganut prinsip Negara tujuan. Eliminasi Pajak berganda internasional dalam
prinsip Negara tujuan dilakukan dengan penerapan tariff pajak 0% pada Negara ekspor dan mengenakan
pajak denh=gan tariff normal di Negara impor.

2) Pajak Penghasilan

Dalam pajak penghasilan dikenal dua pendekatan perpajakan yaitu

a) Tidak terbatas atau penuh(worldwide, global, universal, unlimited tax liability); merupakan hasil dari
pemajakan berdasarkan pertalian subjektif (subjective allegiance) yang dapat berupa nasionalitas atau
tempat pendirian (untuk badan) dan residensi (tempat tinggal, tempat keberadaan atau temppat
kedudukan)

b) Terbatas (territorial, limited tax liability); merupakan hasil dari pemajakan berdasarkan pertalian
objektif (objective allegiance) yang dapat berupa lokasi aktivitas ekonomi dan sumber
penghasilan.Sehubungan dengan pajak penghasilan, pajak berganda internasional terjadi akibat
adanya benturan antar klaim. Benturan antar klaim dalam pamajakan tak terbatas dapat terjadi antar
Negara penganut prinsip:

 Nasionalis; benturan nasionalis umumnya terjadi terhadap orang pribadi yang berada di Negara
penganut tempat kelahiran (ius soli) dengan ornag tua dari Negara penganut keturunan (ius sanguinis)

 Nasionalis dengan residensi; dapat terjadi baik pada wajib pajak pribadi maupun badan. Pada orang
pribadi terjadi apabila warga dari Negara penganut prinsip nasionalis (missal USA) bertempat tinggal
pada Negara penganut prinsip residensi (Indonesia). Untuk badan dapat terjadi apabila badan yang
didirikan berdasarkan hokum penganut tempat pendirian namun bertempat kedudukan atau dikelola
di Negara penganut prinsip pemajakan residensi (tempat kedudukan atau manajemen)

 Residensi; terjadi pada oarng pribadi yang mempunyai tempat tinggal di Negara penganut pemajakan
berdasarkan asas domisili namun ia berada dalam waktu yang relative substansial di Negara penganut
prinsip kehadiran substansial (misalnya 183hari). Untuk badan, benturan residensi terjadi apabila
mempunyai tempat kedudukan statute (di satu Negara) yang berbeda dengan tempat manajemen
(di Negara lain).

Benturan klaim pamajakan tak terbatas dengan pemajakan terbatas terjadi apabila subjek pajak
yang bertempat tinggal atau bertempat kedudukan di Negara penganut pemajakan global memperoleh
penghasilan atau menjalankan aktivitas ekonomi di Negara penganut klaim pemajakan terbatas. Akhirnya
apabila aktivitas ekonomi(di Negara kedua, penganut klaim pemajakanterbatas tersebut) juga memperoleh
penghasilan dari Negara (ketiga) pegant klaim pemajakan terbatas, maka akan timbul pajak berganda
internasional sebagai akibat benturan klaim pamajakan terbatas(Negara kedua dan ketiga).

4
Terjadinya Pajak Berganda Internasional berawal dari masing - masing negara yang berdaulat di dunia
ini mempunyai kebebasan untuk menentukan asas mana yang akan digunakan dan diterapkan di negara yang
bersangkutan terhadap subjek pajak dan objek pajak yang akan dikenainya. Penerapan suatu asas tertentu oleh
suatu negara di dalam hal pajak kiranya mempertimbangkan berbagai kepentingan dari negara yang
bersangkutan dan dalam hubungannya dengan negara lain, seperti keadilan, iklim investasi, kepentingan
ekonomi, kemungkinan perlakuan timbal balik dan sebagainya. Adanya kebebasan dari setiap negara yang
berdaulat untuk menentukan asas pengenaan pajak mengakibatkan kemungkinan terjadi pemberlakuan dua
atau lebih sistem atau tata hukum dari negara-negara yang berlainan terhadap suatu objek pajak tertentu pada
saat yang sama. Dengan demikian, terjadi benturan antara kaidah-kaidah hukum yang berbeda. Dalam hal
seperti itulah dikatakan terjadi pajak berganda internasional.

Pajak berganda internasional terjadi karena adanya pengenaan pajak atas suatu objek pajak oleh dua
negara atau lebih. Dengan adanya pengenaan pajak berganda mengakibatkan orang yanhg dikenakan pajak
(subjek pajak) memikul beban pajak yang lebih besar jika dibandingkan apabila hanya dikenakan pajak oleh
suatu negara.

Pengenaan pajak berganda yang dilakukan oleh dua negara umumnya terjadi karena masing-masing
negara mengatur pengenaan pajak berdasarkan asas sumber dan asas domisili. Asas sumber merupakan asas
yang mengenakan pajak kepada seorang atau badan berdasarkan pada sumber penghasilan yang diperoleh.
Sementara itu, asas domisili merupakan asas yang mengenakan pajak kepada seseorang atau badan
berdasarkan domisilinya.

Pajak berganda juga isa timbul bila seseorang memenuhi definisi subjek pajak dalam negeri oleh dua
negara karena telah berdomisili dalam kurun waktu yang ditentukan dalam UU oleh kedua negara tersebut.
Misalkan, Tuan Edward warga negara Amerika bekerja di perusahaan eksplorasi perminyakan di Indonesia
dan harus tinggal di Indonesia lebih dari 183 hari. Sesuai UU PPh Indonesia, Tuan Edward akan menjadi
subjek pajak dalam negeri dan akan dikenakan pajak di Indonesia.

Selanjutnya menurut UU pajak Amerika, Tuan Edward tetap dianggap sebagai penduduk Amerika
walaupun tidak tinggal di Amerika. Amerika akan mengenakan pajak atas seluruh penghasilan yang diterima
Tuan Edward. Dengan adanya dua ketentuan yang berbeda dari kedua negara, maka Tuan Edward akan
dikenakan pajak dua kali karena dianggap menjadi subjek pajak yang berdomisili di dua negara.

Adanya pajak ganda internasional tersebut dapat disebsbkan oleh beberapa hal, seperti :

a) Perbedaan asas yang dipakai (kedaulatan negara)


Perbedaan asas yang dipakai oleh masing0masing negara dapat menimbulkan pajak ganda
internasional. Asas domisili bertemu dengan asas sumber, asas kebangsaan bertemu dengan asas
sumber dan seterusnya. Seseorang, sebut saja X, berkebangsaan negara A tinggal di negara B dan
mempunyai kegiatan usaha di negara C dan negara D berkemungkinan menemui pajak ganda
internasional bila negara-negara tersebut menerapkan asas pengenaan pajak yang berbeda-beda.
Apabila negar A menerapkan asas kebangsaan, negara B menerapkan asas domisili, sementara negara
C dan negara D menerapkan asas sumber, maka terhadap penghasilan X yang berasal dari negara C
akan dikenakan pajak baik oleh pemerintah negara C (sumber), maupun pemerintah negara B
(domisili) dan pemerintah negara A selaku negara kebangsaan. Demikian pila terhadap penghasilan
yang berasal dari negar D, juga akan dikenakan pajak oleh pemerintah negara D (sumber), pemerintah
negara B (domisili), maupun oleh pemerintah negara A selaku negara kebangsaan.
b) Domisili rangkap
Di dalam asas domisili itu pengenaan pajak dikaitkan dengan tempat domisili atau tempat
kedudukan dari subjek pajaknya. Dalam hal ini yang dikenai pajak adalah semua orang atau badan
yang berdomisili atau berkedudukan di negara tersebut dari manapun asalnya, dengan sasaran

5
pengenaan pajak semua penghasilan dari subjek pajak atau wajib pajak yang berdomisili di negara
tersebut, dari manapun sumbernya. Oleh karena itu, kalau seseorang dianggap berdomisili di negara
yang bersangkutan oleh lebih dari satu negara, perbedaan batasan mengenai domisili itupun dapat
mengakibatkan adanya pajak ganda internasional. Misalnya, di negara A digunakan batasan bahwa
domisili adalah apabila telah tinggal di negara tersebut berturut-turut lebih dari 6 bulan, sementara di
negara B digunakan ukuran kehilangan domisilinya apabila telah meninggalkan negara tersebut 18
bulan berturut-turut. Apabila seseorang dari negara B tinggal di negara A selam 7 bulan berturut-turut
maka baik negara A maupun negara B menganggapnya masih berdomisili di negara tersebut. Dengan
demikian, orang tersebut juga dapat dikatakan berdomisili rangkap. Apabila negara A dan negara B
sama-sama mnerapkan asas domisili, maka orang tersebut akan dikenakan pajak baik oleh negara A
maupun oleh negara B.
c) Kebangsaan rangkap
Kebangsaan rangkap terjadi karena adanya batasan pengertian “warga negara” yang dipakai.
Apabila penentuan kewarganegaraan di suatu negara menggunakan dasar tempat kelahiran (ius soli),
sementara yang lain menggunakan dasar aliran darah atau keturunan (ius sanguinis), maka hal tersebut
dapat menyebabkan kewarganegaraan ganda. Tentunya terutama terjadi apabila negara yang
bersangkutan menerapkan asas nasionalitas atau kebangsaan sebagai asas pengenaan pajaknya.
Adanya kewarganegaraan ganda ini dapat mengakibatkan adanya pajak ganda internasional.

5. Cara Penghindaran Pajak Berganda Internasional

Berbeda dengan hukum perdata internasional yang apabila terjadi benturan yurisdiksi dapat saling
mengeliminasi berlakunya (salah satu hukum suatu Negara), benturan hukum pajak intersasional tidak
bisasaling mengeliminasi. Keduanya tetap berlaku dan berakibat tambahan jumlah pajak yang dipikul investor
(pengusaha) transnasional apabila disbanding dengan seandainya ia hanya berkiprah dalam dimensi domestic.

Menyadari bahwa tambahan beban yang dapat menjurus ke over taxation dapat menghambat mobilisasi
dan laju bisnis, perdagangan, investasi, sumber daya, barang dan jasa serta ekonomi global, maka dunia
erpajakan internasional mencoba melakukan beberapa pendekatan untuk memperingngan atau mengeliminasi
pajak berganda internasional. Beberapa pendekatan tersebut adalah;

a. Pendekatan unilateral (sepihak)

Dalam pendekatan ini setiap Negara mengenakan pajak atas penghasilan luar negeri yang diperoleh
atau diterima wajib pajak dalam negerinya ialah dengan mencantumkan ketentuan penghindaran pajak
berganda internasional dalam undang-undang domestiknya. Pendekatan tersebut misalnya dengan
memberlakukan pemajakan territorial (mengesampingkan pemajakan atas penghasilan luar negeri),
atau mengecualikan dari pajak atas penghasilan luar negeri dan/atau mengkreditkan pajak yang
dipotong di luar negeri. Negara yang memajaki penghasilan luar negeri dari wajib pajak dalam
negeri pada umumnya memberikan keringanan atas pajak dimaksud. Pemberi keringanan pajak
berganda internasional secara unilateral ini umumnya diberikan oleh Negara residen penganut system
pemajakan global.

b. Pendekatan bilateral (antar dua Negara)

Pendekatan ini dilakukan dengan cara Negara terkait memberikan keringanan pajak berganda
internasional berdasarkan kesepakatan antara kedua Negara pemegang yurisdiksi pemajakan.
Kesepakatan tersebut umumnya dirumuskan dalam suatu bentuk perjanjian penghindaran pajak
berganda (P3B) yang ditandatangani oleh pemerintah kedua Negara (walau pada praktiknya tidak
selalu ditandatangani oleh pemerintah, contohnya pada P3B Indonesia dengan Taiwan
ditandatangani oleh KADIN).Sebagai unsure hukum internasional, P3B mengikat kedua Negara

6
penanda tangan. Kebanyakan mode keringanan yang diberikan dalam P3B adalah paling tidak sama
dengan yang ada pada ketentuan domestic. Apabila keringanan P3B lebih longgar dari pada ketentuan
domestic maka berlaku ketentuan pada P3B. Hal ini biasanya diberikan sebagai perangsang terhadap
para penanam modal.

c. Pendekatan multilateral (beberapa Negara secara serempak)

Pendekatan multilateral melibatkan lebih dari dua Negara. Secara regional (misalnya Negara-negara
skandinavia), Negara ynag berada dalam satu kawasan dapat menutup P3B secara bersama-
sama. Karena merupakan kesepakatan bersama, pemberian keringanan P3B dapat lebih bersifat
harmonisasi (atau malahan unifikasi) ketentuan perpajakan masing-masing Negara terkait.

Beberapa metode penghindaran pajak berganda yaitu secara tradisional terdapat beberapa metode
penghindaran pajak berganda internasional, diantaranya:

A. Pembebasan / pengecualian

Metode ini berupaya untuk secara total mengaliminasi pajak berganda internasional. Metode ini
menghendakisuatu Negara pemegang yurisdiksi pemajakan untuk rela melepaskan hak pemajakannya
dan sepertinya mengakui pemajkaan eksklusif di Negara lain(Negara sumber). Pembebasan eksemsi
meliputi pembebasan:

1) Subjek
Umunya diberlakukan terhadap anggota korps diplomatic, konsuler dan organisasi internasional. Para
duta besar, anggta korps diplomatic dan konsuler, yang sesuai dengan hukum internasional
mendapat privilege pemajakan. Mereka hanya dikenakan pajak oleh Negara pengirimnya saja
(sending state). Ketentuan pemberian privilege (hak istimewa) tersebut diikuti oleh (hampir) semua
Negara secara universal.
2) Objek
Lebih dikenal dengan full exemtion without progression, diberikan dengan mengeluarkan penghasilan
luar negeri dari basis pemajakanwajib pajak dalam negeri Negara tersebut. Kalau misalkan seorang
wajib pajak dalam negeri memperoleh penghasilan domestic sebesar 1 milyar dan penghasilan luar
negeri sebesar 500 juta maka dalam basis pemajakan Negara residen hanya dihitung penghasilan kena
pajak sebesar 1 milyar. Dengan demikian, penghasilan luar negeri dikenakan pajak secara eksklusif di
Negara sumber.
3) Pajak
Dikenal dengan tax exemption atau exemption with progression. Dalam metode ini ada prinsipnya
penghasilan luar negeri dibebaskan dari pajak domestic, namun untuk keperluan penghitungan pajak
pengaruh progresi penghasilan luar negeri terhadap pengenaan pajak atas penghasilan global
dipertahankan. Apabila Negara residen memberlakukan tariff sepadan (proporsional/ flat), maka
pengaruh progresi tersebut adalah nihil.

B. Kredit pajak
Berbeda dengan metode eksemsi (yang mengeliminasi penghasilan luar negeri dari basis pengenaan
atau pemajakan dengan memperhitungkanpenghasilan terhadap penghasilan income against
income), metode kredit member keringanan atau eliminasi pajak berganda internasional dengan cara
mengkreditkan (mengurangkan) pajak luar negeri terhadap pajak penghasilan global yang merupakan
porsi penghasilan luar negeri (tax against tax). Sementara metode eksemsi mengasumsikan bahwa
residen yang melakukan investasi atau bisnis maupun kegiatan di luar negeri hanya dikenakan pajak
di Negara lokasi tempat pengimpor modal, bisnis atau kegiatan (capital-import neutrality), metode

7
kredit mengasumsikan bahwa residen dimaksud (mengekspor modal, bisnis dan kegiatan) harus
diperlakukan sama dengan yang melakukan hal serupa di dalam negeri (capital-eksport neutrality).
Penghasilan yang boleh diperhitungkan/ dikreditkan tersebut antara lain penghasilan dari luar negeri
berupa :
a. penghasilan dari saham dan sekuritas lainnya serta keuntungan dari pengalihan saham dan
sekuritas lainnya;
b. penghasilan berupa bunga, royalti, dan sewa sehubungan dengan penggunaan harta gerak;
c. penghasilan berupa sewa sehubungan dengan penggunaan harta tak gerak;
d. penghasilan berupa imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan;
e. Penghasilan BUT luar negeri;
f. penghasilan dari pengalihan sebagian atau seluruh hak penambangan atau tanda turut serta dalam
pembiayaan atau permodalan dalam perusahaan pertambangan;
g. keuntungan karena pengalihan harta tetap;
h. keuntungan karena pengalihan harta yang menjadi bagian dari suatu bentuk usaha tetap.
Hal yang paling mendasar PPh Pasal 24 ini adalah adanya batas maksimum yang boleh dikreditkan
seperti yang tercantum dalam ayat 2 Pasal 24 UU PPH seperti tersebut di atas. Hal lain yang harus
diperhatikan adalah:
a. Penghasilan yang termasuk atau dipotong pph final tidak diperhitungkan di perhitungan kredit
pajak pph 24
b. Kerugian yang diderita di luar negeri tidak boleh digabungkan / dikompensasikan dengan
penghasilan yang diterima atau diperoleh dari Indonesia.
c. Jumlah maksimum kredit pajak luar negeri dihitung untuk masing-masing negara dengan
menetapkan cara perhitungan masing-masing Negara.

Anda mungkin juga menyukai